Selasa, 05 Maret 2013

Rangkaian Kritik terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 2)


Oleh:

Rianne Subijanto, Kandidat Doktor di Bidang Kajian Media dan Komunikasi di University of Colorado Boulder.

Pada bagian pertama tulisan ini, sudah dibahas perkembangan cultural studies sebagai salah satu pendekatan dalam kajian budaya yang berangkat dari kritik terhadap dikotomi superstruktur dan basis dalam sebuah aliran dalam Marxisme. Pendekatan lain dalam kajian budaya yang juga berangkat dari permasalahan yang sama adalah political economy. Namun, tidak seperti cultural studies yang lahir di Inggris, kajian political economy terhadap budaya pertama kali berkembang di benua Amerika. Basisnya pun tidak sama. Cultural studies lekat dengan aktivitas politik para pendirinya dalam gerakan kiri, terutama Workers Educational Association (WEA); sedangkan political economy dimulai sebagai kritik akademik terhadap sebuah pendekatanpenelitian. Political economy berkembang di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian, terutama tumbuh subur dalam bidang komunikasi dan kajian media. Sementara di dalam bidang cultural studies atau bidang-bidang sejenis, seperti kajian ras, agama, dan gender, penerimaannya cenderung minim, walau observasi ini tentu tidak bisa digeneralisasi.

Sebenarnya hubungan political economy dan cultural studies sangat dekat, bahkan mereka bisa disebut sebagai pasangan intim. Namun, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya, hubungan mereka tidak begitu akur dan sering berakhir pada perceraian.

Sebagai catatan, sama seperti penggunaan istilah “cultural studies” dalam tulisan sebelumnya, “political economy” digunakan untuk merujuk pada sebuah tradisi formal dalam kajian budaya. Ini untuk membedakan pemaknaan tersebut dengan “ekonomi politik” sebagai kajian dalam ilmu sosial secara umum.
T
ulisan ini dimulai dengan penjelasan tentang lahirnya pendekatan political economy budaya dan kontribusinya dalam kajian budaya. Kemudian, akan dibahas kritik terhadap klaim-klaim kritisnya yang datang baik dari dalam tradisi political economy itu sendiri maupun dari tradisi cultural studies. Dalam rangka merayakan Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret, tulisan ditutup dengan sedikit pembahasan tentang analisis ekonomi politik dalam kajian perempuan.
Mart-Kakok,-Judit's-Cat-(2010)

Lahirnya Tradisi Political Economy dalam Kajian Budaya

Dallas Smythe, profesor di bidang komunikasi asal Kanada, menjabarkan fondasi pendekatan political economy budaya dalam artikelnya “On the Audience Commodity and Its Work”.[1] Pendapat Smythe tentang dikotomi basis dan superstruktur adalah “bahwa dikotomi yang jelas antara basis dan superstruktur tidak lagi mungkin dalam kapitalisme monopoli, dengan Industri Kesadaran membeli penonton yang pada hakikatnya mencakup seluruh populasi, untuk membantunya (industri tersebut—PEN) dalam memenuhi tuntutan komoditasnya”.[2]

Smythe berpendapat bahwa teori Marxis pada awalnya berkembang berdasarkan analisis kapitalisme kompetitif abad ke-19 di Eropa, yang berbeda dengan kapitalisme monopoli. Pada saat itu, “basis” masih mencakup: (1) pabrik-pabrik yang memproduksi secara massal hampir seluruh komoditas tanpa merek; dan (2) produksi masih secara sempit didefinisikan sebagai aktivitas penyesuaian alam (appropriation of nature), seperti pertanian.

Sementara itu, superstruktur masih dilihat sebagai penanaman “ideologi oleh pers, institusi agama dan pendidikan, dan monopoli kekuatan (polisi dan militer)”.[3] Artikel Smythe mengkritik dikotomi ini melalui tesisnya bahwa “penonton adalah komoditas”.[4] Dengan sendirinya, tesis ini menuntut sebuah analisis media massa dan produk budayanya, bukan sebagai alat untuk “memengaruhi”,[5] sebagaimana superstruktur umumnya dilihat, tetapi sebagai alat produksi.
Di sini perlu digarisbawahi bahwa istilah “penonton” merujuk pada penonton secara umum, yang termasuk di dalamnya penonton televisi, pendengar radio atau musik, pembaca koran dan majalah, serta setiap orang yang berjalan kaki dan naik kendaraan yang melihat/membaca iklan-iklan di spanduk, di jalanan, atau di bus. Artinya, “penonton” adalah kita semua konsumen media dalam bentuk apa pun.

Tesis Smythe di atas dimulai dengan pertanyaan: “apakah peran material (dari Industri Kesadaran) dalam membuat kapitalisme monopoli berjalan melalui institusi manajemen kebutuhan (iklan, marketing, dan media massa)?”[6] Menurut Smythe, tidak ada seorang Marxis pun yang mempertanyakan masalah ini. Alih-alih, mereka justru terus memikirkan media massa hanya sebagai produksi ideologi. Inilah yang kemudian Smythe sebut sebagai “kelemahan (blindspots) dari Western Marxisme”.[7]

Bagi Smythe, penonton “bekerja” sehingga mereka juga adalah komoditas. Tesis ini dijelaskan dalam beberapa gagasan. Di sini hanya dibahas yang paling penting. Pertama, “fungsi utama yang dijalankan media massa komersial untuk sistem kapitalis adalah untuk menjalankan agenda memproduksi kesadaran”.[8] Tujuannya ada dua dan keduanya untuk menjual. Yang pertama adalah menjual produk barang dan pelayanan konsumen yang diproduksi secara massal. Penjualan ini dilakukan menggunakan kesadaran penonton melalui iklan. Kemudian, tujuan kedua adalah legitimasi negara. Pada tujuan kedua ini, negara dilihat sebagai pengatur sistem kapitalisme dalam sebuah bangsa, alih-alih sebagai perwakilan sebuah bangsa sebagaimana yang sering diteorikan.

Oleh karena itu, kemudian, produk penting dari media massa komersial adalah “sumber daya penonton” atau audience force. Istilah ini merujuk pada penggunaan istilah labour force dalam teori Marxis klasik. Dengan kata lain, penontonlah yang dijual media massa komersial kepada pengiklan dan kesadaran penontonlah yang menjadi target pengiklan melalui berbagai iklannya. Ketika “sumber daya penonton ini diproduksi, dijual, dibeli, dan dikonsumsi, sumber daya ini menuntut digunakannya (skala) harga dan jadilah ia sebuah komoditas”.[9]
Hal ini juga mengikutsertakan “kerja”. Namun, konsep kerja dalam hal ini tidak merujuk pada kerja kreatif—yang termasuk di dalamnya aktivitas fisik maupun mental—sebagai usaha penyesuaian alam yang penting bagi keberlanjutan manusia. Dalam kapitalisme, sistem ini sudah secara sukses membuat pembagian kerja (division of labour), termasuk pemisahan kerja fisik dan kerja mental. Misalnya, penggunaan mesin-mesin canggih dan mutakhir menyangkal proses kreatif para pekerja dan, oleh karena itu, “interaksi antara pikiran dan praktik” terpisahkan.[10]

Di pabrik pasta gigi, misalnya, seorang pekerja berdiri dan secara berulang-ulang melakukan aktivitas yang sama sepanjang hari, yaitu memasukkan botol pasta gigi ke dalam kotaknya. Dalam konteks penonton, sebagai pekerja, penonton bekerja melalui kesadarannya yang dengan sendirinya merupakan basis material keberlanjutan hidupnya. Seseorang, misalnya, perlu membeli sabun, makanan, dan pakaian untuk hidup, berbagai iklan yang tersedia membantu menciptakan kebutuhan-kebutuhan ini dan menunjukkannya ke merek-merek produk tertentu.

Klaim yang ketiga fokus pada isi media massa komersial. Sering kali kita berpikir bahwa isi media non-iklan didapatkan secara gratis, yaitu seperti dapat makan gratis (“free lunch[11]). Sebenarnya, isi televisi atau surat kabar, baik iklan maupun non-iklan, bekerja bersama-sama. Isi non-iklan tidak hanya memikat penonton untuk terus menonton programnya, membaca surat kabarnya, atau mendengarkan radionya, tetapi juga untuk “membina perasaan (atau mood) yang kondusif untuk menciptakan reaksi yang menyenangkan pada pesan-pesan pengiklan, baik yang tersirat maupun tersurat”.[12]

Namun, dengan semua klaim-klaim itu, Smythe mengingatkan, kita tidak bisa langsung jatuh pada kesimpulan akan dominasi total masyarakat oleh sistem kapitalisme. Menurutnya, masyarakat tidak pernah secara total “dikontrol oleh Industri Kesadaran”.[13] Tekanan dialektika tidak bisa dihindari oleh setiap orang: “mereka merasa penting untuk bekerja sama dengan sistem monopoli kapitalisme dengan berbagai cara dan karena berbagai alasan; tetapi pada saat yang sama, sebagai manusia, mereka menolak untuk bekerja sama dengan berbagai cara, dan karena berbagai alasan”.[14]

Konsep penonton sebagai komoditas yang dibangun Smythe bisa dikatakan revolusioner karena ia membantu membuka fokus baru dalam penelitian media dan komunikasi, dan tentunya juga kajian budaya. Smythe mengajak kita mengalisis budaya melalui sistem-sistem produksi dan konsumsinya. Dan yang terpenting, bagaimana peran media massa dalam sistem kapitalisme secara umum serta bagaimana produksi dan konsumsi harus dilihat tidak sebagai aspek yang terpisah, tetapi justru sebagai elemen-elemen integral moda produksi.

