oleh:
ABD RAHMAN HAMID
Staf Pengajar Sejarah FIB Universitas Hasanuddin
Pada kali pertama berkunjung ke Buton tahun 1999, bahkan hingga kini, saya mendengar perkataan bahwa “Buton bukan Indonesia”. Pasalnya, negeri ini tidak pernah dijajah oleh Belanda. Sehingga, dengan demikian, tidak memiliki pengalaman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah lainnya untuk menjadi Indonesia. Lebih lanjut, Indonesia yang dihasilkan dari pergumulan pemikiran para pendirinya, pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, juga ditegaskan dalam diktum 3 Perjanjian Linggajati 1947, adalah wilayah bekas jajahan Belanda.
Wacana ini sangat menarik ditengah upaya keras pemerintah menyempurnakan Indonesia. Bagaimanapun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam bahasa doktrinal tentara, sudah harga mati. Tetapi, meskipun demikian, Indonesia bukanlah pula barang jadi, atau simpul politik yang langsung diterima seratus persen oleh masyarakat yang kini menjadi keluarga politik Indonesia. Pada konteks inilah, peran penting dan nilai strategis pengungkapan sejarah sebagai fundamen dalam mengindonesia.
Endemisnya pemikiran tersebut tidak dapat ditolak begitu saja, atau diterima sepenuhnya, sebagai fakta ingatan kolektif masyarakat Buton yang masih hidup hari ini. Karena itulah, kita perlu bertamasya kembali pada relung-relung sejarahnya, terutama dalam kaitan hubungan diplomatik Negara Barata Buton dengan Belanda, berikut dinamika yang menyertainya.
Yang (masih) diingat
Pada abad ke-17, Buton pada masa Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1597-1633) pertama kali menandatangi kontrak politik abadi (Janji Baan) dengan Kompeni Belanda pada 5 Januari 1613. Dalam kontrak ini, Kompeni yang diwakili oleh Kapten Scotte berjanji akan membantu melindungi Buton dari segala ancaman musuh. Sebaliknya, Buton akan membantu Kompeni dalam perang (ke Solor) dan melindungi kepentingan pelayaran dan niaga maritimnya di Buton (Zahari 1977).
Tak heran, jika dalam buku Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda 1839-1848 (ANRI 1973) dikatakan, “Kerajaan ini [Buton] tergolong sahabat Belanda yang lama”. Pada kitab ini pula diungkap jasa Buton terhadap Belanda, antara lain, dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Atas jasa itu, Belanda membantu Buton mengatasi masalah gerakan pemberontakan di Kepulauan Tukang Besi (sekarang WAKATOBI) pada tahun 1848.
Pada abad ke-19, ketika Belanda berupaya membulatkan daerah jajahannya, melalui kebijakan Pax Neerlandica, dibuat tiga kategori wilayah kekuasanya di Sulawesi yaitu: (1) negeri-negeri yang langsung dibawah kekuasaan Belanda, (2) kerajaan-kerajaan yang tidak langsung dibawah pemerintahannya, dan (3) kerajaan-kerajaan yang merdeka. Dasar kategori terakhir adalah adanya ikatan khusus dengan Belanda. Buton dalam konteks itu merupakan kerajaan yang merdeka. Selain karena pernah menjadi sekutunya di abad ke-17, terutama dalam Perang Makassar (1666-1669), Sultan Buton Kaimuddin telah menandatangi Perjanjian Bungaya yang diperbaharui 1824. Karena itu, terhadap Kesultanan Buton, Belanda hanya menuntut pengakuan kedaulatannya.
Hubungan diplomatik tersebut dominan memproduksi ingatan kolektif masyarakat Buton hingga kini, sehingga tak jarang rumusan politik negara-bangsa (Indonesia) ditampiknya. Ironisnya, jika fondasinya adalah sejarah, proses panjang yang utuh dari kisah diplomatik itu dilupakan, yakni dinamika dan perubahan pola hubungan kedunya, hingga akhirnya Buton terintegrasi didalam kuasa pemerintah Hindia Belanda.
