Selasa, 31 Juli 2012

Wakatobi: Tapa Wa Ina Nteadari, Te Sinta Teaka Sinea (Sebuah Reflaksi)


Oleh: Sumiman Udu

Dalam lantunan banti-banti masyarakat Wakatobi, sering kali diperdengarkan kepada generasinya tentang berbagai refleksi mengenai kehidupan mereka, proyektif mengenai impian mereka, serta berbagai ajaran moral. Seorang anak kecil sudah didik sejak dalam buaian mengenai konsep kehidupan sosial. Salah satu konsep yang sudah diajarkan itu adalah teks kabanti yang berbunyi "Tapa Wa Ina nteadari, te sita te aka sinea" artinya kritik itu adalah pelajaran dan pujian itu adalah permainan".
Berdasarkan teks banti-banti di atas, terlihat bahwa masyarakat Wakatobi sudah sepantasnya untuk memberikan kritik pada pemerintahannya ketika mereka memandang bahwa ada masalah, atau terjadinya sabara gau atau limpagi, karena itu adalah upaya untuk melakukan perbaikan. Jika dihubungkan dengan konsepsi penyelesaikan masalah di masa Kesultanan Buton, maka dikenal empat pintu tanah Buton yaitu : 1) Gau, 2) pombala, 3) musyawarah, 4) mufakat. Dari sini upaya dialog perlu dilakukan terus menerus, dan dalam konteks Gau ini, semua peserta berhak untuk memberikan pandangan mereka tentang suatu masalah sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Ini akan berhubungan dengan upaya untuk menemukan akar masalahnya. Kebenaran Informasi dari setiap peserta dialog akan dikonfirmasikan dengan data yang ada di lapangan. Lalu masukkah pada upaya pengidetifikasian akar masalah dimana seluruh informasi dikumpulkan untuk menemukan akar masalah guna mencari jalan penyelesaian masalah. Dalam konteks ini, data-data akan diajukan dan disesuaiakn kebenarannya berdasarkan berbagai tinjauan. Setelah itu, baru dimusyawarahkan untuk mendapatkan keputusan atau kemufakatan.
Dalam konteks kasus Wakatobi dewasa ini, seharusnya pihak-pihak terkait, Pemerintah, LSM, Tokoh Masyarakat, Mahasiswa, akdemisi, politisi, polisi dan Kejaksaan dan seluruh eleman lainnya didudukkan untuk memecahkan persoalan dengan baik dan dewasa dan dimediasi oleh pemerintah Pusat. Karena dengan menggunakan model penyelesaian masalah berdasarkan konsep tradisional masyarakat Wakatobi - Buton itu, diharapkan semua dapat menerima hasilnya dan bukannya memberikan ruang untuk terjadinya konflik horisontal antara pendukung pemerintah dan masyarakat atau seluruh yang bertikai di lapangan, karena membiarkan ini sama dengan membiarkan terjadinya proses yang mengarah kepada main hakim sendiri. Di sini perlunya ketegasan dalam pelaksanaan hukum, baik hukum sara (budaya) yang ditegakan oleh sara maupun hukum positif yang ditegakkan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Pertanyaannya adalah adakah keberanian untuk mempertanggung jawabkan seluruh akar masalah atau tidak, sebab jika masyarakat mengetahui bahwa telah terjadi tindakan melangar atau dalam istilah masyarakat Buton-Wakatobi adalah sabara gau, atau limpagi, maka pelaku harus mampu mepertanggungjawabkan segala tindakannya, baik di hadapan masyarakat (sara) maupun di hadapan hukum pemerintah RI? ini akan menjadi ruang bagaimana membangun kehidupan yang lebih baik di Wakatobi, baik dari segi penegakan hukum maupun dari segi pemenuhan kepentingan umum masyarakat Wakatobi.
Memang, beberapa minggu terakhir, gelombang demonstrasi di Wakatobi sudah semakin meningkat, dan itu jangan hanya dipandang sebagai suatu gerakan politik yang berakar pada dendam menang kalah dalam pemilu (itu sudah selesai), tetapi lebih arif harus dilihat sebagai suatu proses pertumbuhan kebudayaan, dimana masyarakat Wakatobi kembali menemukan jati dirinya untuk melakukan proses demonstrasi yang dalam bahasa masyarakat tradisional Wakatobi di kenal dengan istilah "TAPA". Dan menurut Budaya masyarakat Wakatobi, jika seseorang masih di 'tapa' oleh seorang kerabatnya atau rakyatnya, itu pertanda bahwa orang itu masih disayangi oleh rakyatnya atau sahabatnya tersebut. Yang berbahaya adalah ketika semua tindakan itu telah dicuekkan