Pendekatan Smythe pada proses komodifikasi dalam kapitalisme juga nantinya dikembangkan, salah satunya oleh Dan Schiller. Dalam artikelnya “How to Think about Information”,[15] Schiller menjelaskan cara pendekatan political economy mengonsepkan “informasi”. Schiller berpendapat bahwa apa yang berbeda dari sifat informasi dalam masyarakat kapitalisme saat ini adalah sifatnya sebagai komoditas.[16] Perspektif ini mengizinkan kita untuk memikirkan bagaimana, seperti komoditas lainnya, informasi diproduksi “oleh tenaga kerja upahan dalam dan untuk pasar”.[17] Pada saat yang sama, perspektif ini membantu kita untuk mengerti karakter unik dari informasi sebagai komoditas dan, yang lebih penting lagi, perannya dalam evolusi sejarah dari ekonomi pasar itu sendiri.

Evolusi informasi dari sebagai “sumber” menjadi “komoditas” membantu mendorong globalisasi neoliberalisme, terutama dalam membuat jaringan neoliberal. Dalam proses ini, kapitalisme, teknologi digital, dan informasi saling bersimbiosis untuk melahirkan pasar global, proses yang lahir awalnya dari Amerika Serikat.[18]

Pendapat yang sama sudah dilancarkan oleh Herbert Schiller, ayah Dan Schiller, yang memfokuskan perhatiannya pada perkembangan historis dominasi budaya global Amerika.[19] Ia berpendapat bahwa, melalui kombinasi kekuatan ekonomi, militer, dan informasi, Amerika dapat menggunakan kontrolnya (termasuk kontrol budaya) ke seluruh dunia. Kontrol ini pada awalnya tidaklah tanpa oposisi. Dunia negara-negara ketiga, melalui gerakan pembebasan nasional, pada awalnya menentang dominasi Barat dan Amerika.[20] Namun, ketika bisnis besar mulai menggunakan “komunikasi global kecepatan tinggi” melalui sistem informasi yang canggih, perusahaan-perusahaan sekarang dapat beroperasi “bukan hanya di pasar nasional, tetapi juga di pasar internasional”[21] serta merambah dan mengkooptasi kapitalis-kapitalis lokal di dunia ketiga yang pada awalnya memusuhi Barat.  Hasilnya, “konsumerisme bukan lagi fenomena Amerika. Konsumerisme kini menyebar di Eropa, Jepang, dan berbagai kantong-kantong lainnya di dunia”.[22] Walaupun ekonomi pasar dunia ini masih menyimpan pola Amerika, sekarang ia sudah berubah dari pola aslinya itu. Sistem global kini berakar di banyak negara dalam bentuk perusahaan transnasional yang berbasis nasional.

Kritik terhadap Pendekatan Political Economy
Dalam sebuah perdebatan sengit antara tokoh cultural studies asal Amerika, Lawrence Grossberg, dan tokoh political economy asal Inggris, Nicholas Garnham, yang dimuat di jurnal Critical Studies in Mass Communicationpada tahun 1995,[23] Grossberg berpendapat bahwa fokus utama political economy atas ‘ekonomi’ terlalu reduksionis sehingga model sederhana akan dominasi cenderung melihat manusia sebagai korban budaya yang secara pasif mudah dimanipulasi. Walaupun cultural studies memiliki komitmen yang sama dengan political economy, yaitu mengembangkan teori Marxis, cultural studies juga mempunyai komitmen politik, yaitu bahwa orang-orang yang tersubordinasi, seperti kelas pekerja, memiliki kreativitas budaya yang mandiri dan otonom. Oleh karena itu, cultural studies dalam usahanya memperbaiki teori Marxis tentang refleksi basis dan superstruktur yang reduksionis pun berusaha untuk menekankan agensi manusia akan perubahan sosial dan politik.

Ada dua isu yang kemudian menjadi target utama cultural studies terhadap political economy. Pertama, karena terlalu berfokus pada ekonomi, atau ‘struktur’, political economy tidak ikut serta membahas pertanyaan tentang ‘artikulasi’, yang sebenarnya merupakan cara yang sangat penting untuk memahami bagaimana perbedaan—gender, kelas, seksualitas, agama—sebenarnya dialami. Perhatian pada artikulasi yang berbeda-beda, bagi Grossberg, dapat memberikan pemahaman akan formasi spesifik kapitalisme, “alih-alih kapitalisme abstrak”.[24] Ini membawa kita ke poin kedua, yaitu pentingnya budaya sebagai arena perjuangan.[25] Bagi cultural studies, setiap aktivitas harian dapat menjadi artikulasi sebuah resistensi, oposisi, dan pelarian dari struktur kuasa tertentu. Ini tidak dapat dijelaskan hanya melalui relasi kapitalis saja.[26] Namun, political economy melupakan artikulasi perjuangan spesifik ini karena melulu melihat dominasi secara totalistik dan ekonomistik.

Sebenarnya, dalam perdebatan tersebut, Garnham pun setuju dengan permasalahan political economy yang cenderung berangkat dari asumsi ekonomisme yang reduksionis. Namun, Garnham mempermasalahkan cultural studies yang dengan asumsi yang dilontarkan Grossberg mencari jalan keluar dengan melihat ‘budaya’ sebagai elemen yang mandiri, dan terkadang lebih superior, dibanding ‘ekonomi’. Ini berlanjut pada bercerainya pendekatan political economy dan cultural studies. Political economy mereduksi analisis hanya pada permasalahan ‘ekonomi’, sementara cultural studies mereduksi analisis hanya pada permasalahan ‘budaya’. Padahal, perkawinan di antara keduanya sangat dibutuhkan untuk memahami permasalahan perubahan sosial yang diperjuangkan oleh keduanya.

Seperti Grossberg, Garnham, sebagai tokoh political economy, juga sebenarnya sangat keras mengkritik political economy, walau bukan dengan meninggalkan pendekatan tersebut. Dalam “Contribution to a Political Economy of Mass Communication”,[27] Garnham berpendapat bahwa walaupun ada hubungan simpatik dengan Marxisme, political economy tidak cukup Marxis, atau tidak cukup materialis. Panggilan Smythe untuk mengisi “blindspot” diikuti oleh reduksi political economy pada analisis terhadap “komoditas”. Teori ini, menurutnya, “kekurangan kontradiksi”.[28] Dalam hal ini, tesis Dan Schiller tentang “informasi sebagai komoditas” dan tesis Herbert Schiller tentang “asal globalisasi transnasional dari Amerika Serikat”, dapat juga mengalami kritik yang sama.

Secara umum, Garnham mengindikasikan tiga permasalahan dalam teori Marxis tentang budaya yang menghambat perkembangan strategi politik sosial: (1) model refleksi basis/superstruktur yang terlalu sederhana; (2) otonomi superstruktur—sebuah kacamata berpikir yang lahir dari penolakan atas ekonomisme; dan (3) teori media massa yang mereduksinya hanya sebagai alat ekonomi kapitalis.[29]

Apa kemudian yang ditawarkan Garnham sebagai jalan keluar? Garnham[30] berpendapat bahwa tujuan “ekonomi politik budaya” adalah menjelaskan yang Marx dan Engels sebut sebagai “kontrol atas alat-alat produksi mental”[31] dalam kapitalisme. Dalam hal ini, “penekanan pada materialitas proses budaya” yang dilancarkan Raymond Williams,[32] tokoh cultural studies yang sudah dibahas dalam tulisan pertama, menurut Garnham, perlu membedakan antara dimensi material dan ekonomi.[33] Ia menambahkan bahwa ini terjadi karena ada artikulasi-artikulasi berbeda yang unik dalam tahapan-tahapan pre-kapitalis dan perkembangan kapitalisme yang perlu dianalisis sesuai konteksnya. Perkembangan kapitalisme secara spesifik dikarakterisasikan oleh kontrol terhadap alat-alat produksi mental.[34] Tuntutan untuk membedakan antara material dan ekonomi dalam pendekatan materialis historis adalah kontribusi Garnham yang pertama.

Yang kedua adalah implikasi metode dari pendekatan ekonomi politik budaya. Garnham mendefinisikan paradigma ini sebagai “analisis materialis historis atas budaya—produksi, sirkulasi, dan konsumsi bentuk-bentuk simbolis dalam berbagai variasinya—yang studi proses komunikasi dan media massa hanya menjadi subbagiannya saja”.[35] Garnham mengkritik bidang ekonomi politik komunikasi terjebak pada berbagai permasalahan dan berbagai istilah analisis tertentu[36] serta tidak cukup materialis. Ia berpendapat bahwa bidang ini sudah diasosiasikan dengan “ortodoksi yang sempit dan melelahkan”.[37] Misalnya, tesis industri budaya dipercaya membawa homogenisasi budaya. Namun, globalisasi industri budaya sebenarnya telah membawanya pada ketersediaan akses pada diversifikasi budaya dan adanya kebebasan pilihan. Ini menuntut peneliti untuk menganalisis evolusi kapitalisme dalam konteks spesifiknya yang terus berevolusi.

