Selasa, 07 Agustus 2012

Umar bin Khattab, Yahudi Tua dan Sepotong Tulang


Suatu malam kisah ini pernah di bacakan oleh seorang ayah kepada anak kecilnya. Dikisahkan menjelang tidur, sebagai pengantar tidur. Di pembaringan yang sederhana itu, seorang ayah masih duduk merokok di pinggir bale-bale rumahnya. Sekian banyak cerita daerah diceritakan pada dua anaknya. Cerita Wandiu-Diu, Landoke-ndoke, dan berbagai cerita lainnya sudah dihabiskan. Ini berlanjut sudah lama, karena kedua anak itu selalu menuntut Bapaknya untuk bercerita disetiap malam menjelang tidur.
 
Menghadapi itu, sang Ayah tetap setia mencari cerita, dan ketika ia pergi ke toko buku, dibelinya buku cerita yang berisi kisah-kisah islam. Maka dibelinyalah buku itu untuk pengantar tidur anak-anaknya. Lalu suatu malam, iapun bercerita tentang kisah ini.
Di bawah temaram lampu, ayah itu memulai ceritanya.

Pada Zaman dahulu kala, pernah hadir dua orang pemimpin yang adil. mereka bernama Amir Bin Ash dan Umar Bin Khatab. Kedua anaknya mendengarkan dengan baik seperti malam-malam sebelumnya.
"Bagaimana ceritanya Ayah?" tanya anaknya kakak.

