Oleh:
Sumiman Udu[2]
ABSTRAK
Tradisi lisan menyimpan berbagai
ingatan kolektif masyarakatnya, termasuk jejak kebudayan yang berkembang di
dalam masyarakat itu. Sebagai tradisi lisan, Betena Tombula merupakan
tradisi lisan masyarakat Buton yang mengisahkan tentang jejak kebudayaan
masyarakat Tionghoa dalam dunia Melayu Buton. Oleh karena itu, penelusuran
jejak Tionghoa dalam tradisi lisan betena
tombola merupakan ruang pertautan
kebudayaan Tionghoa dan Melayu Buton dalam ingatan kolektif masyarakat Buton.
Penelitian mengenai Betena Tombula untuk menemukan jejak
Tionghoa dalam masyarakat Buton ini dilakukan dengan pendekatan etnografi.
Dengan demikian, baik data pustaka mapun data lapangan dalam penelitian ini
akan dianalisis berdasarkan sudut pandang masyarakat pemilik tradisi lisan tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian masyarakat Buton memiliki pandangan bahwa Ratu pertama Wakaa kaa
merupakan keturunan Tionghoa yang berasal dari Mongol. Hal ini dapat dilihat
dari deskripsi fisik Wakaa kaa yang memiliki leher panjang, rambut lurus, serta
kulit yang putih. Masyarakat Buton menganggap bahwa betena tombula dapat interprestasikan sebagai keturunan China yang
disebut negeri tirai bambu. Di samping itu, di dalam masyarakat Buton ditemukan
beberapa ornament yang menggunakan simbol-simbol naga dalam kebudayaannya,
yaitu adanya patung naga di pantai kamali Kota Bau-Bau, serta penggunaan simbol
naga di atas hampir setiap atap rumah tradisional masyarakat Buton. Selain itu,
hasil penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat Binongko memiliki ingatan
kelektif tentang perkawinan orang sakti dari Binongko dengan putri nakhoda
kapal China.
Kata kunci: betena tombola, jejak Tionghoa, tradisi
lisan, Buton
A.
Pengatar
Menjelang akhir abad ke-18 mulai timbul reaksi terhadap
pemikiran rasionalisme dari zaman Pencerahan. Artinya perasaan dalam kehidupan
manusia mulai mendapat perhatian, karena keterlibatannya secara emosional
menjadi nyata dalam kesadaran akan keterkaitannya pada suatu bangsa dan
sejarahnya (Baal, 1987: 39). Manusia tidak menolak sentuhan peraasan ini tetapi
memeliharanya. Dengan demikian, mitos dan legenda suatu masyarakat mendapatkan
arti yang baru, antara lain menjadi sumber tentang bagaimana dan apa yang
dipercaya di masa lalu tersebut. Bahkan Irwan Adullah mengatakan bahwa kesenian
merupakan ruang yang dapat merekonstruksi suatu realitas dalam suatu kebudayaan
(Abdullah, kuliah Kebudayaan[3],
2010). Sehubungan dengan itu, Thomas Carlyle dalam John Man (2010: 3)
mengatakan bahwa sejarah pada dasarnya merupakan sejarah orang-orang hebat.
Sementara nyanyian dan syair menjadi ruang ingatan dan proyeksi kolektif
masyarakat tentang masa masa lalu dan masa depannya, misalnya, Kakawin Nagara
Krtagama[4],
The Secret Histroy of the Mongol[5],
Bulamalino[6]
dan Anjonga Yinda Malusa[7],
Hikayat Hang Tuah[8],
sedangkan dalam dunia Islam mengenal teks Barjanji sebagai cara untuk mengingat
sejarah kehidupan rasul.
Masyarakat Buton memiliki tradisi lisan yang menyimpan
berbagai ingatan kolektif masyarakatnya. Dalam ingatan kolektif itulah, jejak emosional
dan kesadaran masyarakat Buton dapat ditelusuri mengenai masa lalunya.
Kesadaran mengenai hubungan kekerabatannya, kepercayaannya, prinsip hidupnya,
serta berbagai emosi dan kesadarannya tentang sejarah dan peradaban bangsanya.
Beberapa kesadaran itu, tersimpan di dalam cerita rakyat, misalnya legenda betena tombula, landoke-ndoke kene lakolopua, atau yang tersimpan dalam berbagai
teks kaŠ±anti yang sampai sekarang
masih tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Buton.
Secara etimologi kata betena
I tombula berasal dari bahasa Wolio[9]
yang berarti yang lahir dari bambu. Dengan demikian, cerita rakyat Betena Tombula merupakan tradisi lisan masyarakat Buton tentang asal-usul
Ratu Wakaaka yang mengisahkan tentang kesadaran dan emosi mengenai dirinya dan jejak
kebudayaan masyarakat Tionghoa. Oleh karena itu, penelusuran jejak Tionghoa
dalam tradisi lisan Betena Tombola merupakan upaya untuk memahami kesadaran
dan emosi masyarakat Buton tentang masa lalu, serta bagaimana mereka memahami
diri dan sejarah dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat lain di dunia
termasuk dengan masyarakat Tionghoa.
Di samping Betena
Tombula, jejak kesadaran dan emosi masyarakat Buton mengenai Tionghoa itu
dapat ditelusuri lebih jauh pada beberapa simbol yang ada dalam kehidupan orang
Buton. Benda-benda artefak tersebut dapat berupa simbol Tionghoa seperti naga,
keramik, dan beberapa cerita rakyat lainnya yang memuat memori orang Buton
tentang Tionghoa. Hal ini sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang memiliki
ingatan kolektif yang tersimpan di dalam hikayat tentang negerinya, misalnya
dapat dilihat dalam buku Sejarah Melayu yang
dihimpun oleh W.G. Shellabear (1979).
Ahli lain yang pernah mencoba mengkaji sejarah dunia
Melayu di dalam karya sastra adalah Umar Junus (1984) dengan judul Sejarah Melayu Menemukan Dirinya Kembali, ini
menunjukkan bahwa cerita rakyat memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah
yang tersimpan di dalam ingatan kelektif masyarakat Melayu, Johanes Jacobus Ras (1990) yang menulis tentang
Hikayat Negeri Banjar, termasuk tulisan
Pim Schoorl mengenai sejarah masyarakat dan kebudayaan Buton. Dengan demikian,
tulisan ini merupakan kelanjutan dari berbagai usaha ahli terdahulu, terutama
dalam melihat berbagai memori masyarakat Buton tentang dirinya dan beberapa
etnis lain di dunia.
Usaha untuk mengenal atau memahami memori kolektif
orang-orang Buton tersebut diperlukan suatu pendekatan etnografi guna melihat
bagaimana masyarakat Buton memandang dunianya. Spradley (1997: xix) mengatakan
bahwa pendekatan etnografi merupakan suatu paradigma yang melihat sturuktur
sosial dan budaya masyarakat merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind anggota masyarakat tersebut) dan
tugas sang peneliti adalah mengoreknya keluar dari dalam pikiran mereka.
