Senin, 28 November 2011

REDUPNYA MATAHARI DI WAKATOBI



Oleh; Sumiman Udu
             
Di tengah dinginnya udara dingin kota Leiden Negeri Belanda, saya melangkahkan kaki menuju perpusatakaan Universitas Leiden, salah satu universitas kebanggaan negeri kincir angin. Di ruangan yang mendukung tumbuhnya generasi muda bangsa inilah, anak-anak Belanda banyak menghabiskan waktunya. Begitu pula dengan para guru. Mereka banyak duduk membaca dan mempersiapkan materinya sebelum mengajar. Pemerintah sangat peduli dengan masa depan generasi mudanya, membiayai kuliah, biaya hidup, serta upaya bagaimana anak-anak muda mereka dapat bersaing dengan berbagai bangsa di dunia. Guru-guru mereka diberi ruang untuk bekerja secara professional, tanpa tekanan, dan intimidasi terlebih dari pemerintah dan partai politik. Saat itulah, saya termenung, “pantaslah Negara ini bisa maju,”  saya membatin dalam hati.
Ketika itu pula, tiba-tiba kerinduan saya memuncak pada kampung halaman Wakatobi – Indonesia, maka beberapa media elektronikpun dibuka. Betapa terkejutnya saya, ketika situs Bau-bau Pos melaporkan kondisi negeri. Kesedihan muncul, saya teringat ketika Jepang kalah perang melawan Sekutu pada perang dunia kedua, perdana menteri Jepang yang memerintah waktu itu hanya bertanya, “Masih berapa orang guru yang tersisa?” ia tidak bertanya berapa harta dan industri yang selamat. Itulah pertanyaan seorang negarawan besar yang akhirnya mampu membangun bangsanya hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun. Sekutu memperkirakan bahwa dampak bom atom Hirosima dan Nagasaki akan membuat Jepang terpuruk dan membutuhkan waktu 100 sampai 150 tahun untuk bangkit kembali.
Guru, itu yang ada dipikirannya. Tentunya kita harus bertanya, mengapa? Mengapa ia harus mempertanyakan tentang guru? Bukan politikus, bukan pedagang, bukan teknokrat? Dan bukan para tentara. Mengapa? Perhatian perdana menteri Jepang waktu itu, tertuju kepada guru, tentu beliau punya alasan yang kuat. Bahwa masa depan bangsanya tidak akan terletak pada sejarah bangsanya yang kalah perang, tetapi masa depan bangsanya terletak pada pundak generasi mudanya. Kualitas generasi muda itu akan ditentukan oleh kualitas mutu pendidikannya. Guru, sang matahari, memberikan peran yang strategis untuk mendidik generasi mudanya. Masa depan Jepang tergantung dari kualitas kinerja guru. Begitulah kira-kira cara pemikiran yang dibangun oleh seorang negarawan Jepang waktu itu. Guru, menjadi sangat penting di tengah keterpurukan akibat kalah telak dalam perang dunia kedua.
Pikiranku kemudian tertuju pada nasib guru yang dilansir oleh Bau-bau Pos. Kisah perdana mentri Jepang  ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Wakatobi. Guru, sang matahari, yang akan menyinari generasi muda di negeri ini, seharusnya tetap diberi kesempatan untuk mengajar dan mendidik generasi muda Wakatobi tanpa harus dibuat redup oleh kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi kinerja guru-guru. Kebijakan-kebijakan yang didasari oleh adanya dendam politik, hanya karena tidak searah dengan penguasa waktu pemilu, tidak perlu dikedepankan. Kebijakan kau yang sangat jauh dari pemikiran sang negarawan Jepang yang sangat menghargai guru.
Kalau matahari itu sudah mulai redup, maka kebangkitan Wakatobi akan jauh dari harapan untuk bisa bangkit seperti Jepang menjadi daerah yang maju. Mengapa? Karena guru-guru yang menjadi matahari yang mendidik anak-anak Wakatobi itu akan mengajar dalam kondisi stress. Ini sangat berbahaya!!!, sebab guru-guru yang sudah berat dalam menjalankan tugasnya, kemudian diperberat masalahnya dengan mutasi yang cenderung bernuasa politik, mutasi ke tempat yang baru dan dengan masalah baru.
Menurut saya, saat ini masyarakat Wakatobi hendaknya merenungkan kebijakan dan pernyataan pertama perdana menteri Jepang; yang menjunjung tinggi harkat dan martabat guru, karena hanya dengan kinerja guru yang bagus itulah, bangsa Jepang dapat maju sebagai bangsa yang diakui oleh dunia. Bentuk renungan tersebut adalah dukungan bahwa semestinya pemerintah dan masyarakat Wakatobi memberi ruang kepada guru-guru, sehingga guru-guru mengajar lebih baik harus dapat mewujud. Pemerintah dan pelaku politik Wakatobi hendaknya berlaku lebih rasional dalam melakukan mutasi pada guru-guru. Yang seharusnya dilakukan adalah konsentrasi dalam peningkatan kualitas guru melalui pelatihan (baik formal maupun nonformal), pemberian intesif, studi banding, atau memberikan dana untuk mengikuti pendidikan S2 dan S3 di berbagai universitas yang ada di dunia. Penyegaran seharusnya jangan dilakukan melalui pemutasian yang penuh dengan nuansa politik, tetapi harus lebih bersifat professional.