Oleh karena itu, kunci dari permasalahan yang dihadapi oleh tereduksinya political economy pada ‘ekonomisme’ bukanlah dengan membuangnya begitu saja untuk kemudian menelaah ‘budaya’ secara terpisah seperti yang dilakukan cultural studies postmodernis semacam Grossberg. Tetapi, kebutuhan untuk kembali ke metode materialisme sejarah, yaitu menurut Garnham

Untuk menerima, menurut saya, bahwa proses-proses perkembangan modernitas kapitalis kompleks dan hasilnya selalu tidak menentu, sebagaimana yang ditunjukkan krisis saat ini, tidak ada yang mengontrol, sebaiknya, para ahli ekonomi politik terbuka dan menerima bahwa tidak ada penjelasan yang total tentang dari mana kita datang dan ke mana kita pergi. Semua pendekatan mungkin memiliki sebuah penjelasan dan semua perlu dites bukti-bukti dan sejarahnya. Tidak ada juga pertanyaan dan jawaban yang kekal, tapi yang ada adalah (pertanyaan dan jawaban) yang selalu muncul ketika terjadi krisis.[38]

Bagi Garnham, kapitalisme adalah “proses yang penuh kontradiksi” dan “tidak selalu tuntas”.[39] Namun, meneliti praktik budaya dan efektivitas politisnya akan sulit, bahkan tidak mungkin, apabila tidak mengikutsertakan analisis atas sumber-sumber material dan ideologis apa saja yang memungkinkan praktik-praktik budaya itu dilakukan, bagaimana praktik budaya berperan dalam menjalankan moda totalitas produksi, dan siapa orang-orang yang memiliki kontrol terhadap alat-alat produksi mental tersebut.[40]

Konsekuensi teoretis dari pandangan yang melihat elemen-elemen historis dan material, seperti “budaya” dan “ekonomi”, terpisah-pisah dapat kita pahami lebih jauh lagi dalam konteks khusus tentang analisis perempuan berikut ini.
Mart-Kakok,-Salahkah..

Analisis Ekonomi Politik dan Perempuan
Perdebatan yang mirip dengan topik seputar pemisahan antara “budaya” dan “ekonomi” yang sudah kita bahas di atas pun bergaung di kajian-kajian lain, termasuk kajian perempuan. Seringkali perdebatan dalam kajian perempuan terjebak dalam pertanyaan: apakah patriarki atau kapitalisme yang menjadi akar eksploitasi dan penindasan perempuan? Perpisahan pun terjadi antara analisis kelas di satu sisi dan analisis perempuan di sisi lain. Bagi para Marxis, feminis menomorduakan perjuangan kelas. Sementara, bagi para feminis, analisis kelas menomorduakan permasalahan perempuan dan tidak memberikan solusi bagi penderitaan spesifik yang dihadapi kaum perempuan.
Feminisme liberal, misalnya, dengan berfokus pada analisis terhadap eksploitasi sistem patriarkal menuntut hak-hak perempuan antara lain dalam hal isu-isu hak reproduksi, seksualitas, pendidikan, dan kesempatan kerja. Namun, pada saat yang sama, fokus pun berpindah dari pertanyaan penting tentang kemiskinan yang terstruktur ke bahasa yang lebih aman, yaitu hak asasi manusia (HAM).

Feminisme liberal cenderung mengidealkan konsep perempuan yang abstrak dan mengerucutkan permasalahan pada dikotomi perempuan versus laki-laki. Gerakan liberal ini memang kelihatannya membawa perubahan, terutama di Amerika Serikat, perempuan banyak duduk di bangku universitas, mendapat kesempatan bekerja, dan tidak lagi harus tinggal di rumah menjaga anak dengan didirikannya tempat penitipan anak.[41] Tetapi, kenyataannya, pada saat yang sama, kondisi ini menciptakan kelas-kelas menengah perempuan. Jarak antara perempuan kelas menengah dan kelas bawah pun melebar, dan lebih buruknya lagi, hal ini luput dari perhatian para feminis liberal.

Permasalahan lain dari feminisme liberal adalah kecenderungannya menguniversalkan ‘hak-hak’ perempuan dari kacamata Barat, seakan-akan semua perempuan memiliki konsep kebebasan yang sama. Dari sini lahir gelombang kritik feminisme yang dipengaruhi oleh poststrukturalisme.[42] Kelompok ini menolak adanya satu ide feminisme. Bagi kelompok ini, perempuan datang dari berbagai latar belakang etnisitas, bangsa, agama, dan budaya yang berbeda. Yang perlu dilakukan adalah menerima perbedaan-perbedaan ini. Analisis feminisme poststrukturalisme banyak bereksperimen di ruang-ruang teks, simbol, dan representasi. Namun, karena ketakutannya akan esensialisme dan universalisme, analisis kelas pun ditolak atas dasar alasan tersebut.
Ketika feminis poststrukturalis mengusung kebutuhan untuk menganalisis “realitas keseharian kehidupan perempuan”, seringkali ini hanya merupakan pertanyaan analisis akademik semata dan bukan sebuah panggilan untuk aksi politik yang nyata dan terstruktur, yaitu mengubah realitas kehidupan nyata tadi. Tidak heran kalau kita melihat kecenderungan terbesar dari gerakan feminisme dewasa ini, terutama gerakan liberal dan poststrukturalisme, adalah tersentralisasinya (dan terjebaknya) perjuangan perempuan di dunia akademis dan/atau ‘teks-teks’ budaya semata serta semakin terpisah dari perjuangan politik perempuan yang terorganisasi.

Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa feminisme liberal dan feminisme poststrukturalis terkadang juga mengakui adanya realitas perbedaan kelas di antara perempuan. Namun, perbedaan kelas ini disejajarkan secara horizontal dengan perbedaan-perbedaan ras, agama, bangsa, dan lain sebagainya. Hasilnya, hubungan-hubungan identitas tersebut dianalisis melalui kacamata “intersectionalism”.[43] Artinya, secara epistemologis perbedaan kelas, gender, ras, dan agama sejak awal dianggap permasalahan yang terpisah dan sejajar. Dengan mudah, anggapan ini akan mencampur aduk epistemologi yang berbeda-beda terhadap ‘macam-macam’ sumber ketidaksejajaran dan penindasan yang dihadapi perempuan—patriarkal, kapitalisme, rasisme, Islamism, dan sebagainya. Kebingungan epistemologis ini biasanya berakhir pada pandangan akan keserbaragaman hubungan kuasa[44] dan mengambil jalan politik-mikro. Gerakan perempuan kemudian mengerucut pada slogan-slogan sempit mengenai kebebasan hak perempuan serta memisahkan diri dari gerakan-gerakan politik lainnya. Epistemologi pluralisme ini pada akhirnya berkonsekuensi pada politiknya yang self-defeating dalam sistem kapitalisme.

Di sisi lain, feminisme sosialisme, yang berangkat dari analisis kelas, juga memiliki kecenderungan untuk mereduksi semua permasalahan perempuan berakar pada permasalahan ‘kelas’ yang sempit (mengusung ‘kelas’, misalnya, sebagai slogan dan norma) dan seringkali mengambil Marxisme sebagai kitab suci. Mereka juga memisahkan diri dari gerakan-gerakan feminis di atas karena alasan telah terkooptasinya gerakan feminisme oleh neoliberalisme (contohnya, tulisan Nancy Fraser “Feminism, Capitalism and the Cunning of History”[45]). Seperti yang telah dijelaskan, ide pembebasan perempuan yang berasal dari konsep liberalisme memang melebarkan jarak kelas di antara perempuan dan ide-ide yang berasal dari analisis poststrukturalisme semakin meniadakan perhatian pada analisis ekonomi politik terhadap sumber penindasan dan eksploitasi perempuan. Namun, dengan menganggap semua gerakan feminisme yang non-Marxis sudah terkooptasi oleh kapitalisme dan meninggalkannya, turut menciptakan kekalahan dalam gerakan perempuan itu sendiri dan gerakan sosial pada umumnya.

Sebenarnya, permasalahan kooptasi bukanlah permasalahan utama bagi gerakan perubahan sosial. Permasalahan terbesar dengan dikotak-kotakannya aliran feminisme—budaya, sosialis, radikal, poststrukturalisme, liberal—adalah konsekuensi politik dari pengkotakan teoretis tersebut, yaitu terpecah belahnya pergerakan perempuan dan pergerakan sosial pada umumnya.
Inilah alasan metode materialisme sejarah memang menawarkan jalan berpikir dan berpolitik yang lebih unggul dari filsafat liberalisme maupun poststrukturalisme, yaitu dalam konsep ontologisnya akan totalitas gerak sejarah. Dalam melihat totalitas gerak sejarah, setiap elemen di dalamnya memiliki peran. Bukan itu saja, elemen-elemen ini terpisah tetapi juga saling berkaitan dalam hubungan dialektika yang membentuk totalitas gerak tersebut. Tiap elemen menjadi dirinya dalam hubungannya dengan elemen yang lain.

Beberapa tulisan terkini, seperti Abigail Bakan dalam “Marxism, Feminism, and Epistemological Dissonance” dan Joan Sangster dan Meg Luxton dalam “Feminism, Co-optation and the Problem of Amnesia: A Response to Nancy Fraser”,[46] telah mengajak kita untuk keluar dari pengkotak-kotakan antara analisis feminisme dan analisis kelas dengan mengembangkan metode materialisme sejarah feminis yang sudah dimulai salah satunya oleh Nancy Hartsock.[47] Dengan metode ini, kita diajak untuk melihat keduanya dalam hubungan dialektika yang terpisah tetapi satu. Terpisah dalam arti untuk menghindari asumsi bahwa feminisme = Marxisme/patriarki = kapitalis. Bagaimana pun, seperti sistem kapitalisme, sistem patriarki memiliki sejarah, karakter, kebutuhan, dan berbagai tujuan sendiri. Akan tetapi juga merupakan satu kesatuan karena permasalahan eksploitasi dan penindasan perempuan di rumah, pekerjaan dan ruang publik, serta domestik atas tubuh, seksualitas, dan simbol-simbolnya tidaklah terjadi di dunia yang berbeda dari dunia dengan sistem kapitalisme yang kita hidupi saat ini. Begitu juga kaitannya dengan kebutuhan studi feminisme sebagai manifestasi kontradiksi dan resistensi di dalam sistem tersebut.

