Oleh:
Sumiman Udu
Yogyakarta, 30 April 2011
Menjelang subuh, suara azan subuh membangunakan seluruh isi alam. Sementara mentari sudah mulai menampakkan sinarnya di ufuk timur. Terbangunlah Wanianse untuk menyiapkan makanan untuk dua anaknya. Ia akan menitipkan kedua anaknya pada tetangganya, dan untuk itu ia harus menyiapkan bubur yang akan menjadi sarapan anaknya sebelum mereka berangkat ke rumah nenek. Sementara beberapa perempuan lain di kampung itu sudah menyiapkan hal yang sama untuk pergi ke kebun.
“Uhaamo ina Wa Leja, omotaamo na buburu?” Panggil tetangganya dari luar rumah. Di dalam rumah, Wa Leja dan La Ijo masih tertidur.
“”Saya makan dulu sedikit,” sahut Wanianse dari dalam rumah. Sebelum ia meninggalkan rumah, ia datang membisik anaknya La Ijo agar membantu adiknya makan bubur sebelum ke rumah nenek.
Wanianse keluar dari rumah menuju, halaman rumah bertemu dengan tentangganya. Di belakang rumah keleunya sudah siap dengan kulit ubi kayu di dalamnya. Ia membawanya ke kebun untuk dijadikan pupuk kompos. Biasanya kalau bukan di kebun opa (uwi) di simpan berarti di bawah ubi kayunya atau kaujawanya.
Maka berangkatlah perempuan-perempuan perkasa itu untuk bergotong royong membuka lahan baru, maklum bulan itu adalah memasuki pertengahan oktober, satu setengah bulan lagi hujan akan turun. Maka mereka pun melakukan pohamba-hamba membuka kebun atau ladang baru. Sebuah tradisi yang sudah mereka dapatkan turun temurun.
“Oe Waa nu mai, beberapa bulan terakhir ini saya tidak dapat lagi membeli nasi untuk buburnya anak-anakku”, ucap salah seorang teman Wanianse. Sementara Wanianse yang berada di belakangnya di jalan setapak itu, terbayang pada keuangannya dan juga teringat pada persediaan beras yang ada di rumahnya. Ia juga teringat pada suaminya, yang tak ada kabar beritanya di negeri Jiran.
“Oho, Wa anu mai, saya juga sudah merasakan beratnya menyiapkan makanan untuk anak-anak kita”. Bagaimana nanti kalau mereka sudah masuk sekolah, makannya saja sudah susah,” ungkap Wanianse.
Setiba di kebun tempat mereka bergotong royong, maka terkumpulah mereka sebanyak 25 orang ibu-ibu muda. Mereka pun memulia membersikah kebun itu mulai pukul 06.00 sampai 09-00, tiga jam bekerja bersama dan selebihnya mereka akan pergi ke kebunnya masing-masing untuk mencari sayur atau ubi kayu atau makanan kambingnya. Mereka berpisah pisah setelah selesai. Namun di saat mereka mebersihkan kebun tersebut, salah seorang diantara mereka melantunkan kaбanti sebagai berikut.
/Wa ina na runga-rungasu/
Kunamimo nteranakaa
Ibu, aku masih terlalu muda
Penderitaan saya sudah rasakan.
Maka tidak lama kemudian, menyahutlah yang lain,
Te moniasi nu wa ina
Kusaka emo nteiyaku
Kemiskinan dari ibuku
Saya telah mewarisinya
Teks kaбanti pun saling bersahutan, merefleksi pekerjaan mereka. dan tepat pukul 09.00, mereka menoleh ke belakang, dan ladang yang sudah dibersihkan sudah hampir mencapai dua hektar. Mereka semua tersenyum, karena tugas mereka sudah mulai kelihatan. Keesokan harinya kegiatan itu pun harus dilakukan sampai semua kebun anggot kelompok itu mendapatkan giliran.
Sepulang dari tempat itu, Wanianse dan tetangganya tadi pergi untuk mencari daun melinjo atau emba untuk sayur mereka. mereka melawati bekas perkampungan lama yang dipidahkan oleh pemerintah sekitar tahun 70-an untuk memanjat kelapa muda. Maka setiba di sana mereka melihat kelapa muda. Rasa haus mereka membuat mereka memanjat kepala muda itu.
Maka memajantlah teman Wanianse dan ia berhasil mendapatkan kelapa muda dan sira untuk campuran sayur emba. Maka setelah merek meminum dan masing-masing makan satu buah, sisanya dibagi untuk anak-anak mereka.
Setiba di rumah, Wanianse tidak menemukan anak-anaknya, karena pasti masih di rumah ibunya. Maka tidak lama kemudian, ia pun melepaskan kelaunya dan menuju rumah ibunya untuk menjemput kedua anaknnya. Setiba di rumah nenek, kedua anaknya baru saja selesai makan bubur labu yang dicampur dengan kelapa, garam dan bawang. Wanianse masih mendapatkan jatah itu, dan setelah itu ia pun membawa kedua anaknya untuk pergi ke molii, atau mata air di pantai, kebetulan metting.
