Rabu, 23 Februari 2011

WANIANSE

Bagian 7
Suasana malam, bulan purnama menyinari tanpa awan, sementara teriakan anak-anak yang bermain di bawah sinar bulan memecahkan malam, Wanianse dan beberapa orang temannya mendiskusikan beberapa tim dari calon-calon bupati yang dating tadi siang.
“Saya heran, mengapa mereka datang hanya membawa kecongkakan, bukan membawa program, masa mereka hanya menilai kita dengan uang,” keluh Wanianse membuka kesunyian. Sementara matanya menatap bulan yang terang menyinari wajahnya yang tambah cantik di bawah rembulan.
“Iya, saya juga heran, mengapa mereka menilai masyarakat bahwa kalau kita sudah diberi uang kita akan memilih mereka,” sambung tentangganya.
“Jadi bagaimana? Apa yang akan kita lakukan?,” Tanya Wanianse.
“kalau menurut saya, saat ini masyarakat harus menyadari bahwa untuk ke depan, pemerintah harusnya memberikan yang terbaik untuk kita, jadi mereka harusnnya membicarakan program, karena itu sekaligus janji mereka yang dapat menjadi ukuran kinerja mereka di masa depan,” kata salah seorang mahasiswa yang baru saja pulang dari Kendari.
Wanianse terpikir, “bagaiamana mungkin, pembangunan dapat berjalan baik, jika calon-calon ini masih tetap memperdagangkan masyarakat. Kalau mereka sudah membeli suara rakyat, maka pasti mereka akan mengabaikannya,” ungkap Wanianse sambil menyalakan api sebagai penghangat dalam diskusi mereka. Sementara posko-posko tim sukses sudah dipadati oleh anggotanya, mereka telah membentuk kelompok-kelompok yang radikal terhadap dukungannya. Bahkan pada beberapa kampong tetangga, tim-tim itu sudah saling mengancam.
Pemuda dari kendari itu kemudian melanjutkan bicaranya, “Dari pada kita diskusi tentang Pemilu Kada, lebih baik kita bakar-bakar jagung kah? Ini pasti akan lebih santai dan lebih menambah nikmatnya malam.
Lelaki itu mengambil gitarnya, sementara lampu listrik sudah beberapa kali berkedip, pertanda bahwa jam setengah sepuluh malam sudah beberapa menit lagi. Semua masyarakat yang mengambil listrik sibuk mengambil lampu minyak.
Lantunan nada dari gitar itu mulai mengalun, sementara lirik-lirik kabanti juga mengalir dengan derasnya.
“Wa Ina na moniasinto”
“E tekambose topo pengkane
Music dari gendang mengalun mengikuti dana gitar itu, suasana menjadi hangat ketika wanianse menjawab banti yang dilantunkan oleh teman lamanya itu.
“E temoniasinto wa ina”
“e te hale kumonta te togo”
Kemudian lelaki teman lama wanianse tersebut, membalasnya lagi bahwa
“E ara to konta te togo”
“e tokontane te ngangaranda”
Sambil menyalakan api tetangga wanianse juga ikut menjawab lantunan kabanti tersebut.
“Patoro la tuha patoro”
“te ido mami di bahu’u”
Lantunan-lantunan kabanti tersebut kemudian mengalir, dan malampun mulai larut, sementara angin malam sudah mulai menusuk kulit. Untuk saja api unggun itu juga tetap menghangatkan bagian muka.
“Rupanya kampong kita ini, masih sangat indah jika kita hidup seperti ini, andaikan saja tidak ada pilkada, maka kita dapat bergabung semua dan bernyanyi, tanpa ada perbedaan pilihan,” ungkap wanianse ketika bunyi gitar itu berhenti.
“Itu dia,” kata La Donso yang bermain gitar, lelaki teman sekolah wanianse.
“Betapa indahnya, kalau masyarakat disini dapat mengikuti pendidikan semua, coba lihat beberapa tahun yang lalu, SMP masih di Togo dan Waha, sekarang anak-anak sudah dapat sekolah di sini. Tamat juga dapat melanjutkan pendidikanya di SMK, walaupun masih swasta, tetapi jarak itu sudah tidak menjadi masalah,” ungkap Wanianse.
“Dulu, sewaktu saya masih sekolah di Tsanawiah dan Aliyah, kami sering jalan kaki ke Togo, tentunya kalau tiba di sekolah, kita sudah capek, tidak dapat belajar dengan baik, tinggal di rumah keluarga, sibuknya minta ampun. Sekarang, anak-anak tidak perlu merasakan itu lagi.
“Makanya, sekarang ini, kampong kita ini tinggal pekerjaan cari uang yang dibutuhkan. Kiranya calon bupati dan wakil bupati itu harus datang untuk menyiapkan lapangan kerja, bukan hanya datang cerita tentang berapa kita akan di beri uang, lalu pilih mereka,” lanjut la Donso.
“Kita berdoalah, semoga mereka dapat mengubah cara kampanye mereka, agar kita dapat percaya pada mereka. Jangan sampai kita hanya dibodoh-bodohi lagi.” Ujar yang lain.
Suasana yang semakin larut, membuat kampong itu semakin sunyi. Lalu datanglah seorang kakek kemudian duduk, rupanya ia sejak tadi mengikuti diskusi itu.
“Dulu, seorang pemimpin itu harus malu, sebab kalau tidak malu, maka mereka akan berbuat sekehendak hatinya. Rakyat dianggapnya sebagai budaknya, negeri dianggapnya sebagai miliknya, serta sering kali melakukan lempagi.
Dulu, ada seorang sultan buton (Oputa I Gogoli) ketika berbuat salah, maka ia pun merasa malu karena perbuatannya, maka ia rela disembeli oleh sara. Waktu itu ia terbukti mengganggu istri orang, sultan disembelih. Bagaimana dengan orang yang mengambil harta Negara, semestinya juga harus malu.
Kemudian di zaman dulu, tanah-tanah ini sangat diperhitungkan oleh Kesultanan, belum banyak orang yang menjual tanah,” orang tua itu berceloteh panjang lebar.
“Kalian tahu, arti sejengkal tanah?” matanya menatap Wanianse, La Donso dan semua yang hadir.
“Sejengkal tanah lebih bermakna dari pada tubuh kita”, karena itu, dulu semua tanah-tanah strategis selalu dijadikan tanah adat, termasuk pantai. Misalnya kaluku kapala, motika, kaindea, dan beberapa tanah strategis yang ada”. Orang tua itu kemudian berhenti dan pulang.
Namun di benak wanianse terbayang pertanyaan, apa itu kaluku kapala, dimana tempatnya? Dan mengapa terpilih menjadi tanah adat? Gimana statusnya sekarang.
Karena tidak ada gali yang bercerita, satu persatu mereka pulang dan tidur, sementara anak-anak muda yang biasanya main domino di bawah sinar lampu jalan, bergegas ke bantea untuk tidur.
Wa nianse pun naik ke rumah, tetapi di kepalanya penuh dengan pertanyaan mengenai status kaluku kapala yang diucapkan oleh orang tua itu, “Gimana statusnya di zaman kesultanan?”.

Bersambung….