Minggu, 30 Januari 2011

Kuterjemahkan dan kuberi komentar syair ini untukmu, bangsaku!

Oleh: Asrif Wakatobi pada 10 Desember 2010 jam 2:37

Kuterjemahkan dan kuberi komentar syair ini untukmu, bangsaku! Supaya engkau lebih lagi mengetahui betapa sudah tinggi kebudayaan jiwamu di abad-abad yang lalu. Dan, betapa hebat usahamu di masa-masa yang lampau untuk ketinggianmu.
                                                 
Bukan aku inginkan balik ke masa itu. Tiada yang hendak kembali ke masa perahu layar karoro, ini masa kapal atom, sputnik, explorer! Aku hanya mengharapkan semoga engkau mengadakan perbandingan. Semoga diusahakan keseimbangan: Dahulu, ketika engkau melayarkan perahu karoromu, tanganmu beruratkan kawat dan hatimu bersemangatkan api. Sekarang, di masa sputnik explorer ini, tetapkah kawat urat-uratmu dan api hatimu? Tetappun kau masih memalukan. Seharusnya tanganmu sudah waja dan hatimu cahaya kosmos.

Inilah salah satu terjemahan dari salah satu karangan-karanganmu di masa yang lampau. Ketika engkau masih menulis dengan bulu burung atau dengan segar. Sekarang, dengan vulpen atommu, kutanya engkau, “Berapa lebih tinggi mutu karanganmu?” Dan yang terpenting: isinya, kebesaran isinya, kekerasan citanya! Lihatlah cita Ubermenschmu yang telah kau buat dahulu ini. Cita Ubermensch yang Uber karena dan demi Tuhan! Sekarang katanya engkau, “Sudah kau realisasikankah cita Ubermenschmu dewasa ini?”

Aku bukan hendak memalukanmu. Engkau telah merana ketika engkau sedang tumbuh karena tindakan bangsa yang lebih tua dirimu. Kalau engkau bertumbuh terus tak terusik, sekurang-kurangnya engkau akan lebih dari kini. Itu yang kukehendaki supaya engkau ketahui dengan nyata! Di dirimu ada benih yang besar. Tumbuhkanlah! Dan tunas-tunasmu yang telah tumbuh dahulu, segarkanlah!

Semoga, zaman kemerdekaan ini akan menghebatkanmu kembali jauh lebih dari masa-masa yang lampau, di lapangan materi dan di dunia rohani.

Jakarta, 10 Oktober 1958
La Ode Malim

Catatan di atas merupakan catatan pendahuluan almarhum La Ode Malim pada buku berjudul “Membara di Api Tuhan” yang ditulis pada tahun 1958 dan dipublikasikan pada tahun 1983. Buku “Membara di Api Tuhan” merupakan terjemahan dan penghayatan La Ode Malim atas syair “Bulamalino” gubahan Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin. Akumulasi terjemahan dan penghayatan La Ode Malim melahirkan deskripsi yang kemudian terangkai menjadi sebuah buku “Membara di Api Tuhan”.

Bun, walau saya tidak pernah melihat wajah ayahmu, tidak pernah mendengar suara ayahmu, tidak pernah bersalaman dengan ayahmu, tetapi saat ini, saya merasa melihat sosok ayahmu yang kuat, tegas, cerdas, dan dekat dengan-Nya.

Bun, sejak di bangku kuliah tahun 1996, kita telah banyak menghabiskan waktu bersama. Bahkan, Bun telah menyempatkan dirimu ke kampungku di pulau Tomia. Begitu juga sebaliknya, rumah tempat tinggalmu di Tanah Abang dan kini di Bukit Wolio juga telah saya kunjungi. Tetapi, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirmu tentang ayahmu. Bun tidak pernah cerita jika ayah Bun adalah seorang cendekia, agamis, tokoh pendidikan, bahkan pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.

Di pertengahan waktuku di Leiden, Belanda, saya dipertemukan dengan sebuah buku tulisan ayahmu. “Kesenian Daerah Wolio” ayahmu menamai buku itu. Dan, pada ujung waktu saya di Leiden, tiga hari sebelum meninggalkan kota ini, saya berjumpa dengan karya ayahmu, “Membara di Api Tuhan”., ditulis oleh ayahmu, 19 tahun  sebelum dirimu lahir. Perjumpaan saya dengan karya ayahmu yang terakhir, terinspirasi komentar seorang senior di Kendari yang menceritakan “semangat” ayahmu yang ternyata sangat dikaguminya.

Komentar senior itu menggerakkan jemariku untuk mengetik nama ayahmu “La Ode Malim” di akun sebuah perpustakaan di negeri Belanda. Dari layar notebookku, terpampang dua buah buku dengan judul yang berbeda dan nama yang berbeda. “Ini tidak mungkin!”, pikirku. Walau baru beberapa bulan di perpustakaan ini, saya tau-tau sedikit dengan kemampuan profesional pengelola perpustakaan ini. Bun, saya tidak tahu, perasaan apa yang saya alami saat melihat dua buah buku, berbeda judul, berbeda nama, padahal, nyata-nyata saya hanya mengetik satu nama “La Ode Malim!”

Di layar notebookku, ada dua buku hasil pencairan dengan menggunakan nama ayahmu. Buku 2 rupanya telah saya baca diparuh kehadiranku di negeri ini, sedangkan buku bernomor urut 1 belum pernah saya lihat apalagi membacanya. Ada yang aneh, hatiku berkata. Setahu saya, perpustakaan ini akan memunculkan buku yang memiliki keterkaitan dengan buku yang kita cari. Tetapi, entah karena apa buku “Membara di Api Tuhan” tidak pernah hadir saat saya mengetik “Buton”. Bukankah buku itu harus terpampang di layar monitor?

Bun, pada halaman pendahuluan buku “Membara di Api Tuhan”, ayahmu telah memperlihatkan baranya yang membara ke relung jiwa. Ayahmu juga menyatakan sikap tegasnya terhadap bangsa dan generasi, setegas waja yang seharusnya telah menjalari urat-urat nadi generasi hari ini. Bun, ayahmu berkata:

Bukan aku inginkan balik ke masa itu.
Aku bukan hendak memalukanmu.
Di dirimu ada benih yang besar.
Tumbuhkanlah!
Dan tunas-tunasmu yang telah tumbuh dahulu, segarkanlah!

Tiga hari sebelum mudik ke tanah air, saya baru dipertemukan dengan "Membara di Api Tuhan" tulisan Bapak La Ode Malim.
Ayah dari sahabat saya yang tidak pernah mengisahkan tentang ayahnya kepada saya selama tahunan kami berkawan.
Buku ini mendeskripsikan banyak hal tentang kebudayaan Buton dan kebudayaan daerah di sekitar Buton.

Suasanya nyaman berada dalam ruang perpustakaan.
Loker pengambilan buku yang telah dipesan. Scan kartu perpustakaan, loker pesanan buku akan terbuka secara otomatis, (Asrif).

Tidak ada komentar: