Kamis, 23 Januari 2014

KOMUNIKASI BUDAYA

 Oleh: drh. Chaidir, MM.



PERILAKU kehidupan masyarakat kita dewasa ini ditandai dengan kekacauan berpikir. Masyarakat hidup dalam situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban dan keteladanan sosial. Masyarakat seolah tak punya negara dan hukum (stateless and lawless society). Inilah sindrom masyarakat anomie sebagaimana disebut sosiolog Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa penghormatan terhadap peraturan.
Bentrokan antar kelompok masyarakat, antar suku, antara aparat dengan masyarakat mudah sekali meletus. Adakalanya hanya karena urusan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik. Ketidak patuhan terhadap hukum, menjadi tontonan dimana-mana. Sementara pada sisi lain, elit politik tak kenal lelah melibatkan diri dalam perdebatan tanpa etika. Kehidupan masyarakat kita dewasa ini ditandai dengan politisasi berlebihan. Akibatnya sendi-sendi kehidupan bermartabat yang dengan bersusah payah ditegakkan, terlihat goyah. Kita hampir kehilangan pegangan. Hubungan persaudaraan, solidaritas, kegotongroyongan, rasa hormat-menghormati terlihat mengendur. Keteladanan menjadi sesuatu yang sulit dicari. Yang terlihat menonjol justru semangat materialisme yang berlebihan dan semangat perlombaan perebutan kekuasaan yang miskin etika.
Ada beberapa hal penyebab munculnya masyarakat anomie tersebut. Pertama, compang-campingnya penegakan hukum. Perangkat hukum yang diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat justru memunculkan ketidakadilan. Tidak sedikit rakyat kecil dipidana dan dihukum lebih berat dibanding pelaku korupsi yang jelas merugikan negara. Kedua, buruknya keteladanan dari elite. Para, penyelenggara negara berperilaku koruptif dan memperburuk keadaan. Ketiga, rakyat didera frustasi sosial. Akumulasi kekecewaan rakyat atas penegakan hukum formal telah melewati batas kesabaran. Masyarakat pun mulai main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Budaya sopan santun yang disebut-sebut sebagai ciri kebudayaan Melayu, justru tidak hadir dalam kehidupan nyata.
Saya bukan bermaksud membangun pesimisme, saya hanya ingin mengajak para perenung untuk berkontemplasi, atau siapa saja yang peduli, khususnya komunitas kebudayaan untuk melihat sebuah realitas sosial, bahwa kita bersama-sama sedang mendayung perahu sarat ini menuju samudra berombak besar yang tak berpantai. Carilah kesempatan menepi untuk jeda sembari melakukan kalkulasi. Atau kita akan sama-sama tenggelam ke dasar samudra yang kelam.
Potret budaya politik yang ditampilkan misalnya, adalah budaya politik yang buruk rupa, politik menghalalkan segala macam cara sebagaimana disebut Niccollo Machievelli. Mengapa demikian banyak orang yang melakukan kejahatan atas nama agama, etnis, suku, kebudayaan dan identitas lainnya? Mengapa banyak yang menegakkan kebenaran dengan cara yang tidak benar, mengapa menegakkan demokrasi dengan cara tidak demokratis, mengapa menegakkan hukum dengan cara yang tidak adil? Dan serangkaian panjang pertanyaan yang mengandung paradoksal, bisa disusun tali-bertali. Dusta dimana-mana, kemunafikan bersimaharajalela, lain di depan lain di belakang, lain di bibir lain di hati. Kita secara berjamaah terjebak dalam perangkap simbolistik kebudayaan, meriah dalam kostum dan seremoni miskin dalam apresiasi dan substansi, sehingga memunculkan perilaku yang jauh panggang dari api. Kita sedang menyulam sebuah kebudayaan yang tak punya hati. Konstituennya beratribut budaya materialistik, budaya instan, budaya korup, hedonisme, hipokrit, pembohong, dan seterusnya.
Singkatnya, ada sesuatu yang tak beres dalam masyarakat kita. Ada abnormalitas sosial budaya. Komunitas kita terluka karena banyak kebohongan, kepura-puraan dan fakta yang tersimpan di bawah meja. Kita bisa mengelabui publik, menyembunyikan kebenaran atau kecurangan, fakta boleh kabur, tidak terungkap, tidak tertangkap, berubah-ubah, tapi bukan berarti fakta itu tidak eksis. Justru fakta-fakta yang tidak terungkap itulah yang menjadi persoalan. Keburukan-keburukan yang tersembunyi itulah yang menimbulkan prasangka yang pada akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan. Keburukan yang berbaju kebaikan tak akan pernah bisa memberi tauladan. Kebudayaan window dressing, harga mahal berbagai seremonial, tak ubahnya hanya seperti bedak.
