Minggu, 31 Oktober 2010

Perempuan dalam Kabanti


Oleh: Sumiman Udu

Telah hadir ke hadapan Anda sebuah buku "Perempuan dalam Kabanti: TinjaunSosiofeminis. Buku menbicarakan tentang Citra Perempuan di dalam masyarakat Wakatobi yang direpresentasikan di dalam teks-teks kabanti. Di dalam buku itu, perempuan di gambarkan sebagai sosok yang berdaya dan tidak berdaya, karena, budaya banyak berperan dalam membentuk citra perempuan.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa perempuan Wakatobi memiliki ruang untuk tunduk dan patuh pada adat dan budaya, tetapi juga berpeluang untuk menjadi kekuatan dalam pembangunan Wakatobi ketika mereka diberi kesempatan dalam mengisi pembangunan Wakatobi. Di samping itu, mereka juga harus memilih untuk mengikuti ilmu pengetahuan dan teknologi, sebab tanpa ilmu pengetahuan, sangat sulit untuk melibatkan perempuan dalam pembangunan Wakatobi baik di dalam ruang publik maupun di ruang domestik yang menyiapkan anak-anak Wakatobi dalam memasuki dunia yang kompetetif di masa depan.

Untuk kepentingan inilah, buku ini telah mengalami cetakan ke dua, jadi saya kira, siapa pun yang peduli dengan generasinya, sebagai ibu rumah tangga atau calon ibu rumah tangga mestinya mendapatkan buku ini. di samping itu, laki-laki juga harus membaca buku ini karena buku ini layak dibaca dalam rangka membangun komunikasi dalam mebentuk rumah tangga sakinahm, mawadah, wa rahmah.

