Bagian V
Keesokan harinya, Wanianse terbangun tepat pukul setengah lima subuh, ia merangkak ke dapur untuk mengambil air wudhu. Di telinganya baru saja mengalun azan subuh dari langgar yang tidak jauh dari rumahnya. Langgar kecil yang dibangun oleh masyarakat secara bergotong royong. Subuh itu angin timur begitu kencang, sehingga ketika ia balik untuk melaksanakan shalat, lampu minyak itu mati tertiup angin.
“Ya Allah, adakah kesempatan kepada kami mendapatkan listrik?, enam puluh enam tahun negeri ini merdeka, tetapi listrikpun kampung kami belum pernah merasakan. Semoga listrik, dapat menjadi ruang untuk sama dengan anak-anak negeri ini. Enam puluh lima tahun kami masih dalam dunia gelap, bagaimana kami dapat bersaing dengan masyarakat lain di negeri ini, mereka sudah memiliki computer dan internet, tetapi kampung kami, listrik pun belum menyentuh’, Wanianse membatin, telinganya dipertajam sambil tangannya mengapai-gapai di kegelapan mencari korek api. Desah napas kedua anaknya menyadarkannya pada tempat mereka berbaring, ia berjungkal-jungkal mencari tempat korek itu.
Beberapa lama kemudian, tangannya mengapai korek api. Ia langsung nyalakan, dan terlihatlah Wa Leja dan La Ijo yang sedang tertidur pulas. Selintas kemudian bayangnya terbang pada suaminya tercinta yang jauh berjuang untuk membangun rumah, sebagai sebuah martabat dari seorang suami. Teringat pondasi rumahnya, terbayang mereka akan pindah ke rumah baru itu suatu saat, ia tersenyum.
Sesaat kemudian Wanianse menggapai mukenanya, dan sajadah, ia melakukan shalat shubuh. Dan setelah selesai, ia berdoa, “Ya Allah, berikanlah cahaya pada negeri ini. Keluarkanlah kami dari kegelapan, berikanlah kami cahaya ilmumu, berikanlah kami rizki yang halal yang Allah, agar anak-anak kami dapat hidup sejahtera. Hidup bahagai dan damai,” air matanya terurai membasahi pipinya, Ya Allah, berikanlah kekuatan dan kesabaran pada suamiku Ya Allah, jadikanlah ia suami yang selalu kuat dalam berjuang untuk kemaslahan anak-anak kami.
Di benaknya, terbayang wajah dan kekacauan negerinya, dan mulutnya mengucap doa, “Ya Allah, andai saja Kau mau menguji kami dengan kemiskinan harta, maka ujilah Ya Allah, sebab kami akan lulus dengan nilai terbaik, karena kami sudah terbiasa, tetapi jika Kau mau menguji kami dengan kebodohan, maka demi namaMu yang Allah, aku memohon jauhkan ujian itu dari kampung kami, sebab itu akan membuat kami lebih tidak bersyukur, bahkan kami dapat kafir kepadamu Ya Allah.” Pikirnnya terbayang anak-anak kampung yang hidup dari kerja fisik, tanpa pikiran, hanya karane mereka tidak pernah sekolah.
“Ya Allah, yang maha suci, sucikanlah diri kami ya Allah, sebagaimana engakau mensucikan manusia pilihanmu, sucikanlah pemimpin kami dari segala niat dan tingkah yang membuat dosa, Ya Allah, membuat mereka terbelenggu dengan segala keterikatan. Ya Allah, jagalah mereka agar mereka tetp sabar dalam kebenaran dan kesabaran, agar mereka lebih bebas dalam membangun negeri ini. Mereka tidak hidup dalam ketakutan, karena saya tahu bahwa yang paling ditakuti oleh seorang manusia adalah adalah perbuatannya yang melanggar kebenaran dan sunatullah . Karena kesengsaraan sejati adalah ketika kita diadili oleh diri sendiri. Sebab pengadilan sejati adalah pengadilan hati nurani, Ya Allah jagalah pemimpin kami dari segala hukuman nurani itu dengan membuat mereka tetap pada kebenaran dan kesabaran.
