Sabtu, 04 Februari 2012

Wanianse Bagian 14


Oleh:
Sumiman Udu

 Kabar bahwa La Udin masuk penjara telah melahirkan masyarakat di kampungnya, binggung, mereka mengambil pasir di pantai untuk ongkos pengurusan la Udin dan kawan-kawannya di kantor Polisi.
“Aapa yang dapat kita lakukan, kalau sudah begini,” kata kepala pemuda kepada ayahnya La Udin dan ayahnya La Roy. Tetapi kedua orang tua itu hanya saling bertatap mata, sebab tadi malam Udin dan teman-temannya tidak rebut lagi di tengah jalan.
“Kita serahkan saja sama Bapak sebagai kepala pemuda”, jawab ayah la Roy.
“Kalau menurut saya, kita harus meminta orang-orang kampung untuk memberikan uang, karena pasir itu nanti kita ditahan semua,” kata kepada pemuda itu.
“Bisa saja, asal kita sepakati dulu semua,” jawab salah seorang ayah temannya La Udin.
“kalau begitu, sebentar malam kita harus rapat” usul kepala pemuda itu.
Semua sepakat untuk rapat sebentar malam.
Di mesjid, saat shalat Magrib, orang-orang tua duduk merenungkan nasib anak-anak di kampungnya yang ditangkap tadi malam. Tidak ada yang mengungkapkan kerisauan hati mereka. Hanya saja, magrib itu, suara azan La Udin tidak kedengaran. Tiba-tiba terdengar suara iqamat.
Semua orang-orang tua yang berkabung itu, menuju ke belakang imam. Mereka berdiri semua, hanya saja suara tanda tawa anak-anak setelah la Udin dan teman-temannya ditahan tadi malam, seakan terbawa ke kantor polisi semua.
Selesai shalat magrib, salah seorang pemuka mesjid berkata, “Bagaimana perkembangan, apa ada yang datang ke kantor polisi tadi siang? Tanya orang itu.
Ayah la udin menjawab, “Tadi kami pergi, dan meminta penangguhan penahanan, tetapi tidak bisa. Mungkin saja, karena itu tuntutan Bos yang membeli pantai ini.
“kita harus mengupayakan, karena anak-anak itu akan masuk sekolah besok, untungnya hari ini adalah hari minggu.
“Baru saya dengar anak-anak itu akan mengikuti ulangan harian, saya dengar dari gurunya tadi siang saat saya bertemu dengan ibu gurunya La Udin tadi siang.
“Begitu?” gawat kalau begitu, tanah-tanah kita sudah dibeli, pantai sudah dibeli, baru anak-anak tidak bisa sekolah, maka kita akan mengalami kematian jangka panjang. Apalagi lapangan kerja tidak ada begini. Kita harus bagaimana kalau sudah begini.
“Kita tidak dapat berharap banyak dari anggota DPR yang akan memperjaungkan kita, nasib kampung kita ini. Karena mereka tidak pedulu dengan kita.
“Saya kira harus berjuang, sebab kalau anak-anak itu ditahan terus, maka masa depan kampung kita ini akan menjadi tenggelam, mungkin lebih baik nasibnya togo motondu di lasalimu berabad-abad yang lalu, di sana tenggelam akibat karena bencana alam, tetapi kampung kita ini tenggelam karena kebodohan dan kemiskinan kita. Kita menjual tanah-tanah leluhur kita, sementara anak-anak kita tidak disekolahkan”, ungkap kepala pemuda itu.
“Saya dengar, waktu penyerahan tanah bandara, pemerintah berjanji untuk memberikan harga tanah kepada masyarakat, membukakan lapangan kerja, dan memberikan beasiswa untuk anak-anak di daerah kita ini,” jawab salah seorang tua yang ada di situ.
“Kabarnya sih begitu, tetapi sampai sekarang belum ada beasiswa khusus sebagai perjanjian pada waktu bandara itu mau dibuka”.
“Yah, saat ini anak-anak kita ditahan, Bagaimanapun kita harus berjuang menuju kantor polisi untuk mengeluarkan mereka agar mereka dapat kuliah.
Di tempat lain, Bos tertawa terbahak-bahak mendengarkan berita penahanan pencuri pasir tadi malam.
“bos, anak-anak yang mencuri pasir itu sudah ditahan pak,” lapornya dengan bangga.
“Bagaimana-bagaimana? Tanya Bos kembali.
“Mereka sudah ada di kantor polisi Pak,” jawab anak buah Bo situ.
“Bagus, itu baru namanya pelajaran buat orang-orang kampung itu, anak-anak sial. Saya beli pantai itu agar pantai itu selamat, tidak dijual terus,” Kata bos itu sambil meminum secangkir teh. Saat meminum teh itu, ia membayangkan betapa ia akan mengembangkan resort pada pantai yang akan dibangunnya. Wah, saya kira saya harus berterima kasih pada tuhan, sebab tuhan telah merestui seluruh pilihan saya. Saya sejak kecil memilih untuk hidup kaya. Pikir Bo situ lagi.