Sabtu, 30 Oktober 2010

Temuan Dokumen Sejarah Buton di Negeri Belanda

Oleh: Suriadi
Pendahuluan
Dalam studi pernaskahan Nusantara, genre surat sudah menjadi objek kajian tersendiri yang telah menarik para peneliti untuk membahas kandungan isi, iluminasi, bahasa dan aksara, mohor/cap, serta aspek historisnya. Umumnya surat-surat Melayu dari abad ke-17 yang sekarang masih tersimpan di beberapa perpustakaan di dunia dianggap cukup tua, meskipun tercatat ada dua pucuk surat yang dikirim oleh Sultan Ternate yang masih kecil, Bayan Sirullah, kepada Raja Portugal, John III, masing-masing bertarikh 1521 dan 1522 yang menurut C.O. Blagden [1] dan Annbel Teh Gallop [2] (1994:120, 123) adalah naskah Melayu yang tertua di dunia. [3] Kedua pucuk surat itu sekarang tersimpan di Arquivos Nacionais Torre do Tombo, Cidade Universitaria, Lisabon, Portugal.
Dalam artikel ini saya membahas sepucuk surat berusia hampir 350 tahun dari Kerajaan Buton yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden/Universiteitsbibliotheek Leiden (UB Leiden), Belanda, dengan kode K.Ak.98 (4). [4] Surat tersebut, yang ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab-Melayu [Jawi]), sudah pernah dibicarakan oleh W.G. Shellabear kurang dari 170 tahun yang lalu bersama sejumlah naskah Melayu lainnya dari abad ke-16 dan 17 yang tersimpan di beberapa perpustakaan di Inggris dan Belanda, [5] namun mungkin tak banyak diketahui di Indonesia.
Sejauh yang saya ketahui, K.Ak.98 (4) adalah surat dari Kerajaan Buton yang tertua yang masih terselamatkan sampai sekarang. Dari kodenya dapat diketahui bahwa surat itu tidak termasuk koleksi naskah-naskah Nusantara yang dihadiahkan oleh para pemilik naskah semula—seperti Van der Tuuk, C. Snouck Hurgronje, dll.—yang biasanya dalam koleksi khusus (bijzonder collecties) UB Leiden dicatat dengan kode Or (singkatan dari Orientalis). Rupanya K.Ak.98 termasuk dalam koleksi naskah-naskah milik beberapa orang kolektor yang sudah meninggal atau suatu lembaga yang statusnya dipinjamkan atau dititipkan di UB Leiden (loan-collections). Dua di antara loan collections itu adalah naskah-naskah milik De Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (disingkat KNAW) yang diberi kode K.Ak.) yang ditempatkan di UB Leiden sejak tahun 1856 dan koleksi milik Het Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) [6] . Jelas bahwa K.Ak.98 (4) berasal dari koleksi KNAW (yang dikenali dari kata `Acad` pada naskah-naskahnya).
Menurut informasi sebuah katalog, K.Ak.98 (4) adalah:
Epistola Malaïca (2 [7] ) praetoris navalis Boetonensis, Laut, mense Oct. a. 1669 ad eumdem missa. Excusat se, quod, bello finito, Bataviae non comparuit, quippe morte Radjae Boetoni impeditus. [8]
Terjemahannya:
Surat dalam bahasa Melayu oleh Komandan Laut [Kapitalao] Buton, Laut, bulan Oktober 1669, dikirimkan kepada orang yang sama [Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Ia [Kapitalao] sendiri mohon maaf atas ketidakhadirannya di Batavia setelah perang [antara VOC dan Gowa] berakhir karena ia dicegah untuk pergi [ke Batavia] disebabkan oleh wafatnya Raja Buton.
Rupanya ada sepucuk surat lagi dari Buton dalam bundel K.Ak.98, yaitu nomor 5, tapi hanya terjemahan Belandanya saja yang tersedia, sedangkan surat aslinya tidak ditemukan lagi. Menurut P. de Jong, K.Ak.98 (5) adalah:
Versio Belgica epistole Malaïcae a Sultano Boetoni, ao 1670 scriptae ad eumdem. Sultanus queritur de tumultu, in urbe Boeton exorto, et a Gubernatore auxilium petit. [9]
Terjemahannya:
Terjemahan bahasa Belanda atas surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Buton, ditulis pada tahun 1670 kepada orang yang sama [maksudnya: Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker]. Sultan mengeluh tentang kerusuhan yang pecah di kota Buton [Bau-Bau] and memohon bantuan kepada Gubernur [Jenderal untuk mengatasinya].
Artikel ini tidak membahas K.Ak.98 (5) karena saya masih memerlukan waktu dan bantuan banyak pihak untuk membaca terjemahan surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Belanda abad-17 yang orang Belanda masa kini saja banyak yang tidak mampu membacanya. Dengan demikian fokus pembicaraan saya dalam artikel ini hanyalah surat yang pertama saja: K.Ak.98 (4).
Walaupun W.G. Shellabear (1898) telah menyajikan versi ketik ulang K.Ak.98 (4) dalam aksara Jawi, transliterasi Latinnya (dengan memakai sistem pelafalan menurut dielek Melayu Semenanjung Malaysia) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, saya kira tetap ada manfaatnya menyajikan kembali transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini. Saya menyajikan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam bahasa Indonesia, mengikut kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan melengkapinya dengan foto digital naskah aslinya serta pembicaraan yang lebih rinci mengenai konteks sosio-historis surat itu yang tidak dibahas secara mendalam oleh Shellabear. Lagipula, publikasi Shellabear yang sudah klasik itu, dan ditulis dalam bahasa Inggris, mungkin cukup sulit ditemukan di Indonesia. Hal ini menjadi pertimbangan pula bagi saya untuk memperkenalkan kembali naskah asli dan transliterasi K.Ak.98 (4) dalam artikel ini, dengan tujuan utama pembaca di Indonesia.
Berikut adalah transliterasi (alih aksara) K.Ak.98 (4).
Transliterasi K.Ak.98 (4)
/1/ [10] Bahwa surat ini pada menyatakan tulus dan ikhlas daripada Paduka Sahabat Kaicil Jitangkalawu [11] , Kapiten /2/ Laut Buton, menyampaikan tabe banyak2 datang kepada Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jenral Yohan /3/ Metsyaker [12] yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawih, akan memerintahkan segala pekerjaan Kompanyi /4/ serta dengan segala sahabatnya raja2 dari bawah angin. Maka dianugrahkan Allah Subhanahu wataala bertambah2 /5/ kebajikan dalam dunia dan yang diterangkan hatinya, maka kharijlah segala akal budi bicaranya /6/ yang baik dan menolong daripada orang yang kena kesukaran dan yang mengetahui daripada hati orang, /7/ maka termasyhurlah dari atas angin dan di bawah angin yang memujikan harapnya lagi budiman /8/ serta dengan bijaksanaannya dan ialah meneguhkan setianya perjanjian pada segala raja2, tiada akan /9/ berubah2 lagi demikian itu, maka dipanjangkan Allah umur dan selamat dan berkat supaya kita /10/ bersahabat, Ternate serta Buton dan Kompanyi, agar jangan bercerai-cerai selama-lamanya.