oleh kerabat, anak, tetangga dan sara, itu pertanda bahwa sebuah negeri itu sudah tidak lagi di sayang oleh rakyatnya, dan pelan-pelan akan terjadi proses pembangkangan sosial yang berujung pada tindakan untuk tidak membayar pajak, sebagai langkah protes sosial rakyat pada pemerintahnya. Dengan demikian, jika terjadi gelombang Demonstrasi atau TAPA di dalam masyarakat Wakatobi, itu artinya bahwa masyarakat Wakatobi masih peduli dengan pembangunan dan masa depan Wakatobi. Sehingga siapapun di Wakatobi harusnya memiliki dan menjalankan konsep Tara, Turu, Toro, dalam menjalankan pembangunan di Wakatobi. Tara artinya bersabar, Turu artinya loyal pada tujuan negara, bukan loyal pada oknum pemerintah dan Toro artinya tetap berpegang teguh pada Undang-undang dan cita-cita negara. Jangan sampai konsep Turu atau loyal itu dilakukan sebagaimana Kumbakarma dalam melakukan loyalitas pada Raja Alengka dalam drama India.
Selanjutnya, untuk melanjutkan pembangunan Wakatobi hendaknya harus mengacu pada nilai-nilai dasar kebudayaan Wakatobi - Buton yaitu Yinda-Yindamo arata, somanamo karo, Yinda-yindamo karo, somanamo lipu, yinda-yindamo lipu, somanamo sara, yinda-yindamo sara, samanamo agama" dengan berlandaskan pada rasa kemanusiaan yang dimanfestasikan dalam konsep pomaamasiaka, popiapiaraka, poangka-angka taka, pomae-maeaka.
Banyak orang yang bertindak sabaragau atau limpagi karena tidak memahami jati dirinya sebagai orang Wakatobi Buton, dimana telah banyak orang yang tidak menyayangi diri, keluarga, kampung, sara dan agamanya dengan kepentingan pribadinya yang cinta pada harta, kedudukan dan jabatan. Mereka mengabaikan kepentingan umum, demi kepentingan pribadi dan golongannya, mereka melanggar hukum dan adat budayanya demi mengejar kekayaan pribadi. Untuk itu, jika gelombang demonstrari atau TAPA di Wakatobi semakin meningkat, maka para leluhur dan masyarakat wakatobi meenunjukkan masih tetap mencintai Wakatobi.
Dengan demikian, ke depan di harapkan pemerintah dan seluruh masyarakat Wakatobi harus lebih berhati-hati dalam menjalankan keseharian mereka jangan sampai melakukan tindakan sabaragau dan limpagi, sehingga berakhir dengan tapa atau demonstrasi. Karena budaya Tapa itu merupakan budaya masyarakat Wakatobi sebagai wujud perhatian mereka terhadap harga diri, kampung, hukum (sara) dan agama. Oleh karena itu, demosntrasi atau Tapa yang konsruktif merupakan sara perjuangan untuk tetap menjaga keberadaan pembangunan berada pada jalur yang sesuai dengan kebutuhan individu, masyarakat, hukum dan agama. Bukan kepentingan pribadi yang mengabaikan kepentingan yang lainnya.
Di sinilah, langkah konkrit pemerintah daerah dan pusat diperlukan terutama dalam menjalankan tugasnya mengusut berbagai akar masalah yang sementara di kritik oleh masyarakat, sebab jika pemerintah Daerah (Kepolisian, Kejakasaan dan pemerintah Pusat) tidak mengambil langkah tegas dalam menyelesaikan akar-akar demonstrasi itu, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konfil horisontal di dalam masyarakat Wakatobi di masa depan, ini disebabkan karena filosofi dari TAPA itu adalah, jika di Tapa dengan kata-kata tidak berubah atau tidak insyaf, maka harus menggunakan tapa dengan tangan, dan ini sangat berbahaya. Untuk itu, pihak terkait dengan penyelesaian masalah ini hendaknya jangan main-main, karena ketika demonstrasi terus dibiarkan, maka kemungkinan akan menjurus kepada kekacauan akan semakin meningkat dan itu sangat berdampak pada pembangunan ekonomi serta kehidupan sosial dalam masyarakat Wakatobi dan itu artinya akan menyimpang dari Tujuan Pembangunan Wakatobi yang memiliki Visi dan Misi Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Jantung Segi Karang Dunia, ternyata di atas hanyalah kekacauan dan permusuhan yang dibangun atas dendam yang dibiarkan. Saya pikir, itu semua adalah mimpi kita bersama menciptakan surga di Wakatobi yang indikatornya adalah keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat Wakatobi.

