Kamis, 20 Oktober 2016

TE TULA-TULA NU SINGA SUMAMBIRA (Cerita Raja Hutan yang Galau)



Oleh:
Sumiman Udu

            Malam itu suasana Bulan Purnama menyinari halaman rumah kecil orang tuaku di Longa Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Di halaman rumah itulah berdiri sebuah rumah Jaga atau orang Wakatobi menyebutnya dengan istilah bhantea. Maklum waktu itu, wilayah Longa belum mendapatkan jaringan listrik, sehingga hiburan satu-satunya adalah cerita rakyat sambil berbaring.
            Beberapa orang anak selalu datang untuk mendengarkan cerita itu, dan datanglah beberapa orang tua yang selalu menyumbangkan cerita.
“Anak-anak, malam ini Kakek ingin menceritakan tentang Raja Hutan yang Galau, Apakah kalian pernah mendengarnya? Serempak anak-anak menjawab, “Belum Kek, wana umpa na tula-tulano? (bagaimana jalan ceritanya” salah seorang anak menimpali pertanyaan kakek tadi.
Beberapa orang dewasa juga duduk bersandar di tiang-tiang bhantea malam itu. mereka terdiam, sesekali mereka mengisap rokoknya. Ada yang terbatuk, dan sebenarnya mereka juga senang mendengarkan cerita si kakek. Sang kakek, yang sarat dengan pengalaman berlayar itu memulai ceritanya. Mentara anak-anak di kampung itu selalu menyempatkan diri untuk datang mendengarkan cerita di bhantea itu. Kebetulan malam itu, malam minggu.
“Pada zaman dahulu kala, terdapat sebuah hutan yang dihuni oleh semua binatang,” kakek itu memulai ceritanya seperti malam malam sebelumnya. Sementara anak-anak sudah mulai hening. Di jalan berbatu yang hanya diterangi sinar bulan purnama menambah suasana malam itu menjadikan kampung semakin sempurna dalam kesunyiannya. Hanya sesekali ombak Laut Banda memecah dibibir pantai yang tidak jauh dari bhantea tersebut.
“Di hutan yang kaya akan berbagai jenis makanan itu, tumbuh berbagai jenis binatang. Singa menjadi Raja di hutan itu. Ia hidup berkecukupan, semua jenis binatang dapat dijadikannya sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Ia memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun, termasuk memangsa seluruh mahkluk yang disukainya. Kambing, kerbau, anjing selalu menjadi pilihan menunya sepanjang waktu.

Sabtu, 17 September 2016

SEHARI YANG MENGUBAH GALELA




Sumiman Udu dan Saleh Hanan bersama H. La Tara

Sore itu, pertemuan dengan Pak H. La Tara, mengisahkan banyak hal. Perjalanan hidupnya yang pernah dipenjara, karena di tuduh PKI, hingga peristiwa mengerikan. Peristiwa mengerikan itu, dimulai dari kisah meledaknya perahu Tomia di Perairan utara Halmahera. Untuk mengisahkan pertemuannya dengan H. La Tara, Saleh Hanan mengurainya dalam tulisan begini.

"Apa itu? Dentuman! Seseorang mencungkil silinder baja, bom bekas perang dunia kedua, salah dan fatal. Orang-orang perahu dari Tomia yang mencungkil, mengumpul dan berdagang bubuk mesiu bom sisa perang itu tercabik, roboh dalam satu letupan. Mesiu cungkilan, mata dagangan yang mengubah jalan perahu dari komoditi pertanian ke bahan peledak. Ledakan yang membuka mata ke Galela, petugas berdatangan. Perahu-perahu fenes merasa tertuduh, hilang nyali ke Galela. Harga kopra jatuh – Galela 1950.  Tahun 1954, 1959 beberapa perahu fenes masih masuk tapi tidak sepadat sebelum ledakan. Seperti kebiasaan menghindari banyak urusan dengan petugas, maka untuk sekian lama fenes sembunyi-sembunyi, jumlahnya terbatas, tentu waktunya terpangkas. Mereka berdagang batu gosok dan ditukar dengan harga murah, 1 rupiah tiap kilo gram, tidak cukup modal untuk membeli kopra. Meskipun begitu sampai tahun 1960-an, harga 100 kg kopra di Galele masih cukup untuk 100 kg beras.