Adapun kemudian /11/ dari itu bahwa sahabat Kapiten Laut memeri maklum kepada Gurnadur Jenral tatkala disuruh oleh /12/ sahabat Raja Buton, kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada Amiral /13/ Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita, hanya maklumlah Kapiten /14/ Laut apabila kuasa Kompanyi serta dengan kuasa Allah akan menyudahi daripada pekerjaan kita hendaklah /15/ Kapiten Laut menunjukkan muka pada Heer Gurnadur Jenral juga supaya puaskan hati. Tetapi /16/ pada sekarang ini Admiral pulang ke Jakatra, hanya Tuan kami Raja Ternate lagi duduk dari Mengkasar, maka /17/ sahabat Kapiten Laut pun duduk sama2 dengan Tuan kami Raja Ternate.
Seperkara pula, ada<pun [13] > raja /18/ Buton pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke Negeri /19/ akhirat, sebab itulah maka sahabat Kapiten Laut tiada jadi pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada /20/ Heer Gurnadur Jenral di Betawi, karena adat kami demikian itu apabila raja yang mati /21/ upama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri itu. Oleh pada pikir /22/ Sahabat Kapiten Laut baiklah kami sama2 dengan r [14] Tuan Raja Ternate duduk lagi di Mengkasar. /23/ Ampun2 seribu ampun kepada Sahabat Heer Gurnadur Jenral juga, tiada ada cendera mata /24/ pada sesuatu kepada Heer Jenral melainkan budak laki dua orang akan tanda tulus dan ikhlas /25/ juga, upamanya seperti dua biji sawi, jangan diaibkan. Karena Sahabat Kapiten Laut /26/ orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan surat ini, maka jikalau ada salah pun melainkan /27/ maaf juga kepada Heer Gurnadur Jenral. Tamat.
Tertulis dalam Benteng Parinringa yang bedekatan dengan kota Rotterdam dualapan [15] sembilan [16] likur hari dari bulan Jumadilawal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wasalam seribu dualapan puluh genap. [17]
Bahasa K.Ak.98 (4): Catatan ringkas
Ketuaan K.Ak.98 (4) dapat dikesan dari beberapa kata yang memang jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu pada masa yang lebih kemudian. Kata `Kompanyi` (maksudnya VOC, Verenigde Oost-Indische Compagnie) jelas menunjukkan ketuaan surat ini. Ini adalah bentuk yang lebih arkais dari kata `Kompeni` yang lebih banyak dipakai dalam surat-surat Melayu yang berasal dari abad yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19).
Setidaknya ada beberapa kata lagi yang menunjukkan ketuaan surat ini. Kata `jenral` pada `Gurnadur Jenral` juga sering dipakai dalam surat-surat Melayu dari abad ke-17, tetapi cenderung berubah menjadi `jendral` (atau `jenderal`) dalam surat-surat Melayu dari abad-abad sesudahnya (abad ke-18 dan 19); demikian juga kata `amiral` (pangkat kemiliteran; dalam konteks surat ini disebut nama `Amiral Speelman`) yang dari abad-abad sesudahnya sering ditulis `admiral`. Kata `Jakatra`—nama lain untuk Betawi (Batavia) yang sekarang bernama Jakarta—amat jarang ditemukan dalam surat-surat Melayu abad ke-18 dan 19; kata itu justru muncul dalam beberapa surat Melayu dari periode yang lebih awal, seperti dalam K.Ak.98 (4) ini.
Kata `memeri` (untuk bentuk dasar `beri`) cukup terkesan arkais juga, walaupun sebenarnya dalam periode yang lebih belakangan (abad ke-18 dan 19) bentuk ini masih dipakai dalam naskah-naskah Melayu, termasuk surat-surat, dari wilayah tertentu di Nusantara. Tentu saja cukup mengherankan pula bahwa kota yang sekarang disebut `Makassar` dalam surat-surat raja-raja lokal dari Indonesia timur pada abad ke-16 sampai awal abad ke-20 selalu ditulis `Mengkasar`. Saya belum tahu kapan terjadi perubahan pelafalan ini dan apa penyebabnya. Namun, menurut dugaan saya, pelafalan `Makassar` seperti dikenal sekarang mungkin didasarkan atas dokumen-dokumen Belanda dari zaman kolonial, bukan berdasarkan penulisan yang ditemukan dalam dokumen-dokumen pribumi seperti surat-surat Melayu dari raja-raja lokal tersebut.
K.Ak.98 (4)
Sumber: Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden
Konteks Kesejarahan K.Ak.98 (4)
Setelah membaca alih aksara K.Ak.98 (4) yang tersaji di atas, dapat diketahui bahwa penulis surat ini menyebut dirinya “Paduka Sahabat Kaicil Jitanggalawu, Kapiten Laut Buton”. Surat ini ditujukan kepada “Paduka Sahabat Heer Gurnadur Jen[d]ral Yohan Metsyaker yang memegang kuasa Kompanyi dalam kota Betawi(h)”. Jelas maksudnya adalah Gubernur Jenderal VOC ke-12, Joan Maetsuycker (1653-1678; lihat catatan 12).
Jelas bahwa K.Ak.98 (4) ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman. [18] Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton.
Isi K.Ak.98 (4) antara lain menyebutkan: “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”.
Jadi, Kapiten Laut (Kapitalao) Buton itu mewakili Sultan Buton, rajanya, yang tampaknya tidak bisa datang ke Makassar untuk bertemu dengan Cornelis Speelman, Admiral VOC yang telah berhasil menaklukkan Gowa dan menjadikan kekuatan politik VOC bercokol lebih kuat di Indonesia timur.
Sejarah mencatat bahwa setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani, Buton menjadi bebas dari tekanan Gowa dan jadi dekat dengan Ternate yang menjadi saingan Gowa. Tetapi sebagai imbalannya “hendaklah Kapiten Laut [Jitanggalawu] menunjukkan muka [ke]pada Heer Gurnadur Jen[d]ral juga supaya puaskan hati” Gubernur VOC itu. Walaupun pengancam regional, Gowa, sudah dikalahkan oleh VOC, hubungan antara Ternate dan Buton tidak selalu baik.
Selanjutnya K.Ak.98 (4) menceritakan bahwa Admiral Speelman kembali ke Jakatra (nama yang lebih awal untuk kota Batavia, biasa ditulis `Jacatra` dalam dokumen-dokumen Belanda dari abad ke-16 dan 17), sementara “Sahabat Kapiten Laut [Jitanggalawu] pun duduk sama2 dengan Tuan […] Raja Ternate” di Makassar. Tidak disebutkan nama Raja Ternate itu, tapi kemungkinan besar adalah Sultan Mandarsyah (1645-1675) [19] .
Penyebab batalnya Kapitalao Jitanggalawu pergi ke Batavia jadi jelas menjelang akhir surat ini: karena “Raja Buton [...] pun sudahlah pulang ke rahmatullah, kembali daripada asalnya, meninggalkan dunia mengadap ke negeri akhirat”, sebab itulah ia urung “pergi ke Jakatra menunjukkan muka kepada Heer Gurnadur Jen[d]ral di Betawi”, karena dalam adat Buton “apabila raja yang mati u[m]pama seperti datang hari kiamat, jadilah haru biru dalam negeri.”