Seiring kencangnya arus perubahan dan kuatnya proses akulturasi di tengah masyarakat Melayu itu sendiri, kebudayaan Melayu laksana kapal yang berlayar di tengah badai. Dari berbagai kajian, mengaburnya kerangka acuan itu disebabkan karena beberapa hal. Pertama, adanya sebuah fakta, bahwa pembangunan kita terlalu mengedepankan aspek material. Dalam beberapa dekade ini pembangunan telah melahirkan ketidak-seimbangan dalam pola perilaku masyarakat. Persaingan material yang berlebihan telah menghasilkan masyarakat yang anomi. Capaian-capaian, khususnya bidang ekonomi, ternyata telah mengubah manusia menjadi makhluk-makhluk yang cenderung bebas nilai, saling memandang hubungan sosial dengan pertimbangan untung rugi atau kepentingan semata. Efek lanjutan dari kondisi ini munculnya generasi yang tercerabut dari nilai-nilai, generasi yang rapuh dari aspek spiritual, mudah stress, dan kehilangan pijakan platform.
Kedua, adanya fakta, bahwa era kesejagatan (globalisasi) berpotensi mengaburkan identitas. Hal ini bisa dimaklumi, karena kesejagatan bisa membuat siapapun atau negara manapun dapat memasuki "pintu" pihak lain tanpa sekat. Semua saling berbaur dan saling mempengaruhi secara mendalam. Sebagaimana dilansir dan sekaligus dikuatirkan oleh beberapa pakar masa depan, semisal Naisbitt, Alvin Toffler, atau Patricia Aburdane, kesejagatan itu berpeluang mengaburkan identitas seorang manusia, sebuah kaum, komunitas, atau bahkan negara. Tak jarang, seseorang yang mengaku Indonesia atau Malaysia, tetapi dalam sikap, ia sudah menjadi Eropa, atau Amerika, tanpa disadari atau karena kuatnya pengaruh kesejagatan tersebut. Ketiga: Perangkap kekuasaan. Sejarah mengajarkan kepada kita, runtuhnya imperium Islam di Andalusia, setelah jaya selama dua abad semenjak pasukan Tareq bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar, disebabkan karena krisis kepemimpinan. Nafsu kekuasaan dan harta benda telah menyebabkan terpecah-pecahnya imperium itu menjadi kesultanan yang kecil-kecil. Mereka saling berebut kekuasaan, bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang Sultan tidak segan-segan meminta bantuan kepada pasukan non muslim.
Perebutan kekuasaan dan harta benda dewasa ini, mempertontonkan kepada khalayak bahwa kita seperti sudah tersesat di siang bolong di tengah belantara tanpa platform. Sehingga, ketika bangsa lain telah memasuki era sain dan teknologi modern dalam merespon berbagai macam tantangan, kita masih terjebak pada pendekatan partikularistik yang menyebabkan kita kian tertinggal. Logika "untung-rugi" kelompok dan kedaerahan lebih menonjol ketimbang kepentingan masyarakat umum.
Kebudayaan Melayu yang diharapkan menjadi media untuk menetralisir perilaku anomi elit politik dan masyarakat, terperangkap pula dalam formalitas atributif, simbolistik dan miskin substansi. Sesungguhnya, ketika kebudayaan Melayu menjadi sebuah paradigma, serta merta menempatkan kita kepada identitas religius yang sangat kentara. Begitu kuatnya nilai-nilai religius melekat dan membalut jati diri Melayu, menjadikannya bak hubungan kulit dan daging. Sehingga muncul persepsi antropologis, Melayu adalah Islam, kebudayaan Melayu dengan demikian adalah kebudayaan Islam. Tapi justru di sinilah letak kegalauan itu, yang mencuat menjadi kontradiksi-kontradiksi.
Tren Kebudayaan
Beberapa pemikiran strategis mencatat, pembangunan kebudayaan merupakan aspek penting dalam pembangunan sebuah peradaban. Pembangunan kebudayaan bagi kehidupan kemanusiaan, adalah sesuatu yang diperbincangkan secara hangat, khususnya ketika dunia memasuki abad 21. Menghangatnya perbincangan tentang kebudayaan dan hubungan kebudayaan tersebut dengan upaya pembangunan sebuah peradaban manusia modern, berhubungan pula dengan ketakutan manusia terhadap fakta-fakta yang muncul akibat kemajuan zaman yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Berhadapan dengan fakta yang merisaukan itulah, maka dewasa ini, banyak negara di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara maju, berlomba-lomba memperkuat jati diri dengan memperdalam pembangunan kebudayaan atau melakukan restorasi kebudayaan, menggali kembali harta karun nilai-nilai luhur masyarakatnya yang telah tergusur oleh semangat materialisme. Jati diri dalam bingkai sebuah kebudayaan yang kokoh kelak diharapkan dapat menjadi benteng untuk menghadang akibat buruk dunia yang diciptakannya sendiri.
