Oleh: Sumiman Udu, 25/01/2011
Sebagai sebuah bangsa dan sebuah kebudayaan yang hidup dalam masyarakatnya, Buton telah melewati perjalanan panjang. Perjalanan itu, paling tidak telah melewati beberapa fase perjalanan hidup manusia, yaitu fase mitologi, ideologi dan fase ilmu pengetahuan.
Dalam menjejak perjalannya tersebut, Bangsa Buton telah membentuk sejarahnya dalam berbagai fase kehidupannya. Berdasarkan semangat zamannya, bangsa Buton pernah melewati masa mitologi, dimana manusia memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya, sehingga diperlukan kekuatan lain di luar dirinya. Pada masa itu, seluruh kehidupan masyarakat Buton selalu dihubungkan dengan cerita atau mitos-mitos yang menjadi dasar dari seluruh tatanannya, katakanlah, mitos yang ada dalam legenda Wakaakaa, raja pertama Buton.
Dalam legenda tersebut, dikisahkan tentang kehidupan Wakaaka yang lahir dari pohon bambu. Ini merupakan interteks dari semangat Zaman di negeri-negeri lain, misalnya hikayat Negeri Pasai, Hikayat Negeri Banjar dan bahkan Hikayat-hikayat lain yang asal-usul rajannya berasal dari benda-benda yang berasal dari luar tubuh manusia. Ini dimaksudkan untuk menciptakan narasi kesaktian untuk seseorang yang akan dijadikan sebagai seorang raja. Ini merupakan semangat Zaman yang ada pada era itu.
Selanjutnya, Buton melewati kesadaran baru yaitu fase Ideologi. Dalam memasuki fase ini, Buton berhadapan dengan ruang-ruang kekuasaan. Pada ranah inilah, Buton terbagi dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan suatu cara pandang tertentu, asumsi dasar tertentu. Dampaknya adalah, terjadi proses-proses penghancuran terhada ideologi-ideologi lain yang pernah berkembang di Buton, dan memilih untuk membiarkan satu ediologi yang tentunya adalah ideologi yang berkuasa. Katakanlah, bahwa Buton kehilangan banyak jejak yang lenyap, yaitu jejak-jejak kebudayaan yang saling berebut pengaruh.
Dampak besar dari fase ini adalah terpecahnya masyarakat Buton dalam berbagai ideologi. Sehubungan dengan masalah tersebut, Ideologi yang berkuasa di Buton membentuk apa yang kita kenal dengan upaya pembentukan ideologi yang dapat kita temukan dalam berbagai tradisi lisan dan naskah kita. Ideologi yang berbasis Islam, telah membentuk Buton sebagai sebuah kesultanan. Tentunya, tetap mendorong Buton pada perpecahan, terutama dalam memperebutkan pengaruh antarideologi yang ada dalam masyarakat Buton.
Untuk itu, masyarakat terpecah, tatanan dibangun dan hanya menguntungkan orang-orang terntentu. Dan secara tidak langsung membangun perlawanan baru, atau saling berebut kekuasaan. Maka terbangunlah kamboru-mboru tolu palena, yang merupakan manifestasi dari ideologi yang ada dalam suatu masyarakat Buton. Terbangunlah, strata sosial yang memisahkan manusia Buton menjadi manusia batua, papara, maradika, walaka dan kaomu. Yang tentunya akan melahirkan kondisi, ada yang diuntungkan dan dirugikan dengan dampak politik seperti itu.
Anehnya, ketika dunia lain, berubah dengan mengadopsi berbagai bentuk epistemologi (ilmu pengetahuan) mulai dari:
1. Evolusionisme (Evolutionism)
2. Paradigma Diffusionisme (Diffusionism)
3. Paradigma (Partikularisme) Historis (Historical Particularism)
4. Paradigma Fungsionalisme (Functionalism)
5. Paradigma Fungsionalisme-Struktural (Structural-Functionalism)
6. Paradigma Analisis Variabel (Variable Analysis)
7. Paradigma Perbandingan Kebudayaan (Cross-Cultural Comparison)
8. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)
9. Paradigma Strukturalisme (Structuralism)
10. Paradigma Tafsir Kebudayaan (Interpretive)
11. Paradigma Materialisme Budaya (Cultural Materialism)
12. Paradigma Materialisme Historis (Historical Materialism)
13. Paradigma Aktor (Actor-Oriented Approach)
14. Paradigma Etnosains (Ethnoscience/Phenomenological)
15. Paradigma Post-Modernisme (Post-Modernism)
rupanya masyarakat Buton, belum pernah berubah, mereka masih tetap pada tahap berpikir mitologi dan ideologis yang pada akhirnya mereka tertinggal dalam segala hal.
Ini perlu direnungkan kembali, kemana arah pembangunan Buton, apakah kita sudah siap memasuki ranah baru, ranah ilmu pengetahuan, sehingga orang buton dapat hidup berdampingan berdasarkan kinerja dan kreatifitas, bukan lagi tergantung pada mitologi dan ideologis yang menyeret perpecahan dan pembodohan. karena di dalam masyarakat Buton, tetap tumbuh orang-orang yang merasa ekslusif dan minder. Dimana orang-orang yang merasa ekslusif akan selalu memandang dan mefonis orang lain dengan pandangannya, sekaligus kecongkakannya, dan ini tidak baik untuk pembangunan buton di masa depan.
Sekali lagi, bangsa buton sudah saatnya untuk bangun berdasarkan epistemologi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai landansan pembangunannya, karena "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak dapat mengubah nasibnya sendiri". Dan mereka yang dapat berubah adalah mereka yang memiliki kesadaran, dan tentunya orang yang memiliki kesadaran adalah orang yang berilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Wasalam,
Sebagai sebuah bangsa dan sebuah kebudayaan yang hidup dalam masyarakatnya, Buton telah melewati perjalanan panjang. Perjalanan itu, paling tidak telah melewati beberapa fase perjalanan hidup manusia, yaitu fase mitologi, ideologi dan fase ilmu pengetahuan.