Senin, 30 Juli 2012

Surat Saleh Hanan Untuk Wakatobi


Dear All

Ini pertengahan tahun. Kita mengapresiasi gerakan dinas kehutanan yang mulai menumbuhkan banyak pohon di lahan-lahan savanna, terlepas dari persoalan seperti status lokasi (adat dan hutan lindung) atau fungsi savanna yang secara cultural adalah untuk tempat menanam tanaman jengka pendek bagi pendatang (emergency/tempat hidup sementara, misalnya orang yang terdampar, pengungsi dll) atau orang kampung pribumi yang tidak kebagian lahan kebun dari keluarga musim itu.

Tetapi melihat banyak fakta, kita tidak henti-henti harus berpikir kritis. Saya, anda (termasuk Bupati, kepala BTNW) harus ikhlas bercermin, “apa prestasi kita terhadap lingkungan?”. Daratan pulau Wangi-wangi sudah mau ‘botak’ dan ‘ bopeng’ karena penggalian tanah oleh perusahaan-perusahaan swasta dan tidak ada regulasi untuk ini. Pak Hajifu (kadis DKP) pernah cerita kalau beliau stress melihat galian di sekitar desa Pada Jambu sudah membahayakan pengguna jalan. Saya pikir ini contoh pejabat yang baik tetapi tidak cukup dengan stress karena sebagai pejabat anda-anda punya segalanya. Pesisir dan hamparan padang lamun tempat yang seharusnya menjadi ‘kulkas’ bagi nelayan, janda-janda, perempuan miskin yang tidak sanggup pergi ke karang untuk mendapatkan makanan dan sumber ekonomi, kini hampir habis tergali oleh penambang-penambang pasir (103 orang dari Bajo, 4 orang dari Liya Bahari dan 1 orang dari desa Numana). Ini juga didiamkan saja oleh pemerintah kita. Apakah karena alasan politik misalnya orang Bajo tidak akan lagi pilih PDIP kalau Pak Bupati melarang itu, alasan bisnis (perusakan tidak berada di lokasi dive perusahaan-perusahaan miliki para penguasa), entah? Faktanya itu. Spesial untuk penambangan pasir, lokasinya hanya sekitar 800 meter dari kantor Bupati, 300 meter dari kantor Seksi I TNW. 82 meter koma 99 centi meter dari rumah’ta Pak Nadar. Sempat terdengar isu-isu bahwa ada orang-orang TNW, polisi, orang Pemda yang mendapat saweran dari bisnis ini tapi anda semua jangan yakin kalau tidak ‘segelisah’ saya dalam mencari informasi karena informasi seperti itu tidak akan dibawakan orang ke atas meja anda atau disodorkan dari luar kaca jendela mobil dinas anda. Apa prestasi kita, ayo? Kita ‘stakeholders’ Wakatobi hanya sebatas menyusun kertas-kertas diskusi, workshop, lokakarya yang kita mulai dari bulan Januari sampai Desember. Bupati hanya mentok di pidato. Pak Bupati, sebagai kawan lama, sebagai rakyatmu saya minta mulai pikirkan fariasi menu selain pidato. Spanyol juara Eropa dan juara