Oleh: Sumiman Udu
Dalam lantunan banti-banti
masyarakat Wakatobi, sering kali diperdengarkan kepada generasinya tentang
berbagai refleksi mengenai kehidupan mereka, proyektif mengenai impian mereka,
serta berbagai ajaran moral. Seorang anak kecil sudah didik sejak dalam buaian
mengenai konsep kehidupan sosial. Salah satu konsep yang sudah diajarkan itu
adalah teks kabanti yang berbunyi "Tapa Wa Ina nteadari, te sita te aka
sinea" artinya kritik itu adalah pelajaran dan pujian itu adalah
permainan".
Berdasarkan teks
banti-banti di atas, terlihat bahwa masyarakat Wakatobi sudah sepantasnya
untuk memberikan kritik pada pemerintahannya ketika mereka memandang bahwa ada
masalah, atau terjadinya sabara gau atau limpagi, karena itu
adalah upaya untuk melakukan perbaikan. Jika dihubungkan dengan konsepsi
penyelesaikan masalah di masa Kesultanan Buton, maka dikenal empat pintu tanah
Buton yaitu : 1) Gau, 2) pombala, 3) musyawarah, 4) mufakat. Dari
sini upaya dialog perlu dilakukan terus menerus, dan dalam konteks Gau
ini, semua peserta berhak untuk memberikan pandangan mereka tentang suatu
masalah sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Ini akan berhubungan dengan
upaya untuk menemukan akar masalahnya. Kebenaran Informasi dari setiap peserta
dialog akan dikonfirmasikan dengan data yang ada di lapangan. Lalu masukkah
pada upaya pengidetifikasian akar masalah dimana seluruh informasi dikumpulkan
untuk menemukan akar masalah guna mencari jalan penyelesaian masalah. Dalam
konteks ini, data-data akan diajukan dan disesuaiakn kebenarannya berdasarkan
berbagai tinjauan. Setelah itu, baru dimusyawarahkan untuk mendapatkan
keputusan atau kemufakatan.
Dalam konteks kasus Wakatobi
dewasa ini, seharusnya pihak-pihak terkait, Pemerintah, LSM, Tokoh Masyarakat,
Mahasiswa, akdemisi, politisi, polisi dan Kejaksaan dan seluruh eleman lainnya
didudukkan untuk memecahkan persoalan dengan baik dan dewasa dan dimediasi oleh
pemerintah Pusat. Karena dengan menggunakan model penyelesaian masalah
berdasarkan konsep tradisional masyarakat Wakatobi - Buton itu, diharapkan
semua dapat menerima hasilnya dan bukannya memberikan ruang untuk terjadinya
konflik horisontal antara pendukung pemerintah dan masyarakat atau seluruh yang
bertikai di lapangan, karena membiarkan ini sama dengan membiarkan terjadinya
proses yang mengarah kepada main hakim sendiri. Di sini perlunya ketegasan
dalam pelaksanaan hukum, baik hukum sara (budaya) yang ditegakan oleh sara
maupun hukum positif yang ditegakkan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Pertanyaannya adalah adakah
keberanian untuk mempertanggung jawabkan seluruh akar masalah atau tidak, sebab
jika masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi tindakan melangar atau dalam
istilah masyarakat Buton-Wakatobi adalah sabara gau, atau limpagi,
maka pelaku harus mampu mepertanggungjawabkan segala tindakannya, baik di
hadapan masyarakat (sara) maupun di hadapan hukum pemerintah RI? ini
akan menjadi ruang bagaimana membangun kehidupan yang lebih baik di Wakatobi,
baik dari segi penegakan hukum maupun dari segi pemenuhan kepentingan umum
masyarakat Wakatobi.
Memang, beberapa minggu
terakhir, gelombang demonstrasi di Wakatobi sudah semakin meningkat, dan itu
jangan hanya dipandang sebagai suatu gerakan politik yang berakar pada dendam
menang kalah dalam pemilu (itu sudah selesai), tetapi lebih arif harus dilihat
sebagai suatu proses pertumbuhan kebudayaan, dimana masyarakat Wakatobi kembali
menemukan jati dirinya untuk melakukan proses demonstrasi yang dalam bahasa
masyarakat tradisional Wakatobi di kenal dengan istilah "TAPA".
