Sabtu, 02 Februari 2013

[JAS DAN PANTALON PUTIHMU * Kenangan kepada Bung Hatta]



Oleh Taufiq Ismail

Di awal abad 21. pada suatu subuh pagi aku berjalan di Bukittinggi,

Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum dilangkahi matahari,

Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,

Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang, berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,

Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, awal abad 20, lahir seorang bayi laki-laki yng kelak akan menuliskan alfabet cita-cita bangsa di langit pemikirannya dan merancang peta negara di atas prahara sejarah manusianya,

Dia tidak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka dengan uang yang kalian samarkan dengan bantuan, yang pada hakekatnya hutang itu!"

Suara lantang 39 tahun silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut di Kali Barantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar, hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200 juta manusia,

Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki, di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedar diisi. Setiap mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah berata seng di Aue Tajungkang nonor 37 ini, yang awal abad 20 lalu tampat lahir seorang bayi laki-laki,

Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,

Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku? Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.

Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,

Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur bercerai-berai,

Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput dari sekitar kita,

Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurus yang tabung, waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas padat, tata hidup yang hemat,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantalon putihnya, simbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi berhutang, kesederhanaa yang berkilau gemilang,

Kesederhanaan. Ternyata aku tidak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam krangkeng baja materealisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba-bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televisi dan gaya hidup imitasi,

Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku yang berpanjang panjang. Angku Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,

Tepat waktu. Bung Hatta adalah teladan tepat waktu untuk sebuah bangsa yang selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat. Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.

Kelurusan dan Kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibagun di dalam sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang ditipu terus menerus itu.

Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantalon putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.

(Sumber: Rantau-net)