Oleh : Yusran Darmawan
Published: 16.09.15 11:04:26 oleh Kompasiana
Updated: 16.09.15 11:11:26
Hits : 49
Komentar :
Rating : 1
buku yang mengisahkan kehidupan warga Mollo
DI berbagai
konferensi internasional, orang-orang berkisah tentang bagaimana
menyelamatkan lingkungan. Seluruh perangkat ilmu pengetahuan telah
dikeluarkan demi menemukan jawab atas perubahan iklim yang terus
menggerus bumi. Seluruh pengetahuan yang disarikan dalam berbagai jurnal
ilmiah diurai dan dibedah demi menemukan jawab atas bumi yang kian
renta dan rawan dengan bencana.
Nun jauh di pedalaman Timor
Tengah Selatan, tepatnya di Mollo, warga lokal telah lama merawat bumi
dengan penuh kasih. Mereka tak pernah membaca jurnal ilmiah, tapi mereka
terus merawat pengetahuan tentang alam semesta sebagai tubuh manusia
yang harus dijaga dan dilestarikan. Tak hanya merawat, mereka juga
melawan korporasi dan negara yang mencaplok bumi dengan aktivitas
tambang.
Hebatnya, mereka tak melawan dengan bedil dan senjata.
Tak juga dengan bom molotov ataupun melempar polisi, sebagaimana
dilakukan para mahasiswa yang kerap kali merasa dirinya intelektual
hebat. Para perempuan Mollo itu membawa alat tenun. Hah?
Amazing!
***
DI salah satu acara yang tayang di
Metro TV,
saya menyaksikan perempuan hebat bernama Aleta Baun. Sepintas, ia
serupa dengan ibu-ibu lain yang saban hari kita saksikan di berbagai
desa-desa di tanah air. Siapa sangka jika Aleta Baun pernah memimpin
ribuan orang, yang kebanyakan di antaranya adalah perempuan, untuk
menduduki kawasan tambang.
Di tanah Mollo, pencaplokan tanah telah lama menjadi lagu yang dituturkan warga desa. Dalam buku berjudul
Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim
yang ditulis Siti Maemunah dan terbit pada tahun 2015, saya menemukan
betapa kompleksnya kehidupan yang dialami masyarakat lokal. Tanah-tanah
mereka dicaplok perusahaan dan negara, demi kepentingan akumulasi modal.
Kawasan
pegunungan itu kaya dengan sumberdaya alam. Beberapa perusahaan yang
didukung oleh pemerintah daerah datang ke situ untuk mengeruk hasil
alam. Di saat bersamaan, masyarakat lokal telah lama mendiami kawasan
pegunungan itu dan menjadikannya sebagai mata rantai keseimbangan alam.
Yang
dlakukan perusahaan adalah menyingkirkan masyarakat lokal dengan dalih
kepemilikan lahan. Masyarakat disingkirkan, dijauhkan dari
lingkungannya, dipinggirkan dari semesta ekologis yang telah didiami
turun-temurun.
Perusahaan lalu membor bumi, mengeruk isinya,
lalu membiarkan masyarakat bergelut dengan bencana. Perusahaan melihat
alam sebagai komoditas bernilai tinggi yang bisa memperbesar pundi-pundi
dan kekayaan pribadi.
Sementara bagi masyarakat, alam adalah
bagian dari semesta yang harus dijaga kelangsungannya. Tindakan
perusahaan itu dilihat sebagai tindakan yang menginjak-injak kepercayaan
masyarakat. Penambangan marmer itu dilihat sebagai tindakan untuk
membingkar dan mencuri batu-batu suci milik masyaraat adat.
Sejak
dahulu, masyarakat memiliki kepercayaan turun-temurun tentang fungsi
tanah, batu, pohon, dan air. Orang Mollo percaya bahwa keempat elemen
ini punya fungsi yang sama dengan tubuh manusia. Air melambangkan darah,
batu melambangkan tulang, tanah adalah daging, dan hutan-hutan adalah
ambang dari kulit, paru-paru, dan rambut. Kepercayaan ini digambarkan
dalam kalimat
“fatu, nasi, noel, afu amasat a fatis neu monit mansian”, yang artinya “Batu, hutan, air, dan tanah bagai tubuh manusia.”