Jadi, tampaknya Kapitalao Jitanggalawu tidak berani pergi jauh ke Batavia/Jakatra karena Rajanya baru saja mangkat. Kutipan di atas juga menggambarkan bagaimana reaksi masyarakat Buton masa lampau jika raja mereka meninggal: seluruh lapisan masyarakat berkabung dan hari mereka berada dalam kesedihan yang mendalam. Abdullah bin Muhammad al-Misri dalam karyanya, Hikayat Raja-Raja Siam (1823 atau 1824) menggambarkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada masa lampau apabila seorang raja mangkat:
Sebermula adapun raja-raja di tanah Bugis dan Ternate dan tanah sebelah timur, apabila ada raja-raja itu mati, maka berkeliling segala perempuan yang baik rupanya dan suaranya memegang kipas, maka bersyair menembang itu berpuluh-puluh hari, maka baru ditanam, dan tetapi tiada dibakar seperti [di] Siam dan Bali, maka inilah dikata ada lagi agama Hindu kepada segala negeri bawah angin ini dan banyak lagi orang yang menyembah yang lain daripada Allah taala. [20]
Catatan Abdullah bin Muhammad al-Misri di atas merefleksikan pengamalan unsur kepercayaan pra-Islam di kalangan penduduk kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia timur pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19, termasuk Buton. Dalam kebudayaan masyarakat Buton masa lampau, bahkan sampai pada periode yang belum lama berselang, sinkretisme antara kepercayaan yang lebih kuno dengan Islam yang datang kemudian begitu kuat. [21]
Siapakah gerangan Raja Buton yang mangkat yang disebutkan dalam K.Ak.98 (4)? Sebelum membahas itu, baiklah saya kutip alih aksara kolofon surat tersebut: “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (<sembilan>; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.
Jadi, K.Ak.98 (4) ditulis di Benteng Parinringa, dekat Benteng Rotterdam di Makassar, pada 8 (atau 9) Jumadilawal 1080 H”. Jika dikonversikan ke tahun Masehi: 8 Jumadilawal 1080 H = 4 Oktober 1669; 9 Jumadilawal 1080 H = 5 Oktober 1669. Kata “sembilan” disisipkan belakangan, tampaknya ada kesalahan penulisan tanggal, lalu dibetulkan. Jadi, sangat mungkin tanggal penulisan surat ini adalah 5 Oktober 1669 (lihat catatan 17).
Dengan demikian, sangat mungkin Raja Buton yang diberitakan mangkat oleh Kapitalao Jitanggalawu dalam suratnya itu adalah La Simbata atau Sultan Adilil Rakhiya (1664-1669), Sultan Buton ke-10. Nama lain beliau adalah Mosabuna I Lea-Lea. Beliau turun tahta karena melepaskannya, bukan meninggal atau dikudeta. Sultan Adilil Rakhiya digantikan oleh Sultan Kaimuddin atau La Tangkaraja (1669-1680). [22]
Sultan Adilil Rakhiya mangkat di tahun-tahun awal kekuasaan Sultan Kaimuddin, penggantinya, tidak lama setelah kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton. [23] Jika kita merujuk lagi kepada kolofon K.Ak.98 (4), maka dapat diperkirakan bahwa Sultan Adilil Rakhiya (La Limbata) mangkat sebelum bulan Oktober 1669.
Sampai batas tertentu, kolofon K.Ak.98 (4) juga memberi petunjuk tentang wewenang dan kekuasaan seorang kapitalao Buton. Rupanya dalam keadaan darurat, kapitalao boleh menulis surat dari tempat yang jauh dari Istana Buton. Kapitalao, bersama dengan jurubahasa (jurubasa) sering mewakili sultan apabila hendak berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti Belanda dan Inggris. [24]
Surat Kapitalao Jatinggalawu (K.Ak.98 (4)) diakhiri dengan penutup yang menyebut hadiah dua orang budak laki-laki yang dipersembahkan kepada Gubernur Jenderal Maetsuycker. Ungkapan “upamanya seperti dua biji sawi” (baris 25) yang dipakai dalam surat itu, yang mengandung nada merendah, adalah salah satu ciri khas surat-surat Melayu lama. Namun, ungkapan merendah ini berbeda-beda redaksinya antara satu surat dan surat lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda di Nusantara. [25]
Demikianlah sedikit ulasan mengenai teks dan konteks K.Ak.98 (4). Diharapkan apa yang telah diuraikan dalam artikel ini dapat menambah informasi mengenai masa lampau negeri Buton. Menurut saya, alangkah bagusnya kalau surat Buton yang cukup tua ini direproduksi dan hasil repronya dapat disimpan di salah satu museum di Bau-Bau atau di Museum Propinsi Sulawesi Tenggara.
Akhirnya artikel ini saya tutup dengan mengutip kata-kata Kapitalao Jitanggalawu di akhir suratnya: “Sahabat [Suryadi] orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan [dalam artikel ini]. Maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga [dimohon] kepada [sidang pembaca www.Melayuonline.com]. Tamat.
Kepustakaan:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
Bladgden, C.O. “Two Malay letters from Ternate in the Moluccas, written in 1521 and 1522”, dalam Bulletin of the School of Oriental Studies, London: University of London 6 (1930-1932), hlm. 87-100.
Chambert-Loir, Henri, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & École Franęaise d`Extrême-Orient.
De Jong, P., Catalogus Codicum Orientalium Bibliothecae Academiae Regiae Scientarium, Lugduni Batavorum: E.J. Brill & Academiae Typographus, 1862.
Gallop, Annabel The, The Legacy of Malay Letter; Warisan Warkah Melayu, London: The British Library, 1994.
Monique Zaini-Lajoubert, Karya Lengkap Abdullah bin Muhammad al-Misri, Jakarta: École Franęaise d`Extrême-Orient.
Muridan Widjojo, “Cross-Cultural Alliance-Making and Local Resistence in Maluku During the Revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, PhD Dissertation, Leiden University, 2007, hlm. 262.
Proudfoot, Ian, Old Muslim calendar of Southeast Asia, Leiden-Boston: Brill, 2006.
Schoorl, Pim, Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton, Jakarta: Djambatan, 2003.
Shellabear, W.G., “An account of some of the oldest Malay MSS. Now extant”, dalam Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society 31, 1898, hlm. 107-151.
Skinner, C. (ed.), Syair Perang Mengkasar; Sebuah Reportase Sastrawi Bergaya Melayu dari Jurutulis Sultan Hasanuddin tentang Kejatuhan Salah Satu Kerajaan Besar di Abad XVII, a.b: Abdul Rahman Abu, Makassar: Ininawa-KITLV, Jakarta, 2008.
Suryadi, “Surat-surat Sultan Bima Abdul Hamid kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Makalah dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI, Bima-Nusa Tenggara Barat, 26-28 Juli 2007.
_______, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 19, No.3, Oktober 2007, hlm. 284-285.
_______, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, Jurnal Sari 25, 2007, hlm. 189.
Uli Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yanassa & Yayasan Obor Indonesia, 2006.
van Putten, L.P., Gouverneurs-generaal van Nederlands-Indië, Deel 1: ambitie en onvermogen: 16-10-1796, Rotterdam: ILCO-Productions, 2002.