Redupnya sang matahari ini akan berdampak dalam kehidupan masyarakat Wakatobi di masa depan. Karena anak-anak Wakatobi tidak punya harapan yang banyak untuk membangun Wakatobi dari segi pengolahan Sumber Daya Alam, karena Wakatobi tidak memiliki itu. Satu-satunya harapan untuk mengubah Wakatobi menjadi negeri yang maju adalah memajukan Sumber Daya Manusianya. Yang berkompeten dan berperan tentang itu adalah guru, sang matahari. Gurulah yang menjadi pahlawan kebangkitan dari berbagai kebudayaan di dunia. Gurulah yang mengubah masyarakat dari pesimis menjadi optimis, dari bodoh menjadi pintar, dari kegelapan ke dunia terang benderang. Gurulah yang menjadi tulang punggung peradaban di dunia.
Walaupun demikian, saya berpikir dan berharap pada penguasa Wakatobi hari ini, agar mereka memberi suasana yang nyaman dalam memberi ruang kepada guru-guru untuk bekerja secara professional. Tetapi kalau itu tidak ada, maka sang matahari ini akan mengalami masa-masa redup yang panjang. Jika itu terjadi, maka masyarakat harus bersiap untuk membakar lilin yang akan menerangi kegelapan itu. Generasi muda Wakatobi harus bersatu untuk merebut masa depan mereka, untuk berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai warga dunia yang berhak atas pendidikan yang layak. Pendidikan yang akan membawa mereka menjadi warga dunia yang sejajar dengan bangsa-bangsa besar di dunia. Generasi muda Wakatobi yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menyuarakan dan mewujudkan cita-cita dan impian mereka menjadi warga dunia yang memiliki sikap optimis yang panjang.
Lilin itu harus dibakar untuk menerangi kegelapan, merebut masa depan, merebut kemerdekaan dan untuk membakar seluruh kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang memiliki pemikiran untuk menciptakan kebodohan dan ketertindasan masyarakat Wakatobi. Kebijakan yang mengarah kepada upaya untuk melemahkan generasi muda Wakatobi, melemahkan daya saing, melemahkan kinerja, dan melanggengkan kebodohan, harus kita lawan.
Untuk itu, sang matahari tidak boleh redup menghadapi semua ini, karena tanggung jawabnya adalah menerangi generasi muda Wakatobi. Generasi Wakatobi membutuhkan bantuan seluruh masyarakat Wakatobi. Di bawah kepemimpinan Hugua diharapkan mampu memperbaiki kinerja guru-guru sehingga mampu mengantarkan anak-anak Wakatobi ke kompetisi global. Kebijakan diharapkan mampu mendorong tumbuhnya generasi muda Wakatobi yang optimis, mandiri, dan kuat dalam menuju persaingan di era global bukan kebijakan yang meredupkan kemajuan generasi muda Wakatobi. Lebih-lebih yang membiarkan kebodohan dan kemiskinan, jangan biarkan kebijakan yang salah melemahkan nilai tawar masyarakat Wakatobi, sehingga asetnya mudah diambil alih oleh yang lain.
Janganlah berpikir bahwa kekuasaan akan langgeng? Tidak, dunia tetap berputar! Ingatlah, bahwa kekuasaan tidak selamanya dapat dimiliki. Mari, rebut dan cetaklah sejarah yang indah dan dapat membantu manusia menuju kebangkitan kemanusiaan. Sejarah akan mencatat seluruh apa yang terjadi hari ini. Mungkin saja, di suatu saat nanti akan tumbuh lagi generasi Wakatobi yang akan memimpin, harapan selalu ada. Ucapkan “terima kasih” yang akan memberi kita ruang untuk kemajuan Wakatobi. Jangan sebarkan dendam dan kebencian di tengah masyarakat, sehingga melahirkan ketidakadilan, karena itu akan berdampak pada kegelapan generasi muda Wakatobi.
Ketika disadari bahwa imaji sudah terlalu jauh, aku tersadar dan berkata, “Bangkitlah matahariku! Bangkitlah! Negeri ini menunggu pengabdianmu. Kejahatan tidak akan mampu melawan perubahan yang kerap terjadi, sebab hanya perubahan itulah yang kekal di atas dunia ini. Di ketenanganmu mengajar, pembelajaran masa depan Wakatobi itu akan diraih. Para ahli, para politikus, ahli hukum, dan semuanya bermula tumbuh, dan semua disemai di tanganmu. Karena kaulah matahari kebangkitan di Wakatobi. Maka tetap tegarlah dalam setiap angin kencang yang menggoyahkan langkahmu. Masyarakat Wakatobi dan Tuhan selalu menyertaimu, amin.”
Kutengadahkan wajahku, mataku tertuju pada perempuan bule yang cantik di depanku, yang sibuk mengurus buku-buku di depannya. Kutatap jam komputerku, ternyata sudah menunjukkan pukul 21.30 malam, dan itu menunjukkan bahwa 30 menit lagi perpustakaan canggih itu akan tutup. Akhirnya saya pun menutup komputerku bersiap untuk pulang ke apartemenku.***