Setiba di rumahnya, Wanianse mengambil satu buah kelapa muda dn memberi makan kedua anak kecilnya itu. Wa Leja duluan kemudian La Ijo.
“makan cepat nak, supaya kita ke molii,” dan kedua anaknya serempak berteriak
“horee, kita akan pergi berenang’.
Setelah mereka minum dan makan kelapa muda itu, Wanianse mengambil Loyang besar, diikatnya dengan tali untuk tempat menarik Loyang itu, saat mengupulkan bulu babi di laut. Ia juga naik ke rumah untuk mengambil kasoami, mereka akan makan di molii. Seturun dari rumah, kedua anak Wanianse sudah siap berangkat ke pantai dan mereka berlari mendahului ibunya.
Setiba di pantai, kedua anak Wanianse terus berlari menuju molii.
“hati-hati nak, jangan berlari, licin itu batu,” teriak Wanianse memperingatkan kedua anaknya. Dan tidak lama kemudian, Wanianse memebrikan intruksi pada La Ijo agar menjaga Wa Leja untuk tidak ikut mama ke tengah laut.
Maka dengan menarik loyangnya, Wanianse memasuki lautan dangkal itu mencari kerang-kerang dan terutama bulu babi. Sementara soaminya di simpan di molii atau mata air. Satu persatu bulu babi mulai dipungut oleh Wanianse. Dan sekitar dua jam, menjelang tengah hari, Wanianse kembali pada anak-anaknya, dan menemukan kedua anaknya sudah kedinginan mandi dan bermain. Mereka sudah lapar, maka Wanianse menyuruh La Ijo dan Wa Leja untuk makan, kebetulan ia menemukan beberapa kawu atau kerang untuk lauk kasoaminya. Maka mereka pun makan di Molii.
“Mombaka, Nak?”, Tanya Wanianse pada Wa Leja dan La Ijo ketika ia melihat kedua anaknya sangat lahap memamah kasoami dan kawu. Wanianse membelah bulu babi atau lei dan ternyata telurnya pun sangat baik, maklum tadi makam lima belas bulan di langit, jadi musim telur bulu babi atau lei.
Dalam hatinya, Ya Allah, betapa besar rezki yang kau berikan pada kami umatmu, dan jadikanlah kami umat yang bersyukur. Setelah selesai ia makan, ia memiliah beberapa kerang, kiwolu, koti dan kempa lalu dipecahkan dan isinya dipersiapkan untuk ondohi sayur untuk makan malam sebentar malam.
“Nak, ia manatap kedua anaknya, dan berkata, “Nak, kelak kalian kuliah agar kalian tidak menjadi seperti mama, dari kebun langsung ke laut. Lihat kulitnya mama, hitam ‘kan, tidak terurus. Untuk itu kalian berdua harus sekolah dan kuliah, karena sepengetahuan ibu, sekolahlah yang membuat orang dapat berubah.
“Tapi, dari mana ibu dan bapak dapat uang untuk kuliah kami, Bunda? Tanya La Ijo pada ibunya, sedangkan Wa Leja hanya tersenyum tak tahu apa-apa.
“berdoalah Nak, ibu dan ayah akan berusaha untuk menyekolahkan kalian berdua. Kau ingatkan, dalam cerita tadi malam, La Ndoke kene Labuae waktu pergi ke negeri surga, masyarakat disana sekolah semua.
“Iya Ina, saya dan adikku akan sekolah. Tak terasa, air lau sudah mulai pasang, dan merekapum bergegaslah pergi mandi dan mereka pulang. Setiba di rumah, mereka bertiga langsung tidur, tetapi tidak lama kemudian, ketika Wanianse tertidur, kedua anaknya keluar bermain-main, dan setelah waktu ashar, La Ijo dan Wa Leja pergi ke langgar yang tidak jauh dari rumahnya untuk menigkuti pengajian. Mereka berdua termasuk murid yang rajin dan pintar.
Menjelang sore, Wanianse terbangun, dan ia hanya memeriksa pakaian ngaji anak-anaknya, dan ia pastikan bahwa kedua anaknya sudah ke mesjid. Maka ia pun memasak kasoami dan sayur untuk santap malamnya. Di hatinya, betapa indahnya kalau ada suaminya, menikmati dan makan malam bersama. Tetapi di dalam hatinya, tetap bersabar, karena hanya dengan merantau seperti itu mereka dapat mengumpulkan uang untuk kuliah kedua anaknya. Karena mereka tidak mau gagal kuliah sepetrti mereka hanya karena kemiskinan.