Dengan demikian, kajian ini dilakukan untuk memahami
kesadaran dan emosi orang Buton, tentang masa lalunya, terutama dalam hubunganya
dengan etnis-etnis lain di Nusantara seperti: etnis Jawa, Melayu, Arab, Kei,
dan Tionghoa berdasarkan cara masyarakat mereka memahaminya. Tulisan ini akan
lebih difokuskan pada memori orang Buton terhadap etnis Tionghoa yang selama ini dilupakan atau sengaja
dilupakan dalam penulisan atau pembicaraan sejarah, dan kebudayan masyarakat
Buton.
B.
Betena
Tombula, Jejak Tionghoa dalam Tradisi
Lisan Buton
Istilah betena
tombula merupakan istilah yang ditemukan dalam masyarakat Buton yang
berarti yang terlahir dari bambu. Dengan demikian, tradisi lisan Betena Tombula merupakan cerita rakyat
Buton yang mengisahkan tentang asal-usul Wakaaka[10],
ratu pertama kerajaan Buton yang terlahir dari bambu[11].
Cerita ini masih tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat Buton, walaupun
telah ditulis dalam bentuk naskah yang kemudian di dalam Katalog Naskah Buton (2001), naskah yang berisi cerita asal-asul
Wakaaka atau Betena Tombula ini
diberi judul Hikayat Negeri Buton[12]
atau banyak juga orang Buton menyebutnya Hikayat Si Panjongan.
Baik cerita yang ada di dalam naskah maupun yang ada di dalam
tradisi lisan masyarakat Buton, Ratu Wakaaka dikisahkan terlahir dari bambu tumbila[13].
Namun di dalam tradisi lisan, masyarakat Buton sampai sekarang percaya bahwa
Wakaaka merupakan putri raja China. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh La Ode
Sirajuddin Djarudju bahwa jika dilihat dari ciri-ciri fisiknya, maka secara
antropologis khususnya somatologis, orang-orang Buton yang keturunan Wakaaka itu
berasal dari ras Mongoloid[14]
dan sebagian masyarakat Buton berasal ras Papua Melanesoid. Ras-ras tersebut
memasuki wilayah Buton secara bergelombang dan setiap gelombang mempunyai jarak
waktu yang cukup panjang. Gelombang pertama diperkirakan masuk pada awal abad 1
M (Djarudju dalam Yusran, 2009: 113).
Di dalam tradisi lisan Betena Tombula atau lebih dikenal dewasa ini judul dengan nama Hikayat Negeri Buton dikisahkan bahwa
Ratu Wakaaka terlahir dari pohon bambu. Yang kemudian di arak beramai-ramai
menuju kampung dan selanjutnya dilantik menjadi ratu pertama kerajaan Buton
yang dibangun oleh miapatamiana atau
orang yang empat yaitu, si Panjongan[15],
si Malui, si Jawangkati dan si Tamanajo. Berbeda dengan yang ada di dalam
naskah Hikayat Negeri Buton, dalam
tradisi lisan, kisah betena tombula memiliki
cerita yang berbeda dengan yang ada di dalam naskah[16].
Di dalam cerita rakyat tersebut dikatakan bahwa Wa Kaakaa menikah dengan
si Batara dan beranakkan Bulawambona yang menikah dengan La Baluwu kemudian
melahirkan, seorang laki-laki Bancapatola atau Bataraguru. Bataraguru beristri
dengan Wa Eloncugi yaitu anak Dungkuncangia[17] yang berasal dari negeri
peri. Maka Bataraguru dan Wa Eloncugi pun beranak tiga orang laki-laki pertama
Rajamanguntu kedua Tuamaruju ketiga Tuarade. Itulah yang menjadi raja Buton
berikutnya. Tetapi, asal-usul tokoh Wakaaka dan Dungkuncangia tidak banyak diceritakan. Pada hal kedua
tokoh tersebut merupakan tokoh penting di dalam kesadaran dan memori orang Buton.
Masyarakat Buton mengenal dua tokoh ini sebagai tokoh yang berasal dari
keturunan Mongol dan sebagian masyarakat Buton menganggap bahwa kedua tokoh ini
sangat berperan dalam pembentukan kerajaan Buton. Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Jamal Harimudin[18] bahwa Dungkucangia adalah perwira tinggi atau Panglima
tentara kavaleri kekaisaran China berkebangsaan Mongol bernama Khau Shing Khan[19].
Sedangkan salah seorang informan dari Wakatobi mengatakan bahwa cerita itu
pernah dia dengar sewaktu kecil, tetapi ia lupa cerita selengkapnya. Dalam
tradisi lisan, masyarakat Buton masih percaya bahwa konon perahu yang
ditumpangi Dungkucangia masih dikeramatkan oleh penduduk Wabula hingga saat ini[20].
Menelusuri jejak ini, maka di sana kita
masih mengenal ritual untuk menghormati perahu Dungkuncangia (ada semacam
ritualnya) dari keturunan Dungkucangia yang berada di wilayah Wabula dan
sekitarnya. Dan secara fisik masyarakat Wabula memiliki ciri-ciri fisik yang
berbeda dengan orang Buton kebanyakan. Mereka lebih cenderung berkulit putih
dan berambut lurus (Wawancara dengan Jamal Harimuddin melalui Face Book,
tanggal 9 April 2011).
Dalam naskah Hikayat
Negeri Buton dikatakan bahwa kedatangan si Panjongan dengan berbagai
masyarakatnya, telah mendarat di kerajaan ToŠ±e-ToŠ±e[21]
yang merupakan wilayah kerajaan Dungkuncangia. Informan mencurigai bahwa
kerajaan ToŠ±e-ToŠ±e merupakan kerajaan yang dibangun oleh para panglima perang kerajaan
Mongol. Dengan demikian, sebelum terbentuknya kerajaan Buton yang kita kenal
hari ini, sudah ada beberapa kerajaan yang jauh lebih tua jika dibandingkan
dengan kerajaan Buton.
Kalau kita masuk lebih jauh, maka kita akan menemukan bahwa
dalam memori dan kesadaran orang Buton mengenai jejak masyarakat Tionghoa, Jawa
dan Melayu sebagai bagian dari masyarakat Buton hari ini. Bahkan dalam
penelitian mengenai silsilah masyarakat Wakatobi, ditemukan cerita-cerita tentang
asal-usul masyarakat Kapota berasal dari masyarakat Alor di Nusa Tenggara
Timur, keturunan Kei di Maluku Tenggara[22],
masyarakat Hitu di Ambon, Masyarakat Johor dengan adanya bukti lain yaitu
makamnya Ince Sulaiman di benteng Suo-Suo di Pulau Tomia yang kemudian
diabadikan dalam cerita rakyat Moori (Udu,
2007: 34).