Dalam Megatrend 2000, misalnya, kita menemukan informasi, bagaimana negara-negara maju bersedia mengeluarkan belanja yang besar untuk memberikan subsidi kepada setiap anggota masyarakat untuk ikut dalam kegiatan kebudayaan, membangun gedung-gedung kesenian, dan membuat kebijakan-kebijakan yang pada intinya agar masyarakat mempunyai kekuatan spiritual yang tangguh. Dan dengan kekuatan spiritual yang tumbuh dari ranah kebudayaan itu, kemajuan bidang lain diharapkan tidak akan menggoyahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Kebudayaan adalah suatu hal yang penting ketika kita berpikir tentang keseimbangan hidup. Sejumlah negara besar atau negara maju dewasa ini, semisal Amerika, Jepang, China, dan sejumlah negara-negara Eropa, saat ini mulai "pulang" ke rumah kebudayaan mereka masing-masing. Orang China membolak-balik ajaran Kong Fu Tse, Amerika Serikat mewajibkan pelajarnya membaca buku kebudayaan, Jepang memperkukuh semangat Bushido. Hal ini terjadi setelah di depan mereka terbentang padang luas kehidupan yang liar dengan "ribuan serigala" hawa nafsu berkeliaran di dalamnya. Sebuah kenyataan tak terhindarkan, kemajuan yang dicapai dengan mengedepankan prinsip pasar ternyata memangsa anak-anak negeri yang lemah. Seperti apa yang disebut filsuf Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya. Sementara dalam sebuah Negara kesejahteraan (welfare state), harusnya homo homini sosius, manusia yang satu menjadi teman bagi manusia lainnya. Oleh karena itulah tumbuh suatu kesadaran untuk percaya pada ungkapan Matthew Arnold, bahwa kebudayaan merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan sangat berbau dagang itu.
Sebuah negeri yang tidak berupaya menumbuhkan kesadaran kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju apapun capaian yang telah dibuat. Keseimbangan antara material dan spiritual adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya jika tidak ingin semua hal yang sudah dibangun dengan bersusah payah, menjadi sesuatu yang kehilangan makna. Sebuah negeri yang ideal, kata William Butler Yeats, sastrawan pemenang Nobel sastra dari Irlandia, adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik pada sisi yang lain.
Kenapa sebuah negeri maju yang lainnya tidak, atau kenapa sebuah negeri maju dengan identitas yang jelas, yang lain masih mencari-cari identitas? Ada negeri maju yang disebut memiliki marwah, ada negeri maju yang dianggap tidak memiliki marwah. Sebaliknya, banyak negeri yang terpuruk karena mereka tidak memiliki suatu jati diri yang kokoh.
Penggambaran itu dapat dilihat pada wajah kehidupan sebuah negeri, lihatlah Amerika Serikat, Inggeris, atau Jerman. Lihat pula Jepang, China, Korea atau Thailand, atau lihat pula Singapura dan Malaysia. Dan jangan lupa, lihat pula Ethiopia, Uganda atau Ghana, atau Myanmar. Atau lihat wajah negeri kita di depan cermin. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa alasan utama mengapa sebahagian negeri atau kelompok etnis lebih berhasil daripada yang lainnya terletak pada nilai-nilai kebudayaan yang secara kuat membentuk kinerja politik, ekonomi dan sosial.
Samuel P. Huntington mencatat data menarik dalam buku Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia (LP3ES, 2006), Ghana dan Korea Selatan pada awal 1960-an memiliki kemiripan ekonomi. Huntington mencatat, kedua negara, memiliki tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang setara, porsi ekonomi mereka serupa dalam hal manufakturing, jasa primer serta berlimpahnya ekspor produk primer. Mereka juga menerima bantuan ekonomi dari lembaga internasional dalam jumlah yang berimbang. Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industri dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Tidak ada perubahan dengan Ghana, PDB per kapitanya sekarang seperlimabelas dari Korea Selatan. Bagaimana menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Tidak diragukan lagi banyak faktor yang perberan, tetapi kebudayaan memainkan peran besar, demikian ditulis Huntington.
Korea Selatan memang menjadi sebuah contoh yang menarik. Dalam buku Biografi Jenderal Douglas MacArthur, Korea Selatan disebutkan pada waktu itu (1950-1953) sangat feodal, korup dan bukan bangsa pekerja. Karena itu disimpulkan negeri itu akan sulit maju. Namun kita melihat kenyataan, di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung Hee yang kuat, Korea Selatan mampu bangkit dan mengubah diri menjadi masyarakat yang egaliter, memiliki budaya disiplin dan kerja keras. Korea Selatan tumbuh menjadi bangsa yang kuat. Budaya hidup mereka yang semula keropos berubah menjadi budaya hidup produktif dan efisien.
