Rabu, 20 Oktober 2010

Bupati Hugua : Bangun Daerah Tak Mesti Tergantung Pada Anggaran

9 Feb 2010 ... Wangi-Wangi, Kepres – Bupati Wakatobi Ir Hugua saat tampil sebagai ... kerangka
pembangunan Kabupaten Wakatobi yang berdasarkan konsep ...

http://kendariekspres.com/content/view/6910/30/

PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA - SEBUAH PANDANGAN

Oleh:
Heddy Shri Ahimsa-Putra

 

http://file.upi.edu/ai.php?dir=Direktori/C%20-%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BHS.%20DAN%20SASTRA%20INDONESIA/197911162008012%20-%20AFI%20FADLILAH/&file=MHand%20out%20Met.Pen.Ling%20Paradigma%20Penelitian%20Ilmu%20Humaniora.pdf

Simak Ini: Tari Lariangi dari Wakatobi! Selasa, 3 Agustus 2010 | 21:58 WIB

Yul Adriansyah
Tari Lariangi
KOMPAS.com — Tari Lariangi merupakan tarian yang mengandung makna tersendiri, mulai dari pakaian serta gerakannya. Bentuk tarian yang berasal dari Kaledupa, pelantunnya sudah berumur 70 tahun-an. Generasi muda tidak ada lagi yang punya pengetahuan tentang itu, merevitalisasi keragaman budaya Wakatobi yang sudah terancam punah.
Pada bagian kepala disebut Panto dan Pintoru melambangkan derajat bangsawan, Hepupu/Konde melambangkan Kerajaan Buton, Bunga Konde melambangkan Pagar Beton Keraton, dan Toboy atas bawah kamba melambangkan prajurit-prajurit penjaga pasar benteng keraton.
Selain itu, ada yang namanya Hebindu atau Sangi-sangi yang melambangkan Fatimah (istri Nabi Muhammad SAW), kalung melambangkan matahari dan bulan, Naga melambangkan penjaga benteng keraton, Sekori dan Gelang bersusun melambangkan derajat bangsawan, Kombo tipis melambangkan gadis perawan atau wanita cantik yang sudah menikah, pelapis Kombo berwarna jingga melambangkan sore hari, Punto/Wuray Nibelo dasar hitam melambangkan malam hari, dan manik-manik putih melambangkan cahaya alam.
Sedangkan Laka/Sarung merah melambangkan Ratu Wa Kaa-Kaa karena saat dinobatkan menjadi Raja Buton pertama menggunakan sarung merah, Kipas Lariangi melambangkan kesejukan di dalam istana kerajaan, serta sapu tangan Lariangi melambangkan lap keringat Raja Buton.
Gerakan tari Lariangi, sebelum dan sesudah selalu diiringi dengan perkataan le..le..., maksudnya, tari Lariangi siap ditampilkan, begitu pun sebaliknya. Dia menyebutkan, tari Lariangi ini ditutup dengan Pajogi yang diapit dua orang laki-laki mengibing, setelah itu diisi dengan cendramata apa saja, lalu disimpan di atas talang penghormatan oleh para penari.
Tari Lariangi merupakan satu dari beberapa tarian yang diusulkan dalam memorandum of understanding (MOU) atau nota kesepahaman yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mematenkan seni budaya yang ada di Nusantara ke UNESCO sebagai salah satu badan PBB yang menangani pendidikan dan keragaman budaya dan tradisi masyarakat yang ada di Wakatobi, serta beberapa situs sejarah dan tarian daerah, di antaranya, benteng Watima di Binongko, Benteng Patua di Tomia, dan Benteng Lia di Wangi-Wangi Selatan. Untuk tarian, di antaranya, tari Eja-eja dan Kuiramba dari Tomia, tari Badanda dari Binongko, tari Lariangi dari Kaledupa, dan tari Kenta-kenta dari Wangi-Wangi. Seni budaya tersebut merupakan bagian dari tradisi lisan yang perlu dilestarikan sebagai salah satu kekayaan daerah.
Lokasi Pemotretan: Pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara
(Asosiasi Tradisi Lisan)

