Oleh:
Sumiman Udu.
Wanianse, selalu bersyukur atas segala karunia yang diturunkan oleh Allah pada mereka. Walau rindu selalu membuatnya sedih, tetapi cita-citanya untuk menyekolahkan kedua anaknya, membuat rindunya terpaut pada doa untuk kesehatan suaminya di rantau orang.
Setiap Shalat ia doakan suaminya. karena ia percaya bahwa perempuan bertanggung jawab atas keselamatan suaminya di luar rumah. begitu ia teringat pada pesan neneknya dulu. Maka sejak ia menikah, setiap suaminya keluar rumah, ia harus tetap mendoakan keselamatan suaminya.
Ia juga tetap menjaga kesucian dirinya sebagai istri yang ditinggal suami selama bertahun-tahun. Dengan berat, hari-hari dilaluinya dengan penuh mimpi bahwa kedua anaknya dapat kuliah di Universitas Besar sebagaimana impiannya beberapa tahun lalu, tidak kuliah hanya karena tidak punya uang.
Maka suatu, hari Wanianse dengan kedua anaknya, pergi berkunjung ke Gunung Tindoi, di situ ia diantar oleh seorang nenek ke gunung itu, Wanianse berpikir, bahwa suaminya itu harus di doakan di tempat seperti itu, agar terkabul dan diberi keselamatan, kesehatan dan rizki. Maka pergilah memasuki hutan tempat kuburan tua itu berada, "kuburan Waode Rio dan La Samburaka".
Suasana lingkungan hutan tindoi, di tengah hari dengan suhu 30 derajat selsius, membuat nyaman tinggal di sekitar kuburan itu. mereka minta di doakan oleh nenek penjaga kubur itu. Mereka menyimpan uang, sebagai uang sesaji.
Selesai berdoa, Wanianse bertanya pada nenek itu, "Ini kuburannya siapa?"
maka berceritalah panjang lebar nenek itu tentang dua kuburan itu, dan akhinrya mereka pulang menjelang jam tiga sore.
setiba di rumah, karena perjalanan mereka naik motor terjauh dari Tindoi ke kampungnya di Wangi-Wangi Timur, maka tiba dikampung mereka sudah menjelang makgrib. Mereka terus ke Molii dan mandi. dan stelah pulang, mereka makan dan seperti biasa, mereka menuju tempat tidur.
Ina, ceritakan kita pih tentang Lakolo-kolopoua kene landoke-ndokoe," pinta Wa Leja, maka semua sepakat, maka dimulailah cerita oleh Wanianse.
Suatu waktu La Kolopua dan La Ndoke-ndkoe berkunjung ke suattu kuburan tua, dan setelah tiba di sana maka terjadilah sebuah diskusi yang dilakukan oleh Landoke-ndoke dengan Lakolo-kolopua, ketika mereka berkunjung sesebuah kuburan tua, yang dianggap oleh mereka berdua bahwa itu adalah karamah.
"Ndoke, pernahkah kau berpikir bahwa ini adalah kuburan yang dihormati?" tanya La Kolopoua.
"Memangnya kenapa Saudaraku?" tanya La Ndoke.
"Begini saudaraku, banyak orang di dunia ini hanya mampu bercerita tentang leluhurnya, yang mereka anggap hebat, tetapi mereka sendiri tidak hebat lagi," jawab La Kolopua.
"Betul juga ya?" jawab La Ndoke.
"Lalu apa yang kau pikirkan sekrang La Kolopua?" tanya La Ndoke lagi.
"Menurut saya, orang yang banyak mengenang-ngenang masa lalu leluhurnya itu, sebenarnya secara tidak langsung merupakan pernyataan mereka atas kegagalannya mengambil peran di kehidupan mereka hari ini," Landoke menatap La Kolopua.
"Oh, rupanya, banyak orang yang hanya mau hidup dengan mengenang masa lalu leluhurnya, dan itukan ruang kegagalan mereka yagn paling sempurna," ujar La Ndoke lagi.
La kolopua tertawa, sebab ketika ia berkunjung ke suatu bekas kota, ia melihat manusia menangisi tempat duduk rajanya, karena hari ini sudah diduduki oleh orang yang tidak berasal dari bangsa mereka.
"bukankah itu juga sama juga dengan sebuah kegagalan?" tanya La Ndoke lagi.
"Hehehe, itumi, sepertinya mereka harus terbangun bahwa dunia hari ini sudah jauh berubah,"
"itumi juga kau La Kolopua, masa kau mau tanam pisang di karang agar kau tidak perlu menyiramnya, karena banyak air laut.