Singapura, yang ketika menjadi jajahan Inggeris dikenal sebagai "An Old China Town", sebuah kampong Cina tua, setelah merdeka dalam waktu yang singkat mampu berkembang menjadi Negara yang sejahtera. Pemimpinnya Lee Kwan Yew, melalui keteladanan yang kuat sebagai pemimpin yang sederhana dan pekerja keras, berhasil membangun budaya disiplin, hemat, efisien, bersih dan tertib. Lee Kwan Yew telah menjalankan dua fungsi kepemimpinan dalam kearifan Melayu secara terang benderang: 1) memakmurkan rakyatnya; dan, 2) memberikan keteladanan; walaupun dia tidak menyebut itu sebagai konsep kepemimpinan Melayu.
Jepang adalah sebuah contoh lain yang tidak kalah menariknya, di samping Korea Selatan dan Singapura, bagaimana kebudayaan memberikan kekuatan yang demikian mengagumkan bagi kemajuan sebuah bangsa. Kita tahu, bahwa Jepang moderen pernah melewati masa kelam, khususnya sesudah Perang Dunia II. Tapi dengan kekuatan yang luar biasa, Jepang kembali tumbuh menjadi kekuatan dunia yang demikian diperhitungkan. Kekuatan Jepang ini tidaklah tumbuh dengan sendirinya, tapi ia muncul karena Jepang secara teguh memainkan hasrat kemajuan dalam keluhuran nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya. Kedisiplinan Jepang dalam menjalankan budaya samurai (Bushi), yang berisi tujuh nilai utama yaitu : Kebaikan Hati, Keberanian, Kejujuran, Kehormatan, Keadilan, Kesetiaan, dan Kepedulian atau Rasa Hormat, membuat mereka tidak hanya tumbuh sebagai bangsa yang kuat, dan makmur, juga memiliki kehormatan. Kuatnya pengaruh budaya itu terlihat dalam kinerja politik dan ekonomi masyarakatnya.

Dimana peran kebudayaan?
Kata "kebudayaan" berasal dari kata Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal". Maka kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Sebagai konsep, kebudayaan antara lain berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu (Koentjaraningrat, 1974: Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan). Koentjaraningrat membagi kebudayaan itu sekurang-kurangnya dalam tiga wujud: Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks akivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Ketiga wujud tersebut dalam kehidupan masyarakat tidak terpisahkan. Dalam perspektif idiil dan adat istiadat, kebudayaan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Koentjaraningrat menyebut hakikat kebudayaan adalah menerapkan nilai-nilai yang baik, nilai-nilai yang luhur dalam kehidupan, menjunjung tinggi etika, berakhlak mulia, kemudian mewariskannya melalui keteladanan.
Senada dengan Koentjaraningrat, budayawan dan penulis Melayu, UU Hamidy (1986) dalam bukunya Membaca Kehidupan Orang Melayu, menyebutkan harkat kemanusiaan dalam tradisi Melayu masih tetap condong kepada martabat yang tinggi, dalam arti hidup jujur dan mempunyai pribadi yang baik – seperti digariskan agama dan adatnya. Masyarakat Melayu dalam alur bingkai budayanya, cukup mempunyai tradisi yang baik sebagai rakyat. Pantangan bagi mereka berbuat durhaka kepada para pemimpin. Tetapi dalam pada itu juga pantangan bagi mereka pemimpin yang berbuat hina.
Jelas tidak semua pemimpin bermental munafik dan pembohong, namun harus diakui, tidak sedikit yang bermental seperti itu. Asrori S Karni (2008, dalam buku Di Balik Buku Terlaris Dalam Sejarah Indonesia Laskar Pelangi The Phenomenon), menulis, efek buruk mental busuk itu tak selalu memerlukan populasi besar. Meskipun populasinya kecil, kalau mentalitas macam itu menghinggapi segelintir elit pejabat yang menduduki pos-pos strategis, maka dampak buruknya jauh lebih serius. Meskipun mereka berada di tengah mayoritas rakyat yang saleh dan berkarakter baik. Ungkapan Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, sebagaimana dikutip Asrori, agaknya benar, "hubungan kaya, miskin, dan sukses adalah semata persoalan integritas, sikap, dan mentalitas."
Masalah integritas inilah yang menjadi benang merah pendapat Francis Fukuyama (1996) sebagaimana ditulis dalam bukunya Trust: The social Virtues and the Creation of Prosperity. Fukuyama mengatakan, bahwa dalam persaingan global , modal yang paling penting bukanlah teknologi atau pun kapital, melainkan trust, percaya. Tentulah kepercayaan tidak akan tumbuh dengan sendirinya kalau tak ada kejujuran (integritas). Modal sosial dalam bentuk kepercayaan sama pentingnya dengan modal fisik. Hanya masyarakat dengan kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis skala besar yang fleksibel dan diperlukan untuk berhasil dalam kompetisi perekonomian global yang berkembang. Kejayaan Amerika pada kenyataannya bukan oleh etos individualisme yang banyak dibayangkan orang, tetapi pada keeratan (cohesiveness) ikatan kewargaan (civil association) dan kekuatan komunitasnya. Ada rasa saling percaya. (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2003: Reinventing Pembangunan Menata Ulang Paradgima Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global).