“Sementara di kampung, Wanianse dan seorang tetangganya seperti biasa setelah Wa Leja dan La Ijo belajar, ia masih sempat ke halam rumah menikmati bulan pernama. Mereka membicarakan tentang kasus yang menimpa La udin dan teman-temannya kemarin malam.
“Kasihan La Udin itu, ya?” kataWanianse pada temannya. Yang sejak tadi mengupas ubi kayu.
“Iya, kasihan sekali, apalai temanku yang baru melahirkan kemarin, suaminya juga ditahan, pada hal suaminya pergi mangambil pasir sama La Udin itu untuk ongkos susunya anaknya kasian, sekarang ditahan lagi. Saya tidak tahu mereka mau makan apa lagi. Belum lagi ia pikirkan bagaimana harus keluar dari kantor polisi,” ungkap teman Wanianse.
“Kasian kita ini ya, tanah-tanah kita sudah sebagian terjual, tidak ada pekerjaan, anak-anak tidak ada yang sekolah, pantai sudah dibeli, kira-kira kita mau makan apa ilange dualo, Tanya Wanianse pada temannya.
“Oe, kurodongo kua, te ido tepili’a da? Bahwa hidup ini pilihan to? Tanya teman Wanianse kepada Wanianse.
“Ah, itu hanya pembicaraannya orang-orang pintar itu, agar mereka memiliki alasan agar mereka dapat menyalahkan kita, dengan adanya pemikiran itu, mereka akan mengatakan bahwa yang membuat kalian miskin, karena kalian mau miskin,” itu hanya akal-akalan saja itu, dari kaum pemikir yang mendukung kemiskinan.
“Kalau La udin dan teman-temannya mau memilih, saya pikir mereka memilih untuk hidup dengan layak, masa malam-malam harus memikul pasir? Itu bukan memilih, tetapi karena keterpaksaan.” Saya pikir, hidup ini bukan pilihan, tetapi saya dengar dari temanku, disaat ia sekolah di Tsanawiah dulu, ia mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak dapat diperjualbelikan, air, api dan rumput katanya itu harus dikuasai oleh Negara,” ingat Wanianse pada cerita temannya beberapa tahun silam di saat masih sekolah dulu.
“Iya wa anu mai, tapi kalau tanah-tanah sudah dibeli, berarti kita juga sudah pasti dilarang mengambil rumput, bisa-bisa kita ditahan kalau begitu seperti mereka la Udin, jawab teman Wanianse lagi.
Tidak lama kemudian, datanglah beberapa gadis-gadis kampung. Mereka ikut mendengarkan cerita Wanianse dengan sahabatnya.
“Coba bayangkan, pantai dibeli otomatis laut di depannya akan dilarang lagi untuk mencari tinunga di laut, lebih-lebih kalau sudah dijadikan resort, Bos pasti akan melarang kegiatan mengambil kerang di depan pantai itu, ungkap salah seorang gadis yang kebetulan sekolah di SMP.
“Iya, Wanianse membenarkan pernyataan Wa Morunga tersebut. “Kalau itu sudah dilarang, maka kita sudah tidak bisa memilih, kita tidak bisa memilih untuk sekolah atau makan apa? Karena semua yang ada sudah dibeli oleh orang-orang kaya. Mau memelihara kambing, rumput dilarang, mau berkebun, tanah sudah tidak ada, mau ke laut, pantai dan laut di depannya juga di larang. Bagaimana itu hidup dan nasib kita sini.
Sejak tadi, La Ndoke berdiri melihat ibu-ibu yang mengupas ibu kayu itu, sementara bulan purnama sudah semakin miring ke arah barat, posisi jam satu siang. Pas berada di atas kepala miring ke arah barat sedikit. La ndoke tersenyum, tetapi pikiran dan hatinya membenarkan pembicaraan ibu-ibu malam itu. Badannya sangat letih, karena seharian ia menjadi tukang ojek di togo. Ia mulai memikirkan pembicaraan malam itu. Tiba-tiba ia berkata, “Betul ya, tanah-tanah kita sudah dijual oleh saudara-saudara kita yang selama ini tidak tinggal disini. Mereka kembali lagi ke kampung mereka di Maluku sana.
“kalau begini terus, maka kita di sini akan semakin banyak yang akan menyusul La Udin di tahanan,” kata La Ndoke.
“Iya, pandangkuku, sudah ditanami kayu jati dan mahoni, bagaimana kita dapat mengambil hora untuk menyulam tikar, tidak bisa. Mungkin, kita harus meninggalkan kampung ini, dan itu merupakan pilihan yang harus kita pilih, walau itu terpaksa,” ungkap Wanianse.
Beberapa hari kemudian, La udin tidak pernah keluar dari tanahan polisi karena Bos masih melarang, karena itu pelajaran, bagi mereka yang merusak lingkungan. Kegelisahan masyarakat, semakin hari semakin tinggi, apa lagi orang-orang bos sudah ketat sekali menjaga pantai. Lewat saja sudah hampir di larang. Apalagi mengambil pasir.