Sedangkan menurut sumber lain, Darfito Pado mengatakan
bahwa ia pernah berdiskusi dengan Haliadi Saadi, dalam diskusi tersebut Haliadi
menyinggung pedang dan topi baja milik Dungkuncangia yang masih tersimpan di Keraton
Wolio (Wawancara, tanggal 9 April 2011). Bahkan Jamal Harimudin mengatakan bahwa beberapa gagasan
penting Dungkucangia dalam proses pembentukan kerajaan Buton yaitu: (1) Meletakkan
dasar benteng Wolio; (2) Membuat Istana yang disebut Malige; (3) Memilih Wolio sebagai
pusat Kerajaan Buton dan membagi wilayah Buton menjadi patalimbona atau empat kampung; (4) Memprakarsai penyatuan Kerajaan
ToŠ±e-toŠ±e dengan Kamaru, Todanga dan Batauga untuk menjadi wilayah Kerajaan
Buton. Ia bahkan menambahkan bahwa tokoh Dungkuncangia merupakan sosok yang
menjadi Founding Fahers sesungguhnya
bagi kerajaan Buton yang kita kenal dewasa ini (Chatting, tanggal 9 April 2011).
Selanjutnya, Agus Risdianto menceritakan bahwa Ratu
Wakaaka berasal dari daratan China. Ia menambahkan bahwa Kubalai Khan pernah
mengirim armada untuk menggempur Kartanegara yang pernah menghina utusan Kubalai
Khan (Meng Ki) dengan memberikan sayatan pada muka utusan itu (bdk. Muldjana,
2005: 194). Namun dalam versi lisan masyarakat Buton dikatakan pula bahwa
Tentara armada Kubilai Khan ini pernah menghina utusan Jayakatwang (pengganti
Kartanegara) dengan membawa harta rampasan dan tawanan. Diantara tawanan itu
terdapat saudara putri dari Jayakatwang sendiri yang kemudian diperistrikan
Kubalai Khan[23].
Setelah Kubalai Khan meninggal[24],
keadaan di negerinya menjadi kacau sebab banyak raja kecil yang ingin berkuasa
sendiri, karena itulah Wakaaka dengan pamannya yang berdarah campuran Nusantara
berusaha meloloskan diri kembali ke Nusantara. Ada riwayat yang mengatakan
bahwa rombongan Wakaaka lebih dahulu singgah di Sumatra, namun situasi di sana
juga kurang aman sebagai akibat dari kemunduran Sriwijaya, maka mereka
meneruskan perjalanannya ke Timur yang akhirnya sampai ke Buton kira-kira tahun
1332 M. Menurut riwayat Wakaaka bersama dengan pengawalnya yakni Dungkuncagia
beserta rombongan tiba di Wolio (Buton) dijemput oleh keempat kepala rombongan
terdahulu dan kemudian diusung di atas bambu kuning. Selanjutnya Wakaaka
diangkat sebagai Ratu pertama dikerajaan Buton (wawancara dengan Agus
Risdianto, 17 April 2011).
Wakaaka memerintah selama 18 tahun yakni sejak 1332 M
sampai dengan 1350 M. Dalam memimpin kerajaan Buton, Ratu Wakaaka didampingi
oleh suaminya seorang bangsawan putra raja Majapahit bernama Sibatara dengan
kedudukan sebagai pangeran merangkap sebagai Laksamana Laut. Wakaaka mempunyai
7 orang anak yang semuanya adalah wanita dan salah seorang anaknya yakni
Bulawambona menggantikannya sebagai Ratu kedua (wawancara dengan Agus
Risdianto, 17 April 2011).
Kesimpangsiuran cerita asal usul Wakaaka dan
Dungkuncangia di dalam masyarakat Buton, merupakan versi-versi di dalam tradisi
lisan. Namun yang jelas bahwa masyarakat Buton sampai dengan saat ini masih
memiliki kesadaran dan emosi bahwa ratu pertama mereka adalah berasal dari
bangsawan China. Serta pamannya Dungkuncangia merupakan anak dari Kubilai Khan yang
juga keturunan Jawa. Perkawinan Wakaaka dengan si Batara yang berasal dari
Majapahit melahirkan kepercayaan masyarakat Buton, bahwa Buton merupakan perpaduan
antara kerajaan besar China di Utara dan Jawa (Majapahit) di selatan garis
katulistiwa.
Pengangkatan Bulawambona sebagai ratu dan perkawinannya
dengan Sangariariana melahirkan Bataraguru yang kemudian menikahi Wa Eloncugi
anak dari Dungkuncangia. Perkawinan ini melahirkan Rajamanguntu,
Tuamaruju, Tuarade (raja Buton IV).
Dari sinilah raja-raja Buton dari keturunan Tanailandu berasal, tetapi asal-usul
Wakaaka dan Dungkuncangia selalu dilupakan tertutupi dengan pengaruh sejarah Melayu
dan Jawa, serta Islam dan Belanda di Buton.
Sebelum datang penyiar Islam dan bangsa Melayu di Buton, serta
bangs Eropa beberapa kerajaan sudah ada di daerah ini. Bahkan sejak awal yakni
sekitar tahun 1215 bangsa Buton khususnya masyarakat Wakatobi (Tomia dan
Binongko) sudah menjangkau pantai utara Australia untuk mencari mutiara, teripang
(Ligtvoet, 1878: 10; dalam Zuhdi, 2010: 46; Man, 2010b: 1;). Tentunya
kerajaan-kerajaan yang ada di Buton seperti kerajaan Lasalimu (Togo Motondu[25]),
kerajaan Kamaru dan kerajaan ToŠ±e-toŠ±e serta beberapa kerajaan di Kepulaun
Wakatobi seperti Kerajaan Tindoi[26]
adalah kerajaan yang dihuni oleh pelaut-pelaut ulung, yang menaklukan samudra
selama berabad-abad. Kesaksian Bangsa Buton tentang peperangan antara pasukan
Kubilai dengan pasukan Singosari sebagaimana dikatakan oleh John Man, bukanlah
suatu yang tidak beralasan, hal ini dapat dilihat dari memori orang Buton
tentang kedatangan orang China ke Buton, sekitar tahun tahun ekspansi Mongol ke
kepulauan Nusantara. Di samping itu, sebagai salah satu kerajaan yang harus
membayar upeti kepada Majapahit, maka bangsa Buton (Sulawesi) sudah menjadi
saksi sejarah dalam peperangan itu (Man, 2010: 1).
Naskah-naskah
berisi sejarah
terbentuknya kerajaan Buton beserta silsilah rajanya merupakan salah satu
informasi penting yang perlu direspon dan diketahui generasi dewasa ini.
Naskah-naskah itu menjelaskan bahwa jauh sebelum kerajaan Buton terbentuk, di
kepulauan ini telah terbentuk sejumlah kerajaan di antaranya Togo Motondu, Kamaru dan ToŠ±e-toŠ±e.
Menurut salah seorang pedagang asal Banjar yang pernah terdampar di Buton tahun
1267H, kerajaan di kepulauan Buton berjumlah 120 buah yaitu sama dengan jumlah
kerajaan yang tergabung dalam kerajaan Banjar (La Niampe, 2007: 2). Sehubungan dengan asal-usul Wakaaka, La Niampe
mengatakan bahwa ia adalah keturunan dari Kerajaan Majapahit. Namun di dalam Naskah
Hikayat Negeri Buton dikatakan bahwa Wakaaka berasal dari bambu atau betena
tombula atau negeri peri di kahyangan.