Seperti pembahasan Nicholas Garnham dalam diskusi political economy di atas mengenai perlunya mengembangkan analisis materialisme sejarah budaya yang tidak berangkat dari asumsi terpisah-pisahnya elemen “budaya” dan “ekonomi”, tulisan ini pun diharapkan menjadi awal dikembangkannya analisis materialisme sejarah perempuan yang tidak terjebak dalam dikotomi kelas versus perempuan/kapitalisme versus patriarki.

Daftar Pustaka
Bakan, Abigail. “Marxism, Feminism, and Epistemological Dissonance” dalam Socialist Studies, (2/2012): 60-84.
Butler, Judith. Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge, 1990.
Garnham, Nicholas. “Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” dalam Critical Studies in Mass Communication, (March/1995): 62-71.
———. “Contribution to a Political Economy of Mass Communication” dalam Media and Cultural Studies: Keyworks, eds. Meenakshi Gigi Durham and Douglas Kellner. Malden, Mass: Blackwell Publishers, 2001.
———. “The Political Economy of Communication Revisited” dalam The Handbook of Political Economy of Communications, eds. Wasko, Janet, Graham Murdock, dan Helena Sousa. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, 2011.
Grossberg, Lawrence. “Cultural Studies vs. Political Economy: Is Anybody Else Bored with This Debate?” dalam Critical Studies in Mass Communication, (March/1995): 72-81.
Hartsock, Nancy. “The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism” dalam Discovering Reality, eds. Sandra Harding dan Merrill B. Hintikka. Boston: Reidel Publishing Company, 1983. 283-310.
Nancy Fraser, “Feminism, Capitalism and the Cunning of History” dalam New Left Review, (56/2009): 116-7.
Sangster, Joan dan Meg Luxton. “Feminism, Co-optation and the Problem of Amnesia: A Response to Nancy Fraser” dalam The Question of Strategy, eds. Leo Panitch, Greg Albo dan Vivek Chibber. Wales: The Merlin Press Ltd., 2012. 288-309.
Schiller, Dan.“How to Think About Information” dalam The Political Economy of  Information eds.Vincent Mosco dan Janet Wasko. Madison, WI: University of Wisconsin Press, 1988.
———. “The Neoliberal Networking Drive Originates in the United States” dalam Digital Capitalism. Cambridge, Mass: MIT Press, 1999.
Schiller, Herbert.“A Quarter-century Retrospective” dalam Mass Communication and American Empire, 2nd edition. New York, NY: Westview Press, 1992/1969. 1-43.
Smythe,Dallas. “Communications: Blindspot of Western Marxism” dalam Canadian Journal of Political and Society Theory (3/1977): 1–28.
———. “On the Audience Commodity and Its Work” dalam Dependency Road: Communications, Capitalism, Consciousness and Canada. Norwood, NJ: Ablex, 1981.
Williams, Raymond. Problems in materialism and culture. London: Verso, 1980.

Catatan Akhir:

[1] Dallas Smythe, “On the audience commodity and its work” dalam Dependency Road: Communications, Capitalism, Consciousness and Canada, (Norwood, NJ: Ablex, 1981).
[2] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 50.
[3] ibid.
[4] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 22.
[5] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 25.
[6] ibid.
[7] Dallas Smythe, “Communications: Blindspot of Western Marxism” dalam Canadian Journal of Political and Society Theory (3/1977): 1–28.
[8] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 26.
[9] ibid.,pen: garis miring.
[10] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 27.
[11] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 37.
[12] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 38.
[13] Smythe, “On the audience commodity and its work”, 43.
[14] ibid.
[15] Dan Schiller, “How to Think About Information” dalam The Political Economy of Information eds.Vincent Mosco dan Janet Wasko. (Madison, WI: University of Wisconsin Press, 1988).
[16] Schiller, “How to Think about Information”, 32.
[17] Schiller, “How to Think about Information”, 33.
[18] Dan Schiller, “The Neoliberal Networking Drive Originates in the United States” dalam Digital Capitalism. (Cambridge, Mass: MIT Press, 1999).
[19] Herbert Schiller, “A Quarter-century Retrospective,” dalam Mass Communication and American Empire, 2nd edition. (New York, NY: Westview Press, 1992/1969): 1-43.
[20] Schiller, “A quarter-century retrospective”, 2.
[21] Schiller, “A quarter-century retrospective”, 6.
[22] Schiller, “A quarter-century retrospective”, 12.
[23] Nicholas Garnham, “Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or
Divorce?” dalam Critical Studies in Mass Communication (March/1995): 62-71.; Lawrence Grossberg, “Cultural Studies vs. Political Economy: Is Anybody Else Bored with This Debate?” dalam Critical Studies in Mass Communication (March/1995): 72-81.
[24] Grossberg, “Cultural Studies vs. Political Economy”, 73.
[25] Grossberg, “Cultural Studies vs. Political Economy”, 76.
[26] Grossberg, “Cultural Studies vs. Political Economy”, 78.
[27] Nicholas Garnham, “Contribution to a Political Economy of Mass Communication” dalam Media and Cultural Studies: Keyworks, eds. Meenakshi Gigi Durham and Douglas Kellner. (Malden, Mass: Blackwell Publishers, 2001).
[28] Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 212.
[29] Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 209-11.
[30] Melalui dua artikelnya, “Contribution to a Political Economy” dan “The Political Economy of Communication Revisited” dalamThe Handbook of Political economy of Communications, eds. Wasko, Janet, Graham Murdock, dan Helena Sousa. (Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, 2011).
[31] Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 206.
[32] Raymond Williams, Problems in materialism and culture, (London: Verso, 1980).
[33] Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 207.
[34] ibid.
[35] Garnham, “The Political Economy of Communication Revisited”, 41.
[36] ibid.
[37] Garnham, “The Political Economy of Communication Revisited”, 42.
[38] Garnham, “The Political Economy of Communication Revisited”, 60-1.
[39] Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 220.
[40] Garnham, “The Political Economy of Communication Revisited”, 71 dan Garnham, “Contribution to a Political Economy”, 206.
[41] Joan Sangster dan Meg Luxton, “Feminism, Co-optation and the Problem of Amnesia: A Response to Nancy Fraser” dalam The Question of Strategy, eds. Leo Panitch, Greg Albo dan Vivek Chibber. (Wales: The Merlin Press Ltd., 2012): 291.
[42] Salah satu tokohnya adalah Judith Butler, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. (New York: Routledge, 1990).
[43] Sangster dan Luxton, “Feminism, Co-optation and the Problem of Amnesia”, 294.
[44] ibid.
[45] Nancy Fraser, “Feminism, Capitalism and the Cunning of History”, New Left Review, (56/2009): 116-7.
[46] Abigail Bakan, “Marxism, Feminism, and Epistemological Dissonance”, Socialist Studies, (2/2012): 60-84; Joan Sangster dan Meg Luxton, “Feminism, Co-optation and the Problem of Amnesia: A Response to Nancy Fraser” dalam The Question of Strategy, eds. Leo Panitch, Greg Albo dan Vivek Chibber. (Wales: The Merlin Press Ltd., 2012): 288-309.
[47] Nancy Hartsock, “The Feminist Standpoint: Developing the Ground for a Specifically Feminist Historical Materialism” dalam Discovering Reality, eds. Sandra Harding dan Merrill B. Hintikka. (Boston: Reidel Publishing Company, 1983): 283-310.

Ilustrasi oleh: Mart Kakok

Rangkaian Kritik Terhadap Tiga Pendekatan ‘Kritis’ Kajian Budaya (Bag. 1)





Oleh :

