Oleh:
Sumiman Udu
Malam itu suasana Bulan Purnama
menyinari halaman rumah kecil orang tuaku di Longa Kecamatan Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi. Di halaman rumah itulah berdiri sebuah rumah Jaga atau
orang Wakatobi menyebutnya dengan istilah bhantea.
Maklum waktu itu, wilayah Longa belum mendapatkan jaringan listrik, sehingga
hiburan satu-satunya adalah cerita rakyat sambil berbaring.
Beberapa orang anak selalu datang
untuk mendengarkan cerita itu, dan datanglah beberapa orang tua yang selalu
menyumbangkan cerita.
“Anak-anak,
malam ini Kakek ingin menceritakan tentang Raja Hutan yang Galau, Apakah kalian
pernah mendengarnya? Serempak anak-anak menjawab, “Belum Kek, wana umpa na tula-tulano? (bagaimana
jalan ceritanya” salah seorang anak menimpali pertanyaan kakek tadi.
Beberapa orang dewasa juga duduk bersandar di tiang-tiang bhantea malam itu. mereka terdiam,
sesekali mereka mengisap rokoknya. Ada yang terbatuk, dan sebenarnya mereka
juga senang mendengarkan cerita si kakek. Sang kakek, yang sarat dengan
pengalaman berlayar itu memulai ceritanya. Mentara anak-anak di kampung itu
selalu menyempatkan diri untuk datang mendengarkan cerita di bhantea itu. Kebetulan malam itu, malam
minggu.
“Pada zaman dahulu kala, terdapat sebuah hutan yang dihuni oleh semua
binatang,” kakek itu memulai ceritanya seperti malam malam sebelumnya.
Sementara anak-anak sudah mulai hening. Di jalan berbatu yang hanya diterangi
sinar bulan purnama menambah suasana malam itu menjadikan kampung semakin
sempurna dalam kesunyiannya. Hanya sesekali ombak Laut Banda memecah dibibir
pantai yang tidak jauh dari bhantea
tersebut.
“Di hutan yang kaya akan berbagai jenis makanan itu, tumbuh berbagai
jenis binatang. Singa menjadi Raja di hutan itu. Ia hidup berkecukupan, semua
jenis binatang dapat dijadikannya sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Ia
memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun, termasuk memangsa seluruh mahkluk
yang disukainya. Kambing, kerbau, anjing selalu menjadi pilihan menunya
sepanjang waktu.