Dan menurut Budaya masyarakat Wakatobi, jika seseorang masih di 'tapa'
oleh seorang kerabatnya atau rakyatnya, itu pertanda bahwa orang itu masih
disayangi oleh rakyatnya atau sahabatnya tersebut. Yang berbahaya adalah ketika
semua tindakan itu telah dicuekkan oleh kerabat, anak, tetangga dan sara,
itu pertanda bahwa sebuah negeri itu sudah tidak lagi di sayang oleh rakyatnya,
dan pelan-pelan akan terjadi proses pembangkangan sosial yang berujung pada
tindakan untuk tidak membayar pajak, sebagai langkah protes sosial rakyat pada
pemerintahnya. Dengan demikian, jika terjadi gelombang Demonstrasi atau TAPA
di dalam masyarakat Wakatobi, itu artinya bahwa masyarakat Wakatobi masih
peduli dengan pembangunan dan masa depan Wakatobi. Sehingga siapapun di
Wakatobi harusnya memiliki dan menjalankan konsep Tara, Turu, Toro,
dalam menjalankan pembangunan di Wakatobi. Tara artinya bersabar, Turu artinya
loyal pada tujuan negara, bukan loyal pada oknum pemerintah dan Toro artinya
tetap berpegang teguh pada Undang-undang dan cita-cita negara. Jangan sampai
konsep Turu atau loyal itu dilakukan sebagaimana Kumbakarma dalam melakukan
loyalitas pada Raja Alengka dalam drama India.
Selanjutnya, untuk melanjutkan
pembangunan Wakatobi hendaknya harus mengacu pada nilai-nilai dasar kebudayaan
Wakatobi - Buton yaitu Yinda-Yindamo arata, somanamo karo, Yinda-yindamo
karo, somanamo lipu, yinda-yindamo lipu, somanamo sara, yinda-yindamo sara,
samanamo agama" dengan berlandaskan pada rasa kemanusiaan yang
dimanfestasikan dalam konsep pomaamasiaka, popiapiaraka, poangka-angka taka,
pomae-maeaka.
Banyak orang yang bertindak
sabaragau atau limpagi karena tidak memahami jati dirinya sebagai orang
Wakatobi Buton, dimana telah banyak orang yang tidak menyayangi diri, keluarga,
kampung, sara dan agamanya dengan kepentingan pribadinya yang cinta pada harta,
kedudukan dan jabatan. Mereka mengabaikan kepentingan umum, demi kepentingan
pribadi dan golongannya, mereka melanggar hukum dan adat budayanya demi
mengejar kekayaan pribadi. Untuk itu, jika gelombang demonstrari atau TAPA di
Wakatobi semakin meningkat, maka para leluhur dan masyarakat wakatobi
meenunjukkan masih tetap mencintai Wakatobi.
Dengan demikian, ke depan di
harapkan pemerintah dan seluruh masyarakat Wakatobi harus lebih berhati-hati
dalam menjalankan keseharian mereka jangan sampai melakukan tindakan sabaragau
dan limpagi, sehingga berakhir dengan tapa atau demonstrasi. Karena budaya Tapa
itu merupakan budaya masyarakat Wakatobi sebagai wujud perhatian mereka
terhadap harga diri, kampung, hukum (sara) dan agama. Oleh karena itu,
demosntrasi atau Tapa yang konsruktif merupakan sara perjuangan untuk tetap
menjaga keberadaan pembangunan berada pada jalur yang sesuai dengan kebutuhan
individu, masyarakat, hukum dan agama. Bukan kepentingan pribadi yang
mengabaikan kepentingan yang lainnya.
Di sinilah, langkah konkrit
pemerintah daerah dan pusat diperlukan terutama dalam menjalankan tugasnya
mengusut berbagai akar masalah yang sementara di kritik oleh masyarakat, sebab
jika pemerintah Daerah (Kepolisian, Kejakasaan dan pemerintah Pusat) tidak
mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan akar-akar demonstrasi itu, maka
tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konfil horisontal di dalam masyarakat
Wakatobi di masa depan, ini disebabkan karena filosofi dari TAPA itu
adalah, jika di Tapa dengan kata-kata tidak berubah atau tidak insyaf, maka
harus menggunakan tapa dengan tangan, dan ini sangat berbahaya. Untuk itu,
pihak terkait dengan penyelesaian masalah ini hendaknya jangan main-main,
karena ketika demonstrasi terus dibiarkan, maka kemungkinan akan menjurus
kepada kekacauan akan semakin meningkat dan itu sangat berdampak pada
pembangunan ekonomi serta kehidupan sosial dalam masyarakat Wakatobi dan itu
artinya akan menyimpang dari Tujuan Pembangunan Wakatobi yang memiliki Visi dan
Misi Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut
di Jantung Segi Karang Dunia, ternyata di atas hanyalah kekacauan dan
permusuhan yang dibangun atas dendam yang dibiarkan. Saya pikir, itu semua
adalah mimpi kita bersama menciptakan surga di Wakatobi yang indikatornya
adalah keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Wakatobi.