Menjaleng malam, Wa Leja dan La Ijo pulang, dan mereka tidak lagi ke mesjid untuk magrib, mereka magrib bersama ibunya, karena setelah magrib mereka akan makan dan setiap hari, mereka akan bercerita atau melantunkan kaбanti.
“Ina, mala mini jangan kita cerita, ibu menyanyi saja,” pinta Wa Leja pada Wanianse.
“ok, jawab ibunya,” mendengar itu, Wa Leja yang tadinya sudah baring di dekat La Ijo, bangkit dan naik ke ayunan. Maka menyanyilah Wanianse malam itu sebagai pengantar tidur kedua anaknya.
Sambil mengayunkan Wa Leja yang ada di ayunan, tembang-tembang kaбanti memenuhi ruangan itu.
1. E bue-bue Wa-mparo ðia
E ku-бangune maka no-бangu
Ayun-ayun moga ia terlelap
Kubangunkan baru terbangun
2. E wa ina, pia bue naku
E no-lembe na parangkai-su
Ibu, hati-hatilah mengayunku
Tidak kuat peganganku
3. E wa ina, alimo ka’asi!
E aneðo papongke morunga
Ibu, jangan kasihan!
Masih papongke[1] muda
4. E te Wa ina buntu no-hoti
E ði kaburi na ngkombitia
Ibu hanya memberi makan
Pada pasangan tempat mengabdi
5. E wa ina ane ngko-moha’a?
E ara ku-mala nte laro-su
Ibu, apa yang bisa kamu perbuat?
Kalau saya mengikuti kata hatiku
6. E wa ina, ara ngku-molengo
E ita-mo te ðongka-su ana
Ibu, kalau saya lama
Lihatlah aku yang terbawa arus ini
7. E wa ina na ðongka-su ana
E te ðongka mbea maliako
Ibu, terbawa arusku ini
Terbawa arus yang tidak akan kembali
8. E laбimo te ðongka nu-hengge
E ane no-torampe ði tana
Masih mendiangan terbawa arusnya hengge[2]
Masif bisa terdampar pada meti
9. E ku-ðumongka-ðongka hengge-mo
E ku-maburi te ngkapala-su
Saya akan terbawa arus (layaknya) hengge
Saya akan membelangkan kepalaku
10. E wa ina ara ngku-tondu-mo
E бara-mo nu - бohati naku
Ibu, kalau aku sudah tenggelam
Janganlah kamu bebani aku lagi
11. E na бoha-nto salimbo
E te paira na nsababu-no?
Beratnya kita sekampung
Apa yang menjadi penyebabnya?
12. E sababu te mingku paira?
E ðimai-no kua iaku
Sikap apa yang menjadi penyebabnya?
Yang datangnya dariku
13. E no-mingku toumpa na mia?
E no-awane na ngkakoбea
Bagaimana orang sikap?
Mereka mendapatkan kebenaran
14. E wa ina mou ngku-tondu-mo
E бara nu-ala moбoha-ne
Ibu, biar aku sudah tenggelam
Jangan diambil dengan berat hati
15. E mai to-бawa moane-’e
E na tondu buntu sabantara
Mari kita bawah secara jantan
Tenggelam yang hanya sebentar
16. E ta’amo ane ngku-roða-ne
E na jandi mini mansuana
Semoga aku dapat mengingatnya
Janji dari orang tua
17. E te mansuana nto-tipu-ne
E бisa ðitonde nu-mata-no
Orang tua kita tipu
Biar di bola matanya
18. E nggala ðoimo te wa ina
E to-ala te talikua-no
Kalau tinggal ibu
Kita ambil waktu ketika ia pergi
19. E nggala te panganta wa ina
E to-hoja-ne te ntagambiri
Kalau tinggal ibu yang tidak suka
Kita rayu dengan gambir
20. E wa ina buntu no-pokana
E na poilu kene panganta
Pada Ibu hanya sama
Antara suka dan tidak suka
21. E te poilu’a ngku-poilu
E Wa ku-ambanga te mpogau’a
Kalau suka aku (tetap) suka
Tapi aku malu mengatakannya
22. E ara nu-ambanga gau-mo
E la’a ku-potumpu ako-ko
Kalau kamu malu bicaralah (bahwa kamu malu)
Nanti saya suruh orang untuk mentunangkan kamu
23. E te nguru-mami ngko-sampi-mo
E ko-potu-potumpu mbeado
Kabarnya, kami sudah putus
Padahal kami belum bertunangan
24. E hempitu ku-sampi sarondo
E nggala no-miri na songko-su
Tujuh kali aku ditolak dalam semalam
Biar songkokku tidak miring
Tak terasa, kedua ana Wanianse pun sudah tertidur, ia pun terlelap, karena besok harus ke kebun lagi untuk memberikan giliran pada temannya yang belum mendapat giliran untuk dibersihkan kebunnya. Rupanya Wanianse merefleksi perjalanan hidupnya dalam lantunan kaбanti yang dinyanyikannya.
Bersambung………………………….