Lama Wanianse termenung dalam doanya, suara sapu dari tetangganya sudah mulai masuk dalam telinganya, ia tutup doanya dengan doa sapu jagat.
Kemudian, ia pergi ke dapur, lalu kembali ke ruang tengah rumahnya dan membangunkan Wa Leja dan La Ijo, sebab Wa Leja harus pergi ke sekolah.
“Bangun Nak!, hari ini kau harus ke sekolah,” kata Wanianse pada anaknya.
Wa Leja terbangun, sementara La Ijo masih malas, Wa Leja menggosok matanya dengan panggung tangannya.
“Ina, pake baju apa sebentar?” Tanya Wa Leja pada ibunya, sementara La Ijo menangis minta di gendong.
Wanianse membawa kedua anaknya ke sumur di halaman rumahnya. Sumur yang dalamnya dua belas meter itu membuat tangan Wanianse bekerja keras, tetapi ia menimba beberapa ember untuk memandikan kedua anaknya. Wa Leja sudah bisa ke sekolah tanpa di antar, sementara La Ijo dititip di tetangga. Ia berencana pergi ke kebun di dangkuku, melihat bawangnya.
Setelah mandi, Wa Leja langsung berpakaian dan sarapan, dan tidak lama kemudian, teman-temannya sudah datang menjemput dan langsung mereka menuju sekolah yang tidak jauh dari rumah, tepat di ujung kampung pas dibelakang rumah kepala kampung.
“Ina, kuwilamo,” panggil Wa Leja, dan langsung menjabat tangan ibunya dan langsung berlari mengejar teman-temannya. Wa Leja pergi ke sekolah, dengan hanya membawa air minum yang diisi di dalam botol. Ia pergi tanpa membawa uang jajan, ibunya tidak membiasakannya, dengan uang jajan, sebab itu tidak baik, dan lebih-lebih pada kesehatannya.
Setelah Wa Leja pergi, Wanianse mengurus La Ijo, setelah dimandikan dan diberi sarapan, La Ijo di bawah ke rumah neneknya. “Ina jaga La Ijo, saya mau lihat bawangku, sudah lama baru saya pergi lihat”.
“Maimo di ana La Ijo,” panggil neneknya, La Ijo yang sudah terbiasa di tinggal ibunya ke kebun, langsung berlari untuk bermain dengan sepupu-sepupunya.
Wanianse langsung pulang ke rumahnya, dan di sana tetangganya sudah menunggu. Keduanya pergi ke kebun, sekitar satu setengah liko meter. Keduanya berjalan di bawah sinar matahari pagi, “Saya kira kau sudah mulai melupakan bawangmu Wa Unga,” ucap Wanianse pada tetangganya.
“Oe, tapumasa te lisitirii ara mbea’e Wanianse?” terlalu mahal itu.
“Iya, masa habis dijanji bahwa peraturan presden harga dasarnya Sembilan ratus ribuan, masa sama kita orang miskin ini, dinaikkan menjadi lima jutaan, kasian kita ini. Kalau satu juta, kita pasti dapat memasang listrik, jawab Wanianse.
“Kalau saya tidak bisa Wanianse, nanti saya pasang saja sama kamu, mudah-mudahan kamu dapat pasang,” ucap Wa Unga dari belakang Wanianse.
“Mudah-mudahan hanya satu juta, kalau satu juta, saya akan menunda beli semen, saya akan membeli listrik dulu,” jawab Wanianse.
“Kalau kamu ada kiriman suamimu, saya berdoa saja semoga kita dapat menikmati listrik.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di kebun bawang, di padangkuku. Wanianse menuju kebunnya, sementara wa unga juga ke kebunnya. Jaraknya tidak terlalu berjauhan. Memasuki kebunnya, Wanianse menatap bawangnya tumbuh, tetapi rumput juga sudah maulai tumbuh, mentimun pun sudah tumbuh disudut-sudut kebunnya. Batangnya merambat ke mana-mana. Ia juga sudah melihat buahnya yang sudah mulai matang, “satu, dua, tiga, empat,” Wanianse mulai menghitung beberapa buah semangkanya.
