Kamis, 10 November 2011

Tarian Balaba dan Senandung kaбanti: Dua Benang untuk Merajut Kembali Kebudayaan Buton



(Sebuah mimpi dari Botermarkt 19a Leiden, Belanda, 1 November 2011, 02:13 am)

Oleh:
Sumiman Udu
                Ketika generasi Buton mulai merasakan pentingnya mengenal identitas dirinya di tengah-tengah globalisasi kebudayaan, maka benang-benang kebudayaan Buton itu ingin kembali dirajut. Helai demi helai kembali dikumpulkan untuk menyulam kembali kebudayaan itu. Lalu, benang apakah yang bisa menyulam helai-helai kebudayaan Buton yang telah tersobek itu? Sehingga ia menjadi kebudayaan yang kelak dapat menjadi kebanggaan dan indentitas generasi anak-anak Buton ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas, harus dikembalikan kepada kesadaran sejarah, terutama mengenai bagaimana leluhur Buton menyulam kebudayaan Buton itu?
Ketika menelusuri beberapa arsip kebudayaan Buton di Perpusatakaan Universitas Leiden, maka jejak leluhur itu pelan-pelan terungkap. Beberapa tulisan tentang kaбanti dapat dilihat disini, misalnya kaбanti “Anjonga Yinda Malusa” menjadi salah satu buku yang tentunya sangat penting untuk dibaca. Di negeri kincir angin inilah, kesadaran bahwa, kebudayaan Buton masih memiliki benang yang dapat digunakan untuk menyulam kebudayaan itu, sehingga dapat dinikmati kembali oleh generasinya saat ini. Namun, ketika dendang kaбanti hanya satu-satunya yang digunakan untuk membangun kebudayaan Buton, maka tentunya itu akan meninggalkan dimensi fisik generasi Buton. Di situlah baru disadari bahwa leluhur Buton membangun kebudayaan Buton melalui tiga dimensi, yaitu (a) fisik (manusia dan alam), (b) pikiran, dan (c) jiwanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan tiga dimensi itulah, tarian balaba dan senandung kaбanti menjadi sangat relevan sebagai benang penyulam kebudayaan Buton itu.
Pembangunan kebudayaan Buton, harus dibangun dari individu-individu yang menjadi genesari Buton itu sendiri. Dengan demikian, untuk membangun kebudayaan Buton, harus dikembalikan kepada bagaimana leluhur Buton membangun kebudayaannya. Di sinilah, tarian balaba dan senandung kaбanti penting untuk kembali dihidupkan dalam masyarakat Buton dewasa ini. Karena melalui tarian balaba, anak-anak Buton akan diajarkan bagaimana bertahan dalam berbagai terpaan globalisasi kebudayaan. Strategi pertahanan balaba menjadi sangat relevan dalam menghidupkan kebudayaan Buton. Melalui tarian balaba fisik anak-anak Buton akan memiliki kekuatan dan ketepatan dalam berbagai tindakan mereka. Melalui tarian balaba gerakan tubuh mereka akan menjadi sangat lentur, sehingga mereka tidak menjadi bangsa yang kaku, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang benar sendiri. Melalui tarian balaba inilah, generasi Buton dapat memahami potensi fisiknya sebagai dimensi yang lahir.
Malalui tarian balaba, generasi Buton membuat kebersamaan, merangkai kekuatan, disiplin, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dalam tarian kehidupan yang ia mainkan, haruslah tetap dalam dimensi irama kebutonan. Kekuatan, semangat, rasa percaya diri, tertanam di kedalaman pemikiran anak-anak Buton dimasa depan. Sehingga mereka memiliki jiwa sastria yang tangguh sebagai orang Buton, yang rela berkorban untuk kebenaran dan kebudayaannya. Yang mau berkarya sesuai dengan keahliannya masing-masing, namun semua anak-anak Buton, memiliki nilai-nilai dari dua benang kebudayaan ini, yaitu tarian balaba dan senandung kaбanti.
Dengan demikian, kepribadian orang Buton, tidak cukup hanya dengan tarian balaba karena itu tidak akan sempurna, tetapi juga harus berada dalam dendang senandung kaбanti untuk menyempurnakan kekuatan yang ada dalam tarian balaba itu dengan kelembutan cinta dan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai humanism pobinci-binciki kuli yang menjadi landasan filosofi dari dua benan kebudayaan itu.