Fukuyama membagi tingkat kepercayaan sosial masyarakat dalam dua kelompok. Pertama, masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi (high trust society); dan kedua, masyarakat dengan tingkat kepercayaan social yang rendah (low trust society). Masyarakat maju dan modern termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan masyarakat terbelakang masuk dalam kelompok kelompok kedua. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang rendah inilah yang memberikan hukuman mati bagi Copernicus, ketika ilmuwan itu mengatakan sebuah kebenaran, bukan matahari yang mengelilingi bumi tapi bumi yang mengelilingi matahari.
Masyarakat kita tentulah tidak termasuk dalam kelompok low trust society. Masyarakat kita telah memiliki peradaban, tetapi untuk masuk dalam kelompok high trust society agaknya juga masih jauh. Para pemimpinnya saja belum memberikan keteladanan dalam perilaku. Hal-hal yang buruk masih menjadi budaya dalam masyarakat kita, seperti tidak bisa dipercaya, pembohongan, kemunafikan, korupsi, penyelewenangan, tingkat disiplin yang rendah dan sebagainya. Berpuluh pakta integritas ditandatangani, tapi dokumen tinggal dokumen.
Budaya integritas kita agaknya belum sebagaimana disebut Oprah Winfrey, integritas sejati adalah melakukan hal yang benar, padahal tahu bahwa tidak akan ada seorang pun yang tahu apakah kita melakukannya atau tidak. Orang yang penuh integritas adalah adalah orang yang ucapannya sesuai dengan perbuatannya, dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai luhur yang dianutnya. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar, dengan alasan yang benar, pada waktu yang tepat.
Pusat Kebudayaan Melayu
Undang-Undang Dasar 45 antara lain menyatakan bahwa salah satu tugas pemerintah di bidang kebudayaan adalah mengembangkan budaya nasional Indonesia, yang didefinisikan sebagai "puncak-puncak kebudayaan" daerah atau kebudayaan etnis di Indonesia. Setiap budaya etnis di Indonesia diasumsikan memiliki unsur-unsur budaya yang mungkin akan dapat diangkat dan dikembangkan menjadi unsur kebudayaan nasional, yang kemudian akan memperkokoh sosok kebudayaan nasional Indonesia. Sementara itu, puncak-puncak kebudayaan etnis ini belum seluruhnya terungkap, padahal setiap budaya etnis merupakan khasanah budaya yang sangat kaya. Kebutuhan akan informasi mengenai "puncak-puncak kebudayaan daerah" ini menjadi terasa semakin mendesak ketika kebudayaan nasional diyakini tengah menghadapi arus masuknya budaya asing yang begitu deras dirasakan.
Riau adalah sebuah negeri yang patut bersyukur karena mampu membaca tanda-tanda zaman tersebut dan menyongsong abad ke-21 dengan semangat menciptakan keseimbangan antara pencapaian bidang ekonomi dengan pembangunan spiritual dan kebudayaan. Bukti dari semangat itu adalah, timbulnya kesatuan tekad untuk menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu pada tahun 2020 dalam lingkungan masyarakat yang agamis di Asia Tenggara, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 36 tahun 2001, tentang Pola Dasar Pembangunan daerah Riau. Upaya-upaya pembangunan kebudayaan yang telah dilakukan sejak lama mengalami kristalisasi dalam visi tersebut.
Setiap pemimpin yang memegang teraju negeri, sesuai dengan kapasitas pemikirannya tentang kebudayaan selalu menjadikan kebudayaan Melayu sebagai alas pembangunan. Pembangunan kebudayaan Melayu terkait satu sama lain dengan pembangunan spiritual karena adat dan kebudayaan Melayu bersumber dari keluhuran agama Islam, yaitu adat yang bersendi syarak, dan syarak yang bersendikan kitabullah.
Kita menyadari, kebudayaan Melayu merupakan sebuah kekuatan utama yang mengukuhkan negeri serantau menjadi sebuah negeri yang bermartabat. Kesadaran ini muncul dengan berangkat dari pemahaman sejarah yang kuat, bahwa sejak masa lampau, kebudayaan telah menjadi kekuatan tersendiri, di luar politik dan ekonomi. Di tengah masyarakat Riau yang berbilang kaum kita memerlukan kebudayaan Melayu sebagai identitas nilai dan kewilayahan untuk mempersatukan masyarakat.