Lalu prahara 1965 terjadi. Perahu fenes mengakhiri misi dagang di Galela. Orang-orang Buton dalam lingkaran perahu diincar sebagai kaki tanga PKI. Masa itu di tanah Buton sendiri sedang terjadi pembersihan dengan stigma terjadi penyelundupan senjata oleh partai terlarang ke Buton dan perahu layarlah media pengangkut senjata-senjata itu. Benangnya makin ‘merah’ : pelaku pencurian bubuk mesiu yang meledak beberapa tahun lalu adalah pelaut-pelaut Buton, setali sudah dengan stigma mobilisasi senjata. Rangkaian cerita yang makan korban. Tak tetlewati La Tara; dibui dengan tuduhan simpatisan partai terlarang. Cap yang sampai dirinya bebas tak pernah terbukti.
Pria kelahiran 1932 dari ayah Buton Tomia dan ibu pribumi Galele itu bahkan belum pernah ke Buton tetapi Tuhan menempatkannya lahir dalam keluarga yang berada pada lingkaran orang perahu dan pedagang kopra; lingkaran yang hanya kebetulan memiliki hubungan suku dengan orang-orang perahu pencuri mesiu. Lingkaran yang bulat dalam halusinasi tentara sebagai keluarga partai terlarang.

Orang tuanya berlayar ke Galela mencari kopra sebelum kemerdekaan. Lebih dari kopra, pelayaran dari Buton terutama perahu Tomia sebenarnya tarikan leluhur. Sumber-sumber sejarah menyebut nenek moyang orang Tomia yang bernama Si Panyong konon datang dari negeri Galele Tobelo.     

2000 pohon yang disebut sedikit
La Tara menanam 2000 pohon kelapa, jumlah yang disebutnya hanya sedikit. Panen pertama tahun 1965, di masa yang sulit karena perahu fenes yang biasa membeli kopra tidak datang lagi. La Tara dan penduduk Galela lainnya bersatu mengumpulkan kopra dan memanggil kapal yang akan mengangkut kopra mereka.
Ledakan mesiu telah mengubah Galela. Perahu-perahu Mandar yang biasa menjual barang juga jarang datang. Para pelaut lebih mudah ke Tobelo membeli kopra dan berdagang. Meski  berada dalam masa sulit itu, negara masih dianggap bertanggung jawab atas petani kelapa. Secara regular Yayasan Kopra mewakili pemerintah turun memeriksa timbangan agar tidak merugikan petani. Cara melindugi petani yang sampai tahun 2015 ini ditegaskan La Tara dengan bahasa : tidak pernah lagi sama sekali.

Sekarang timbangan sepenuhnya diurus pedagang. Dan petani kelapa sepertinya tak bisa berbuat apa-apa.

(kenangan H. La Tara saat bertemu Saleh, Sumi, Satrio, Yanse dan Suwarno di desa Togawa, Galela 25 Maret 2015).   

Baca Juga:
Benteng Tindoi: Pusat Konservasi Hutan Wangi-Wangi

TRANSFORMASI PERAHU LAMBO KE PEDAGANG KIOS DI KAWASAN MELANESIA (Bagian 2)




Kini generasi perahu karoro, berubah menjadi generasi pedagang kios yang tersebar di hampir seluruh kepuluan Maluku, dan bahkan hampir disetiap sudut kota Tobelo. Suatu transformasi sosial, yang kini menjadi alternatif, sekaligus kekuatan ekonomi yang berbasis UKM. Dengan bentangan pasar yang begitu besar, mereka mampu menguasai perekonomian di beberapa kota di Maluku. Kalau aset mereka perkiosnya adalah 50 juta rupiah, maka aset generasi karoro di kota Tobelo sangat besar karena generasi karoro di sekitar kota Tobelo hampir mencapai 400 kios. Ini merupakan potensi pasar yang sangat besar, hampir mencapai 20 milyar rupiah. Pasar yang seharusnya dapat diperhitungkan oleh perbankan, dan dapat dijadikan sebagai sumber PAD oleh pemerintah daerah.
Jika ini dilihat sebagai potensi pasar, maka semestinya sudah dapat dihitung oleh pemerintah di Wakatobi Buton sebagai sumber-sumber uang yang kelak akan berputar di Buton. Karena rata-rata mereka yang merantau ke negeri Maluku, tetapi memiliki rumah di kampung halaman. Ini merupakan sumber uang yang mengalir ke Wakatobi.
Generasi perahu karoro yang bertransformasi ke pedagang kios dan toko yang bergerak di Maluku dan Papua merupakan salah satu kekuatan ekonomi yang harus dihitung oleh siapapun. Jika formula perahu karoro yang tetap menginginkan anak-anak mereka sekolah, maka beberapa tahun ke depan, generasi mereka yang sarjana dan Master akan memasuki pasar ini dengan kekuatan maksimal. Jaringan bisnis yang mantap dan kredibilitas yang menjadi dasar mental wirausaha akan menjadian generasi karoro, mampu bersaing baik dalam konteks Kawasan Timur Nusantara, maupun Kawasan Barat, seperti memasuki pasar-pasar Asean, Eropa dan Amerika.
Jika kebijakan pemerintah mampu mendorong lompatan generasi perahu karoro yang terjun kedunia usaha, maka transformasi perahu karoro yang bersumber dari “Sekolahlah Nak, jangan kau berbantalkan gelombang”, akan berubah menjadi kekuatan ekonomi baru, termasuk dalam rancaanagan pembangunan Kawasan Eknomi Melanesia yang meliputi (Indonesia (Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, NTT, NTB, Papua, Papua Barat), Timur Leste, Vanuatu, Fiji, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini) harus dipikirkan sebagai salah satu pusat ekonomi dunia yang memiliki dan kaya sumber daya alam.
Tentunya, kesiapan generasi karoro, harus ditunjang oleh kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi dalam berbagai aktivitas mereka, terutama dalam memasuki Kawasan Ekonomi Melanesia yang akan diwujudkan di masa yang akan datang. Mereka sudah harus siap memasuki kawasan itu, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi. Di sisi yang lain, pemerintah pusat, kiranya dapat mendukung terwujudnya Kawasan Ekonomi Melanesia sebagai perwujudan dari ruang transformasi dari generasi karoro, dimana leluhur mereka pernah menjadi pemersatu wilayah ini selama berabad-abad. Dengan perahu karoro, mereka menghubungkan masyarakat Melanesia bahkan lintas batas-batas administra.