Dua benang inilah yang kemudian harus dihidupkan kembali dalam tatanan orang-orang atau generasi muda Buton. Karena balaba melatih fisiknya dan kaбanti akan mengkonstruksi pemikiran dan jiwa anak-anak Buton. Misalnya, senandung kaбanti Anjonga  Yinda Malusa itu harus kembali dilantunkan untuk mengiringi setiap gerak tarian balaba dalam kehidupan orang Buton. Senandung kaбanti yang menanamkan nilai-nilai kebutonan, senandung kaбanti yang mengajarkan tentang identitas kebutonan. Karena konsep keseimbangan jiwa akan dilatihkan dalam berbagai senandung kaбanti dan keseimbangan fisik akan diajarkan dalam derap langkah kuda-kuda balaba yang kokoh, sehingga anak-anak Buton memiliki kekuatan, berdiri, tegas, tegap seperti batu karang, dan memiliki kelembutan seperti awan, seperti batu karang yang tak pernah takluk dan seperti belaian awan yang tak pernah kasar.
Dalam lantunan senandung kaбanti dan tarian balaba itulah, pribadi-pribadi Buton itu harus dirajut, pribadi-pribadi Buton itu harus menemukan diri dan kediriannya, menemukan kebutonannya, sehingga menjadi orang Buton akan merasa memiliki tentang kebutonan. Pribadi-pribadi Buton yang memiliki kebanggaan akan identitas dirinya. Pribadi-pribadi yang kuat, pribadi-pribadi yang ulet dalam menjalani kehidupannya dalam konteks kehidupan modern saat ini.
Dengan demikian, masyarakat Buton saat ini membutuhkan dua benang kebudayaan itu, untuk menyulam berbagai benang kebudayaan itu dalam pribadi-pribadi Buton yang kuat dan utuh. Untuk itu, dibutuhkan lembaga tarian balaba yang dapat dimasuki oleh semua generasi muda Buton. Di dalam lembaga kebudayaan itulah, senandung kaбanti kembali dilantunkan mengiringi setiap gerakan tarian balaba. Sebab ajaran moral dan kebajikan harus kembali dihidupkan, dan tentunya sulaman ini kemudian diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai dasar identitas kebutonan yang humanis universal.
Kalau kita menoleh ke belakang, maka tradisi kaбanti hampir memenuhi seluruh aktifitas kebudayaan Buton, pembelajaran tentang nilai-nilai disampaikan melalui senandung kaбanti, tidak salah kalau leluhur Buton memiliki banyak kaбanti dan salah satu contohnya yang dapat ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden adalah naskah kaбanti Anjonga Yinda Malusa” karangan Haji Abdul Ganiu atau yang di dunia Melayu Malaysia lebih dikenal dengan panggilan Haji Puteh. Di samping itu, tentunya masih banyak naskah-naskah Buton yang dapat dieksplorasi di perpustakaan Universitas Leiden ini.
Pertanyaannya adalah, mungkinkan dimasa depan, bangsa Buton memiliki kemampuan untuk memiliki lembaga Balaba dan kaбanti yang dapat dijadikan sebagai ruang konstruksi nilai-nilai budaya Buton. Sebab jika dua benang kebudayaan itu dapat diwujudkan, maka di masa depan, orang-orang Buton akan kembali menemukan dirinya dan bangga pada identitas kebutonannya. Sekurang-kurangnya, tarian balaba dan senandung kaбanti ini, kelak dapat merajut pemikiran dan pemahaman anak-anak Buton tentang kehidupannya. Sehingga anak-anak Buton tetap berdiri kokoh dalam terpaan kebudayaan global yang terus menerus menggerus kebudayaan-kebudayaan kecil di dunia. Anak-anak Buton memiliki kekuatan untuk tetap bertahan dengan kepribadiannya, dan kelak akan lahir pemimpin-pempimpin Buton yang punya mimpi untuk kebesaran budaya dan bangsanya.
Kita tengoklah, bagaimana bangsa Jepang mampu mewarisi semangat samurai dan bunga seruni dalam kepribadian anak-anak bangsanya. Memiliki visi, misi, kekuatan, disiplin, ketegasan, keberanian, komitmen, konsisten dan semangat dalam membangun diri dan kebudayaan mereka. Bagaimana bangsa Jepang mencintai nilai-nilai kemanusiaan di dalam kekuatan samurai mereka. Samurai yang memiliki sisi membunuh, ternyata memiliki dimensi cinta selembut bunga serunai. Demikian juga bangsa Buton membangun kekuatan fisik, pikiran dan jiwa dalam tarian balaba dan senandung cinta yang dilantunkan dalam setiap bait-bait kaбanti.