Yang (sudah) dilupakan
Satu tahun setelah Janji Baan 1613, seperti dikemukakan oleh Jan Pieters dalam kunjungannya ke Buton, Buton sudah tidak penting lagi bagi Belanda. Serdadu-serdadu Belanda dan delapan buah meriam yang ditempatkan di sana diangkut kembali pada tahun 1615. Hal itu menimbulkan reaksi dari Buton karena Belanda tidak menepati janjinya. Walhasil, Buton melakukan sejumlah penyerangan terhadap armada Belanda, antara lain, Kapal van de Fluit Velzen di Wawonii tahun 1635, atas perintah Sultan. Sebaliknya, Belanda dibawah pimpinan van Antonie Coen menyerang dan berhasil memporak-porandakan benteng pertahanan Buton di kawasan pesisir tahun 1638 .
Meskipun demikian, kepentingan Belanda atas (di) Buton tak kunjung surut. Dalam abad ke-19, kembali diukir janji politik dengan Buton di masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, tanggal 19 Februari 1824. Kali ini hubungan keduanya diasosiasikan dengan “Ayah-Anak”. Dalam hal ini, Belanda sebagai Ayah dan Buton selaku Anak. Keduanya saling membantu dan menghargai sesuai kedaulatan politiknya masing-masing.
Tetapi, ketika Inggris mencapai langkah maju di Serawak 1845, dan ini dipandang dapat mempengaruhi keutuhan wilayah kuasannya, Belanda bergiat menguatkan simpul politiknya. Pada 28 Agustus 1873 dicapai perjanjian antara Sultan Buton Kaimuddin III dengan Belanda yang diwakili oleh A. Ligtvoet (ketika itu menjabat Sekretaris Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda), bahwa Buton berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Dengan demikian, pudar sudah status politiknya sebagai kerajaan yang merdeka.
Asosiasi hubungan Ayah-Anak pun juga berubah menjadi “Tuan-Hamba”, atau antara yang berkuasa (Belanda) dan yang dikuasai (Buton). Rona hubungan ini dikukuhkan melalui Perjanjian Sultan Buton Muhammad Asyikin Aidil Rakhim (1906-1911) dengan Residen Belanda Brugman pada 8 April 1906; yang lebih dikenal dengan Perjanjian Asyikin-Brugman.
Sejak saat itu Buton, yang telah kehilangan pesona politiknya sebagai kerajaan merdeka dan berdaulat, terintegrasi penuh kedalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Bendera Belanda wajib dikibarkan, baik di darat maupu di laut. Buton juga tidak boleh mengadakan hubungan dengan kerajaan atau kekuatan asing lainnya, kecuali dengan atau atas persetujuan Belanda.
Menariknya, dalam abad ini tasawuf juga berkembang pesat di Buton (Yunus 1995), dengan tokoh utamanya adalah Sultan dan bangsawan keraton. Tampaknya, cara ini efekif dan menjadi alternatif dalam usaha memulihkan wibawa kesultanan lewat jalur agama, setelah tertutup katupnya di ranah politik pasca Perjanjian Asyikin-Brugman 1906, sehingga kesultanan tetap hidup sampai tahun 1960 (Schoorl 2003).
Dirajut Kembali
Deretan fakta tersebut jelas dan tegas menunjukkan bahwa Buton adalah bekas wilayah kuasa politik Belanda atau Hindia Belanda. Dengan demikian, meminjam pesan ilmiah Ernest Renan tentang dasar pembentukan negara-bangsa, Buton memilik roman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah dan masyarakat lainnya sehingga menjadi anggota keluarga politik Indonesia. Apa pun dalilnya, bahwa “Buton bukan Indonesia”, tidak memiliki pijakan historis yang kuat. Paling banter dikatakan sebagai ingatan yang tercecer dan kini masih hidup dalam masyarakat Buton.
Akhir kata, perlu upaya penguatan ingatan sejarah bangsa, terutama dalam kaitan diplomatik Buton dengan Belanda, untuk merajuk kembali Indonesia. Tetapi, itu hanya dapat dicapai bila akses sumber sejarah dipermudah. Dan, cara berpikir dan laku bahwa sejarah Buton sulit diungkap, atau belum saatnya untuk diceritakan sudah seharusnya ditimbang kembali, jika tak mau generasi baru Buton kehilangan akar jatidirinya sebagai anak bangsa Indonesia, dan pada lakonnya sebagai aktor sosial ditengah komunitas global (globalisasi) dewasa ini. Semoga!