2013-pulse


TIGA pendekatan ‘kritis’ terhadap kajian budaya lahir beberapa dekade yang lalu sebagai kritik terhadap Marxisme yang dominan di Uni Soviet saat itu. Tiga pendekatan tersebut adalah cultural studies, political economy of culture dan critical theory. Ketiganya muncul sebagai reaksi terhadap dikotomi superstruktur dan basis yang dianut aliran ini dan juga terutama terhadap pandangannya yang ekonomistik dan positivistik. Klaim ‘kritis’ ketiga pendekatan ini berdasar pada dua hal: pertama, mereka lahir sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, dalam hal ini tradisi yang dominan saat itu; kedua, agenda kritik ini dilakukan dalam semangat untuk kembali pada proyek intelektual Karl Marx, yaitu materialisme sejarah dan dialektika sebagai landasan metode berpikir dan praksis. Oleh karena itu, pemilihan ketiga pendekatan ‘kritis’ ini tidaklah sembarang karena ketiganya memiliki sejarah asal yang sama yaitu pemikiran Marxis dan lahir pada saat yang hampir bersamaan. Dalam kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, ketiganya pada saat yang sama melanjutkan proyek kritik Marxisme.
Pendekatan-pendekatan ‘kritis’ ini penting untuk dikaji karena ketiganya berkembang pesat hingga saat ini, diadopsi sebagai kajian akademis di universitas-universitas di berbagai belahan dunia dan juga sebagai tradisi aktivisme di luar universitas. Mereka telah membantu melahirkan kajian-kajian populer saat ini (kajian budaya, media, ras, gender dll) dan dalam perkembangannya, ketiganya sudah bermetamorfosis ke dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu tiga pendekatan tersebut penting untuk dikaji bukan saja bagi perkembangan pemikiran Marxis tetapi juga bagi perkembangan kajian budaya.
Tulisan yang akan bersambung dalam 3 bagian ini akan mengkaji perkembangan masing-masing pendekatan ini, menganalisis klaim-klaim ‘kritis’ dan konteks historisnya. Melanjutkan metode Marxis sebagai tradisi pemikiran yang aktif, selalu berkembang dan tidak pernah selesai (unfinished), tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian auto-kritikterhadap perkembangan kajian-kajian budaya saat ini, mengapresiasi perubahan-perubahan yang dibawanya dan menganalisis kegagalan-kegagalannya. Auto-kritik ini dilakukan untuk keberlanjutan kajian budaya pada umumnya dan khususnya ketiga tradisi ini. Sebagai catatan, istilah “kajian budaya” dalam tulisan ini digunakan sebagai referensi umum pada penelitian-penelitian tentang budaya, sementara “cultural studies” merujuk pada sebuah tradisi formal. Pada bagian kali ini, kita akan membahas sejarah intelektual cultural studies sebagai salah satu tradisi kajian budaya yang dominan saat ini.
British Cultural Studies: Lahirnya Sebuah Tradisi
Saya akan awali kajian ini dengan meninjau pergulatan pemikiran tokoh-tokoh dari Inggris yang memulai tradisi yang saat ini kita kenal sebagai, ‘cultural studies’. Walaupun karya-karya Richard Hoggart (The Uses of Literacy, 1957), Raymond Williams (The Long revolution, 1961), dan Edward Thompson (The Making of the English Working Class, 1963) seringkali dianggap sebagai ‘teks-teks pendiri cultural studies,’ perubahan perspektif dalam pengajaran seni dan budaya di Inggris di tahun-tahun sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua, sebenarnya lahir dari situasi politik saat itu, terutama aktivitas para pendirinya dalam gerakan ’Adult Education’ yang dipelopori oleh Workers Educational Association (WEA)[ii] serta politik Kiri yang lebih luas lagi.
Saat itu, gerakan Kiri didominasi oleh pandangan pemikiran politik Stalinis yang mekanik, dogmatis, abstrak dan menamakan dirinya ‘Marxisme.’ Edward Thompson, misalnya, berusaha untuk mengembalikan Marxisme kepada komitmennya pada perjuangan yang konkrit, yaitu aktivitas kehidupan nyata tiap-tiap orang, perempuan maupun laki-laki, sebagai darah daging kelompok pekerja. Buku The Making of the English Working Class, merupakan karya terbesar Thompson yang ingin mengkritik analisis-analisis sejarah Marxis yang Stalinis dan mekanik, yang saat itu mendominasi gerakan kiri internasional. Kata ‘Making’ sengaja dipilih sebagai judul untuk menunjukkan bahwa ‘kelas’ bukanlah struktur atau kategori yang pasif dan abstrak, melainkan sebuah hubungan antar manusia yang nyata dan dalam konteks yang juga nyata. Sehingga kelas merupakan proses historis yang aktif, baik antara agensi pelaku di dalamnya maupun kondisi ekonomi, sosial dan politik yang membatasinya.[iii]
Kajian sastra juga berhadapan dengan pendekatan dominan saat itu, salah satunya karya F. R. Leavis, Mass Civilization and Minority Culture (1930), yang menganggap budaya massa (mass culture) sebagai bentuk manipulasi total masyarakat yang pasif dan budaya ‘tinggi’ sebagai budaya yang ideal. Richard Hoggart menolak tesis yang elitis ini dan berkomitmen untuk membela kreativitas budaya kelas pekerja. Ini dilakukan dengan cara menolak metode analisis sastra Leavis yang terlalu berfokus pada teks. Bersama-sama dengan Raymond Williams, Hoggart menggali kehidupan sosial dan budaya kelas pekerja dan mendefinisikan hubungan mereka bukan hanya dengan karya sastra, tetapi juga budaya massa dan populer yang merupakan bagian dari kehidupan mereka. Dalam karyanya, Hoggart menunjukkan bahwa setiap individual membentuk identitasnya dan hidup dengan identitas tersebut melalui sumber-sumber budaya yang mereka miliki. Perubahan dalam kajian sastra ini yang kemudian melahirkan British Cultural Studies (BCS), dan dilembagakan pertama kali sebagai The Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS)di University of Birmingham pada tahun 1964, dengan Hoggart sebagai pemimpin pertamanya.[iv]
Namun, Raymond Williams-lah yang banyak melahirkan karya-karya penting dalam BCS,yang merupakan bagian dari usahanya untuk membangun pendekatan materialisme historis dalam cultural studies, atau yang ia sebut ‘cultural materialism.’Melalui karya-karyanya, seperti Culture and Society (1958), The Long Revolution (1961), Marxism and Literature (1977),Williams menolak perspektif ‘Marxisme’ yang beredar saat itu, yang melihat superstruktur hanya sebagai cerminan dari basis. Menurutnya, ini melenceng dari Marx yang kritiknya sejak awal adalah bahwa pemikiran (thought) dan aktivitas (activity) bukanlah area-area yang terpisah.[v] Sehingga, menurut Williams, ide bahwa superstruktur adalah cerminan dari basis dan bahwa basis adalah faktor penentu bagi superstruktur tidaklah datang dari pemikiran Marx. ‘Proposisi Marx secara eksplisit menolak ini, dan meletakkan sumber determinasi pada aktivitas manusia-manusia itu sendiri.’[vi] Williams kemudian menjelaskan bahwa apa yang biasanya dianggap sebagai superstruktur, seperti budaya dan politik, sebenarnya merupakan ‘basis’.[vii] Dia juga berpendapat bahwa ‘basis’ merupakan konsep yang lebih penting untuk digali apabila kita mau memahami realitas dari proses budaya.  Menurut Williams, ‘basis adalah keberadaan sosial yang nyata seorang manusia.’[viii] Dari sini, lahir salah satu teorinya yang penting: ‘alat komunikasi sebagai alat produksi’ (‘means of communication as means of production’).[ix]
Dari pergeseran politik Kiri dan realitas budaya kelas pekerja saat itu, penelitian-penelitian dalam BCS pun didedikasikan untuk kajian kelas dan budaya. Selain, karya-karyanya Hoggart dan Williams, ada juga Subcultures, Cultures and Class: A Theoretical Overview (1976) yang ditulis oleh Stuart Hall, yang nantinya menggantikan posisi Hoggart di CCCS.
Pada tahun 1980, dua tahun setelah Hall mengambil alih tampuk kepemimpinan CCCS, BCS mulai menunjukkan sebuah transformasi dalam pendekatan teoretisnya. Dalam Cultural Studies: Two Paradigms (1980), Hall mendeklarasikan sebuah perpisahan dari pendahulu-pendahulunya: ‘di mana alur-alur pemikiran [lama] dihentikan, konstelasi lama ditinggalkan dan elemen-elemen lama dan baru dikelompokkan kembali dalam satu set dasar pemikiran dan tema yang berbeda.’[x] Yang dimaksudkan Hall sebagai pemikiran-pemikiran lama di situ adalah apa yang dia sebut sebagai ‘kulturalisme’ sebagai ‘paradigma dominan’ yang dibangun pendahulunya, yang dihadapkan Hall dengan ‘strukturalisme’, Dalam artikel tersebut, Hall tertarik dengan ‘janji strukturalisme akan “‘ilmu (science) budaya’ sebagai paradigma yang mampu menerjemahkannya [baca: budaya] secara ilmiah dan teliti dengan cara yang benar-benar baru.”[xi] (pen.: cetak miring). Hall berpendapat, kelebihan strukturalisme yang pertama adalah penekanannya pada ‘kondisi yang pasti,’ yaitu “hubungan sebuah struktur yang berdasarkan pada sesuatu yang lain, yang bukan sebuah reduksi pada hubungan antara ‘manusia’.” Kelebihan yang kedua adalah keberadaan sebuah gerakan yang kompleks dan berkelanjutan antara level-level abstrak yang berbeda.[xii] Kelebihan strukturalisme yang lain adalah pergeserannya dari perhatian terhadap ‘pengalaman manusia’ kepada kategori yang selama ini terabaikan, yaitu ‘ideologi’.
Ketertarikan Hall pada strukturalisme dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Louis Althusser, seorang Marxis strukturalis asal Perancis. Bahkan, ketika Hall menyebutkan Antonio Gramsci dan konsep ‘hegemoni’-nya, ia membacanya sebagai domain ‘bawah sadar’ (unconscious),[xiii] yang ia baca melalui strukturalisme-nya Althusser dan bukan kulturalisme-nya Williams. Kita bisa mengira-ngira bahwa pertama, Hall sudah terlalu muak dengan pendahulunya itu sehingga mengabaikan elaborasi Williams tentang hegemoni dalam The Complexity of Hegemony (1980, 37-40). Atau, yang kedua, dia membaca Althusser tanpa meletakkan pemikirannya dalam kerangka proyek intelektual Althusser yang lebih besar, yang bagaimana pun tidak bisa dipisahkan dari kritik-kritiknya atas pondasi teoretis Marxisme di dalam Partai Komunis Perancis saat itu.
Ini menunjukkan pergeseran yang signifikan dalam tradisi BCS. Pertama, terdapat pergeseran dalam konsep budaya. Aktivitas praktik manusia sebagai ‘basis’ yang dibangun Williams diganti Hall dengan kekuatan eksternal yang menentukan, yaitu ‘struktur’. Dengan kata lain, Hall menggeser ide budaya yang ‘sosial’ menjadi budaya yang ‘ideologi’. Kedua, pada saat yang sama, Hall juga menolak pendekatan ekonomi politik terhadap budaya sebagai ‘economically deterministic’.[xiv] Nantinya, istilah ini akan menjadi alasan perpecahan antara BCS dan kajian ekonomi politik (akan dibahas pada bagian kedua tulisan ini). Contoh karya Hall dengan pandangan strukturalisme adalah Encoding/Decoding (2001/1980), di mana ia melihat budaya sebagai ‘teks’. Tugas seorang peneliti adalah men-dekode teks, bukan memahaminya sebagai totalitas pengalaman hidup seseorang. Ide determinasi dan agensi juga berbeda. Bagi Williams, keduanya kreatif, yaitu produk aktivitas praktis manusia. Bagi Hall yang strukturalis, agensi ada karena berbagai mikropolitik teks.[xv]
Di sekitar tahun 1980-an, BCS bergeser lagi dari strukturalisme ke post-strukturalisme. Kali ini, normanya adalah ‘otonomi penonton’. Karya John Fiske, Active audience (1987) adalah salah satu contoh BCS pada masa post-strukturalis. Dari sini juga lahir penelitian-penelitian tentang penonton/konsumen (audience analysis) dan juga tentang efek-efek media (media effects).