Konsep perkawinan Bataraguru dengan Wa Eloncugi merupakan
ruang awal penyatuan kerajaan-kerajaan kecil di Buton dalam negara Buton. Di
susul dengan perkawinan Betoambari dengan Waguntu juga merupakan ruang
penyatuan kerajaan Kamaru dengan kerajaan Buton (Catatan dari Salim Ode). Jika
kita melihat bagaimana strategi Jengis Khan dalam melakukan penyatuan
bangsa-bangsa di daratan Asia, strategi perkawinan ini[27]
merupakan strategi pembangunan kerajaan Buton yang dilakukan oleh pasukan Mongol
yang bernama Dungkuncangia dan Wakaaka yang merupakan kemenakannya sendiri[28].
Tentunya memori orang Buton tersebut di atas harus ditindaklanjuti dengan
penelitian sejarah yang lebih teliti di masa yang akan datang.
Di sisi yang lain, sisa-sisa peninggalan dari
Dungkuncangia adalah adanya ilmu bela diri Balaba yang memiliki yang falsafah
mirip dengan beladiri Tai Chi Chuan dari daratan China. Kedua beladiri tersebut
menggunakan kekuatan lawan untuk melumpuhkan musuh. Menggunakan kelembutan
dalam kekuatan, dan kekuatan dalam kelembutan[29].
Falsafah ini merupakan ruang kesadaran dan emosi orang Buton yang merupakan
bukti tentang adanya jejak Tionghoa terutama keturunan Dungkuncangia dan
Wakaaka. Dalam sistem politik Buton, keturunan bangsawan ini dikenal dengan
keturunan Tanailandu[30].
Yaitu bangsawan Buton yang paling banyak memegang jabatan sultan dibadingkan
dengan dua kamboru-mboru lainnya
yaitu Tapi-tapi dan Kumbewaha.
C.
Si Sakti dari Binongko, dan
Istri Kapten Kapal China
Di samping cerita tentang betena tombula dan kisah panglima perang China Dungkuncangia,
masyarakat Binongko juga memiliki memori yang mengisahkan tentang hubungan
asal-usul masyarakat Binongko dalam hubungannya dengan China. Di dalam tradisi
lisan masyarakat Binongko, diceritakan bahwa suatu waktu kapal China lewat di
perantaraan pulau Tomia dengan pulau Binongko. Di pantai ada seorang laki-laki
yang sedang membuang jala, dan melihat sebuah kapal, maka berkatalah lelaki itu
bahwa kapal itu tidak akan mampu meninggalkan pulau Binongko, maka berhari-hari
kapal itu berlayar, maka tidak pernah juga meninggalkan pulau Binongko. Maka
kapten kapal itu, memerintahkan anak buahnya untuk tunun ke darat, dan
bertemulah utusan kapten kapal itu dengan lelaki sakti di daerah benteng
palahidu. Dan berceritalah anak buah kapten kapal China itu bahwa mereka tidak
dapat mampu melewati pulau ini. Maka berkatalah orang sakti bahwa itu bisa
melewati selat ini kalau saya memandikan kapal anda. Maka pergilah ke kapal
untuk menyampaikan utusan itu pada kapten kapal China, maka kapten kapal itu pergi
kembali ke daratan dan minta tolonglah anak buah kapal itu kepada orang sakti
itu. Maka berangkatlah mereka ke kapal. Setiba di kapal China orang Binongko
itu memandikan kapal China itu. Maka berhasillah kapal itu melewati pasi atau karang Binongko, dan atas rasa
terima kasihnya, maka berkatalah bahwa silahkan Anda memilih apa saja yang ada
di kapal ini sebagai oleh-oleh, maka berkatalah orang sakti itu bahwa saya mau
memilih sebutir telur, dan ternyata ia tuju adalah istri dari kapten kapal itu.
Maka dinikahkanlah istri kapten kapal China itu dengan orang sakti dari
Binongko dan kemudian melahirkan etnis dengan campuran wajah China dan Binongko
yang mendiami daerah kekuasaan Kapitan Waloindi[31]
yaitu Binongko bagian selatan yang meliputi Wali, Haka, Waloindi sekarang
(Wawancara, dengan La Karim, 23 Januari 2007).
Dalam versi yang lain, mitos yang berkembang di dalam
masyarakat Binongko, kedatangan kapal China ini dihubungkan dengan orang sakti
dari Benteng Watiwa. Dikatakan bahwa
dari benteng ini pernah dilihat sebuah kapal China yang lewat, tetapi akhirnya
dikerjain oleh seorang pelaut yang berasal dari benteng Fatiwa. Dalam penuturan
lisan masyarakat Binongko, kapal China tersebut tidak dapat meninggalkan selat
Tomia walaupun kapal melaju dengan cepat selama beberapa hari. Kemudian orang
itu dipanggil ke kapal untuk membacakan mantra agar kapal itu dapat bergeser
dari selat Tomia. Tetapi orang tersebut memberikan syarat bahwa ia harus
memilih sesuka hatinya di atas kapal tersebut dan yang dipilihnya adalah istri
kapten (nakhoda kapal) yang cantik jelita dengan berdarah China.
Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa kedatangan pasukan
Mongol melalui Sulawesi Utara[32]
terus ke selatan (Buton) adalah usaha Mongol untuk menghambat laju perluasan
pasukan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada. Pengetahuan bangsa Mongol pada kelemahan
pembesar-pembesar Majapahit pada perempuan cantik. Memungkinkan mereka (Mongol)
untuk melakukan strategi perempuan cantik dalam membendung laju ekspansi
Majapahit. Jika dikaitkan dengan cerita-cerita masyarakat Sulawesi Utara yang
mengaku bahwa masyarakat Minahasa adalah pasukan Kubilai Khan, maka Wakaaka
adalah perempuan cantik yang dikirim ke tanah Buton sebagai umpan pembesar
Majapahit (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136). Ia menambahkan bahwa tujuan
pengiriman Wakaaka adalah untuk menangkap Gajah Mada. Maka Wakaaka datang di
Buton dengan dikawal oleh pasukan yang kuat yaitu Dungkuncangia raja Tobe-Tobe.
Wakaaka memasuki Wolio (bukit Lelemangura) sekitar tahun 1302 setelah mendengar
berita bahwa Gajah Mada masuk dan menuju Wolio melalui Masiri, Bola dan
kira-kira di sekitar desa Majapahit membelok dan menuju ke arah timur melalui
desa Waboroboro dan Tembus di Surawolio (Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
Selanjutnya, Sirajuddin Djarudju mengatakan bahwa pada
(sekitar tahun 70-an) ada berita bahwa di di wilayah Kacamatan Batauga (di
sekitar desa Majapahit[33])
ditemukan kuburan Gajah Mada. Sehubungan dengan ini, Siradjuddin Djarudju
mengatakan bahwa disebabkan oleh mungkin kecapean dan usia yang lanjut dll,
Gajah Mada meninggal di kecamatan Batauga kampung Majapahit, sehingga ia
mengatakan bahwa Gajah Mada meninggal di Buton itu mengandung kebenaran.