Kamis, 28 Oktober 2010

http://www.ziddu.com/download/12286588/ABSTRAK.rtf.html

La Ngkolee..,

Oleh: La Ode Yusri


Ngkolee..,
Kini waktu mu tiba
Tanah Jawa memanggilmu datang

Kalau pergi, pergilah
Tapi ingatlah kau pada ini tanah
Tanah tempat kali pertama
Darah kau mengalir basah
Tanah tempat kali pertama
Kau hirupi udaranya
Tanah tempat kali pertama
Kau lolongi ia dengan tangismu
Tanah tempat ari mu
Ditanamkan
Gu Lakudo mu
Serambinya butuuni
Selirnya munajat
Ingat-ingatlah kau Nak..
Sebagaimana Murhum
Rindu pada tanah ini
Lalu mengambilnya masuk
Dalam rengkuh kuasanya
Sebagaimana Wolio
Agung meninggikan tanah ini
Tak ada lakina dari tanah ini
Yang sembah turunkan topi
Setiap kali maju menghadap sultan
Sebagaimana telah diadatkan
Diwajibkan pada lakina tanah lain
Sebagai balas atas budi
Karena tangan dari tanah ini
Umbunowulu ditekuk takluk
Negeri bangkang menantang
Kuat merongrong kesultanan
Melawan tak patuh titah Sultaan
Bahkan kapal kapal utusan kerajaan
Tak pernah sampai menjangkau tanah negeri itu
Terkenal sakti dan bertuah mantera negeri itu
Dari puncak gunung Sabampolulu
Mereka melayangkan berpuluh batang kelapa
Pada kapal kapal penakluk kiriman kerajaan
yang masuk teluk lasongko ataupun selat Baruta
menujui tanah mereka
Atas kendali mantera tuah teluh negeri itu
Batang batang kaku mati itu
Meluncur gesit menderu
seperti mengandung membawa nyawa
Menghantam tepat di lambung kapal
Menghujam keras merusak palka
Menyobek serak kain layar kapal
Tenggelam karam sebelum mencapai tanah negeri itu

Itulah kemudian kesultanan murka
Susun siasat penaklukan
Memakai tangan tanah ini
Memakai tangan tanah ini anakku!

Maka kau jangan rendah diri
Tak usah pula tinggi hati
Darah kau itu
Darah kaomu
Darah laode
Yang mengalir turun
Dari Lakilaponto
Raja kelima tanah Wolio
Sultan pertama Tanah Butuuni
Muhammad Yisa Kaimuddin gelarnya
Timbang-timbangan panggilannya
Murhum dipanggil setelah wafatnya
Yang dengan tangannya
Membunuh labolontio
Bajak tangguh tobelo
Sakti kuat perkasa
Membawa kebal pada tubuhnya
Parang tombak dan panah
Tak mempan lukai kulitnya
Segan dekat pada daging tulangnya
Lantak jatuh membanting diri ke tanah
Sebelum sampai mengenai tubuhnya
Itulah ia sombong serakah
Merasa diri kuat tak terkalah
Ia bangun aliansi bajak rompak
Dan memimpin sendiri armadanya
Menggasak lautan
Melindas tanah pesisir kerajaan
Menyimpan Luwuk dan Wawonii
Konawe dan laiwui
Dalam genggam kuasanya

Mimpi menggoda mengais benaknya
Buton di mata ditujunya
Berangan ia akan indah jadinya
Kalau Buton takluk dalam kuasanya pula
Maka diaturlah siasat penaklukan
Barata-barata dahulu
Harus dilumat habis semua
Sebelum mengulum genggam Wolio
Matana-matana sorumba dahulu
Harus digulung serata datar tanah
Dibuat merangkak rangkak kalah
Sebelum menekuk surukkan Wolio

Abdi intai kerajaan
Tergopoh datang merangkak
Menghambur diri dalam sembah
Di muka kaki Mulae yang mulia
Sampaikan kabar labolontio
Yang telah dekat di depan mata
Telah di muka laut kulisusu

Tersiar cepat kabar itu
Menggundahkan Raja Mulae
Menggelisahkan hati Sangia Yi Gola ini
Beliau tahu diri
Tak setanding kuat Labolontio
telah tua ia
Dimakan usia umurnya
Diambil waktu tenaga kekuatannya
Tak mungkin kuat menandingi labolontio
Yang muda bugar kuat perkasa
Raja rompak lautan
Raja bajak lautan