Adopsi Cultural Studies di Amerika
Sebelum BCS diadopsi di Amerika, ada sebuah aliran dalam bidang komunikasi yang mengklaim sebagai ‘kajian budaya’. Ia merupakan reaksi terhadap paradigma utama yang saat itu didominasi oleh pendekatan behavioral dan fungsionalis. James Carey menolak definisi budaya dari perspektif  ‘transportasi’ yang saat itu dominan. Ia menolak budaya sebagai komunikasi massa, yang dapat disebarkan begitu saja kepada massa yang pasif. Ia mengajak melihat budaya dari perspektif ‘ritual’, yaitu dengan menggunakan pendekatan interpretatif melihat kompleksitas teks dan berbagai respons pembaca yang sudah pasti berbeda-beda (1970). Ini sebenarnya sejalan dengan kacamata Williams dan Hoggart pada awal perjalanan BCS, tetapi Carey tidak memiliki motivasi politik. Alih-alih, perspektif ini hanyalah perubahan paradigma dalam dunia akademis, dan steril dari intensi politik.[xvi] Hal serupa juga terjadi dengan pemikirannya Horace Newcomb, yang melalui kritiknya terhadap ‘budaya massa’, ia mengundang sebuah analisis yang berfokus pada multiplisitas makna, tetapi hal ini tidak diikuti oleh diskusi struktur sosial dan politik.[xvii]
Lawrence Grossberg-lah yang kemudian meletakkan pertanyaan atas ‘kuasa’ dalam agenda American Cultural Studies (ACS). Menurutnya, komunikasi adalah tempat di mana kelompok-kelompok oposisi secara simbolik berjuang akan kuasa. Namun, Grossberg menolak menghubungkan konsep ‘budaya’ dengan konsep ‘masyarakat’ (society). Menurutnya, keinginan untuk menghubungkan kedua konsep ini adalah titik kegagalan BCS. Sehingga, Grossberg menganggap keduanya tidak ada. Dengan anggapan tersebut, ia segera mengadopsi pendekatan post-modernisme dan menolak ‘teori budaya’. Ia percaya bahwa pengalaman sosial sangatlah bervariasi dan ia melihat bahwa kuasa bersebaran dalam bentuk-bentuk konkrit yang berbeda dan dengan cakupan yang kecil, sehingga konsep ‘masyarakat’ dan strukturnya tidak mungkin dicapai. Ini mirip dengan teori kuasa filsuf asal Perancis, Michel Foucault, yang menganggap kuasa ada di mana-mana (omnipresent), cair dan tidak satu (non-unified). Melalui kasus Grossberg ini, bisa diprediksi bahwa cultural studies di Amerika dengan segera berpindah dari BCS ke teori-teori post-modernisme.
Mungkin di antara Carey dan Newcomb, hanya Grossberg-lah yang membangun hubungan dengan BCS melalui bacaan-bacaan atas karya-karya Williams dan Hall yang dibacanya secara selektif, reduksionis dan di luar konteks politik yang melahirkan karya-karya tersebut. Misalnya, konsep ‘struktur rasa’ (‘structure of feeling’) yang dibangun Williams dalam tulisan-tulisan pertamanya, dianggap sebagai tema besar proyek intelektual Williams secara keseluruhan. Kemudian, Hall dianggap sebagai ‘ahli’ superstruktur karena tulisannya tentang decoding/encoding.[xviii]
Bagaimana pun permasalahan utamanya adalah tidak adanya teori kuasa, selain yang dibangun dari kacamata post-modernis. Budaya bagi para intelektual Amerika merupakan fenomena sosial yang darinya makna budaya secara empiris dapat diangkat. Fenomena ini tidak dilihat sama sekali dengan curiga, misalnya, dengan pertanyaan tentang struktur/kondisi ekonomi politik. Politik liberal dan pluralis yang dominan di Amerika, juga merupakan alasan mengapa cultural studies sama sekali vakum dari gerakan politik. Tidak seperti BCS, adopsi cultural studies di Amerika terjadi bukan karena kebutuhan gerakan politik, apalagi politik Kiri, melainkan sebagai masukan ide-ide ‘humaniora’ pada ilmu-ilmu sosial yang banyak beraliran fungsionalis itu. Karena dominasi post-modernisme, makna budaya sebagai praktik, bentuk dan institusi, seperti yang dibangun oleh BCS, hilang sama sekali,[xix] dan hanya menjadi agenda-agenda di universitas.