Kemelayuan Dalam Perangkat Simbol
Kemelayuan pada dasarnya juga merupakan sejumlah ciri yang ada pada perangkat simbol. Ini terlihat pada pembahasan Parsudi Suparlan (1985) mengenai identitas sosial-budaya orang Melayu. Perangkat simbol ini berasal antara lain dari kerajaan-kerajaan Melayu di masa lampau, yang kemudian banyak mewarnai kehidupan orang Melayu dan mendapat pengakuan sebagai perangkat simbol Melayu dari sukubangsa lain. Perangkat simbol ini berupa "kombinasi seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak". Perangkat simbol ini merupakan kerangka acuan yang penting bagi orang Melayu dalam berinteraksi dengan sesama orang Melayu dan mereka yang bukan Melayu.
Ciri-ciri perangkat simbol Melayu ini antara lain adalah "keramah-tamahan dan keterbukaan", yang dapat "mengakomodasi perbedaan". Ciri-ciri ini, menurut Parsudi Suparlan, merupakan hasil dari "pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing." Dengan ciri tersebut budaya Melayu mampu mengambil-alih unsur-unsur budaya lain dan kemudian menjadikannya seperti bagian asli dari budaya Melayu itu sendiri. Dengan kata lain, budaya Melayu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap unsur-unsur budaya dari sukubangsa lain.
Ciri umum yang lain dianggap ada pada strukturnya, yang terdiri dari sejumlah status dan peran dalam sistem pemerintahan. Sebagaimana ditunjukkan oleh T.Luckman Sinar (1985), Rahim (1985) dan Suwardi (1985), kedudukan paling tinggi dalam kerajaan Melayu adalah kedudukan raja yang bergelar "sultan", atau yang memiliki nama-nama Arab (Ambary, 1985), dan di bawahnya adalah para pembesar setempat, yang mempunyai kedudukan dan gelar yang berbeda-beda, seperti Bendahara dan Yang Dipertuan Muda.
Ciri yang lain, menurut Ong Hok Ham adalah kemaritimannya. Kerajaan-kerajaan Melayu di masa lalu merupakan kerajaan-kerajaan maritim, atau kerajaan yang berkembang di tepi-tepi, sungai yang menghubungkannya dengan laut luas. Basis ekonomi mereka adalah perdagangan antarpulau. Sayang sekali dalam hal ini belum ada keterangan yang lebih jelas mengenai proses tumbuhnya kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Apakah kerajaan-kerajaan ini juga mempunyai basis masyarakat yang hidup dari bertani di pedalaman atau memang sepenuhnya hidup dari perdagangan antarpulau? Jika berbasis pada perdagangan, mengapa tidak terlihat posisi-posisi khusus untuk menangani kegiatan perdagangan? Bagaimana hubungan antara raja dengan rakyatnya di sini? Ciri-ciri Melayu yang lain dalam perangkat simbol orang Melayu adalah bahasa, Islam dalam agama, bilateral dalam sistem kekerabatan, dan kemajemukan dalam budaya Melayu itu sendiri. Bahasa Melayu sebagai ciri dari perangkat simbol Melayu adalah hal yang sangat jelas, dan ini juga diakui oleh suku-sukubangsa lain. Islam sebagai agama orang Melayu juga diakui oleh suku-sukubangsa lain yang banyak berhubungan dengan orang Melayu, seperti suku Sakai, suku Dayak, dan suku Batak, sehingga ketika seseorang masuk Islam dia juga dikatakan "menjadi Melayu". Kemajemukan sebagai ciri budaya Melayu juga diakui oleh orang Melayu dan yang bukan Melayu. Mereka mengetahui bahwa orang Melayu dapat dibeda-bedakan lagi menjadi orang Melayu Riau Daratan dan orang Melayu Riau Kepulauan. Orang Melayu Kepulauan dapat dibedakan lagi menjadi orang Melayu Penyengat, orang Melayu Bintan, orang Melayu Batam, dan seterusnya.
Seperti halnya pandangan-pandangan esensialis sebelumnya, pandangan esensialis tentang perangkat simbol Melayu ini juga menghadapi masalah yang sama. Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan sebagai ciri-ciri simbol Melayu, yakni keramah-tamahan, keterbukaan, agama, bahasa, sistem kekerabatan bilateral dan kemajemukan, ciiri-ciri ini juga ada dalam perangkat simbol suku-sukubangsa lain di Indonesia, seperti misalnya orang Minahasa, orang Bugis-Makassar, orang Banjar, dan sebagainya. Jika demikian maka sebenarnya kemelayuan sebagaimana yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan sulit untuk dikatakan sebagai kemelayuan atau identitas Melayu.