 Begini ceritanya Nak, ayah itu memulai ceritanya.
"Sejak diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Amr bin Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong berawa-rawa, dan diatasnya hanya terdapat gubuk reyot yang hampir roboh. Selaku gubernur, ia menginginkan agar di atas tanah tersebut, didirikan sebuah masjid yang indah dan mewah agar seimbang dengan istananya. Apalagi Amr bin Ash tahu bahwa tanah dan gubuk itu ternyata milik seorang yahudi. Maka yahudi tua pemilik tanah itu dipanggil menghadap istana untuk merundingkan rencana Gubernur Amr bin Ash.
“Hei Yahudi, berapa harga jual tanah milikmu sekalian gubuknya? Aku hendak membangun masjid di atasnya.”
Yahudi itu menggelengkan kepalanya, “Tidak akan saya jual, Tuan.”
“Kubayar tiga kali lipat dari harga biasa?” tanya Gubernur menawarkan keuntungan yang besar.
“Tetap tidak akan saya jual” jawab si Yahudi.
“Akan kubayar lima kali lipat dibanding harga yang umum!” desak Gubernur.
Yahudi itu mempertegas jawabannya, “Tidak.”
Maka sepeninggal kakek beragama Yahudi itu, Amr bin Ash memutuskan melalui surat untuk membongkar gubuk reyotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata. Yahudi pemilik tanah dan gubuk tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia cuma mampu menangis dalam hati. Namun ia tidak putus asa memperjuangkan haknya. Ia bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab.
Sungguh ia tak menyangka, Khalifah yang namanya sangat tersohor itu tidak mempunyai istana yang mewah. Ia bahkan diterima Khalifah di halaman masjid Nabawi, di bawah sebatang pohon kurma yang rindang.
“Ada keperluan apa Tuan datang jauh-jauh kemari dari Mesir?” tanya Khalifah Umar. Walaupun Yahudi tua itu gemetaran berdiri di depan Khalifah, tetapi kepala negara yang bertubuh tegap itu menatapnya dengan pandangan sejuk sehingga dengan lancar ia dapat menyampaikan keperluannya dari semenjak kerja kerasnya seumur hidup untuk dapat membeli tanah dan gubuk kecil, sampai perampasan hak miliknya oleh gubernur Amr bin Ash dan dibangunnya masjid megah diatas tanah miliknya.
Umar bin Khattab mendadak merah padam mukanya. Dengan murka ia berkata, “Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan.” Sesudah agak reda emosinya, Umar lantas menyuruh Yahudi tersebut mengambil sebatang tulang dari tempat sampah yang treronggok di dekatnya. Yahudi itu ragu melakukan perintah tersebut. Apakah ia salah dengar? Oleh sang Khalifah, tulang itu digoreti huruf alif lurus dari atas ke bawah, lalu dipalang di tengah-tengahnya menggunakan ujung pedang. Kemudian tulang itu diserahkan kepada si kakek seraya berpesan, “Tuan. Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir, dan berikanlah pada gubernurku Amr bin Ash.”
Yahudi itu semakin bertanya-tanya. Ia datang jauh-jauh dari Mesir dengan tujuan memohonkan keadilan kepada kepala negara, namun apa yang ia peroleh? Sebuah tulang berbau busuk yang cuma digoret-goret dengan ujung pedang. Apakah Khalifah Umar tidak waras?
“Maaf, Tuan Khalifah.” ucapnya tidak puas, “Saya datang kemari menuntut keadilan, namun bukan keadilan yang Tuan berikan. Melainkan sepotong tulang yang tak berharga. Bukankah ini penghinaan atas diri saya?”
Umar tidak marah. Ia meyakinkan dengan penegasannya, “Hai, kakek Yahudi. Pada tulang busuk itulah terletak keadilan yang Tuan inginkan.”
Maka, walaupun sambil mendongkol dan mengomel sepanjang jalan, kakek Yahudi itu lantas berangkat menuju tempat asalnya dengan berbekal sepotong tulang belikat unta berbau busuk. Anehnya, begitu tulang yang tak bernilai tersebut diterima oleh gubernur Amr bin Ash, tak disangka mendadak tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Seketika itupula ia memerintahkan segenap anak buahnya untuk merobohkan masjid yang baru siap, dan supaya dibangun kembali gubuk milik kakek Yahudi serta menyerahkan kembali hak atas tanah tersebut.
Anak buah Amr bin Ash sudah berkumpul seluruhnya. Masjid yang telah memakan dana besar itu hendak dihancurkan. Tiba-tiba kakek Yahudi mendatangi gubernur Amr bin Ash dengan buru-buru.
“Ada perlu apalagi, Tuan?” tanya Amr bin Ash yang berubah sikap menjadi lembut dan penuh hormat. Dengan masih terengah-engah, Yahudi itu berkata, “Maaf, Tuan. Jangan dibongkar dulu masjid itu. Izinkanlah saya menanyakan perkara pelik yang mengusik rasa penasaran saya.”
“Perkara yang mana?” tanya gubernur tidak mengerti.
“Apa sebabnya Tuan begitu ketakutan dan menyuruh untuk merobohkan masjid yang dibangun dengan biaya raksasa, hanya lantaran menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar?”
Gubernur Amr bin Ash berkata pelan,”Wahai Kakek Yahudi. ketahuilah, tulang itu adalah tulang biasa, malah baunya busuk. Tetapi karena dikirimkan Khalifah, tulang itu menjadi peringatan yang amat tajam dan tegas dengan dituliskannya huruf alif yang dipalang di tengah-tengahnya.”
“Maksudnya?” tanya si kakek makin keheranan.
“Tulang itu berisi ancaman Khalifah: Amr bin Ash, ingatlah kamu. Siapapun engkau sekarang, betapapun tingginya pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti akan berubah menjadi tulang yang busuk. Karena itu, bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus, adil di atas dan di bawah, Sebab, jika engkau tidak bertindak lurus, kupalang di tengah-tengahmu, kutebas batang lehermu.”
Yahudi itu menunduk terharu. Ia kagum atas sikap khalifah yang tegas dan sikap gubernur yang patuh dengan atasannya hanya dengan menerima sepotong tulang. Benda yang rendah itu berubah menjadi putusan hukum yang keramat dan ditaati di tangan para penguasa yang beriman. Maka yahudi itu kemudian menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Setelah kejadian itu, ia langsung menyatakan masuk Islam.
Mendengarkan cerita ayahnya tanpa sela, kedua anaknya tertegun. Tiba-tiba si kecil menyela dengan membuat pertanyaan seperti ini.
"Ayah, masih adakah Umar Bin Khatab dan Amir Bin Ash itu sekarang, kalau ada alangkah baiknya kalau mereka hadir untuk memerintah di kampung kita ini, pasti semua orang akan senang, sela anaknya.
"Mereka sudah meninggal Nak, sudah ratusan tahun mereka meninggal. Tetapi karena mereka mampu berbuat adil, maka mereka di kenang. Mereka menjadi pelajaran bagi siapa pun.