Globalisasi Cultural Studies: Pengalaman di Indonesia dan Asia
Di sekitar pertengahan tahun 1990 hingga 2000-an, bahkan ketika The Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham ditutup pada tahun 2002, cultural studies justru sedang sukses-suksesnya melebarkan sayap di berbagai belahan dunia. Puluhan jurnal terbit di Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia baik yang mengusung nama cultural studies maupun yang secara jelas bersimpati pada pendekatannya. Selain itu, ada juga berbagai konferensi-konferensi yang diadakan. Di Indonesia sendiri, salah satu perkembangan penting adalah dilembagakannya cultural studies menjadi kajian formal di beberapa universitas di Indonesia (sebagai program cultural studies di Universitas Indonesia tahun 1998, program pascasarjana ilmu religi dan budaya di Sanata Dharma tahun 2000 dan program pascasarjana kajian budaya di Universitas Udayana Bali tahun 2000 dll). Selain itu, ada juga lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menerbitkan jurnal dan/atau melakukan kajian budaya secara mandiri di luar universitas, contohnya jurnal Kalam (terbit 1994), KUNCI cultural studies center (berdiri 1999), Lembaga Studi Realino (berdiri di awal 1990-an) dan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang kajian media, pers dan informasi (LP3Y, ISAI, LSPP).[xx]
Berbeda dari para pendirinya di Inggris, cultural studies yang berkembang di Indonesia tidak memiliki hubungan dengan politik Kiri, atau tepatnya Marxisme, di dalam negeri. Ini mungkin karena di tahun-tahun berkembangnya cultural studies pertama kali di Indonesia, Marxisme dan politiknya dilarang oleh rezim orde baru. Pada saat yang sama, cultural studies di Inggris dan Amerika sedang mengalami pergeseran perspektif ke post-strukturalisme dan post-modernisme. Para intelektual Indonesia yang bersekolah di negeri-negeri tersebut pulang dengan membawa ide-ide multikulturalisme, humanisme liberal dan pluralisme.[xxi] Demikian pula, LSM-LSM pun berdiri dengan mengusung ide-ide ini. Namun ini bukan berarti cultural studies yang berkembang tidak sarat politik. Mengingat rezim Suharto saat itu represif dan mempolitisir berbagai ekspresi sosial budaya secara otoriter, munculnya cultural studies di Indonesia adalah perkembangan politik dari bawah (politics from below) yang baik sekali. Dengan ini, cultural studies membawa angin segar dan harapan baru bagi demokratisasi budaya. Pendiri KUNCI, Juliastuti dan Antariksa, menulis visi perjuangan cultural studies dengan baik:
Apa yang dipertaruhkan dalam kajian budaya adalah hubungan antara politik dan kekuasaan, perlunya perubahan dan representasi dari dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan, dalam kelas, gender, dan ras, juga dalam hal umur, nasionalitas, dsb. Kajian budaya bersifat politis karena ia adalah ranah akademis yang sekaligus merupakan sebuah gerakan politik pemberdayaan kelompok-kelompok sosial marjinal[xxii].
Dengan visi semacam itu, cultural studies telah membuka pintu demokratisasi untuk berbagai ekspresi sosial budaya kelompok marjinal (walaupun tentu sukses atau tidaknya adalah hal yang berbeda). Mirip dengan situasi setelah datangnya cultural studies dan post-modernisme di Amerika yang disebut Dan Schiller, sebagai terbukanya jalan menuju budaya, atau ‘the opening toward culture’.[xxiii]
Kembali ke dalam negeri, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana wajah cultural studies di Indonesia setelah rezim Suharto jatuh dan di Asia setelah krisis ekonomi 1997 berakhir? Melani Budianta menyebutkan bahwa setelah orde baru lengser, politik desentralisasi seringkali mengusung pencarian ‘identitas yang otentik,’[xxiv] untuk merepresentasikan identitas budaya daerah masing-masing. ‘Arena masyarakat sipil menjadi medan perang konflik antar-kelompok, sarat dengan politik identitas.’[xxv] Contoh konkrit misalnya, represi seksual dan rasisme terhadap komunitas tionghoa. Peran cultural studies di sini kemudian adalah ‘intervensi budaya dan politik’ yang berbentuk dialog maupun diskusi publik.[xxvi] Ajakan untuk bertoleransi dan beraliansi didasarkan pada teori bahwa identitas adalah konstruksi sosial.[xxvii]
Di tingkat Asia, cultural studies berdiri untuk membangun ‘solidaritas Asia’. Contohnya adalah jurnal Inter-Asia Cultural Studies (IACS). Di edisi pertamanya, dua dari para pendiri jurnal ini, Kuan-Hsing Chen and Chua Beng Huat, menyebutkan bahwa jurnal IACS ditujukan untuk mengisi kekosongan akan tidak adanya analisis yang kritis dari Asia sebagai respon atas slogan ‘the rise of Asia’ yang muncul sebelum dan setelah krisis moneter Asia tahun 1997.[xxviii] Jurnal ini dibentuk untuk membantu menjelaskan modernitas ‘Asia’ dengan memberikan tempat bagi para penulis Asia dan berbagai sejarah dan posisi lokalnya yang berbeda-beda. Ini terutama untuk menjauh dari konsep imaiiner ‘Amerika’ yang telah mendominasi kajian-kajian tentang Asia.[xxix] Sepuluh tahun kemudian, di edisi ulang tahun kesepuluhnya, IACS dirayakan sebagai bentuk sukses atas ‘proyek dekolonisasi’ ini,[xxx] terutama kemampuannya untuk menyeimbangi arus pengetahuan ke Asia yang biasanya didominasi oleh pengetahuan dari Eropa dan Amerika.[xxxi] Proyek dekolonisasi ini tidak sendiri, proyek-proyek yang sama juga lahir di Amerika Latin, India dan belahan dunia ketiga lainnya, sebut saja ada proyek ‘decentering’, ‘dewesternizing’, atau ‘provincializing Europe’.[xxxii] Itu semua dilakukan dengan cara memperluas demografi produksi pengetahuan dengan mengikutsertakan penulis-penulis dan ekspresi budaya yang datang dari lokasi geografis marjinal, atau non-barat.
Namun, hingar bingar ‘kesuksesan’ cultural studies tidak diikuti dengan tradisi auto-kritik, terutama terhadap metode-nya. Di edisi ulang tahun kesepuluh jurnal IACS, ada satu artikel yang memberikan kritik terhadap asumsi-asumsi yang melandasi metode cultural studies berjudul ‘A critical comment on the IACS journal’ oleh Paul Willemen, yang berpendapat bahwa IACS telah menjadikan ‘anti-esensialisme sebagai rutinitas belaka’[xxxiii] (pen.: cetak miring). Walaupun tidak seperti artikel-artikel lainnya, artikel ini baru diunduh hanya sebanyak 18 kali saja sejak artikel ini terbit di tahun 2010. Namun, esai-esai yang lain kebanyakan mendukung agenda-agenda IACS yang sudah ada, yaitu pluralisme dan anti-model universal. Salah satunya tulisan Lawrence grossberg,[xxxiv] pendiri cultural studies di Amerika yang sudah disebutkan sebelumnya.
Begitu pun dengan beberapa tulisan yang ada tentang cultural studies di Indonesia. Tulisan-tulisan ini cenderung celebratory dan ketika melakukan kritik, ia hanya berfokus pada agenda-agenda cultural studies (Juliastuti dan Antariksa (2002), Heryanto (2005) dan Budianta (2010, 2012).[xxxv] Contohnya adalah ajakan Heryanto untuk belajar dari kegagalan “’cultural studies significant others”, yaitu ‘ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tradisional.’ Sementara Budianta mengajak untuk lebih memperluas lagi cakupan analisis budaya ke ruang-ruang budaya yang masih marjinal.[xxxvi] Salah satu pengecualian yang ada adalah artikel Akhmad Sahal berjudul Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika di harian Kompas, 2 Juni 2000[xxxvii] yang mempertanyakan ‘kemiskinan’ analisis sastra dan estetika dalam cultural studies yang cenderung mereduksi segala sesuatu (termasuk seni dan estetika) sebagai ‘konstruksi sosial’.
Selain ide-ide mutakhir multikulturalisme, pluralisme dan liberalisme yang dijunjung, cultural studies pun sebenarnya ‘miskin’ dalam metode, sehingga ide-ide tersebut menjadi sebatas nilai-nilai moral yang abstrak ketimbang alat analisis yang historis. Asia as Method yang ditulis Kuan-Hsing Chen tahun 2010 pun merupakan ‘metode’ yang diangkat dari visi moral dan bukan sejarah. Ia datang dari doktrin moral anti-esensi dan anti-barat, yang diinspirasikan oleh post-modernisme. Hasilnya, kebingungan epistemologi yang akut: imajiner ‘barat’ diganti dengan imajiner ‘asia’.
Sikap ‘anti-universalisme (barat)’ pun mendominasi cultural studies dan dijawab dengan ‘anti-barat’ maupun perhatian pada ‘politik perbedaan,’ baik dengan merepresentasikan budaya-budaya dan nilai-nilai marjinal atau pun dengan melihat proses percampuran budaya yang eklektik melalui wacana budaya ‘global’ atau bahkan, ‘kosmopolitan’. Tentu saja, tidak bisa kita pungkiri bahwa ‘budaya’ semakin penting untuk dikaji terlebih karena setiap hari kita dihadapkan dengan dan ikut serta dalam produksi berbagai produk budaya global maupun lokal melalui TV, radio, film, musik, sastra, pertunjukan seni dan lain-lain yang membuat kita membutuhkan label ‘budaya’. Namun, ketika produk budaya ini semakin global dan mengakomodir berbagai ekspresi perbedaan, pada saat yang sama kapitalisme pun menjadi semakin universal. Pertanyaannya kemudian, apakah ini merupakan kebetulan belaka yang tidak berhubungan?
Bagi saya, ada hubungan yang menarik antara tendensi ‘the opening toward cultures’ ini (terutama terhadap budaya-budaya yang marjinal) dengan globalisasi ekonomi dan politik ke daerah-daerah yang dulunya dianggap negara ‘miskin’. Bagaimana kita menjelaskan pusat-pusat budaya pop yang berpindah dari Amerika ke Brazil, Korea, India dan Jepang seiring dengan munculnya kota-kota kapitalis baru di daerah yang beberapa dekade yang lalu masih bernama ‘negara dunia ketiga’, seperti Seoul, Singapore, Mumbai, Tokyo, Shanghai? Belum lagi, apa beda antara identitas fans K-pop (Korean pop) dan film bollywood, misalnya, dengan identitas gender, LGBTQ, ras dan agama? Apakah semuanya mau disamaratakan sebagai konstruksi sosial dengan efek marjinalisasi ekonomi politik yang sama? Lalu, apakah representasi politik bisa terjadi tanpa redistribusi modal? Solidaritas Asia yang dipanggil oleh Chen sebagai dasar atas ‘Asia sebagai metode’ tidak akan mampu melawan arus globalisasi budaya dan juga buruh dan pekerja dari barat ke timur, timur ke barat, selatan ke utara, utara ke barat dst. sebagai bentuk globalisasi kapital. Implikasi politik cultural studies akhirnya menutup mata dari pertanyaan sosial budaya yang mendesak, di mana arus pekerja secara global semakin intensif (dan represif) demi memaksimalkan profit. Mengatakan bahwa realitas ini adalah ‘economically deterministic’ sama saja menutup mata dari realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, yang walaupun berbeda, merupakan bagian dari gerak totalitas sejarah.