Kemelayuan juga menjadi lebih jelas tampil ketika ditempatkan dalam konteks relasi orang Melayu dengan golongan-golongan sosial tertentu secara historis, sebagaimana ditunjukkan oleh Muchtar Lutfi (1985). Kemelayuan yang menurut Lutfi penting dalam relasi-relasi sosial orang Melayu adalah nilai-nilai agama Islam. Kuatnya nilai-nilai Islam tertanam dalam budaya Melayu telah membuat orang Melayu tidak menyukai budaya Barat (Portugis, Belanda, Inggris), yang sangat dipengaruhi oleh agama Kristen-Katholik, yang juga merupakan oposisi dari agama Islam. Apalagi orang-orang Barat adalah juga orang-orang yang telah menaklukkan dan menghancurkan kerajaan-kerajaan Melayu yang berbasis pada agama Islam di masa lampau. Ketidak-sukaan orang Melayu terhadap orang dan budaya Barat tersebut sangat berbeda dengan sikap dan pandangan mereka terhadap orang dan budaya Arab, yang telah membuat budaya Melayu mampu berkembang dan mengalami kejayaan di masa lampau. Sejarah relasi orang Melayu dengan orang Arab, India, Cina, Portugis, dan Inggris, merupakan fakta yang dianggap dapat menjelaskan posisi dan relasi orang Melayu di masa kini.
Kemelayuan sebenarnya tidak hanya dibangun oleh orang Melayu, tetapi juga oleh mereka yang bukan Melayu. Artinya, orang-orang non-Melayu sebenarnya juga memiliki pandangan atau gambaran sendiri mengenai apa itu "Melayu", sebagaimana terlihat pada tulisan Zawawi Imron (1985). Unsur budaya Melayu pertama yang dikenal oleh Zawawi Imron adalah bahasa Melayu. Walaupun merupakan unsur budaya asing, namun bahasa Melayu ternyata "telah lama menjadi kebanggaan orang-orang di kampung "tempat tinggalnya. Bahasa Melayu merupakan bahasa orang-orang di kantor atau bahasa orang-orang yang terpandang. Kemelayuan di sini adalah tidak lain adalah bahasa Melayu, dan kemelayuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang "tinggi kedudukan-nya" karena digunakan oleh orang-orang yang juga tinggi kedudukan sosialnya, yakni para pejabat dan orang-orang Madura yang telah berhasil "berlayar dan singgah di bandar-bandar yang jauh dari Madura" (Imron, 1985).
Memandang kemelayuan sebagai ciri-ciri simbolis saja memang akan menimbulkan kesan bahwa kemelayuan merupakan sesuatu yang mandeg, yang statis, yang hanya melekat pada simbol-simbol. Meskipun ini sampai taraf tertentu tidak salah, tetapi gambaran semacam itu tidak mencerminkan seluruh kenyataan yang melibatkan ciri-ciri simbolis tersebut. Sebagai ciri-ciri simbolis tentunya kemelayuan dapat dipandang sebagai perangkat simbolis yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan orang Melayu sehari-hari. Untuk itulah kita perlu melihat bagaimana simbol ini dihadirkan – sadar sadar ataupun tidak – dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu. Kita harus memperhatikan symbol in action, simbol sebagai perangkat untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari; simbol sebagai perangkat untuk membangun relasi sosial dan kelompok-kelompok sosial.
Tanggungjawab Sejarah
Kita semua berhutang budi pada generasi terdahulu yang telah menjadikan kebudayaan Melayu sebagai platform kemasyarakatan. Sebuah kebudayaan yang akomodatif terhadap kemajemukan. Kebudayaan Melayu telah menjadi simbol bagi entitas peradaban seperti yang terlihat di Kesultanan Riau Lingga dan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kebudayaan Melayu yang substantif diharapkan mampu mengawal perilaku masyarakat dan kepemimpinan pemerintahan, sehingga secara tegas disebutkan, "Raja alim raja disembah raja zalim raja disanggah." Kepemimpinan dalam perspektif Melayu juga tidak terlalu muluk-muluk. Konsepnya sangat manusiawi dan sederhana, yang terhimpun hanya dalam satu kata: paham! Seorang pemimpin yang paham akan mampu membawa dua misi, yakni pemakmuran dan keteladanan.
Tantangan kini dan ke depan bagi Melayu sebagai perangkat nilai adalah menjadikan nilai-nilai Melayu itu instrumental, tidak hanya sebatas penghias bibir, sebatas formalitas tetapi tidak substansial dan operasional. Atribut-atribut itu penting, tetapi tetapi memberi makna substansial juga tidak kalah pentingnya.
Kepemimpinan yang memiliki integritas tidak bisa dipungkiri, adalah faktor yang paling dominan dalam internalisasi nilai-nilai kebudayaan Melayu. Sayangnya, yang mengemuka dewasa ini adalah berita-barita negatif yang melelahkan, yang justru ketika atribut Melayu dijunjung dalam segala aspek kehidupan.
Tokoh-tokoh Melayu yang berada di jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif belum memiliki apreasiasi yang baik terhadap tanggungjawab sejarahnya, sehingga perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kebudayaan Melayu itu sendiri. Kondisi seperti ini akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Kebudayaan Melayu akan terpukul manakala elit pemimpin dan elit politiknya tenggelam dalam kultur pragmatisme sempit, partikularistik, politik dinasti, demi memburu kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Kita mendambakan kepemimpinan Melayu yang mencerahkan, kepemimpinan yang transformasional, bukan semata transaksional. Hanya kepemimpinan seperti itulah yang akan bisa menegakkan marwah Melayu itu sampai ke ujung zaman. Dalam perspektif itu, eksistensi kebudayaan Melayu itu bergantung kepada Melayu itu sendiri.