Senin, 06 Agustus 2012

Balita itu Bernama Azam, Kelaparan Hampir Merenggut Nyawanya - Bingkai Biru Dari Topa



Bau-Bau Pos
06 Agustus 2012

 
Azam Balita yang lolos dari ancaman mati kelaparan di Kabupaten Wakatobi. Yuhandri Hardiman
AZAM balita usia dua tahun dari Topa, Kelurahan Wanci, Kecamatan Wangiwangi, Kabupaten Wakatobi telah menjadi kisah mendalam dan menjadi bingkai biru yang retak. Anak kecil yang kelaparan itu membiru setelah sehari hanya disuguhi air putih oleh ibunya.

TAK berdaya dan tak punya kemampuan untuk menyumbat mulut Azam dengan coklat, astor, tanggo, atau jajanan bermerek seperti anak-anak lainnya. Balita bernama Azam asal Topa yang baru belajar merangkai kata dan baru lincah memanggil kata "mama" itu mengexpresikan rasa lapar pada ibunya dengan menangis dan menteskan air mata.

Ibunya hanya bisa mengganjal perut putra bungsunya dengan air putih dan menyanyikan lagu-lagu indah agar Azam bisa terlelap dan melupakan rintihan laparnya. Tetapi tidak bisa, sebab lapar itu telah datang dan menusuk lambungnya, ia terjaga dan menangis lagi.

"Mam, mam, mam, mama," begitu kata ibunya mengisahkan Azam. Di bale bambu beratap rumbia di Desa Longa, Eni mengisahkan putranya saat aku menemuinya, Sabtu 4 Agustus 2012. Sementara ia tidak di Topa rumah ibunya. Ia menginap bersama adiknya di Desa Longa, Wangiwangi. Di sana Azam puas makan bubur, puas makan nasi. Aku melihat lincah anak itu dan lucu merangkak dan berdiri di bale-bale bambu, sore itu.

Suara rintihan yang berarti sangat lapar sudah jelas menembus pemukiman. Namun terlalu secret untuk diterjemahkan, butuh analisa mendalam untuk mengartikannya. Apalagi Wa Eni, ibu Azam tak punya keberanian untuk meminta sesuap nasi pada tetangga.

Ibu muda kelahiran 1990 itu berpikir anaknya akan tetap kuat jika mulutnya terus diisi air. Memang hanya air putih yang dipunyai ibu muda itu. Air itu bisa menggembungkan Azam namun tidak bisa memberi energi agar Azam tetap bertahan.

Di tengah rintihan putranya siang itu, Jumat 3 Agustus 2012, Eni mengingat kebun ibunya (koranga) yang di dalamnya tumbuh ubi. Ia segera membopong putranya menuju kebun dan bergegas mencabuti ubi yang diperkirakan bisa dimakan.

Eni berhasil mencabut biji ubi dan membawanya ke rumah untuk dimasak dan dipersembahkan pada putranya. Di tengah perjalanan Azam sudah tak bersuara, ia tenang tak meronta lagi, ia menjadi anak manis, keringat dingin membasahi tubuhnya. Barangkali juga malaikat maut sedang mengusap-usap kepala Azam dan siap untuk menggendong roh sucinya ke alam abadi yang lebih tenang.

Eni membaringkan anak bungsunya setibanya di rumah di Topa. Anaknya terkulai dan lemas, diusap dahinya, dipeluk dan dicium. Azam yang kecil itu terlalu lelap dan tak bisa dibangunkan. Lapar yang sangat itu telah membawanya ke alam mimpi sore itu.

Ibunya mulai khawatir, ia baru menduga telah terjadi sesuatu pada putranya. Bayangkan, terakhir Azam menyentuh makanan pada Kamis malam dan menangis kelaparan pada pukul 10.00 Wita, Jumat 3 Agustus 2012. Ibunya baru akan memasak ubi pukul 04.00 sore. Ia tidur, menangis, muntah, lemas, gemetar, pokoknya semua tanda-tanda lapar ada padanya.