dunia itu saja sudah mulai jenuh public dengan ‘taka-tiki’ bolanya padahal sukses. TNC/WWF terlena bermain-main dengan Komanangi, Forkani, Komunto, Foneb (para kawan sejati yang kehilangan taji, kehilangan gigi, karena kebanyakan dilatih ‘mbikin’ proposal, diajak menghayal tentang peluang ekonomi ekowisata sama Saleh dan Manan, dll). BTNW? Hmm, hmm, hmmmMM, raksasa yang satu ini tidak memanfaatkan auranya. Mati. Jangan bilang tidak ada fasilitas, dana dan kurang personil. Semuanya sudah lebih. Lebih dan wah. Benar-benar wah. Sungguh. Uang lebih, fasilitas dari pesawat sampai speed boad sudah ada. Kantor, asrama dan pos? Fantastik. Lebih jika di bandingkan dengan kantor koramil dan polisi di Binongko yang amat kecil dan sederhana atau dibandingkan dengan kantor polsek Wangi-Wangi selatan di jantung ibukota Wakatobi yang ‘kos-kosan’. Tapi coba lihat kerja mereka, dibidangnya mereka lebih maju dari kita semua. “Apa yang kamu tunggu Ahyar. Itu lihat, Ibu Siti di seksi III Tomia, lugas, luwes, berani.”

Sebenarnya untuk soal-soal lingkungan ini (laut terutama) kita masih memiliki kawan ‘habitat’ yakni para dive operator. Tapi kawan yang satu ini lupakan saja. Dimana-mana pedagang hanya cari untung kerjanya. Sepanjang tokonya tidak terganggu, Ling Ling merasa ‘persetan’ dengan keributan atau kebakaran di tetangga, di kampung. Ada Patuno Dive, ada Mawadah, tapi stop jangan kita bahas mereka, ini bulan puasa.

(Teman kuliahku di Unhalu dulu bercerita tentang dongeng sekawan kecoa membahas manusia saat makan malam. Satu ekor diantara mereka buru-buru mencela “Husst, jangan bicarakan manusia ah, kita sedang makan”).

Baiklah, apa prestasi kita? Jangan katakan “kita sudah menerima penghargaan cagar biosfer, kita diakui UNESCO, terbukti di dunia, kita..bla..bla..bla”. Saya yakin waktu itu para penilainya kecapean di pesawat atau mabuk laut ketika di Wakatobi. Ini menurut saya lho! Loh, lihat saja, dalam soal lingkungan : BTNW tidak konsisten, pemda Wakatobi tidak komitmen.

Sekarang mari kita focus, Pak Hugua, Pak Manan, Pak Martana, Pak Eris, Pak Sugi, apa prestasi kita (mu)? Desember akan tiba beberapa hari lagi.

Mungkin ini tepat menemanimu, sebuah puisi (saya lihat di buku pada gedung PKM kampus kemaraya Unhalu, 30 menit setelah Pak Manan menjadi moderator untuk kuliah perdana dari seorang professor UGM atau apa begitu, malam hari di tahun 1990). Bunyinya : …. Setengah lingkaran bumi kusilang arah membusur, ternyata aku hanya mengembara…,

Hi, Anto ‘kandidat doctor sastra UI’ Ibrahim, silahkan kasi tahu kami apa artinya.