Di
tengah-tengah krisis itu, Aleta tampil ke depan. Ia memimpin berbagai
suku-suku untuk menyatakan protes. Ia dibantu banyak anak muda yang
menjadi kurir untuk menghubungi semua tetua adat yang tersebar di
puluhan desa. Ia mengorganisi masyarakat, menggalang kebutuhan logistik
untuk perjuangan.
Tanggal 3 Juni 2000, ia bersama ribuan orang
menduduki kawasan itu selama dua bulan. Aksi ini adalah aksi terbesar
yang pernah dilakukan masyarakat adat. Ia memimpin lebih dari seribu
ibu-ibu yang datang ke pegunungan dnegan membawa alat tenun. Mereka
menduduki kawasan pegunungan itu selama dua bulan, sekaligus
menyampaikan sikap bahwa pemilik gunung-gunung itu adalah masyarakat
adat, yang selama ini melihat semua gunung itu sebagai bagian dari
semesta yang mendukung kesinambungan ekologis. Bahwa manusia hanyalah
noktah kecil yang mendapatkan manfaat dnegan lestarinya pegunungan. Aksi
itu berhasil mengusir perusahaan itu ke luar pegunungan.
Persoalan
tak lantas berhenti. Pemerintah mengeluarkan izin bagi tambang batu
lainnya. Pada 15 Oktober 2006, kembali Aleta Baun memimpin ribuan
mama-mama dan perempuan muda untuk menduduki kawasan tambang dengan
membawa alat tenun. Mereka merayakan Natal di kawasan itu. Seorang
pendeta memberikan ceramah tentang pentingnya menjaga lingkungan dan
alam semesta. Kembali, perjuangan ini berhasil.
Yang menakjubkan
adalah kemampuan penduduk desa memilih aksi menenun sebagai upaya
menyatakan protes. Bagi masyarakat setempat, menenun adalah cara untuk
memahami alam semesta. Identitas masyarakat bisa terbaca dari tenunan.
Di dalam setiap motif tenun, terdapat berbagai makna dan simbol yang
menggambarkan filosofi masyarakat. Bahkan, tenun juga menjadi penanda
kedewasaan seorang perempuan.
Melalui aksi menenun itu, para
perempuan Mollo menunjukkan relasinya dengan alam melalui berbagai bahan
pewarna alami, serta material untuk membuat kain yang semuanya berasal
dari alam. Melalui tenun itu, perempuan Mollo hendak menegaskan
kemandirian mereka untuk memenuhi smeua kebutuhannya. Mereka ingin
meneriakkan pesan bahwa “Kami tak butuh korporasi dan secuil keuntungan
itu. Kami sanggup memenuhi kebutuhan kami. Bahwa alam semesta amat
pemurah serupa ibu yang menyediakan semua kebutuhan.”
Aksi ini mengingatkan saya pada konsep
satyagraha
dari Mahatma Gandhi di India yang menyatakan protes melalui aksi
menenun sendiri pakaian yang hendak dikenakannya. Menenun menjadi cara
baru untuk menyampaikan sikap tentang kemandirian dan sikap untuk tidak
tergantung pada bangsa manapun. Hanya dnegan kemandirian, satu bangsa
bisa menentukan jalannya sendiri, tanpa harus didikte oleh bangsa
manapun.
Nampaknya, inspirasi gerakan sosial tak selalu harus
didapatkan dari sosok hebat seperti Gandhi di India. Di sekitar kita,
tepatnya di Timor Tengah Selatan, kita bisa menemukan butiran inspirasi
yang akan memperkaya batin kita tentang betapa digdayanya masyarakat
saat menyatakan protes.
Yang dilakukan Aleta dan perempuan Mollo
adalah sekeping jalan keluar dari krisis global serta ancaman bencana
yang muncul akibat perubahan iklim. Hanya dnegan cara merawat alam,
menjadikannya sebagai bagian dari manusia, lingkungan bisa terselematkan
sehingga bisa memberi makna bagi masyarakat luas. Ketika manusia
melihat alam sebagai obyek, maka bencana demi bencana bisa hadir. Alam
bisa menghukum keserakahan manusia.
Pada sosok seperti Aleta
Baun, kita menemukan inspirasi dan harapan-harapan bahwa bangsa ini akan
selalu bangkit selagi ada yang peduli dengan sekitarnya. Bangsa ini
akan kuat ketika ada manusia-manusia biasa yang melakukan aksi luar
biasa demi menginspirasi lingkungan, merawat bumi dengan penuh kasih,
lalu menyelematkan bumi untuk generasi mendatang.
Bogor, 16 September 2015