Dalam menjejak perjalannya tersebut, Bangsa Buton telah membentuk sejarahnya dalam berbagai fase kehidupannya. Berdasarkan semangat zamannya, bangsa Buton pernah melewati masa mitologi, dimana manusia memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya, sehingga diperlukan kekuatan lain di luar dirinya. Pada masa itu, seluruh kehidupan masyarakat Buton selalu dihubungkan dengan cerita atau mitos-mitos yang menjadi dasar dari seluruh tatanannya, katakanlah, mitos yang ada dalam legenda Wakaakaa, raja pertama Buton.
Dalam legenda tersebut, dikisahkan tentang kehidupan Wakaaka yang lahir dari pohon bambu. Ini merupakan interteks dari semangat Zaman di negeri-negeri lain, misalnya hikayat Negeri Pasai, Hikayat Negeri Banjar dan bahkan Hikayat-hikayat lain yang asal-usul rajannya berasal dari benda-benda yang berasal dari luar tubuh manusia. Ini dimaksudkan untuk menciptakan narasi kesaktian untuk seseorang yang akan dijadikan sebagai seorang raja. Ini merupakan semangat Zaman yang ada pada era itu.
Selanjutnya, Buton melewati kesadaran baru yaitu fase Ideologi. Dalam memasuki fase ini, Buton berhadapan dengan ruang-ruang kekuasaan. Pada ranah inilah, Buton terbagi dalam sistem pemerintahan yang berdasarkan suatu cara pandang tertentu, asumsi dasar tertentu. Dampaknya adalah, terjadi proses-proses penghancuran terhada ideologi-ideologi lain yang pernah berkembang di Buton, dan memilih untuk membiarkan satu ediologi yang tentunya adalah ideologi yang berkuasa. Katakanlah, bahwa Buton kehilangan banyak jejak yang lenyap, yaitu jejak-jejak kebudayaan yang saling berebut pengaruh.
Dampak besar dari fase ini adalah terpecahnya masyarakat Buton dalam berbagai ideologi. Sehubungan dengan masalah tersebut, Ideologi yang berkuasa di Buton membentuk apa yang kita kenal dengan upaya pembentukan ideologi yang dapat kita temukan dalam berbagai tradisi lisan dan naskah kita. Ideologi yang berbasis Islam, telah membentuk Buton sebagai sebuah kesultanan. Tentunya, tetap mendorong Buton pada perpecahan, terutama dalam memperebutkan pengaruh antarideologi yang ada dalam masyarakat Buton.
Untuk itu, masyarakat terpecah, tatanan dibangun dan hanya menguntungkan orang-orang terntentu. Dan secara tidak langsung membangun perlawanan baru, atau saling berebut kekuasaan. Maka terbangunlah kamboru-mboru tolu palena, yang merupakan manifestasi dari ideologi yang ada dalam suatu masyarakat Buton. Terbangunlah, strata sosial yang memisahkan manusia Buton menjadi manusia batua, papara, maradika, walaka dan kaomu. Yang tentunya akan melahirkan kondisi, ada yang diuntungkan dan dirugikan dengan dampak politik seperti itu.
Anehnya, ketika dunia lain, berubah dengan mengadopsi berbagai bentuk epistemologi (ilmu pengetahuan) mulai dari:
1. Evolusionisme (Evolutionism)
2. Paradigma Diffusionisme (Diffusionism)
3. Paradigma (Partikularisme) Historis (Historical Particularism)
4. Paradigma Fungsionalisme (Functionalism)
5. Paradigma Fungsionalisme-Struktural (Structural-Functionalism)
6. Paradigma Analisis Variabel (Variable Analysis)
7. Paradigma Perbandingan Kebudayaan (Cross-Cultural Comparison)
8. Paradigma Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality)
9. Paradigma Strukturalisme (Structuralism)
10. Paradigma Tafsir Kebudayaan (Interpretive)
11. Paradigma Materialisme Budaya (Cultural Materialism)
12. Paradigma Materialisme Historis (Historical Materialism)
13. Paradigma Aktor (Actor-Oriented Approach)
14. Paradigma Etnosains (Ethnoscience/Phenomenological)
15. Paradigma Post-Modernisme (Post-Modernism)
rupanya masyarakat Buton, belum pernah berubah, mereka masih tetap pada tahap berpikir mitologi dan ideologis yang pada akhirnya mereka tertinggal dalam segala hal.
Ini perlu direnungkan kembali, kemana arah pembangunan Buton, apakah kita sudah siap memasuki ranah baru, ranah ilmu pengetahuan, sehingga orang buton dapat hidup berdampingan berdasarkan kinerja dan kreatifitas, bukan lagi tergantung pada mitologi dan ideologis yang menyeret perpecahan dan pembodohan. karena di dalam masyarakat Buton, tetap tumbuh orang-orang yang merasa ekslusif dan minder. Dimana orang-orang yang merasa ekslusif akan selalu memandang dan mefonis orang lain dengan pandangannya, sekaligus kecongkakannya, dan ini tidak baik untuk pembangunan buton di masa depan.
Sekali lagi, bangsa buton sudah saatnya untuk bangun berdasarkan epistemologi dan memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai landansan pembangunannya, karena "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tidak dapat mengubah nasibnya sendiri". Dan mereka yang dapat berubah adalah mereka yang memiliki kesadaran, dan tentunya orang yang memiliki kesadaran adalah orang yang berilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Wasalam,