Tantangan Ke Depan
Ada kondisi diametrical dalam perilaku masyarakat kita dewasa ini. Kita berupaya keras mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Melayu sebagai sesuatu yang sudah lama eksis dan dianggap sebagai jati diri, namun vis-à-vis sadar atau tidak kita membangun sebuah entitas baru. Entitas itu tidak hanya tidak dikenal, tetapi bahkan aneh. Sesuatu yang berbeda dengan ide, cita-cita dan gagasan tentang masyarakat Melayu berbudaya tinggi penuh dengan keterhormatan yang selama ini selalu didengung-dengungkan.
Tidak bisa dipungkiri, kebudayaan Melayu hari ini dan di masa depan berada dalam pusaran konsekuensi dialektika sebagaimana disebut Hegel. Apa yang dianggap sebagai ciri-ciri yang melekat pada unsur-unsur budaya tertentu sangat mungkin akan hilang pada masa-masa selanjutnya, karena setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan-perubahan. Apa yang mungkin dikatakan sebagai kemelayuan atau kekhasan Melayu saat ini, barangkali tidak akan lagi demikian di masa-masa yang akan datang, karena kebudayaan dan masyarakat Melayu akan selalu mengalami perubahan. Komunikasi dialogis antara kebudayaan Melayu dengan kebudayaan lain dalam suatu masyarakat yang heterogen seperti dewasa ini tidak bisa dihindari. Dilihat dari perspektif ini, maka menetapkan jatidiri Melayu atau ciri-ciri budaya tertentu sebagai budaya Melayu tidak berbeda halnya dengan membakukan kemelayuan, dan itu berarti juga mencoba mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada budaya Melayu. Realistiskah langkah semacam itu? Bermanfaatkah? Bagi siapa manfaat tersebut? Itulah beberapa masalah yang muncul. Sebab perbancuhan kebudayaan itu selalu emultif, menghasilkan sebuah sintesa, yang tak lagi zat aslinya. Pada sisi lain ada mimpi besar untuk mempertahankan sebuah jati diri, sesuatu yang sebenarnya lebih banyak dalam wilayah romantika masa lalu.
Setiap kebudayaan selalu bersifat luwes dalam menerima pengaruh kebudayaan lain, sehingga ciri-ciri budaya yang berasal dari luar sangat mungkin diambil-alih oleh suatu kebudayaan, dan kemudian disatukan dengan ciri-ciri yang sudah ada sebelumnya, sedemikian rupa sehingga tidak terlihat lagi ciri-ciri yang berasal dari dalam maupun dari luar kebudayaan. Proses semacam ini biasa disebut akulturasi. Bagaimanapun juga ciri-ciri Melayu yang dianggap ada pada unsur-unsur budaya di atas merupakan ciri-ciri yang sulit untuk dapat dijaga eksklusifitasnya oleh orang Melayu sendiri. Artinya, orang Melayu tidak dapat melarang suku-sukubangsa lain, baik secara sengaja maupun tidak, untuk mengambil bagian-bagian tertentu dari budaya Melayu untuk memperkaya budaya mereka sendiri, sebagaimana halnya orang Melayu juga tidak dapat menahan diri dari mengambil unsur budaya dari sukubangsa atau masyarakat lain untuk memperkaya budayanya sendiri. Oleh karena itu, berbagai ciri-ciri unsur budaya yang dikatakan sebagai ciri Melayu tersebut bukan tidak mungkin telah ditiru oleh sukubangsa lain juga atau sebenarnya merupakan hasil tiruan orang Melayu dari unsur budaya suku yang lain.
Dilihat dari perspektif akulturasi kebudayaan, menetapkan ciri-ciri kemelayuan lantas dapat diartikan sebagai upaya mencegah terjadinya proses akulturasi. Namun sekaligus berarti juga mencegah terjadinya proses pengayaan budaya Melayu dengan memanfaatkan unsur-unsur budaya dari luar. Jika ini yang terjadi, hal itu tidak berbeda dengan membuat budaya Melayu menjadi sebuah budaya yang kaku dan tertutup, serta kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri lagi dengan situasi dan kondisi lingkungan sosial-budaya yang terus-menerus mengalami perubahan, yang akhirnya malah akan dapat membuat budaya Melayu itu menjadi kerdil atau bahkan secara ekstrim dapat disebut bisa sendiri mati perlahan-lahan.


Pandau, 10 Juni 2012
jurnal - Citizen Jurnalism 11 Juni 2012
Tulisan ini sudah di baca 3531 kali
sejak tanggal 17-06-2012