Dengan demikian, berdasarkan tradisi-tradisi lisan
tersebut, Wakaaka adalah seorang gadis cantik yang berasal dari pasukan Kubilai
yang dikirim untuk menghambat kekuasaan Gajah Mada, yang mendarat di Buton
melalui bagian timur yaitu desa Wabula sekarang. Sehingga dapat diketahui bahwa
masyarakat Buton memiliki kesadaran dan emosi bahwa nenek moyang (Wakaaka Raja
Buton I dan Dungkincangia atau Dungkung Cang Yang) adalah pasukan Kubilai Khan
yang datang melawan laju pergerakan ekspansi Majapahit di timur Nusantara.
D.
Beberapa Simbol, sebagai
Ruang Pertautan Budaya Buton – Tionghoa
Sebagai blue print yang menjadi kompas dalam kehidupan manusia, kebudayaan
merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara
menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis (Greertz
dalam Abdullah, 2009: 1). Dengan demikian, pembicaraan mengenai simbol sebagai
ruang pertemuan antara budaya Buton – Tionghoa merupakan ruang pemaknaan yang
memungkinkan ruang interprestasi yang dapat menuntun kedua masyarakat ini untuk
memahami dan bekerja sama dalam membangun dirinya saat ini. Misalnya, sejarah
asal-usulnya, ekonominya, politiknya serta berbagai model kepemimpinannya,
sebagaimana dikatakan oleh John Man, bahwa Jenghis Khan memiliki karakter kepemimpinan
yang khas, yang pernah ada dalam sejarah manusia dan gayanya akan tetap relevan
dengan gaya kepemimpinan dewasa ini (Man, 2010b: vii).
Oleh karena itu, penelusuran mengenai simbol-simbol
yang digunakan oleh masyarakat Buton dan Tionghoa, akan membawa kita pada ruang
pertemuan di dalam memori kolektif kebudayaan bangsa Buton, khususnya mengenai
etnis Tionghoa di daratan China. Simbol-simbol tersebut, tentunya tidak hadir
dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh realitas sejarah di zamannya, atau
dapat juga bahwa semua itu adalah ruang seni dan tradisi masyarakat Buton yang
melampaui realitas sejarah zamannya. Sehubungan dengan itu, Irwan Abdullah[34]
mengatakan bahwa kesenian jauh melampaui kesadaran kita (termasuk di dalamnya
sastra (cerita rakyat) dan kesenian seperti kaŠ±anti)
merupakan ruang kreativitas masyarakat yang dapat merekonstruksi suatu realitas
sosial budaya masyarakatnya.
Di dalam masyarakat Buton, ditemukan
beberapa penggunaan simbol yang memiliki keterkaitan dengan etnis Tionghoa.
Beberapa simbol tersebut, yaitu simbol naga, nenas, bambu dan dunia kahyangan
(negeri peri). Dalam masyarakat Buton, simbol naga dipakai sebagai bumbungan
rumah tradisional mereka. Ini tentunya berhubungan dengan paham mereka bahwa
naga itu adalah hewan yang hidup di langit atau kahyangan. Dalam teks kaŠ±anti dikatakan bahwa, /hempitu nobali na naga/ “tujuh kali naga
berputar”, /maka nolara na dunia/
“baru kita dapat melihat dunia”. Bandingkan dengan konsep Raja langit yang
dikembangkan oleh Kubilai Khan, ketika ia menguasai daratan China. Dengan
demikian, simbol naga di dalam masyarakat Buton memiliki hubungan mitologis
dengan konsep Kubilai Khan di daratan China.
Namun kalau kita masuk lebih jauh ke
dalam sejarah kebudayaan manusia, maka kita akan menemukan kebudayaan Babylonia
yang memiliki pemahaman yang luas tentang ruang angkasa (Baal, 1987: 167).
Sementara dalam sejarah pelayaran orang Buton, mereka menggunakan bintang
sebagai kompas mereka dalam mengarungi lautan Nusantara, dan perputaran naga di
langit sebagai penunjuk waktu mereka di waktu malam. Mereka meyakini bahwa naga
atau cahaya putih yang memanjang dari selatan ke utara di waktu malam merupakan
naga yang menjaga malam, dan tujuh kali berputar baru waktu subuh tiba. Motif
cerita yang berhubungan dengan langit juga dapat ditemukan pada mitos
masyarakat Gorontalo, dimana dikisahkan bahwa raja-raja mereka berasal dari
langit dan memiliki sifat suka berkelana (Tuloli, 1991: 4).
Simbol bambu dalam tradisi betena tombula tentunya berhubungan
dengan sebutan China sebagai negeri tirai bambu. Tetapi dalam sejarah
kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, beberapa kerajaan di Nusantara yang memiliki
cerita yang mirip dengan Buton adalah cerita Saweriding di Sulawesi Selatan, Hikayat Negeri Banjar[35],
dan Hikayat Negeri Pasai. Sedangkan menurut Thompson, (dalam, Mattulada, 1990:
39; 1966, I : 205) mengatakan bahwa motif cerita yang berasal dari bambu ini
juga di temukan di sekitar Irian, Kei, Indonesia bagian Timur, Batak Toba, Minahasa
serta beberapa bangsa di dunia seperti India, Australia Utara, pada orang
Eskimo di selat Bering, orang Carib, orang Indian Amerika Utara dan Selatan dan
orang Afrika. Tentunya, perlu dipahami semangat zaman pada waktu itu.
Pertanyaan yang paling penting adalah, pada zaman itu (sekitar tahun 1300)
seberapa besar pengaruh kerajaan Mongol di dunia? Sehingga mampu mempengaruhi
pola pikir beberapa kerajaan di Nusantara. Untuk menjawab pertanyaan ini, John
Man mengatakan bahwa kekuasaan Kubilai Khan adalah lebih dari seperlima wilayah
dunia yang hanya dilakukan dalam tiga generasi (Man, 2010b: 2), yaitu dari
Jengis Khan sampai cucunya Kubilai Khan.
Di samping itu, masyarakat Buton
sampai saat ini masih dipercaya bahwa topi dan pedang Dungkuncangia tersimpan
di kraton Buton. Sedangkan di dalam masyarakat Binongko – Wakatobi masih
percaya bahwa keterampilan mereka sebagai pandai besi diyakini merupakan jasa
bangsa China yang mengajari mereka menjadi tukang besi. Di sisi yang lain, La
Ode Abu Bakar (dalam Zuhdi 2010: 61-62) mengatakan
bahwa sebutan nama Kepulauan Tukang Besi merupakan sebutan dari seorang tentara
Hitu Maluku yang ditawan oleh kesultanan Buton di kepulauan tukang besi yang
bernama Toluka besi bersama kira-kira tiga ratus anak buahnya.
Beberapa simbol seperti naga yang ada
pada masyarakat Buton baik yang ada di bumbungan rumah tradisional mereka,
maupun yang dibangun belakangan di pantai Kamali merupakan bukti betapa kuatnya
pengaruh Tionghoa di dalam kesadaran dan emosi masyarakat Buton. Dan ini
merupakan jejak etnis Tionghoa yang masih tetap ada dalam kesadaran masyarakat
Buton, karena di samping dalam bentuk
artefak seperti itu, juga tumbuh berbagai cerita tentang hubungan dengan
bumbungan tersebut dalam masyarakat Buton.
