Minggu, 06 Maret 2011

Egomania Orang Buton, Antara Mitos dan Realitas

Baubaupos.com
Oleh : La Ode Balawa
Para ilmuwan sosial, khususnya para antropolog, semula memandang mitos sebagai suatu yang diperlukan manusia dalam mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya. William R. Bascom dalam “The Form of Folklore: Prose Narratives”, misalnya, menjelaskan mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap keramat oleh masyarakat pendukungnya. Umar Junus dalam bukunya “Mitos dan Komunikasi” juga menegaskan bahwa mitos adalah sesuatu “kebenaran,” suatu realitas rasional, yang juga dikuasai oleh sebab-akibat, meskipun dalam dimensi yang berbeda dengan yang ada pada manusia modern. Namun, pada sekitar abad ke-19, ketika rasionalisme mendominasi pandangan hidup orang Barat, “mitos” dipahami sebagai suatu apa pun yang bertentangan dengan “kenyataan”. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Nurcholish Majid dalam artikelnya “Tentang Mitos” (Tabloid Mingguan TEKAD, No.49, 1999) bahwa di kalangan masyarakat modern mitos semakin sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan (Majid, 1999).
Terjadinya perubahan anggapan masyarakat tentang mitos dan realitas itu tidaklah berlangsung serentak dan bersifat seutuhnya, sehingga sering menimbulkan overlapping tanggapan masyarakat tentang mitos dan realitas itu sendiri. Timbulnya perbedaan tanggapan dan overlapping tanggapan itu adalah hal yang wajar dalam sejarah kehidupan manusia. Di berbagai suku bangsa yang sudah maju tingkat kesadaran masyarakatnya, terjadinya perbedaan itu justru diterima sebagai rahmat dalam rangka menggali dan memahami sejarah masa lampaunya, juga bagi pemberdayaan mitos sebagai sumber kekuatan kultural dan kekuatan moral suku bangsanya. Perbedaan tanggapan itu hampir tanpa konflik sama sekali, masing-masing pemilik tanggapan yang berbeda itu sama-sama merasa berarti bagi kemajuan dan kecemerlangan daerahnya di mata dunia. Para ilmuwan mereka dengan penuh gairah masuk kampung keluar kampung untuk menemukan masyarakat paling tradisional sebagai sumber mitos yang berharga bagi penemuan bahan ramuan kreasi dalam membangun berbagai aspek kemajuan daerahnya. Singkatnya, mereka sudah memiliki kestabilan mental dan prilaku positif atas adanya perbedaan tanggapan masyarakat tentang mitos dan realitas.

Tidaklah demikian yang terjadi di kalangan masyarakat suku Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Perbedaan dan overlapping tanggapan mereka mengenai mitos dan realitas terhadap pengungkapan sejarah dan kebudayaan Buton pada masa lampau justru telah mengakibatkan timbulnya penyakit egomania yang sulit disembuhkan sampai sekarang. Gejala egomania orang Buton itu kurang lebih dapat digambarkan sebagai berikut ini.

Datangilah komunitas Buton di kota Baubau, misalnya. Temuilah tokoh-tokoh masyakat tradisional di sana lalu bertanyalah tentang apa yang dia ketahui tentang Buton pada masa lalu, maka jawaban yang Anda temukan akan berkisar hal-hal sebagai berikut. Kalau Anda bertanya tentang Buton sebagai kerajaan/kesultanan, maka ia akan menjawab Butonlah kerajaan/ kesultanan terhebat di dunia ini. Kalau Anda bertanya masalah posisi garis keturunan di Buton, maka ia akan buru-buru menyatakan bahwa garis turunannya yang paling hebat dan benar pengetahuannya tentang Buton. Kalau Anda bertanya tentang masa depan Buton, maka dengan mantap ia akan berkata bahwa ia sangat yakin kalau kejayaan Buton pada masa lalu itu akan muncul kembali, hanya waktunya belum tiba. Di sela-sela pembicaraannya itu pasti ia tak lupa menyelipkan bahwa Buton itu negeri keramat, leluhur di Buton itu berilmu sangat tinggi dan sejumlah kelebihan Buton yang lain.