Rapat kampung untuk mengumpulkan uang, tidak didukung oleh masyarakat, karena makan saja kita tidak bisa. Mereka mendukung tetapi mereka tidak punya uang, sementara menjual pasir, sudah tidak mungkin, karena anak buah Bos sudah semakin ketat menjaga pantai.
Suatu sore Di batea, duduk-duduklah orang-orang tua main domino, kepala pemuda juga ada di situ. Singgahlah ibu guru dan menyampaikan bahwa minggu depan anak-anak akan ujian. Ibu guru mempertanyak La udin dengan teman-temannya.
“Pak, gimana kabar Udin dan Teman-temannya,” tanya bu guru.
“Kapan mereka baru keluar, karena mereka sudah mau ujian minggu depan,” lanjut ibu guru lagi.
Mendengarkan itu, orang-orang tua yang sedang main domino itu langsung berhenti.
“Iyoe, bagaimana mi itu kalau begini terus, apa yang akan kita lakukan?” sementara saya juga dengar dari anak-anak buahnya Bos, bahwa mereka La Udin itu diatur supaya perkaranya jangan dilimpahkan ke pengadilan, karena mereka belum cukup umur, jadi menjadi tahanan polisi saja” kata seorang bapak.
“Jadi apa yang kita lakukan kalau sudah begini? Tanya yang lainnya.
Kalau sudah seperti ini, saya sudah menjadi binggung, karena kita melawan yang banyak uangnya, penguasa lagi. Jadi tidak ada jalan, kalau begini. Kita sudah harus berpikir bagaimana agar desa-desa tetangga juga bisa membantu kita.
“bagaimana kalau kita pergi semua ke DPR, laki perempuan, tua dan muda, kita menuntut di DPR saja” usul yang lainnya.
“Ah, sama saja itu,karena saya sudah tidak percaya, Bos juga menguasai DPR kok, jadi tidak mungkin kita dibantu.
“Kita coba saja, karena ini menyangkut sekolahnya anak-anak, juga menyangkut masa depan kita.
“Sepertinya, kita harus kembali kepada sara agar tanah-tanah di wilayah kesultanan ini kembali ditata ulang, pikir yang lainnya.
“Tinggal itu, karena semua jalan yang kita pikirkan menjadi kandas di jalan. Kita menghadapi penguasa dan pedang yang banyak uangnya.
Tiba-tiba salah seorang, berkata, “Eh, tadi malam saya nonton demo di Bima, kacaunya luar biasa, mereka membakar Kantor Bupati gara-gara izin perusahaan” jelas orang itu.
“Iya, saat ini mungkin itu cara perjaungan yang baik, disbanding kita diam-diam terus begini. Anak-anak tidak sekolah, kita tidak punya pekerjaan, tidak punya uang, tanah-tanah sudah dibeli semua, pantai begitu, saya pikir kita undang saja itu televise datang ke sini? Hehehe. Usul yang lainnya.
“Tetapi, kalau kita nonton di TV, banyak kejadian seperti dikampung kita ini, dan kalau mereka juga mengalami jalan buntu seperti kita saat ini.
“kalau nonton tadi malam, kasus tanah di bandara patimura, kita harus menggugat seluruh tanah-tanah yang sudah dijual itu agar dikembalikan.
Di Kantor, La Udin hanya termenung, dikepalanya, inginmelihat seperti apa Bos yang membeli pantai itu. Ingin rasanya memukul mukanya, seperri Udin di tampeleng malam itu.
“Udin, kalau kita besar nanti, kita harus sekolah di Hukum, supaya kita gugat pantai dan tanah-tanah yang sudah dibeli oleh Bos ini,” usul la Roy dan diikuti oleh ketiga temannya.
“kita harus sekolah, kita harus membela bangsa ini dari segi hokum, kita harus memikirkan ini, semua, kita harus menuntut Bo situ, dan kita harus memenjarakan dia suatu saat,” pikir La Udin dalam hati.
“Teman-teman, saatnya kita harus memiliki impian, kita harus meyakinkan orang-orang tua kitaagar tidak lagi menjual tanah.
Wanianse termenung sendiri, ketika di simpang jalan menuju pantai melihat tetangganya yang menangis, karena suaminya belum juga pulang, karena ditahan bersama la udin. Air mata Wanianse menetes, tetapi ia tidak bilang apa-apa, terbayang dibenaknya, suaminya di rantau. Terbayang anak-anaknya harus makan apa, suatu saat nanti, kalau pantai dan kebun sudah tidak ada lagi. “anak-anakku, harus sekolah, karena dengan itu, mungkin mereka dapat mengembalikan tanah-tanah ini. Belanda menguasai tanah ini tiga setengah abad, tetapi dengan perang, tanah ini kita kuasai kembali” pikir Waniase dalam hati.

Bersambung…..