Berbagai bentuk cerita dan simbol di
atas, di samping berhubungan dengan sejarah, tetapi yang lebih penting adalah
pembentukan citra mengenai masa lalu bangsa Buton yang berasal dari berbagai etnis
bangsa-bangsa di dunia. Ini kemudian melahirkan hukum yang kuat sebagai
pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kemampuan sara dalam menjalankan hukum secara
konsekuen, dimana semua manusia Buton yang multietnis tersebut sama dimuka hukum,
termasuk sultan[36].
Oleh karena itu, pembicaraan mengenai cerita rakyat yang mengisahkan tentang
asal-usul masyarakat dalam suatu kebudayaan (Buton), bukannya untuk membongkar
dan menghancurkan tatanan sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut, tetapi
untuk menyadari dan memahami, mengapa kerajaan Buton harus menegakkan hukum? Hal
ini disebabkan karena mereka berasal dari berbagai etnis yang berbeda di
Nusantara. Di sinilah, sebenarnya upaya yang harus diperjuangan dalam
memperbaiki masalah-malasah kebangsaan dewasa ini. Jika hukum tidak ditegakkan,
maka berbagai masalah sosial akan terjadi dalam berbagai bentuk perwujudannya
termasuk dalam melawan negara Indonesia saat ini.
E.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
masyarakat Buton memiliki kesadaran bahwa leluhur mereka (Wakaaka dan
Dungkuncagia) merupakan sisa-sisa pasukan Kubilai Khan yang datang untuk
menghambat laju perluasan kekuasaan Majapahit di bagian Timur pulau Jawa.
Dengan demikian, terdapat jejak masyarakat Tionghoa dalam memori kolektif
masyarakat Buton yang tersimpan dalam tradisi lisan mereka. Ruang memori ini,
tentu sangat penting untuk memahami beberapa kerja sama yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bau-Bau dengan Korea beberapa tahun yang lalu dalam penulisan
bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Di samping itu, pelaksanaan survei pengusaha
China di Buton untuk pembangunan pabrik tepung Tapioka dari singkong merupakan
ruang-ruang kerja sama sebagai negeri serumpun. Di sisi yang lain, kerja sama
penelitian naskah-naskah Buton dengan Malaysia beberapa tahun terakhir,
merupakan ruang untuk menemukan jejak Melayu di Buton. Hanya saja prinsip kerja
sama harus didudukkan dalam konteks yang adil, sebagai ruang kesadaran bangsa
Buton sebagai negara bangsa yang multi etnis.
Tentunya, dengan membaca kesadaran masyarakat Buton
tentang masa lalunya, dan ditunjang oleh letak Buton yang strategis serta
manusianya yang heterogen, maka Buton merupakan tempat strategis dalam
pengembangan usaha dan kerja sama ekonomi dan politik di masa depan. Jejak
Tionghoa, Melayu, Jawa, Kei, Maluku, Bugis Makassar dan berbagai etnis yang
berasal dari berbagai bangsa yang ada di Buton, merupakan modal sosial bangsa
Buton dan berbagai etnis tersebut dalam melakukan kerja sama di masa depan,
terutama dalam pembangunan Sumber Daya Manusia dan Ekonomi, sehingga kembali
terjalin hubungan kekeluargaan di masa depan sebagaimana di masa lalu. Perlu
dicatat bahwa keragaman etnis hanya dapat berkembang di dalam tatanan hukum
yang adil yang disepakati oleh seluruh komponen keragaman tersebut.
Baca juga:
WANIANSE Bagian V
Baca juga:
WANIANSE Bagian V
F.
Daftar Pustaka
Achadiati.
2001. Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta:
Manassa-Yayasan Obor Indonesia.
Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-Pola
Kebudayaan Jepang (diterjemahkan oleh Pamudji). Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
J. Van Baal. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga Dekade 1970) diterjemahkan oleh Ipong Purnama Sidhi.
Jakarta: PT. Gramedia.
Junus, Umar. 1984. Sejarah Melayu Menemukan Dirinya Kembali. Petaling
Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD.
La Niampe. 2007. Silsilah Raja-Raja Buton. Kendari: Belum
diterbitkan.
Man, John. 2010a. Kubilai Khan: Legenda Sang Penguasa Terbesar
dalam Sejarah. Jakarta: Penerbit Pustaka Alvabet
Man, John. 2010b. The Leadership Secret of Genghis Khan: 21
Pelajaran Kepemempinan dari Sang Penakluk Paling Gemilang dalam Sejarah. Jakarta:
Azakia Publisher.
Mattulada, dkk. 1990. Sawerigading: Folktale Sulawesi. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nabbai, Abas. Tidak
bertahun. Mutiara Buton yang Terpendam. Bau-Bau:
Sebuah catatan dari masyarakat Buton
belum diterbitkan.
Ode, Salim. 2011. Sebuah Catatan Mengenai Kebudayaan Buton. Wangi-Wangi:
Belum diterbitkan.
Ras, Johanes Jacobus. 1990.
Hikayat Banjar (diterjemahkan Oles Siti
Hawa Saleh). Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan
Malaysia.
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagara
Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Shellabear, W.G.. 1979. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit
Fajar Bakti SDN. BHD.
Spradley,
James P. 1997. Metode Etnografi (diterj. Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Sutrisno, Sulastrin. 1983. Hikayat Hang Tuah Struktur dan Fungsi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tuloli, Nani.
1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra
Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Udu, Sumiman. dkk., 2008. Studi Teknis Benteng Tindoi. Wangi-Wangi:
Laporan Penelitian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi.
Udu, Sumiman, dkk. 2007. Benda-Benda Cagar Budaya Kabupaten Wakatobi.
Wangi-Wangi: Laporan Penelitian Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Wakatobi.
Yunus, Rahim. 1995. Posisi Tasauw dalam Sistem Kekuasaan di
Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: Indonesia-Netherlands
Cooperation In Islamic Studies (INIS).
Yusran, Darmawan. 2009.
“Naskah dan Sejarah Kerajaan Buton serta Silsilah Raja-Raja Buton dan Muna”
dalam Naskah Buton, Naskah Dunia
(Prosiding Simposium Internasional IX pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau. Kota
Bau-Bau: Respect.
Zahari, A. M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton)
Jilid II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Zahari, A.M., 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) jilid
III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang Terabaikan: Labu Wana
Labu Rope. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada dan Yayasan Kebudayaan
Masyarakat Buton.
[1] Disampaikan dalam seminar Internasional Melayu Serumun yang
dilaksanakan Oleh Universitas Hasanuddin Makassar bekerja sama dengan Universitas
Kebangsan Malaysia tanggal 8-9 Juni 2011, Unhas.