Selamat berpuasa, selamat hari raya Idul Fitri, ini momentum kita untuk serius.

“kulya, katakanlah” Ini kalimat pertama Pak Manan ketika membuka kuliah pertama kami di universitas waktu itu dari atas mimbar pak.



Saleh

Kamis, 26 Juli 2012

Benarkah Einstein Seorang Muslim?



Jakarta–Albert Einstein sejak lama diduga menganut Judaisme, agama kaum Yahudi. Namun, ada klaim yang menyatakan ilmuwan nyentrik itu sebenarnya adalah Muslim. Mana yang benar? Klaim yang beredar di blog-blog Tanah Air ini menyebutkan adanya dokumen rahasia yang berisi surat-surat Einsten. Surat tersebut menunjukkan, ilmuwan kelahiran Jerman penemu teori relativitas ini, menganut Islam Syiah Imamiyah.

Berdasarkan laporan situs mouood.org, pada 1954, Einstein menyurati marji besar Syiah kala itu, Ayatollah Al Udzma Sayid Hossein Boroujerdi. “Setelah berkorespondensi dengan anda, saya menerima agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam,” tulis Einstein.

Einstein menjelaskan, Islam lebih utama ketimbang agama lain. Serta menyebutnya paling sempurna dan rasional. Ia bahkan menyatakan seluruh dunia takkan mampu membuatnya kecewa terhadap Islam maupun meragukannya.

Dalam makalah terakhirnya, ‘Die Erklarung’ (Deklarasi) yang ditulis pada tahun tersebut di Amerika Serikat (AS), Einstein dalam bahasa Jerman menelaah teori relativitas dalam ayat-ayat Al Quran dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah.

Einstein menyebut penjelasan Imam Ali tentang mimpi perjalanan Mi’raj jasmani Nabi Muhammad ke langit dan alam malaikat yang hanya dilakukan dalam beberapa detik, sebagai penjelasan Imam Ali yang paling bernilai.

Ada sebuah hadis yang disadur Einstein dan menjadi andalannya. Yakni diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang Mi’raj jasmani Rasulullah SAW. “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah berisi air yang menyebabkan air tumpah.”

“Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.” Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang berharga.

Terutama karena menjelaskan keilmuan para Imam Syiah dalam relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani, berbanding terbalik dengan formula terkenal relativitas materi dan energi. Yakni E=M.C >> M=E:C.

Artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi ia dapat kembali hidup seperti semula. Naskah asli risalah ini tersembunyi dalam safety box rahasia di London, Inggris, di tempat penyimpanan Prof. Ibrahim Mahdavi, dengan alasan keamanan.

Risalah ini dibeli Mahdavi seharga US$3 juta dari pedagang Yahudi. Ia juga dibantu seseorang yang bekerja di pabrik mobil Mercedes Benz. Tulisan tangan Einstein di buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan keasilannya oleh pakar manuskrip.

Perdebatan agama Einstein telah sekian lama dipelajari karena pernyataan sang ilmuwan sendiri juga sering ambigu. Ia dikabarkan mempercayai Judaisme, agama yang berakar dari filsuf Belanda Baruch de Spinoza. Namun, tak menganut konsep Tuhan yang Maha Esa.

Adapun pemikiran Spinoza yang terkenal adalah ajaran mengenai Substansi tunggal Allah atau alam. Baginya, Tuhan dan alam semesta adalah satu dan Tuhan memiliki bentuk, yakni seluruh alam jasmaniah. Aliran ini disebut panteisme-monistik.

Terkait keyakinan yang dianutnya, Einstein sempat mengatakan, “Saya tak mempercayai Tuhan secara personal dan selalu menyatakan hal ini dengan jelas. Jika ada sesuatu dalam saya yang bisa dibilang relijius, maka itu kekaguman saya terhadap struktur dunia yang sejauh ini bisa diungkap sains,” tegasnya.

Jadi, sudah bisa ditarik kesimpulannya bukan? [ast/INILAH.COM]