Maka dibuatlah sayembara
Disiarsebarkan pada khalayak semua
Siapa-siapa saja
Dapat membunuh labolontio
Membawakan kelelakiannya
Dimuka hadapan raja
Sebagai bukti terbunuhnya
Akan diambil sebagai menantu raja
Menikahi putri ayu jelita kerajaan
Anak satu-satunya
Yang keluar lahir dari rahim permaisuri
Putri Borokomalanga namanya

Datanglah kemudian Lakilaponto
Putra yang Mulia Sugimanuru
Raja penguasa tanah Muna
Ikut bersamanya Opu Manjawari
Raja penguasa Selayar
Juga Betoambari
Bersekutu mereka tekuk labolontio
Di pantai laut Boneatiro

Awalnya betoambari maju
Beradu tangkas gerak silat
Tapi ia kalah gesit
Dipukul jatuh si bajak rompak itu

Manjawari pun maju
Dalam gerak silat memukau
Tapi si bajak mata satu itu
Tak gentar surut nyali
Ia sigap dalam siaga
Menunggu tiba gerak maju Manjawari
Menyambutnya
Merangsek ia maju
Bergulat mereka dalam gelut
Beradu kebal kanuragan
Saling tikam menusuk
Tak ada kalah mempan
Kulit mereka keras menembaga
Tak tertembusi pisau besi
Tak terlukai parang besi
Tapi kemudian manjawari tersuruk kalah
Disepak jatuh labolontio

Majulah kemudian lakilaponto
Dalam gerak silat yang kacau
Melangkah kempang pura-pura
Membahakkan ketawa labolontio
Pulanglah kau kembali
Sebelum kulumat serupa dua kawanmu itu
Mereka yang kuat sempurna saja
Kutekuk takluk tak berkutik
Apalagi kau yang cacat melangkah kempang
Mengatur dirimu melangkah saja
Kau tak kuat susah sekali
Bagaimana bisa kalahkan saya?
Bagaimana berani melawan saya?

Lakilaponto terus merangsek maju
Mengikut komando raja Mulae
Tak hirau pada bahakkan labolontio
Ia maju mendekat tepat di muka labolontio
Labolontio menarik langkah siaga
Keduanya kemudian bergelut adu kuat
Bergulat adu otot
Saling ganti menusuk tikam
Pada kulit mereka yang menembaga
Tak ada mempan
Tak ada kalah
Pisau parang dari besi itu luluh
Lantak jatuh membanting diri ke tanah

Keduanya mengambil langkah mundur
Mengatur jarak siasat
Segenggam pasir tanah laut
Dalam kepal lakilaponto
Disembur tepat di muka labolontio
Penuh mengenai mata satu-satunya
Labolontio linglung dalam panik
Tak dapat ia melihat
Hanya gelap saja
Gerak silatnya kacau
Ia meraung serupa kerbau lepas ikat
Memukul kenai angin saja
Hilang tuah mantera kebalnya
Dalam gerak cepat serupa kilat
Lakilaponto gesit menarik keris
pada pinggangnya
keluar dari sarungnya
ia hunus keris itu
ditusukkan pada dada
tepat di jantung labolontio
keris bawaan dari lahir itu
ampuh bertuah juga rupanya
kebal labolontio ia tembusi
memuntahkan habis keluar darahnya
dan mati.

Darah kau itu
darah kaomu
darah laode
yang mengalir turun
dari Lakarambau
Sultan Buton bijak bersatu
menantang bak karang batu
keras kuat kokoh menyatu
tak gentar melawan lawan
maju merangsek penuh heroik
mengusir pulang Belanda
ke barak-barak kumuh sembunyian mereka
mengobar jihad agama sahih
pada setiap gerak majunya
biarlah diri hancur melebur tanah
asal negeri selamat aman sentausa
negeri selamat aman sentausa
jikalau ada sara mengaturnya
mengatur itulah agama pedomannya

darah kau itu
darah kaomu
darah laode
yang mengalir turun dari Langkaririy
Sultan Buton raja Kamaru
Sakiyuddin Duurul Alam gelarnya
Bangsawan Kumbewaha
Yang memutus tak boleh
Lelaki Walaka kawin menikah
Dengan perempuan Kaomu
beranakkan ia Balu i Gu
puteri cantik nan jelita
bersuami Kapitalao Lakudo
berdiri ia tegak berani
di muka sidang Siolimbona
Menolak tegas bangsawan barata
Disama setarakan bangsawan Kamboru mboru
Bangsawan kolaki tak ia bolehkan
Memimpin Kesultanan

Darah kau itu
Darah kaomu
Darah laode

Tahukah kau?
Ketika dua puluh ribu pasukan Gowa
Kiriman Hasanuddin datang menyerang ini tanah?
Sebagai murka atas ulah Buton melindungi Arupalakka
Dua puluh ribu pasukan Gowa
Di bawah komando Karaeng Bontomarrannu
Berarak maju dalam derak serak
Pinisi-pinisi penuh prajurit lengkap tameng artileri
Maju berarak dalam parade teratur
memerahkan laut teluk buton
hendak menggasak lindas ini tanah
Kitalah di barisan paling depan
Sebagai Matana Sorumba
Pasukan inti paling depan
Pelindung jaga kesultanan
Maju gagah berani menghalau lawan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Berjuang menumpah darah untuk mulia agungnya Sri Sultan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Yang berdiri mengawal lindungi Keraton
Agar tak masuk ditembusi lawan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Penakluk musuh-musuh kesultanan
Kitalah yang Mia Sambali ini
Menggiring lima ribu pasukan Gowa
Sebagai tawanan ke liwuto
Kitalah yang Mia Sambali ini
Yang menyiutkan nyali Bontomarrannu
Kesatria Gowa yang tak pernah merasai kalah
Takluk tunduk, pulang membawa malu
Sebagai pecundang kalah
Di muka teluk bau-bau