[2] Dosen FKIP Universitas Haluoleo, dan Direktur Eksekutif Pusat Studi
Wakatobi Yayasan Udu Kolaborasi Global
[3] Kuliah kebudayaan yang di CDkan, sebagai
rangkaian kuliah kebudayaan yang dibawakan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah.
[4] Merupakan nyanyian masyarat Jawa yang
mengenang perjalanan kehidupan Patih Gajah Mada (Riana, 2010).
[5] Syair kepahlawanan yang menjadi fondasi
bangsa Mongolia, ini juga menjelaskan tentang perjalanan seorang Jengis Khan
(Man, 2010: 5).
[6] Syair yang pada akhirnya menjelaskan
tentang kenangan, impian dan proyeksi Muhamad Idrus Kaimuddin tentang masa lalu
dan masa depan masyarakat Buton, Sultan Buton 29 (Zahari, 1977: 28).
[7] Berisi tentang nasihat Syeh Haji Abdul
Gani, kepada dirinya, pemerintah, guru dan masyarakat Buton dan dunia tentang
tata cara dan pegangan hidup(Naskah
Anjonga Yinda Malusa).
[8] Merupakan Hikayat Melayu yang memuat
tentang pandangan dunia Melayu, yang menurut Nesther Hikayat Hang Tuah
merupakan roman yang amat penting untuk mengetahui tatacara hidup Melayu
beberapa abad yang lalu (Nestcher dalam
Sutrisno, 1983: 22). Dan sutrisno memandang bahwa pandangan Nestcher merupakan
pandangan yang tepat untuk hikayat Hang Tuah.
[9] Sedangkan nama Wolio sendiri memiliki arti yang berbeda, sebagaian mengacu pada
kata welia atau menebas, dan ada juga
yang mengacu pada kata “wo” artinya
saya dalam bahasa China, dan “liong”
yang artinya di sini. Yang kemudian berubah pelafalannya menjadi “wolio” (Nabbai, ? : 18).
[10] Dalam tradisi lisan Buton, mereka
mengatakan bahwa Wakakaa berasal dari negeri peri yang tidak diketahui
asal-usulnya, sama dengan Dungkuncangia yang merupakan raja ToŠ±e-toŠ±e yang kemudian bergabung dengan
Wolio. Dungkuncangia merupakan ayah Waeloncugi yang merupakan istri dari
Sibatara cucu Wakakaa. Namun beberapa sumber yang dikumpulkan oleh (Nabbai,
39-39) mengatakan bahwa dalam penulisan sejarah Buton terdapat beberapa
perbedaan soal keberadaan Wakaaka, yaitu (1) Wakaaka itu anak raja Jayakatwang
yang sudah dewasa yang sempat dibawa lari oleh Cho Cha Ching atau Kao Shing
atau Dungkucangia untuk dipersembahkan kepada Kubulai Khan dalam buku Wolio Morikana oleh La ode Madu); (2) Wakaaka,
dari negeri Iraq yang kawin dengan raja Sang Hai dari kerajaan Kubilai Khan.
Nama Wakaaka setelah dewasa di Sanghai disebut Sri Malwi Mahrama Dewa (dalam
buku Riwayat Nenek Moyang Kita, oleh La Ode Aumane); (3) Wakaaka berasal dari
Turki yang pergi ke Pasai bersama Dungkuncangia (sumber lain, tidak disebutkan
oleh Abas Nabbai); (4) Wakaaka berasal dari negeri Yastrib atau Madinah, ibunya
sepupu satu kali dengan Rasulullah SAW dari Bani Hasyim bernama asli
Musarafatul Izzati Al Fakhiri (dalam buku Sejarah Negeri Buton karya La Ode
Ircham); (5) Wakaaka ditemukan oleh Sangia Langkuru dalam bulu gading dan
disebut putri kahyangan atau putri peri (Zahari, 1977).
[11] Beberapa kerajaan di Nusantara memiliki
cerita yang sama bahwa raja mereka yang pertama adalah terlahir dari bambu, misalnya
yang terdapat di dalam Hikayat Negeri Pasai (Shallebear, 1979). Ini dapat
dipahami sebagai semangat zamannya, dimana kebudayaan masyarakat saat itu
menemukan sesuatu yang besar di luar dirinya. Dan aspek yang berpengaruh di
luar diri manusia tersebut adalah pohon bambu, atau ini mungkin memiliki
hubungan dengan kebesaran China di masa lalu.
[12] Taalami mengatakan bahwa pemberian nama Hikayat Negeri Buton diambil dari salah
satu kalimat yang ada di dalam teks Hikayat
Negeri Buton (Akhadiati, 2001) dan (Wawancara, dengan La Ode Taalami
tanggal 9 April 2011, pukul 09:10).
[13] Bambu
tumbila, merupakan jenis bambu yang besar tetapi tipis.
[14] Dalam kehidupan masyarakat Buton dewasa
ini, etnis Buton yang memiliki wajah dan kulit sebagaimana dikatakan oleh
Siradjudin Djarudju di atas, masih ditemukan pada etnis Wabula di Pasar Wajo
atau Daoa Wajo.
[15] Si Panjongan adalah kepala rombongan
masyarakat Buton yang berasal dari Johor bersama anggota keluarga dan
handitolannya mereka mendarat di Buton dan sudah disambut oleh masyarakat di
beberapa kerajaan yang telah ada sebelum kerajaan Buton.
[16] Ini disebabkan oleh memori si pencerita,
atau bisa jadi karena di dalam tradisi lisan, ruang komposisi dapat saja di
pengaruhi oleh konteks penceritaan, sehingga variasi cerita betena tombula lebih kaya di dalam
tradisi lisan.
[17] Tokoh Dungkucangia, menurut cerita
orang-orang tua Buton berasal dari China, yaitu sama dengan asal-usul Wakaakaa
yang terlahir dari dunia peri yang menjelma di dalam pohon bambu (Naskah
silsilah Buton dengan nomor di KTLV 178/Jawi/19/43 R. 3.25).
[18] Diposting tanggal 9 April 2011, pada blog
Buton Raya, hal ini dibenarkan juga oleh Agus Risdianto yang mengatakan bahwa
Dungnchangia adalah panglima perang bangsa Mongol.
[19] Sehubungan dengan nama ini, (Nabbai hal.
22) mengatakan bahwa Dungkuncangia merupakan satu satu dari tiga jenderal yang
diutus oleh Kubilai Khan, yaitu Sihpi, Ikamase, Kau Hsing (dalam sejarah
Buton ditulis Kao Cing atau Khun Khan
Ching) atau Dungku Cangia atau dalam juga di tulis dengan nama Dung Kung Sang
Hiang artinya panglima perang.
[20] Nabbai, (hal, 26) kemudian
menjelaskan bahwa Dungkuncangia berlayar ke timur mengikuti angin barat dengan
perahunya bersama pasukannya laki dan perempuan dan mereka mendarat di Buton
selatan yang sekarang disebut Wabula. Dalam pelayaran itu, mereka membawa
bendera ula-ula atau tombi pagi yang kemudian menjadi bendera
kebangsaan Buton sampai sekarang.