Kembali ke Materialisme Budaya
Permasalahan yang akut dari klaim “kritis” cultural studies adalah berfokusnya motivasi politik pada istilah ‘budaya’, terutama ‘budaya’ yang dilihat dari segi wacana, representasi, konstruksi dan identitas. Pertama, istilah ini mereifikasi ‘budaya’ sebagai superstruktur, sama persis dengan istilah yang sebenarnya Raymond Williams (dan juga Marx) tolak dalam karya-karyanya. Kedua, istilah ini pun diisolasi dan diteliti secara indepeden lepas dari analisis-analisis sejarah maupun ekonomi politiknya, yang sering dianggap ‘economically deterministic’. Sekali lagi, bagi Williams, pemisahan budaya dan ekonomi dalam realitas tidak ada karena kedua-duanya adalah bagian dari totalitas alat dan hubungan (re)produksi manusia. Kemudian, ketika ada referensi pada terminologi ekonomi politik seperti ‘kelas’ dan ‘neoliberalisme’, istilah-istilah ini hanya berperan sebagai jargon, seakan-akan kelas dan neoliberalisme adalah kategori yang statis dan tidak berubah. Atau, referensi ini digunakan seakan-akan analisis kapitalisme hanyalah berputar pada permasalahan ‘kelas’ atau ‘bukan kelas’. Ini mungkin juga sebuah indikator mengapa kebanyakan analisis cultural studies berfokus pada kajian kontemporer dan meninggalkan kajian-kajian sejarah.
Ends without means? Mungkin inilah permasalahan pokok lainnya, yaitu ketika analisis dinahkodai oleh tujuan (demokrasi, pluralisme, toleransi) namun tanpa instrumen. Dalam materialisme budaya yang diawali oleh Williams, mengikuti Marx, instrumen tidak lain adalah sejarah. Kajian-kajian budaya di ‘negara dunia ketiga’ sering kali berdasar pada ketakutan akan ‘teori’ dan ‘universalisme’. Ini sebenarnya juga merupakan musuh Marx. Perlawanannya terhadap teori yang abstrak dan universalis-lah yang kemudian melahirkan metode materialisme sejarah dan dialektiknya. Tentu saja, membaca totalitas gerak sejarah, dan hubungan-hubungan detil di dalamnya, tidak sama dengan universalisme.
Begitu juga tidak ada masalah dengan ide bahwa budaya adalah konstruksi sosial, seperti yang diusung oleh cultural studies. Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dalam konstruksi sosial tadi hubungan antara agensi dan determinasi, budaya dan non-budaya, universal dan partikular dibangun tanpa melihatnya sebagai elemen terpisah ataupun menganggap yang satu lebih penting dari yang lainnya. Di sinilah, pembahasan filsafat sebagai metode berpikir, yang dengan sendirinya merupakan produk sosial, diperlukan.
Kembali ke sejarah adalah dasar bagi perubahan dalam cultural studies. Sebagaimana lawan dari ‘esensi’ bukanlah sekedar ‘dekonstruksi’, lawan dari ‘identitas politik’ bukanlah ‘anti identitas politik’ tetapi solidaritas. Namun, solidaritas tidak bisa menjadi politik yang riil tanpa perjuangan yang nyata, dan ini tidak bisa terjadi hanya dalam bentuk politik wacana, representasi maupun pengetahuan yang abstrak. Kutipan di bawah ini mungkin cocok untuk mengakhiri diskusi kita tentang permasalahan cultural studies dan sejarah sebagai metode:
“When placed within a more holistic historical materialist context—animated by the concept of praxis—the problems raised by postmodernism look entirely different. As David McNally says, “Language is not a prisonhouse, but a site of struggle”… [T]he issues like language, culture, nationality, race, gender, the environment, revolution, and history itself are only effectively analyzed within a context that is simultaneously historical in character, materialist (in the sense of focusing on concrete practices), and revolutionary” 
-in Ellen Wood and John Foster
In Defense of History: Marxism and the Postmodern Agenda (1997, 192).

Daftar Pustaka
Beng-Lan, Goh ed. Decentring and Diversifying Southeast Asian Studies: Perspectives from the Region. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2011.
Budianta, Melani. “Shifting the geographies of knowledge: the unfinished project of Inter-Asia Cultural Studies”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010).
———. “Multiple Sites of Knowledge Production: Cultural Studies
Scholarship in Indonesia.” Dalam Alternative Production of Knowledge and Social Representations, eds. Risa Permanadeli, Deni Jodelet, dan Toshio Sugiman. Jakarta: Graduate Program of European Studies, 2012.
Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe. Princeton, N.J: Princeton University Press, 2008.
Chen, Kuan-Hsing dan Chua Beng Huat. “Introduction”. Inter-Asia Cultural Studies, (1/2000): 9-12.
Grossberg, Lawrence. “On the political responsibilities of cultural studies”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 241-247.
Hall, Stuart. “Cultural Studies: Two Paradigms.” Dalam T. R. Young, T. R., ed., Media, culture and society. [Fort Collins], Colo: Colorado State University, 1980.
Heryanto, Ariel. “Cultural Studies’ Significant Others” The Case of Indonesia”, Anthropologi Indonesia, (1/2005).
Juliastuti, Nuraini dan Antariksa. “Kajian Budaya di Indonesia.” Public Lecture and Workshop “Asian Studying Asia: Cultural Studies for Asia Context”, (Yogyakarta, May 14-17, 2002): 1-3.
McNally, David. “E P Thompson: class struggle and historical materialism.” International Socialism Journal, (61/1993), diunduh tanggal 10 Desember 2012 dari http://pubs.socialistreviewindex.org.uk/isj61/mcnally.htm#4.
O’Connor, Alan. “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass Communication, (6/1989).
O’Malley, Tom. “Media History and Media Studies: Aspects of the development of the study of media history in the UK 1945-2000.” Media History, (2/2002): 155-173.
Park, Myung-Jin and James Curran. De-Westernizing media studies. London: Routledge, 2000.
Peck, Janice. “Itinerary of a Thought: Stuart Hall, Cultural Studies, and the Unresolved Problem of the Relation of Culture to “not Culture,”” Culture Critique, (2001): 200-252.
Sahal, Akhmad. ‘”Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika’, di harian Kompas, 2
Juni 2000, diunduh tanggal15 Desember 2012 di http://freedom-institute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=49.
Schiller, Dan. Theorizing Communication. Oxford: Oxford UP, 1996.
Schulman, Norma. “Conditions of Their Own Making: An Intellectual History of the
Centre for Contemporary Cultural Studies at the University of Birmingham.” Canadian Journal of Communication, (18/1993): 51-73.
Willemen, Paul. “A critical comment on the IACS journal”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 221.
Williams, Raymond. Marxism and literature. Oxford [Eng.]: Oxford University Press, 1977.
­———. Problems in materialism and culture. London: Verso, 1980.
———. “Means of Communication as Means of Production,” dalam Raymond Williams, Problems in materialism and culture. London: Verso, 1980.
Wood, Ellen M, dan John B. Foster. In Defense of History: Marxism and the Postmodern Agenda. New York: Monthly Review Press, 1997.

Catatan Akhir:

[i] Bagian kedua akan terbit pada LKIP Edisi 3 (Bulan Maret 2013). Bagian ketiga akan terbit pada LKIP Edisi 5 (Bulan Mei 2013).
[ii] Tom O’Malley, “Media History and Media Studies: Aspects of the development of the study of media history in the UK 1945-2000,” Media History, (2/2002): 155-173.
[iii] David McNally, “E P Thompson: class struggle and historical materialism,” International Socialism Journal, (61/1993), diunduh tanggal 10 Desember 2012 dari http://pubs.socialistreviewindex.org.uk/isj61/mcnally.htm#4.
[iv] Norma Schulman, “Conditions of Their Own Making: An Intellectual History of the Centre for Contemporary Cultural Studies at the University of Birmingham,” Canadian Journal of Communication, (18/1993): 51-73.
[v] Raymond Williams, Marxism and literature. (Oxford [Eng.]: Oxford University Press, 1977): 78.
[vi] Raymond Williams, Problems in materialism and culture. (London: Verso, 1980): 31.
[vii] Williams, Marxism and literature, 82
[viii] Williams, Problems in materialism and culture, 33
[ix] Raymond Williams, “Means of Communication as Means of Production,” dalam Raymond Williams, Problems in materialism and culture. (London: Verso, 1980).
[x] Stuart Hall, “Cultural Studies: Two Paradigms,” dalam T. R. Young, T. R., ed., Media, culture and society. ([Fort Collins], Colo: Colorado State University, 1980): 33.
[xi] Hall, “Cultural Studies,” 40
[xii] Hall, “Cultural Studies,” 43
[xiii] Hall, “Cultural Studies,” 45
[xiv] Hall, “Cultural Studies,” 46
[xv] Untuk penjelasan lebih detil tentang perjalanan pemikiran British Cultural Studies, lihat: Janice Peck, “Itinerary of a Thought: Stuart Hall, Cultural Studies, and the Unresolved Problem of the Relation of Culture to “not Culture,”” Culture Critique, (2001): 200-252.
[xvi] Alan O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass
Communication, (6/1989): 406.
[xvii] Alan O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass
Communication, (6/1989): 405-413.
[xviii] O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” 408
[xix] ibid.
[xx] Nuraini Juliastuti dan Antariksa, “Kajian Budaya di Indonesia”, Public Lecture and Workshop “Asian Studying Asia: Cultural Studies for Asia Context”, (Yogyakarta, May 14-17, 2002): 1-3.
[xxi] Melani Budianta, “Multiple Sites of Knowledge Production: Cultural Studies Scholarship in Indonesia,” dalam Alternative Production of Knowledge and Social Representations, eds. Risa Permanadeli, Deni Jodelet, dan Toshio Sugiman. (Jakarta: Graduate Program of European Studies, 2012): 206-207.
[xxii] Ibid.
[xxiii] Dan Schiller, Theorizing Communication. (Oxford: Oxford UP, 1996).
[xxiv] Budianta, “Multiple Sites of Knowledge Production”, 208
[xxv] ibid.
[xxvi] ibid.
[xxvii] ibid.
[xxviii] Kuan-Hsing Chen dan Chua Beng Huat, “Introduction”, Inter-Asia Cultural Studies, (1/2000): 9-12.
[xxix] Chen dan Huat, “Introduction,” 11-12
[xxx] Melani Budianta, “Shifting the geographies of knowledge: the unfinished project of Inter-Asia Cultural Studies”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 175.
[xxxi] Budianta, “Shifting the geographies of knowledge,” 174
[xxxii] Goh Beng-Lan, ed., Decentring and Diversifying Southeast Asian Studies: Perspectives from the Region. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2011); Myung-Jin Park and James Curran, De-Westernizing media studies. (London: Routledge, 2000); Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe. (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2008).
[xxxiii] Paul Willemen, “A critical comment on the IACS journal”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 221.
[xxxiv] Lawrence Grossberg, “On the political responsibilities of cultural studies”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 241-247.
[xxxv] Juliastuti dan Antariksa, “Kajian Budaya di Indonesia”; Ariel Heryanto, “Cultural Studies’ Significant Others” The Case of Indonesia”, Anthropologi Indonesia, (1/2005): 1-15; Budianta, “Shifting the geographies of knowledge” and “Multiple Sites of Knowledge Production”
[xxxvi] Budianta, “Shifting the geographies of knowledge”