Ngkolee..,
Laode itu tak lah perlu tampil tunjukkan diri
Itulah tak kau dapati
Di tanah ini,
Tak ada seorang pun sematkan itu pada namanya
Karena hakikatnya telah ode lah semuanya
Sebagaimana yang mulia
Tak patut memanggil yang mulia
Pada yang mulia lainnya,
pada sesama kaomu walaka
tak berlaku gelar pangkat itu
ia luluh bersama kesesamaan itu

laode itu
hakikatnya adalah laku diri
tanggunganya berat sekali
sebab,
bagimana orang lain kau suruhi
kau ingini baik berlaku
kalau kau sendiri tak baik berlaku?
Berlaku baik pada diri sendiri dulu
Bahkan nanti tanpa kau suruhi
Orang-orang akan berbaris datang mengikutimu.

Laode itu
Adalah adab tahu diri
Tidak lupa diri
Seorang ode harus tahu diri
Harus mengenali batas kedirianya
Tahu makna keodeannya
Karena hanya dengan itu saja
Jalan mengenali-Nya
Tak berhak dipanggil laode
Pada seorang yang buruk perangainya
Pada mereka yang berlaku amoral asusila
Pada mereka yang sombong serakah
Mengambil yang bukan haknya
Meskipun garis turunannya adalah bangsawan
Tak patut ia menyandang gelar mulia itu

Seorang ode,
Harus bisa menjaga terus lurus perangainya
Harus bisa menjaga lisan terus sejalan dengan lakunya
Harus bisa menjaga diri menguasai hawa nafsunya

Sudah ode,
Tidak berarti semakin menghabiskan makanan orang lain
Tidak berarti sesuka maunya mengambil hak orang lain
Tidak berarti semau enaknya menyuruh perintah orang lain

Seorang ode,
Harus semakin mengenal batas
Harus semakin mengenal kewajiban tanggung jawabnya

darah kau itu
darah kaomu
darah laode

Pergilah, pergi
Kau telah dewasa
Telah bisa kuasa
Mengurus sendiri diri
Mengatur hidup sendiri

Pergilah, pergi
Kejar dan raih cita mu
Pulanglah nanti
Banggakan ibu

Pergilah, pergi
Doa kami penuh beserta kau
Baring telungkupkan badan kau
Di muka pintu serambi sana
Biar kulangkahi kau
Agar nanti tak ada berani
Kau diganggu
Agar nanti
Kau kuat bernyali
Agar nanti
Kau selalu berani
Agar nanti
kau diberkati
Dilindungi Maha Pelindung
Sampai nanti kembali pulang

Pergilah pergi anakku
Jangan bersedih
Kau lelaki, mesti kuat
Kalau telah keluar tinggalkan rumah
Pantang langkah kembali mundur
Pantang muka balik menoleh
Seperti sope Wasilomata
Moncong haluannya
Kukuh menantang angkuh samudera
Setinggi gunungpun gelumbang
Tak surut ia membalik diri
Melaju kuat ia tembusi
Sehingga tampak pulau dituju
Sehingga tiba di pulau tuju

Pergilah, pergi anak ku
Melangkahlah kuat
Tanggalkan takut
Jangan pengecut
Kokoh nyali tak lecut

Biarlah ibu mu di sini
Berdiri tabah
dalam tegak,
melihat khusuk
Punggung kau
Sampai jarak mengambil mu
Dari pandanganku
Atau bulir air mata
Yang menderas haru
Menghapusmu dari mata aku

Pergilah, pergi
Perpisahan memang selalu begitu
Menyimpan sedih anak ku
Menggandeng duka pada datangnya
Entah itu pergi sementara
Atau pergi selamanya
Tapi bukankah untuk bertemu harus berpisah dahulu?
Bagaimana ada bertemu kalau tidak berpisahan dahulu?
Bukankah berpisah itu yang menyemai-nyemai
Memanggil-manggil datang sehingga ada bertemu?
Pisah inilah yang membiakkan rindu anakku
menjadikan berjarak
dan pada berjarak inilah rindu membentang
sejauh membentang jarak
sebesar itulah pula rindu anakku

Ngkolee..,
benar bukan soal pergi itu
Pun tak soal pisah itu
Telah menjadi memang ketetapan-Nya
Bahwa yang datang pada akhirnya pergi
Pulang ke tempat kali pertama ia datang
Sebagaimana purnama selalu datang
Tepat diempat belas malam
Dan kau telah memilih datang
Maka juga harus bersiap pergi
Awal pergi kau di sini
Pulanglah kelak juga disini
Sebagaimana awal adanya
Itulah pula akhir jadinya

Berkat tanah butuuni
Berkah tanah munajat mu
Dan doa ibu di sini
Menjaga limpahi kau

Amien....

Catatan;
1. Langkolee/Ngkolee = Panggilan sayang pada anak kecil lelaki di Gu, Lakudo, Buton
2. Lakina = kepala kampung/wilayah/distrik
3. Kaomu = golongan bangsawan paling tinggi di Kesultanan Buton yang berhak atas jabatan Sultan
4. Walaka = golongan bangsawan lapis kedua setelah kaomu, berhak atas jabatan dewan Kesultanan
5. Siolimbona = Dewan Kesultanan yang mengusulkan dan memilih Sultan
6. Sara = aparat Kesultanan
7. Kamboru-mboru = Istilah yang merujuk ke kaomu
8. Kumbewa = salah satu klan kaomu, kaomu ada tiga (Tanailandu, Kumbewaha, dan Tapi-tapi) ketiga klan kaomu inilah yang bergantian menggilir jabatan Sultan
9. Sope = perahu, kapal
10. laode = gelar bangsawan di Buton dan Muna
11. Mia Sambali = Orang luar, merujuk pada klan, kaum, kelompok yang berdiam tinggal di luar benteng Keraton Buton.
12. Wasilomata = nama desa/ kampung yang terkenal bertuah mantera melaut mereka
13. Matana Sorumba = Ujung tombak. pasukan paling depan penghalau musuh kesultanan
14. Liwuto = sekarang Pulau Makassar. pulau kecil tempat 5000 pasukan Gowa ditawan
15. Barata = kerajaan di bawah otoritas Kesultanan Buton, menjadi penopang Kesultanan.

Rabu, 27 Oktober 2010

Jejaring Pelaku Wisata Belum Terlihat

Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:09 WIB
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta atau PASTY yang berlokasi di Dongkelan, Gedongkiwo, Mantrijeron, Yogyakarta saat ini menjadi tempat tujuan wisata baru bagi wisatawan mancanegara dan domestik, sebagaimana terlihat pada Kamis (20/5/2010).
Jejaring Pelaku Wisata Belum Terlihat Rabu, 27 Oktober 2010 | 16:09 WIB KOMPAS/WAWAN H PRABOWO Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta atau PASTY yang berlokasi di Dongkelan, Gedongkiwo, Mantrijeron, Yogyakarta saat ini menjadi tempat tujuan wisata baru bagi wisatawan mancanegara dan domestik, sebagaimana terlihat pada Kamis (20/5/2010).

Pertemuan Terakhir dengan Mbah Marijan

Yogyakarta, 27 Oktober 2010

Jumat, 15 Oktober lalu, Tim Mahasiswa S3 KTL FIB Universitas Gajah Mada berkunjung ke rumah Mbah Marijan. Setelah Shalat Jumat berjamaah, di mesjid dekat rumahnya, Mbah Marijan menjelaskan tentang keyakinannya menjaga gunung Merapi.

Dalam perjalanan itu, sebelum kami menemui Mbah Marijan, kami berkeliling menyaksikan bongkahan lahar yang tidak jauh dari rumah Mbah Marijian. Bongkahan lahar letusan Merapi tahun 2006. Rupanya perjalanan itu adalah perjalan terakhir untuk bertemu Mbah Marijan. Wawancara kami lakukan, tetapi Mbah Marijan menjelaskan dengan menggunakan bahasa Jawa. dan Aku Tak mengerti.

Di ruang tamu rumahnya, ia memperlihatkan kesederhanaan hidup seorang manusia. Kepatuhan seorang hamba pada tuhannya. Mbah Marijan adalah tokoh yang perlu ditiru, karena ia tidak pernah mau lari dari tanggung jawabnya, walau ia harus berhadapan dengan fenomena alam yang belum tentu ia dapat atasi.

Keyakinannya sebagai juru kunci Merapi telah membawanya, kepada sebuah tanggung jawab yang diembannya. Manusia seperti Mbah Marijan adalah manusia langka di tengah manusia Indonesia yang banyak mementingkan diri sendiri dan terpengaruh dengan masalah kehidupan yang serba materialisme.

Mbah Marijan, kini menemui ajalnya dengan tetap bertahan di rumahnya. Ia meninggal dalam keadaan sujud berdoa memanjatkan keselamatan masyarakatnya. Pertemuan kami dengan Mbah Marijan rupanya adalah pertemuan terakhir. dan ketika aku minta izin untuk berfoto kepada Mbah Marijan, ia berkata bahwa jangan, saya bukan artis. Itulah, kenangan pertemuan terakhir kami dengan Mbah Marijan yang tidak diikuti dengan dokumentasi foto.
Selamat jalan Mbah Marijan, pengorbananmu dan kesetiaanmu telah kau torehkan ke mata dunia bahwa masih ada orang yang mau berkorban untuk orang lain.

Kamis, 21 Oktober 2010

Tradisi Balumpa Masyarakat Wakatobi

 
Wakatobi sebagai salah satu Kabupaten yang mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat, sehingga ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Bidang Pariwisata memilik berbagai tradisi dan atraksi budaya. Salah satu atraksi budaya yang dapat dinikmati oleh wisatawan yang datang ke Wakatobi adalah tarian Balumpa. 

Tarian ini merupakan salah satu tradisi yang tumbuh dan berkembang di Kabupaten Wakatobi. Tarian ini lebih banyak dikenal sebagai tarian tradisional masyarakat Binongko. Tarian ini diiringi oleh musik gambus dengan irama Balumpa. Tarian ini dimainkan oleh Mudu mudi secara berpasangan, tetapi juga dapat dimainkan oleh orang tua.

Tim Cagar Biosfer Dunia Teliti Wakatobi

Metro TV News
- 21 Okt 2010
- 15 jam lalu
Metrotvnews.com, Wakatobi: Tim Cagar Biogfer Dunia, sebuah lembaga dunia yang fokus pada kegiatan penyelamatan lingkungan melakukan penelitian alam di ...

Rabu, 20 Oktober 2010