[21] Di dapatkan
dari cacatan Salim Ode, S.Sos, yang berisi tentang sejarah Buton, yang konon
kabarnya di tulisnya dari apa yang didengarnya sejak kecil.
[22] Dalam cerita rakyat Wa Surubaende, dikatakan bahwa masyarakat Wangi-Wangi berasal dari
masyarakat Kei di Maluku Selatan (Wawancara dengan Wadamusa, 2007). Dan dalam
Masyarakat Key, juga mengakui bahwa mereka bersaudara dengan masyarakat Buton,
hal ini sebagaimana dikatakan oleh Mariana (Wawancara, tanggl 11 April 2011)
bahkan Imran mengatakan bahwa ketika mengajar di Werinama, seorang dokter dari
Kei memberikan pelayanan yang khusus untuk pasien yang berasal dari Buton.
[23] Tentunya, ini sangat bertentangan dengan
sejarah Majapahit yang melakukan pembunuhan terhadap tentara Tar-Tar pada acara
perjamuan penerimaan hadiah berupa putri Tumapel tersebut (Muljana, 2005: 200).
Namun, jika melihat kesadaran dan memori orang Buton, maka jelaslah tergambar
bagaimana mereka memiliki pandangan dunia bahwa ada hubungan kekerabatan yang
erat antara Buton dengan etnis Tionghoa.
[24] Dalam buku John Man
mengenai Kubilai Khan, tidak menguaraikan peristiwa ini, namun melukiskan
kekacauan diberbagai negeri sebagai akibat melemahnya dan meninggalnya Kubilai
Khan.
[25] Togo
Motondu merupakan salah satu kerajaan yang wilayahnya sekarang meliputi
daerah Lasalimu dan Pasar Wajo sekarang. Dalam tradisi lisan Togo Motondu dijelaskan bahwa negeri itu
dilanda oleh air bah yang besar. Ini merupakan ingatan kolektif masyarakat
Buton tentang patahan lempeng bumi yang pernah menghancurkan satu kerajaan.
[26] Kerajaan Tindoi merupakan kerajaan yang
paling tua di Wakatobi jika dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa keramik yang ada, bahwa di Benteng Tindoi, belum
ditemukan keramik, sementara sisa-sisa kehidupan manusia masih berupa kulit
kerang dan gerabah, jika dibandingkan dengan beberapa benteng yang lain di
Wakatobi sudah ditemukan beberapa keramik (Udu, dkk. 2008).
[27] Perkawinan Batara guru
dengan Wa Eloncugi
[28] Asal-usul kedua Wakaaka dan Dungkuncangia
di dalam tradisi lisan maupun naskah Buton dikenal berasal dari negeri peri
atau kahyangan, ini dapat dihubungkan dengan kerajaan Kubilai yang mengangkat
dirinya sebagai putra langit dan mengambil nama Yuan untuk nama dinastinya
(Bdk. dengan Muljana, 2005: 153).
[29] Untuk kepentingan menghidupkan kembali memori
mereka tentang budaya Buton masa lalu, generasi Buton yang bergabung dalam dunia
maya Grop Buton Raya membicarakan konsep Tarian
Balaba dan Syair kaŠ±anti sebagai ruang rekulturasi budaya Buton,
dimana Tarian Balaba sebagai ruang melatih fisik anak-ana Buton dan syair kaŠ±anti sebagai ruang konstruksi pikiran
dan jiwa anak-anak Buton, seperti halnya dalam tradisi Jepang yang menggabungkan
semangat pedang samurai dan bunga seruni
sebagai energy dalam pembangunan bangsanya.
[30] Dalam Kesultanan Buton mengenal tiga
bangsawan Buton yang dikenal dengan konsep kamboru-mboru
tolu palena yang terdiri dari Tapi-Tapi, Tanailandu dan Kumbewaha. Konsep kamboru-mboru tolu palena menurut saya
merupakan tiga golongan bangsawan yang cenderung bekerja sebagai partai politik
saat ini yang bertugas untuk mengusung calon sultan dari kaumnya. Dari 31 Sultan
yang jelas keberadaannya dalam kamboru-mboru
tolu palena maka Tanailandu mempunyai 14 orang Sultan, Kumbewaha 10 Sultan,
3 orang Sultan dari Tapi-Tapi (Zuhdi, 2010: 333-334).
[31] Kapitan Waloindi merupakan salah seorang
tokoh yang berkuasa di Binongko dan melakukan peperangan terhadap Wolio. Konon
kabarnya, Waloindi merupakan turunan dari orang sakti itu, dan kemudian
diyakini oleh orang Binongko sebagai tokoh sejarah nasional yang dikenal
sebagai Patimura di Maluku.
[32] Dalam tradisi lisan masyarakat Minahasa,
nenek moyang orang Minahasa adalah Toar Lumimuut juga lahir di dalam bambu.
Namun dalam tradisi yang lain, masyarakat Minahasa juga mengatakan bahwa mereka
juga adalah turunan Marinir Kubilai Khan (Djarudju dalam Yusran, 2005: 136).
[33] Tahun 2004 yang lalu bersama rombongan,
saya menuju kuburan Gajah Mada dengan dituntun oleh masyarakat Lokal dan
kuburan itu berada di tengah hutan yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan
kaki. Sirajuddin Djarudju menambahkan bahwa di dalam buku IPS Sejarah Penlok
P3G di Pandaan Jawa Timur tahun 1901, ada yang pernah mengatakan bahwa Gajah
Mada meninggalkan tiga amanah di tiga tempat yaitu Surakarta, Surabaya, dan
satunya berada di luar pulau Jawa yang hingga sekarang belum diketahui, maka
menurut Sirajuddin, bahwa itu adalah Surawolio, “sura” artinya “amanah”
(Djarudju dalam Yusran, 2009: 137).
[34] Materi kuliah Umum
Kebudayaan yang berhasil di CDkan. Pada bagian ketiga dengan judul “Konstruksi Budaya atas Realitas”
mengatakan bahwa kesenian merupakan ruang konstruksi budaya dalam suatu
masyarakat.
[35] Dalam Hikayat Negeri
Banjar, Raja Iskandar menikah dengan putri dari Kahyangan yang bernama Dewi
Ratna Kusuma Puteri Batara Bisnu (Ras, 1990: 23).
[36] Sultan La Cila atau Oputa Igogoli merupakan
salah satu contoh penegakan hukum yang pernah terjadi di Buton. Karena Sultan
terbukti memngganggu istri pejabat kerajaan, dan di dalam riwayat yang lain
dikatakan bahwa Mardan Ali di hukum karena tidak mau menghukum orang-orang
Buton yang pernah membunuh Belanda dari Sultan Ternate (Mandarsyah), tetapi
Mardan Ali tetap bersikukuh untuk tidak melakukan hukuman (Yunus, 1995: 40),
maka akhirnya ia jatuhi hukuman mati tanpa memandang bulu (Zahari, 1977: 30).
Untuk mengabadikan penegakan hukum tersebut, kemudian Sultan La Cila disebut
dengan Oupta I gogoli.
Bacaan Terkait
Relasi Gender dalam Masyarakat dan Pembangunan Wakatobi