Mungkinkan, kita dapat meramu nilai-nilai tradisional kita dalam dua benang kebudayaan itu? Dan mungkinkan kita dapat menerima globalisasi dalam dimensinya yang lain, sebagaimana Jepang memiliki kepribadian sebagai orang Jepang, tetapi memiliki penguasaan teknologi yang tinggi, yang harus diakui di dunia timur maupun di dunia barat. Semoga bangsa Buton kembali menemukan dirinya, kembali menarikan balaba dan melantunkan senandung kaбanti.  Merebut masa depan mereka, teknologi, ilmu pengetahuan, kesenian. Sebagaimana Leluhur Buton mencetak sejarah bahwa sekolah penerjemahan pertama di Nusantara itu pertama kali berada di Buton, yang menurut Mike seorang Belanda yang ayahnya masih temannya Almarhum La Ode Manarfa, lembaga pendidikan itu berdiri sekitar abad 15 belas. Suatu pencapaian dan prestasi leluhur Buton yang harus digapai kembali oleh anak-anaknya hari ini. Semoga, amin.

MERAJUT KEMBALI RUMAH BESAR KEBUDAYAAN BUTON: SUATU REFLEKSI

Oleh : Sumiman Udu
                Sejak bergabungnya kesultanan Buton ke dalam NKRI tahun 1960-an, rumah besar kebudayaan Buton seakan terkoyak, karena kesiapan lembaga adat dan lembaga sara untuk tetap menjaga rumah besar kebudayaan Buton itu sama sekali tidak siap. Rumah besar kebudayaan Buton seakan hilang begitu saja, seakan semua itu telah tergantikan oleh rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia. Pada hal, di dalam kesadaran pendiri rumah besar kebudayaan Indonesia dijelaskan bahwa kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan itu artinya rumah besar kebudayaan Buton seharusnya tetap utuh dan menjadi landasan berpikir, berakhlak dan berkehidupan bagi masyarakat Buton, baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia.
                Tiga puluh tahun kemudian, setelah rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia itu hampir roboh terkoyak oleh krisis multidimensional tahun 1997 hingga sekarang, maka pelan-pelan rumah-rumah kecil kebudayaan yang telah menjadi samar di dalam berbagai kebudayaan di Nusantara itu menjadi kerinduan. Para pemilik rumah-rumah kebudayaan disetiap daerah itu kembali dilihat,  mereka merindukan puing-puing kebudayaan mereka. Termasuk di dalamnya rumah besar kebudayaan Buton yang hampir terkoyak selama beberapa dasawarsa. Lembaga adat hampir tidak berdaya, dan hampir tidak menjadi naungan dan harapan bagi masyarakatnya sendiri. Masyarakat Buton sudah tidak percaya dengan kebudayaannya sendiri. Masyarakat Buton kehilangan kebanggaannya pada kebudayaan dan bahkan tidak percaya dengan identitas dirinya sendiri.
                Pelan-pelan kesadaran untuk meramu rumah-rumah kebudayaan di berbagai daerah itu kembali merebut jarum untuk menyulamnya dalam sulaman kesadaran dan pemahaman kembali terhadap kebudayaan itu. Di sinilah, generasi Buton ingin merebut kembali, tetapi ada yang janggal, setelah memegang jarumnya, tidak tahu lagi, kita mau menyulam kebudayaan itu dalam bentuk seperti apa? Maka muncullah berbagai lembaga adat, lembaga kebudayaan, majalah kebudayaan, yayasan kebudayaan dan semuanya mengatasnamakan rumah besar kebudayaan Buton. Itu tidak salah, sementara yang lain, saling berpikir untuk menghidupkan kembali lembaga Kesultanan Buton tanpa mengerti menusukkan jarum itu dari mana? Maka dilantiklah sultan Buton, diangkatlah siolimbona sebagai usaha untuk menyulam kembali apa yang dimaksudnya dengan rumah besar kebudayaan Buton itu.
