I
Ketika di kampung dahulu                                                                                                      
Di masa kecil aku
Tujuh tahun usia umurku
Duduk aku di pangku ibu
Di belai lembut manja aku
Ibu berkisah syahdu
Dalam lirih nyanyi Kabanti
Perihal agung mulianya negeri butuuni
Sultannya lurus amanah
Memangku kuasa adil penuh
Memerintah jujur tak pilih kasih
Rakyat-penguasa sama setara
Di muka hukum jika berlaku salah
Itulah berberkah buminya
Itulah berberkat tanahnya
Bahkan bicara para tetua
Dapat berbuah karomah
Menjadi doa barokah
Mengusir pergi tuah teluh
Kiriman negeri-negeri jauh sebelah
Pulang kembali ke asalnya disuluh
Rahmat Tuhan turun melimpah
Meruah tumpah di Zaawiyah
Meluas menulari semua rakyat
Melingkup tinggal dalam sentausa

Tuhan begitu dekat
Merapat tak bersekat
Seperti panas dengan api
Seperti kapas dengan kain

Selalu saja usai lantunan itu
Serupa buah menunas tumbuh
Menyeruak muncul dari dasar tanah
Darah kecilku tersirap menaik
Dadaku busung jadi orang Buton

II
Dua belas tahun usia umurku
Kelas enam di bangku SD
Duduk aku di baris paling muka
Menyimak nasehat sampaian guru
Perihal Bolimo karo dan Pomamaasiaka
Perihal perbuatan baik dan laku diri mulia
Yang disanjung puji puja
Terhormat ditatap pandang
Di muka mata manusia
Lebih-lebih di muka mata  hadapan Tuhan maha kuasa
Ciri tanda orang-orang Butuuni
Berlaku demikian itu
Rela mengalah diri
Untuk baik majunya negeri
Ikhlas menyusah diri
Asal negeri  makmur bersenang hati
Sungguh benar-benar
Pomaasiaka tidak saja di bibir
Ia terselam dalam praktek  nyata
Dihidup sehari-hari orang butuuni
Kebersamaan nampak terasa ada
Damai bahagia seluruh warga
Pomaamaasiaka itu
Sungguh banyak faedah manfaatnya
Ia harus terus hidup abadi
Mengalir larut dalam darah anak-anak butuuni
Membiak  karakter keras tangguh
Lembut kuat mengukuh
Dulu dadaku tegap bila berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini

III
Ketika di bangku SMA
Lanjut aku di tanah Makassar
Pada awal masuk sekolah
Saling kami berkenalan
Bercerita asal usul di muka klas satu-satu
Tegap aku berdiri
Begitu dengar nama dipanggil
Maju berani percaya diri
Dalam langkah yang tegak
Meruntun asal mengurai usul
Di muka guru tak malu-malu
Kuceritakan negeri butuuni asalku
Tempat aspal ditemukan ada
Tempat Hasanuddin takluk tunduk
Tempat Aru Palakka berlindung diri
Sorak tepuk membahana
Riuh memenuhi ruang klas
Tangan-tangan disodor sopan pelan
Menyerbu berdatangan menyalamiku
Mengikut senyum ramah pada mereka
Tunduk merendah membungkuk
Sebagai segan menghormatiku
Bangga luarbiasa jadi anak Buton

IV
Langit akhlak rubuh
Di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak
Doyong berderak-derak
Di muka khalayak penuh sesak
Berjalan aku dalam tunduk
Membenam muka di tanah retak
Malu aku jadi orang Buton

V
Di negeriku kini, taman-taman hiburan umum
Disalahpakai menjadi tempat kumpul bermaksiat
Tempat umbar berlepas syahwat
Lendir amis menguap dari esek
Menebar bau tak sedap menusuk busuk sekali
lumuri cemar di tanah berkat Butuuni
lumuri aib di bumi berkah butuuni.
Di benteng keraton,
Muda mudi berpasang-pasangan
Duduk menjuntai berkasih-kasihan
Ketika hari mulai gelap
Tangan mereka saling silang bersambutan
Menarik maju badan saling dekap
Erat kuat-kuat berpeluk
Tanpa malu mereka berlaku begitu
Di muka makam-makam suci leluhur
Anomali sosial dan perilaku amoral abudaya
Terang-terangan nampak norak sekali
Di muka batang hidung kita semua
Rakyat penguasa tak ada peduli, diam tak mengambil upaya
Membiarkan cuek bersantai saja
Seperti setuju tak menyoalkannya
Maka langgenglah terus-terus itu aniaya
Butuuniku tenggelam larut
Dalam wabah maksiat yang pekat
Dalam umbar aurat yang kalut


Di negeriku kini, masuk menjadi abdi daerah
Harus merogoh duit berpuluh juta rupiah
Untuk dipakai sebagai sogok pelulus
Sangat sangat sangat sangat memberatkan sekali ini
Suap yang duitnya mengalir tumpah ke saku-saku safari penguasa
Dihambur dalam foya-foya, sedikit sisanya disimpan
Pada rekening-rekening gelap sebagai lumbung dana pelanggengan kuasa
Atau sebagai upah preman pelindung jaga mereka
Atau dibungkus rapi pada amplop-amplop berlogo dinas
Untuk kemudian dibagi sebar pada masjid-masjid
Gereja-gereja semua rumah ibadah
Rumah-rumah panti dan kaum miskin
sebagai politik uang berkedok sumbangan

Di negeriku kini, seorang pintar berilmu tak laku
Terlempar keok tak terpakai dibuat sia-sia
Ia terkucil  sendiri tak mendapat tempat
Karena semua kursi telah menjadi jatah diduduki
Sanak famili dan kerabat penguasa
Sisa kecilnya dibagikan buat mereka-mereka
Yang setia loyal  mengekor dibokong penguasa
Mengikut berjamaah bohong kibuli rakyatnya.

Di negeriku kini..,
Jalan-jalan bak kubangan
Bersambungan tak henti sepanjang jalan
Padahal lumbung-lumbung aspal perut bumi kami
Telah hampir habis dikeruk habis-habisan
Entahlah itu kemana dibawa pergi
Miris hati kami
Teronggok menelan ludah
Melihat itu diangkuti
Di muka hidung mata kami
Isi aspal perut bumi kami
diangkuti dan dibawa pergi
limbah yang cemar ditinggali
untuk kami tanggungi

Di negeri ku kini
Para penguasa sibuk saling kelahi
Berebut kuasa dan pamer hegemoni
Sehingga lupa mereka pada membangun
Sehingga lupa mereka pada kewajiban tanggungjawabnya
Anak-anak mereka, saudara-saudara mereka
Paman bibi ponakan hingga cucu buyut mereka
Dimanja kuasa ayah luarbiasa
Tanpa malu dan bersalah perasaan
Kuasa disimpan dalam genggam
Untuk kemudian diturunkan pada anak cucu mereka
Pada kakak adik saudara mereka.

VI
Langit akhlak rubuh
Di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak
Doyong berderak-derak
Di muka khalayak penuh sesak
Berjalan aku dalam tunduk
Membenam muka di tanah retak
Malu aku jadi orang Buton

Mbarek Jogjakarta, 10 April 2011
*Adaptasi Puisi Taufiq Ismail dengan judul MAJOI