"Ndoke, ko masih ingatkah itu? saya sudah lupami, kita berbuat saja la, tidak usah ko ingat-ongat yang gagal begitu," pinta La Kolopua.
"Memangnya kenapa, bukankah mengingat masa lalu itu merupakan pelajaran?
"begini saja La Ndoke, jangan kau hiraukan soal apa pun yang terjadi, di Kota Lama itu sekarang 'kan, banyak Kafe, dan perempuan cantik yang mau mengambil kita menjadi anaknya, jadi kita dapat minum dan makan dengan gratis, apa lagi gadis-gadis cantik itukah juga dari negeri seberang?
"Jangan ko bilang teman, dari sini juga sudah adami yang mau mengambilmu sebagai anak, adal ada uangmu hehehee.
"Oh, ya, ko di daerah yang dulu nilai-nilai budaya dikatakan tinggi ini, tetapi mereka tidak menghiraukan aspek moral, kecuali simbol-simbol, Yah, itukan mereka sudah banyak kalah dalam sejarah mereka.
"Jari nohamaamo wa ina?" tanya La Ijo sedangkan Wa Leja sudah tertidur, cerita sedah melebihi obat tidur untuk Wa Leja.
"Setelah mereka pergi jalan-jalan di sana itu, mereka pergi ke laut untuk mencari kerang-kerang, dan ternyata keduanya mendapat banyak kawu, dan ketika mereka makan, tangan La Ndoke di gigit oleh Kawu.
kita tidurmi dulu nak, karena kau tidak lama lagi akan sekolah.
"Tunggu dulu Wa Ina, masa Landoke dengan Lakolopua seperti kita yang datang ke kuburan tadi siang," tanya La Ijo, tetapi Wanianse hanya tersenyum, diam menatap anaknya. maka tidak lama kemudian, keheningan mengantar mereka ke dunia masing-masing. Wanianse tentunya kepada suaminya di rantau, dan hari-hari ketika mereka pertama menapaki hidup bersama dulu, dalam bayangnya, Wanianse tersenyum indah, seindah malam pertama dulu.
Maka tidurlah Wa Nianse dengan anaknya, lampu minyak menyinari mereka, sementara teriakan dan bunyi gitar anak-anak muda yang melantunkan kabanti masih menghiasi perkampungan di pinggir karang itu.
Sumiman Udu.
Wanianse, selalu bersyukur atas segala karunia yang diturunkan oleh Allah pada mereka. Walau rindu selalu membuatnya sedih, tetapi cita-citanya untuk menyekolahkan kedua anaknya, membuat rindunya terpaut pada doa untuk kesehatan suaminya di rantau orang.
Setiap Shalat ia doakan suaminya. karena ia percaya bahwa perempuan bertanggung jawab atas keselamatan suaminya di luar rumah. begitu ia teringat pada pesan neneknya dulu. Maka sejak ia menikah, setiap suaminya keluar rumah, ia harus tetap mendoakan keselamatan suaminya.
Ia juga tetap menjaga kesucian dirinya sebagai istri yang ditinggal suami selama bertahun-tahun. Dengan berat, hari-hari dilaluinya dengan penuh mimpi bahwa kedua anaknya dapat kuliah di Universitas Besar sebagaimana impiannya beberapa tahun lalu, tidak kuliah hanya karena tidak punya uang.
Maka suatu, hari Wanianse dengan kedua anaknya, pergi berkunjung ke Gunung Tindoi, di situ ia diantar oleh seorang nenek ke gunung itu, Wanianse berpikir, bahwa suaminya itu harus di doakan di tempat seperti itu, agar terkabul dan diberi keselamatan, kesehatan dan rizki. Maka pergilah memasuki hutan tempat kuburan tua itu berada, "kuburan Waode Rio dan La Samburaka".
Suasana lingkungan hutan tindoi, di tengah hari dengan suhu 30 derajat selsius, membuat nyaman tinggal di sekitar kuburan itu. mereka minta di doakan oleh nenek penjaga kubur itu. Mereka menyimpan uang, sebagai uang sesaji.
Selesai berdoa, Wanianse bertanya pada nenek itu, "Ini kuburannya siapa?"
maka berceritalah panjang lebar nenek itu tentang dua kuburan itu, dan akhinrya mereka pulang menjelang jam tiga sore.
setiba di rumah, karena perjalanan mereka naik motor terjauh dari Tindoi ke kampungnya di Wangi-Wangi Timur, maka tiba dikampung mereka sudah menjelang makgrib. Mereka terus ke Molii dan mandi. dan stelah pulang, mereka makan dan seperti biasa, mereka menuju tempat tidur.