Sudah sangat terlambat untuk balita seusia Azam. "Aku saja jika tak sarapan pagi pasti akan lapar dan gemetar pada siang harinya."

Ia bergegas, ia baru berani untuk meminta pertolongan tetangganya. Ketika itu tubuh mungil membiru, kejang-kejang dan kedua matanya menjadi putih. "Anakku...., anakku..., tolong,....tolong."

Tetangga berdatangan dan melihat balita berwarna biru itu teronggok di lantai ruangan yang tak berwajah. Ruangan tak berlemari bahkan rak, ruangan yang tak berisi, kosong-melontong, di rumah yang tak ada sebutir berasnya itu selama ini Azam mengukir bingkai hari-harinya bersama ibunya.

Azam lahir di Topa, April 2011. Sudah 7 bulan ayahnya merantau ke Kijang tanpa kabar, tanpa kiriman mainan, tanpa kiriman uang, tanpa segalanya. Sepertinya sang ayah sulit mencari sesuap nasi di sana, barangkali ia juga pasrah kepada yang maha kuasa dan siap menjamu malaikat maut jika anak bungsunya kelaparan lagi.

"Tidak ada makanan di rumah. Mamaku (Wambilu) berangkat ke Bacan bulan lalu. Bulan lalu aku diberi uang Rp 300 ribu, saya beli sekarung beras dan berbagi dua dengan adikku," katanya miris.

Beras yang selama ini dimakan campur garam dibasahi air putih itu telah habis. Eni yang tidak lulus SMP itu tidak mempunyai keterampilan untuk menghasilkan uang, juga tidak punya keberanian untuk mengungkapkan penderitaannya. Baginya hidup adalah takdir dan harus dijalani. Bingkai biru yang retak teronggok di dasar Surga Laut Wakatobi. Arti sebuah kekayaan yang melimpah dan Azam lapar di surga nya.

Di Puskesmas Wangiwangi, Azam masih tertidur lelap, terlalu indah dan tak sadar jika jarum impus menusuknya dan ia diberi cairan. Ibunya menunggu di balik dipan menatap wajah indah putra bungsunya yang masih tertidur dalam kelaparan, butiran-butiran beras belum menyentuh lambungnya sejak Jumat pagi.

Masih ada harapan, sebab meski terlambat, Azam mendapat energi dari impus itu. Ia membuka mata pada pukul 02.00 Wita dini hari. Berarti telah memasuki hari Sabtu 4 Agustus 2012. Eni sangat gembira dan menunggu pekikan suara putranya memanggil mama padanya.

"Mam....., mam..., mam," begitu panggil Azam kepada ibunya ketika sadarkan diri. "Dia minta makan pak," kata Eni kepadaku. "Saya langsung ambil bubur pemberian tetangga, kusuapi anakku." Azam makan dengan lahapnya di malam yang tenang itu dan terus mengunyah hingga pagi.

"Dokter bilang kalau terlambat sedikit, nyawanya tidak akan tertolong. Selama tidur nyenyak Azam, kakaknya bersama neneknya di Mandati."

"Tetanggaku bilang, minta saja jangan malu kalau tidak ada makanan," kata eni lugu.

Azam tidak kurus dan tidak gemuk. Ia lincah dan berwajah lucu, menggemaskan. "Perutnya ini buncit karena dia enak makan nasi," kata ibunya.

Eni memang miskin, ditinggal ibunya dan ditinggal suaminya merantau ke Kijang. Anak sulungnya Masrin (3 tahun) dititip pada ibu mertuanya. "Saya tidak akan membiarkannya lagi lapar," kata Eni di akhir perbincangan denganku.

Tetap kuat azam, berjuang untuk hidup jangan mati karena kemiskinan. Sebab meski kelihatannya kau tidak beruntung, sebetulnya masih beruntung sebab kau hidup di Bumi Surga Nyata Bawa Laut Wakatobi.(**)


Yuhandri Hardiman, Wangiwangi
-----------------------------