baca juga:

TRANSFORMASI PERAHU LAMBO KE PEDAGANG KIOS DI KAWASAN MELANESIA




Bagian 1

              
  Tobelo, negeri perompak yang paling ditakuti beberapa abad silam, bagi siapa saja di pesisir Laut Banda. Serangan mendadak yang selalu dilakukannya, membuat negeri Tobelo sebagai negeri yang menakutkan. Namun, karena negeri ini berada pada pusat rempah-rempah dunia, maka semua orang pun tetap menghampirinya.
Akhir abad ke 19 dan sampai menjelang akhir abad dua puluh, ratusan perahu lambo lalu lalang dalam pelayaran di Nusantara timur, menghubungkan Indonesia timur sebagai pusat rempah dan Indonesia barat sebagai pusat industri. Kelapa, cengkeh, pala menjadi komoditas utama yang menjadi target siapa pun. Magnet bisnis bagi siapapun, VOC, perahu lambo (Wakatobi-Buton), Bugis, Mandar, Jawa, Melayu, Arab, India, dan China semua mengarah ke pusat rempah-rempah ini.
Kini Tobelo bukan lagi, negeri perompak, tetapi negeri peradaban yang belajar dari gesekan sosial tahun awal tahun 2000-an yang mendapatkan dampak dari kasus Maluku. Mereka akhirnya menyadari lebih memilih hidup damai daripada hidup bermusuhan. Sampai pada akhir tahun, 1980-an, perahu-perahu lambo masih memenuhi pelabuhan Tobelo, mengumpulkan rempaah-rempah, kopra dari pulau-pulau dan kampung-kampung di Halmahera Utara. H. La Tara, sesepuh Buton (Tomia) yang sudah lama di Galela mengungkapkan kisah kedatangannya di daerah ini hampir seratus tahun silam. Kenangannya kepada perahu lambo yang lalu lalang di perairan Maluku Utara. Bisnis yang dibangun hanya karena kepercayaan para pemilik rempah (kopra) kepada penakluk samudra di perahu karoro atau lambo.
Menjelang tahun 1980-an akhir, terjadi pergeseran pemikiran dari generasi perahu lambo. Berlayar dengan angin, menaklukan samudra adalah pelayaran yang penuh resiko dan penderitaan, bermandikan badai, berselimutkan angin dan beratapkan langit, adalah suasana yang hampir menghiasi setiap jejak waktu yang ada. Generasi juragan melihat penderitaan itu, kemudian menyekolahkan anak-anak mereka. “Sekolahlah Nak, jangan lagi kau jadikan gelombang sebagai bantal, biarlah ayah yang menjadikan semua ini sebagai gurat nasib yang telah ayah lalu selama bertahun-tahun”, kata salah seorang juragan perahu karoro. “Dengan sekolah, kalian dapat menikmati bantal dan kehangatan kasur, makan bersama anak istri setiap waktu, dan gelombang kalian bisa pikirkan sebagai sumber energei yang tentunya bukan meniup layar.
Anak-anak juragan dan sawi kini sekolah, perahu karoro sekarat, mati. Namun, anak-anak juragan itu tetap kembali ke negeri rempah, yang kini telah menjadi negeri harapan, bukan lagi negeri perompak. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Saleh Hanan mengatakannya bahwa, “Ketika datang ke Tobelo, di benak kita, masih terbenteng ketakutan sejarah. Karena kita datang ke negeri perompak, tetapi rupanya ketika kita tiba, kita justru menemukan negeri cinta.
bersambung....