Ina, ceritakan kita pih tentang Lakolo-kolopoua kene landoke-ndokoe," pinta Wa Leja, maka semua sepakat, maka dimulailah cerita oleh Wanianse.
Suatu waktu La Kolopua dan La Ndoke-ndkoe berkunjung ke suattu kuburan tua, dan setelah tiba di sana maka terjadilah sebuah diskusi yang dilakukan oleh Landoke-ndoke dengan Lakolo-kolopua, ketika mereka berkunjung sesebuah kuburan tua, yang dianggap oleh mereka berdua bahwa itu adalah karamah.
"Ndoke, pernahkah kau berpikir bahwa ini adalah kuburan yang dihormati?" tanya La Kolopoua.
"Memangnya kenapa Saudaraku?" tanya La Ndoke.
"Begini saudaraku, banyak orang di dunia ini hanya mampu bercerita tentang leluhurnya, yang mereka anggap hebat, tetapi mereka sendiri tidak hebat lagi," jawab La Kolopua.
"Betul juga ya?" jawab La Ndoke.
"Lalu apa yang kau pikirkan sekrang La Kolopua?" tanya La Ndoke lagi.
"Menurut saya, orang yang banyak mengenang-ngenang masa lalu leluhurnya itu, sebenarnya secara tidak langsung merupakan pernyataan mereka atas kegagalannya mengambil peran di kehidupan mereka hari ini," Landoke menatap La Kolopua.
"Oh, rupanya, banyak orang yang hanya mau hidup dengan mengenang masa lalu leluhurnya, dan itukan ruang kegagalan mereka yagn paling sempurna," ujar La Ndoke lagi.
La kolopua tertawa, sebab ketika ia berkunjung ke suatu bekas kota, ia melihat manusia menangisi tempat duduk rajanya, karena hari ini sudah diduduki oleh orang yang tidak berasal dari bangsa mereka.
"bukankah itu juga sama juga dengan sebuah kegagalan?" tanya La Ndoke lagi.
"Hehehe, itumi, sepertinya mereka harus terbangun bahwa dunia hari ini sudah jauh berubah,"
"itumi juga kau La Kolopua, masa kau mau tanam pisang di karang agar kau tidak perlu menyiramnya, karena banyak air laut.
"Ndoke, ko masih ingatkah itu? saya sudah lupami, kita berbuat saja la, tidak usah ko ingat-ongat yang gagal begitu," pinta La Kolopua.
"Memangnya kenapa, bukankah mengingat masa lalu itu merupakan pelajaran?
"begini saja La Ndoke, jangan kau hiraukan soal apa pun yang terjadi, di Kota Lama itu sekarang 'kan, banyak Kafe, dan perempuan cantik yang mau mengambil kita menjadi anaknya, jadi kita dapat minum dan makan dengan gratis, apa lagi gadis-gadis cantik itukah juga dari negeri seberang?
"Jangan ko bilang teman, dari sini juga sudah adami yang mau mengambilmu sebagai anak, adal ada uangmu hehehee.
"Oh, ya, ko di daerah yang dulu nilai-nilai budaya dikatakan tinggi ini, tetapi mereka tidak menghiraukan aspek moral, kecuali simbol-simbol, Yah, itukan mereka sudah banyak kalah dalam sejarah mereka.
"Jari nohamaamo wa ina?" tanya La Ijo sedangkan Wa Leja sudah tertidur, cerita sedah melebihi obat tidur untuk Wa Leja.
"Setelah mereka pergi jalan-jalan di sana itu, mereka pergi ke laut untuk mencari kerang-kerang, dan ternyata keduanya mendapat banyak kawu, dan ketika mereka makan, tangan La Ndoke di gigit oleh Kawu.
kita tidurmi dulu nak, karena kau tidak lama lagi akan sekolah.
"Tunggu dulu Wa Ina, masa Landoke dengan Lakolopua seperti kita yang datang ke kuburan tadi siang," tanya La Ijo, tetapi Wanianse hanya tersenyum, diam menatap anaknya. maka tidak lama kemudian, keheningan mengantar mereka ke dunia masing-masing. Wanianse tentunya kepada suaminya di rantau, dan hari-hari ketika mereka pertama menapaki hidup bersama dulu, dalam bayangnya, Wanianse tersenyum indah, seindah malam pertama dulu.
Maka tidurlah Wa Nianse dengan anaknya, lampu minyak menyinari mereka, sementara teriakan dan bunyi gitar anak-anak muda yang melantunkan kabanti masih menghiasi perkampungan di pinggir karang itu.