Kepingan-kepingan rumah besar kebudayaan itu, telah berantakan, benang-benangnya telah hilang helai demi helai, dan bahkan tidak dikenal lagi sebagai bahan rajutan rumah kebudayaan Buton itu. Sementara sara-sara mesjid yang tersebar di seluruh kadia dan wati di wilayah kesultanan Buton seakan dilupakan. Lembaga adat bekerja sendiri, mengatasnamakan adat, budaya dan rumah besar kebudayaan yang bernama Buton. Oleh karena itu, terjadilah jarak yang lebar antara lembaga adat dan kepentingan sara-sara mesjid yang ada di berbagai mesjid dan kampung. Jarak yang mengoyak control social terhadap lembaga-lembaga adat. Dengan demikian, perlunya satu bentuk pola untuk menyulam kembali rumah besar kebudayaan ini, yaitu bahwa dalam konteks Indonesia seperti saat ini, pelaksana keputusan-keputusan sara (terdiri dari seluruh elemen tokoh masyarakat dan pegawai mesjid) disetiap kampong-kampung itu, harus ada lembaga adat. Lembaga adat harusnya dibentuk dalam konteks rumah besar kebudayaan Buton yang dihadiri oleh para pemikir, pemerhati kebudayaan, dan para budayawan untuk mendudukkan konsep mengenai kembalinya rumah besar kebudayaan itu.
Lembaga adat, seyogyanya hanya menjadi badan pekerja yang melaksanakan berbagai keputusan lembaga sara yang berasal dari pengurus mesjid dan tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang budaya Buton, memiliki ruang untuk dikontrol oleh masyarakat. Lembaga adat, tidak dapat mengambil keputusan tetapi hanya dapat melakukan kajian-kajian strategis secara ilmiah, dan hasilnya akan dibawa ke lembaga sara untuk dipertimbangkan dan bila perlu dijadikan keputusan. Dengan demikian, diperlukan konsep untuk memisahkan lembaga adat sebagai sekretaris jendral dari dewan sara atau lembaga sara tersebut. Lembaga sara menjadi pengambil keputusan tertinggi dalam pengelolaan rumah besar kebudayaan Buton dalam bingkai Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
 Jika seluruh sara mesjid bergabung dalam Dewan Lembaga Sara Kebudayaan Buton ini, maka siapapun akan dapat dipanggil sebagai anggota masyarakat, termasuk anggota DPR, bupati dan walikota jika perlu ke hadapan lembaga sara. Selanjutnya, lembaga sara dapat memberikan penghargaan dan sanksi social kepada seluruh anggota masyarakat. Termasuk kepada para pejabat NKRI, yaitu kepala desa, camat, bupati untuk mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan Dewan Lembaga Sara. Di sini, sanksi sosial tidak akan sama dengan sanksi hukum formal NKRI, tetapi Dewan Lembaga Sara dapat memberikan sanksi sosial yang kepada suatu pelanggaran norma dan sosial di dalam masyarakat Buton. Karena di dalam sejarah rumah besar kebudayaan Buton. Terlihat sangat efektif dalam memberikan sanksi sosial termasuk kepada mantan sultannya. Maka dikenallah gelar Oputa Igogoli sebagai sanksi sosial atas perlakuan yang dilakukan oleh seorang pejabat. Di Wakatobi misalnya, mereka masih mengenal yarona kepala desa I Kanari. Hanya karena tidak mampu melindungi pohon kenari saat ia menjabat sebagai kepala desa.
Dengan demikian, diperlukan pengkajian ulang mengenai format Lembaga Adat dan Dewan Lembaga Sara, sehingga dapat efektif dan dapat dikontrol oleh masyarakat. Karena sara-sara yang ada di berbagai mesjid itu diangkat langsung oleh masyarakat, berdasarkan kajian mengenai keilmuan, dan akhlak dan sejarah hidupnya, sehingga mereka memiliki kepercayaan untuk diangkat menjadi sara di dalam kampung.
Tentunya ini tidak mudah, ditengah masyarakat Buton yang heterogen, namun kerinduan untuk merajut kembali rumah besar kebudayaan Buton dalam konteks nasional dan internasional akan memberi jiwa besar kepada seluruh generasi muda Buton untuk duduk bersama dengan mengedepankan kerinduan itu pada rumah kebudayaan mereka. Karena dalam konteks rumah kebudayaan Buton itulah masyarakat Buton dapat menjadi, baik dalam konteks regional, nasional dan internasional. Jangan sampai generasi Buton tak mengenal property rumah besar kebudayaan itu sehingga akan berdampak para eksistensi masyarakat Buton sendiri, di dalam kehidupan berbangsa terutama dalam konteks NKRI.