“saya akan memetik satu buah sebentar, untuk La Ijo dan Wa Leja, ia juga teringat suaminya, karena suaminya sangat suka dengan buah semangka.
Menjelang tengah hari, mereka pulang. Di tempat perhentian di atas bukit, kabanyakan petani berhenti di bawah pohon beringin, sambil menyaksikan bentangan pandang belukar dan sentuhan angin segar. Kebanyakan orang-orang yang kebunnya jauh berkumpul di situ. Ada mengupas ubi kayunya, ada yang baring-baring, ada juga yang menyanyi.
Wanianse menghampiri beberapa teman-temannya, dan menyuguhkan air minum. “Jari Wanianse, toumpa na ahu ana?” Tanya salah seorang ibu yang sedang mengupas ibu kayunya.
“Oho, wa tuha, kambana marasai ana, mudah-mudahan kita dapat membeli sesuai harga dasar listrik yang ditetapkan pemerintah,” jawab Wanianse. “kita berharap saja, semua wagra kampung sepakat dan komitmen dengan hasil pertemuan itu hari. Keputusannya ‘kan, siapa yang memasang dengan harga lima jutaa, berarti tidak bersatu dengan masyarakat. Dan keputusan rapat, rumahnya dilempar oleh masyarakat.
“Teatumo, mudah-mudahan, kita dapat bersatu, atau pemerintah daerah dapat membantu kita dalam harga dasar pemasangan baru,” ucap yang lain.
“Ara umane nabantu te masyarakat I kampo ana, te pasa’a nulisitiri, maka takumene’emo ala’a,” kata salah seorang bapak-bapak mendengarkan pembicaraan ibu-ibu di sampingnya.
“Kakuaka ara teparenta mai ana mau mendengarkan hati dan suara rakyat, maka kita rakyat ini akan selalu mendukung mereka, tetapi ini, mereka hanya berebut tanah-tanah rakyat, bahkan tanah adat yang diklaim orang pun dibeli untuk kepentingan pribadinya. Kalau begini, kita akan menderita dalam jangka waktu yang panjang. Anak-anak kita akan tetap melarat, karena pendidikan juga tidak dapat perhatikan dengan baik oleh pemerintah,” urai salah seorang lelaki muda yang lain.
“Makanya, sudah saatnya sekarang untuk memberitahu saudara-saudara kita untuk tidak menjual tanah kepada para kapitalis itu, sebab model-model penjajahan modern adalah usaha untuk menguasai asset-aset masyarakat (termasuk tanah) agar menciptakan ketergantungan yang besar pada kapitalisme, urai Wanianse.
“Lihat saja, hampir semua tanah di kampung ini sudah dijual, mau jadi apa mereka yang sudah menjual tanahnya. Tiap hari orang datang cari tanah, mengapa? Karena memang itu adalah cara halus untuk mengusir orang di kampung kita ini, yaitu dengan membeli tanahnya, dengan menggantikan tanah itu dengan uang yang tidak berharga apa-apa,” Lanjut pria muda itu.
“Kalau begini terus, anak-anak kita akan kehilangan segalanya, kehilangn hak untuk hidup karena ingat, daerah ini adalah pulau kecil yang sangat terbatas,” sambung lelaki tadi.
“Begini saja, sekali lagi, sampaikan pada orang-orang kampung bahwa, jangan lagi menjaul tanah. Karena itu hanya uang sesaat, dan bagaimana kalau kita meminta pekerjaan dan pendidikan dari masyarakat,” ucap Wanianse.
Sementara angin sejuk membelai wajah-wajah mereka. Dan air minum laksana air surga datang untuk menyejukkan, rasa menambah sejuknya tempat peristerahatan itu. Tidak terasa, matahari sudah mulai condong kea rah barat, Wanianse langsung pulang menuju rumah, karena anak-anaknya sudah menunggu di rumah ibunya.
“Perjalanan yang sekitar satu kilo meter itu, terasa dekat, karena pikirannya telah menyaksikan anak-anaknya menikmati semangka hasil kebunnya sendiri.
Bersambung…………………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar