Oleh: Bia Wakatobi
Harga bawang merah melonjak di sejumlah pasar tradisional di seluruh
Indonesia. Kini, harga bawang merah melambung tinggi di harga per
kilogram, tentu akan sangat menguntungkan petani dan semoga membawa
berkah serta kehidupan mereka, khususnya petani bawang kecil itu
signifikan dengan perubahan harkat dan martabat ekonominya.
Bagi petani kecil bawang merah diseputar persoalan mahalnya harga bawang
tersebut, tidak saja harus di lihat pada sisi peningkatan pendapatan
mereka, tetapi pada sisi lain akan menyulitkan mereka untuk pembelian
bibit.
Kondisi melambungnya harga bawang ini membuat para ibu
rumah tangga resah, menjerit dan menangis dengan kenaikan harga bawang
yang sangat mahal, apalagi bawang merupakan bahan utama pembuat bumbu
masakan. Kalau sudah begini, terpaksa para ibu harus mengatur siasat
agar tetap hemat dan dapur terus ngepul.
Hal yang sama
dirasakan pemilik warung, mereka pun resah dengan lonjakan harga
tersebut.Bagi pemilik warung harga bumbu dapur melejit, tapi tidak
semudah itu menaikkan harga menu warungnya. Masalahnya jika dinaikkan,
pelanggan akan kabur karena tidak sanggup untuk membeli.
Para
pedagang bawang, juga mengeluhkan kelangkaan bawang putih dan bawang
merah. Apalagi, hampir setiap hari harga dua komoditas pertanian
tersebut telah melonjak naik, sehingga menurunkan omzet pedagang.
Krisis bawang yang terjadi sekarang setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita cermati, di antaranya :
Pertama, Sistem yang digunakan saat ini yaitu demokrasi tidak berpihak
pada kesejahteraan, hingga masalah dapur harus dipertaruhkan. Kesalahan
kebijakan dan berbelitnya aturan main yang dibuat pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Ini bisa terlihat dari Kementerian
Pertanian selama ini selalu terlambat mengeluarkan Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura (RIPH). Akibatnya pasar sempat mengalami kekosongan
stock.
Kementerian Pertanian karena berlarut-larut
mengeluarkan RIPH. Tujuan RIPH sebetulnya untuk menjaga stabilitas
pasokan dan harga, tapi malahan yang terjadi sebaliknya, Keterlambatan
Kementan mengeluarkan RIPH berakibat pada macetnya pasokan dan harga pun
membumbung.
Kedua, Pertaruhan perkara dapur dalam percaturan
politik membuktikan bahwa dari sisi ekonomi, belum ada jaminan
‘keamanan’ anggaran belanja rumah tangga. Para elit politik hanya
mementingkan kepentingan pihak-pihak tertentu dan golongannya saja,
walhasil rakyat yang menderita. Dan masalah yang terjadi tidak di
selesaikan dengan tuntas sehingga berulangkali terjadi.
Ketiga,
Perbaikan dan penggantian sistem ekonomi rakyat Indonesia menjadi
sistem ekonomi yang menyejahterakan mendesak untuk di wujudkan. Karena
jelas dalam sistem ekonomi demokrasi, asap dapur justru belum tentu akan
terus mengepul. Model pembangunan yang diterapkan di Indonesia,
sesungguhnya lebih banyak membebek pada arahan yang telah diberikan oleh
Barat. Dengan model pembangunan ekonomi seperti itu, jutru telah
menyebabkan Indonesia semakin terjebak dalam perangkap “penjajahan”
Barat. Model pembangunan Indonesia tidak pernah membuat bangsa Indonesia
menjadi negara yang mandiri, kuat dan berdaulat secara ekonomi.
Sebaliknya, justru telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang
semakin bergantung pada Barat, baik dalam bidang teknologi maupun dalam
bidang ekonomi.
Jelas akar masalah kisruh akibat kenaikan harga
bawang tidak lain adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem
ekonomi kapitalis menjadikan penguasanya adalah pihak swasta, khususnya
asing, melalui mekanisme kebebasan kepemilikan. Sistem ini juga
membenarkan adanya bursa yang menjadi sarang spekulan. Karena itu, jika
terus mempertahankan sistem kapitalis sama saja dengan melanggengkan
masalah serta memperpanjang penderitaan dan kesusahan. Mahabenar Allah
yang berfirman: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku
(al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).
Solusi permasalahan diseputar persoalan ekonomi yang carut marut
tersebut, hendaknya pemerintah tidak sembarangan membuka kran impor dan
menerapkan penetapan harga barang menurut pasar. Jangan dibayangkan
bahwa kebijakan membuka kran impor akan membuat pasar dalam negeri
kebanjiran produk asing yang akhirnya akan membunuh hasil produksi
petani lokal. Karena prinsip kebebasan kepemilikan bagi bangsa kita
tidak akan cukup kuat mengolah mentalitas dengan bukti apa yang dialami
bangsa hari ini baru di seputar persoalan bawang saja.
Mengapa
kita tidak meniadakan bursa future, transaksi derivatif dan sektor
non-real secara umum. Dengan itu, ulah spekulan bisa diblok sehingga
tidak bisa menyebabkan kisruh yang menimbulkan penimbunan dan pematokan
harga. Demikian pula bertumpunya ekonomi pada sektor pertanian,
produksi, perdagangan dan industri akan menstabilkan harga dan
meniadakan laju inflasi. Tidak sebagaimana hari ini yang masih bertumpu
pada sektor non riil serta manusia beraktifitas ekonomi dengan asas
kebebasan memiliki dan melakukan tindakan apa pun. Wallahu A’lam
Bis-Shawaab. — di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Harga bawang merah melonjak di sejumlah pasar tradisional di seluruh Indonesia. Kini, harga bawang merah melambung tinggi di harga per kilogram, tentu akan sangat menguntungkan petani dan semoga membawa berkah serta kehidupan mereka, khususnya petani bawang kecil itu signifikan dengan perubahan harkat dan martabat ekonominya.
Bagi petani kecil bawang merah diseputar persoalan mahalnya harga bawang tersebut, tidak saja harus di lihat pada sisi peningkatan pendapatan mereka, tetapi pada sisi lain akan menyulitkan mereka untuk pembelian bibit.
Kondisi melambungnya harga bawang ini membuat para ibu rumah tangga resah, menjerit dan menangis dengan kenaikan harga bawang yang sangat mahal, apalagi bawang merupakan bahan utama pembuat bumbu masakan. Kalau sudah begini, terpaksa para ibu harus mengatur siasat agar tetap hemat dan dapur terus ngepul.
Hal yang sama dirasakan pemilik warung, mereka pun resah dengan lonjakan harga tersebut.Bagi pemilik warung harga bumbu dapur melejit, tapi tidak semudah itu menaikkan harga menu warungnya. Masalahnya jika dinaikkan, pelanggan akan kabur karena tidak sanggup untuk membeli.
Para pedagang bawang, juga mengeluhkan kelangkaan bawang putih dan bawang merah. Apalagi, hampir setiap hari harga dua komoditas pertanian tersebut telah melonjak naik, sehingga menurunkan omzet pedagang.
Krisis bawang yang terjadi sekarang setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita cermati, di antaranya :
Pertama, Sistem yang digunakan saat ini yaitu demokrasi tidak berpihak pada kesejahteraan, hingga masalah dapur harus dipertaruhkan. Kesalahan kebijakan dan berbelitnya aturan main yang dibuat pemerintah dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat. Ini bisa terlihat dari Kementerian Pertanian selama ini selalu terlambat mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Akibatnya pasar sempat mengalami kekosongan stock.
Kementerian Pertanian karena berlarut-larut mengeluarkan RIPH. Tujuan RIPH sebetulnya untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga, tapi malahan yang terjadi sebaliknya, Keterlambatan Kementan mengeluarkan RIPH berakibat pada macetnya pasokan dan harga pun membumbung.
Kedua, Pertaruhan perkara dapur dalam percaturan politik membuktikan bahwa dari sisi ekonomi, belum ada jaminan ‘keamanan’ anggaran belanja rumah tangga. Para elit politik hanya mementingkan kepentingan pihak-pihak tertentu dan golongannya saja, walhasil rakyat yang menderita. Dan masalah yang terjadi tidak di selesaikan dengan tuntas sehingga berulangkali terjadi.
Ketiga, Perbaikan dan penggantian sistem ekonomi rakyat Indonesia menjadi sistem ekonomi yang menyejahterakan mendesak untuk di wujudkan. Karena jelas dalam sistem ekonomi demokrasi, asap dapur justru belum tentu akan terus mengepul. Model pembangunan yang diterapkan di Indonesia, sesungguhnya lebih banyak membebek pada arahan yang telah diberikan oleh Barat. Dengan model pembangunan ekonomi seperti itu, jutru telah menyebabkan Indonesia semakin terjebak dalam perangkap “penjajahan” Barat. Model pembangunan Indonesia tidak pernah membuat bangsa Indonesia menjadi negara yang mandiri, kuat dan berdaulat secara ekonomi. Sebaliknya, justru telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang semakin bergantung pada Barat, baik dalam bidang teknologi maupun dalam bidang ekonomi.
Jelas akar masalah kisruh akibat kenaikan harga bawang tidak lain adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan penguasanya adalah pihak swasta, khususnya asing, melalui mekanisme kebebasan kepemilikan. Sistem ini juga membenarkan adanya bursa yang menjadi sarang spekulan. Karena itu, jika terus mempertahankan sistem kapitalis sama saja dengan melanggengkan masalah serta memperpanjang penderitaan dan kesusahan. Mahabenar Allah yang berfirman: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).
Solusi permasalahan diseputar persoalan ekonomi yang carut marut tersebut, hendaknya pemerintah tidak sembarangan membuka kran impor dan menerapkan penetapan harga barang menurut pasar. Jangan dibayangkan bahwa kebijakan membuka kran impor akan membuat pasar dalam negeri kebanjiran produk asing yang akhirnya akan membunuh hasil produksi petani lokal. Karena prinsip kebebasan kepemilikan bagi bangsa kita tidak akan cukup kuat mengolah mentalitas dengan bukti apa yang dialami bangsa hari ini baru di seputar persoalan bawang saja.
Mengapa kita tidak meniadakan bursa future, transaksi derivatif dan sektor non-real secara umum. Dengan itu, ulah spekulan bisa diblok sehingga tidak bisa menyebabkan kisruh yang menimbulkan penimbunan dan pematokan harga. Demikian pula bertumpunya ekonomi pada sektor pertanian, produksi, perdagangan dan industri akan menstabilkan harga dan meniadakan laju inflasi. Tidak sebagaimana hari ini yang masih bertumpu pada sektor non riil serta manusia beraktifitas ekonomi dengan asas kebebasan memiliki dan melakukan tindakan apa pun. Wallahu A’lam Bis-Shawaab. — di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.