Kemudian datangi pula tokoh-tokoh generasi mudanya yang sudah sempat mengecap ilmu pengetahuan modern, lalu tanyakan pula apa yang dia ketahui tentang Buton. Jawaban yang akan Anda temukan akan berkisar hal-hal sebagai berikut. Jika Anda mengonfirmasikan masalah kehebatan sejarah dan kebudayaan Buton pada masa lampau, maka ia akan cenderung setuju. Tapi jika Anda mengonfirmasikan berbagai versi cerita atau ketokohan di Buton, maka ia akan cenderung menolak dengan mengatakan bahwa semua itu hanya mitos hanya dongeng tanpa didukung dengan fakta dan data yang kuat. Jika Anda sodorkan buku sejarah Buton yang ditulis oleh orang yang bukan pihaknya atau bukan garis keturunannya, maka ia akan cenderung mengatakan isi tulisan itu masih banyak menyimpang, terlalu banyak memasukkan unsur mitos, terlalu bernada subjektif, tidak ilmiah dan semacamnya.
Sekedar contoh yang masih segar adalah percakapan melalui jalur internet antara saya dengan sejumlah generasi muda Buton yang tergabung dalam grup Mia Patamiana for Buton pada beberapa hari terakhir ini. Ketika disinggung masalah sejarah Buton dalam percakapan itu, mereka berapi-api mendesakkan usulan agar sejarah Buton yang berlumur mitos dan dongeng itu segera dimurnikan dan diluruskan sesuai kaidah kerja ilmu pengetahuan. Ketika saya menyinggung karya seperti itu sudah ada, yakni buku “Sejarah Buton” yang ditulis oleh La Ode Mulku Zahari, mereka beramai-ramai menolak dan membantah, bahwa buku itu (kata mereka) sarat dengan mitos, subjektif, dan kurang didukung oleh fakta dan data yang kuat. Segala macam argumen mereka paksakan untuk melegitimasi dirinya sebagai generasi Buton paling benar, paling pantas berpendapat tentang Buton. Saya benar-benar terharu melihat mereka berbicara tentang Buton, tapi kosong pengetahuannya tentang Buton. Mereka memperdebatkan pemurnian sejarah Buton, padahal mereka tidak mengerti sejarah dan penulisan sejarah. Mereka berdalih atas nama filsafat dan ilmu pengetahuan, tapi mereka tersesat di dalamnya. Mereka membantah tulisan sejarah yang susah payah dibuat oleh pendahulunya, dengan alasan ingin ‘realitas’ bukan ‘mitos,’ padahal mereka tak paham apa itu ‘realitas’ dan apa itu ‘mitos’.

Yang lebih memprihatinkan adalah dampak negatif yang tengah dan akan ditimbulkan oleh wabah egomania tersebut. Ketika egomania merambah wilayah sosial politik, maka ia menjadi sumber kelemahan, potensi konflik yang berkepanjangan, api perpecahan yang mudah disulut oleh lawan, bahkan berpeluang menjadi motivasi melakukan penghinatan terhadap sesama orang Buton sendiri. Ketika egomania merambah wilayah sosial ekonomi, maka ia akan menjadi makanan empuk ekonomi kapitalis dengan orientasi materialistis yang menyuburkan krisis moral yang mencekam: manusia Buton akan terbagi dua, mereka perebut kemewahan dengan segala cara di satu pihak, dan mereka yang kehabisan cara menahan lapar dahaga di pihak yang lain. Ketika egomania merambah wilayah sosial budaya, maka si KUAT (pemilik kekuasaan) selalu jadi pemenang, si LEMAH (bukan pemilik kekuasaan) semakin sulit keluar dari penderitaan.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah bagaimanakah cara pencegahan dan pengobatan penyakit egomania yan tengah mengancam kehidupan orang Buton sekarang ini? Di sini saya hanya ingin mengatakan tiga hal untuk itu. Pertama, orang Buton perlu memulai perubahan itu dari diri sendiri, sesuai falsafah hidup yang diwariskan para leluhur di tanah Buton, yakni “kenalilah dirimu yang sejati agar kau kenal Tuhanmu yang kekal”. Kedua, setiap orang Buton wajib menjunjung tinggi dan mengamalkan prinsip dan/atau adab pergaulan di antara sesama orang Buton yang dititipkan oleh leluhur tanah Buton dahulu, yakni “Binci-binciki kuli” yang dijabarkan dalam prilaku konkret: pomaa-maasiaka (saling menyayangi); popia-piara (saling memelihara); poangka-angkataaka (saling menghormati); dan pomae-maeka (saling menakuti hak seseorang). Ketiga, orang Buton harus bersatu bahu membahu dalam mengapresiasi dan menghargai jasa leluhur dan pahlawannya dengan cara (1) menggali, mengolah, dan memelihara segala warisan sejarah dan budaya Buton yang telah susah payah dibangun oleh para leluhurnya dahulu, (2) mengaktualisasikan (merekonstruksi dan merevitalisasi) segala nilai-nilai kehidupan yang tinggi yang tersimpan dalam berbagai produk sejarah dan budaya leluhurnya dahulu, dan (3) orang Buton perlu meneladani ketokohan dan kepribadian para pemimpin dan para pahlawan yang telah berjasa besar dalam sejarah kehidupan orang Buton sejak dulu hingga sekarang.

Dengan kejujuran dan ketulusan orang Buton menempuh segala upaya seperti itu, mitos dan realitas dapatlah hidup rukun dan membuahkan rahmat , sehingga penyakit egomania akan tersingkir dengan sendirinya dari tanah Buton.(**)

*)