Senin, 02 Mei 2016

Resensi Novel: "Di Bawah Bayang-Bayang Ode" Karya Sumiman Udu

Identitas buku
Judul : Di Bawah Bayang-Bayang Ode
Penulis : Sumiman Udu
Penerbit : Seligi Press
Kota Terbit : Pekan Baru
Tahun Terbit : 2015
Cetakan : I
Tebal Buku : 240 hlm. 
ISBN : 978-602-9568-02-8

Novel ini mengisahkan tentang dua anak manusia yaitu Imam dan Amalia Ode, yang terpaksa merelakan cinta mereka demi adat yang dijunjung tinggi oleh keluarga dan masyarakatnya. Gelar ‘ode’ yang melekat pada nama Amalia membuatnya tidak berdaya untuk menentang keinginan ibu dan keluarga besarnya. Sebagai seorang yang bergelar ‘ode’, Amalia dipaksa menikah dengan sepupunya yang kaya raya agar anak keturunannya nanti juga mendapatkan gelar ‘ode’ dan mendapatkan jaminan kesejahteraan.

Kabanti Ajonga Yinda Malusa: ‘Mutiara Berkilau’ dari Buton untuk Indonesia"




 Pengantar Buku "Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton: Sumbangan Kabhanti Anjonga Yinda Malusa Untuk Revolusi Mental Indonesia" Karya Dr. Ali Rosdin


Oleh:
Dr. Suryadi, MA
Universiteit Leiden, Belanda

Untuk pertama kalinya, sebuah naskah klasik Buton yang penuh dengan ajaran moral, keagamaan, dan sampai batas tertentu, catatan sejarah, diterbitkan. Naskah Kabanti Ajonga Yinda Malusa (KAYM), yang dipaparkan dalam buku ini, kini hadir di hadapan pembaca Indonesia, khususnya masyarakat  Buton. Saya katakan demikian, karena sejauh penelusuran kepustakaan yang saya lakukan, inilah buku yang pertama yang menyajikan alih aksara naskah KAYM kepada pembaca modern masa kini dengan memakai pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, khususnya dari perspektif ilmu filologi. Hasilnya: sepanjang 1347 canto (bait) KAYM yang semula ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Jawi) oleh ulama patron Istana Wolio, Haji Abdul Ganiu, pada akhir abad 18, kini dapat dinikmati oleh pembaca masa kini dalam versi Latin dalam Bahasa Wolio dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Alih aksara KAYM yang terdapat dalam buku ini sendiri didasarkan atas salinan teks ini yang dilakukan oleh mantan sekretaris Istana Buton, Abdul Mulku Zahari, tahun 1974. Hal itu menunjukkan perjalanan sejarah panjang teks KAYM yang, karena isinya yang penting, tampaknya terus diapresiasi secara aktif  oleh masyarakat Buton (terbukti dengan penyalinan terhadap teks ini yang berterusan dari generasi ke generasi di Buton) sejak ia diciptakan pada pertengahan abad ke-19.