Budaya Wakatobi Terancam

Tarian Lariangi yang kini diteliti oleh bangsa asing


 Tuesday, 19 October 2010
KENDARINEWS - Kendari, Provinsi  Sultra memiliki keragaman budaya. Apabila tidak dikelola dengan baik,  akan berpotensi disintegrasi yang dapat mengganggu kesejukan dan kedamaian hidup masyarakat  masa mendatang.  Di Sultra terdapat beberapa etnis dan budaya yang besar, seperti Buton, Muna, Tolaki, Bugis dan Bajo.
 
''Keragaman etnis ini harus ditangani dengan baik, sebagai  aset daerah yang menjadi sumber pendapatan daerah,''  kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Wakatobi, Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum, kepada koran ini.
   
Menurut dia,  budaya yang berbeda-beda di Sultra terutama di Wakatobi akan menjadi potensi dalam pengembangan pariwisata daerah. Selain  pariwisata alam Sultra yang juga sangat eskotik, Wakatobi juga kaya dengan potensi budaya koreografi tarian, musik lariangi dan kostum lariangi.
   
"Kalau kita membaca buku berjudul Kearifan Lokal Suku Bangsa-Suku Bangsa di Sulawesi Tenggara, akan terlihat betapa besar potensi budaya, mulai potensi budaya masyarakat Landawe di Konawe Utara, sampai dengan masyarakat Cia-Cia di Selatan Pulau Binongko. Dari masyarakat Runduma di Timur sampai masyarakat Sagori di Barat, semua itu memiliki potensi budaya yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai kekuatan ekonomi  akan datang," ujarnya.
   
Ditambahkan, kesuksesan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam membangun tidak dapat dipungkiri, tetapi keterlibatan masyarakat dalam proyek pariwisata masih sangat minim. Rendahnya partisipasi masyarakat  karena pariwisata masih baru bagi mereka, tidak punya skill mengolah kebudayaan sebagai aset dalam industri pariwisata.
  
 Menurut pandangan penulis Buku "Perempuan Dalam Kabanti" katanya,  merupakan hal baru dalam masyarakat Wakatobi, tetapi pelan-pelan  akan menyesuaikan diri. Terbukti  sudah ada yang terlibat  dalam bisnis pariwisata. Bahkan  mulai tampak keterlibatan  dalam pariwisata budaya, walaupun belum maksimal.
     
Mahasiswa S3 Ilmu Budaya UGM itu  merasa prihatin dengan keadaan budaya Sultra. Saat ini, semua negara mempersiapkan diri menata kebudayaan sendiri. Justru Indonesia  malahan membiarkan tercecer, sehingga  memberi kesempatan kepada bangsa lain untuk meneliti kekayaan budaya.
   
Masalah itu  dikarenakan kontrol yang lemah. Lebih menyedihkan lagi karena kurangnya perhatian dari pemerintah, seperti kasus Korea yang menulis bahasa Cia-Cia dengan aksara Korea (aksara Hangeul), penelitian Lariangi di Kaledupa oleh Malaysia, serta beberapa penelitian naskah-naskah Buton yang dilakukan  perpustakaan Inggris. Semua itu akan berdampak pada masa depan kebudayaan Sultra.
   
"Memang kita tidak boleh tertutup di saat keterbukaan media seperti ini, tetapi apakah kita sudah siap ketika ide-ide dalam tradisi kebudayaan kita diambil  orang luar dan dipatenkan? Jangan-jangan koreografi Lariangi, musik lariangi, kostum lariangi belum ada yang dipatenkan, sehingga bernasib  seperti reog ponorogo,'' katanya.
   
Kemungkinan  ancaman bisa diatasi  dengan membangkitkan rasa  mencintai budaya daerah agar  identitas bisa  dipertahankan di era globalisasi.      Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unhalu, menilai  generasi muda di Bumi Anoa kurang mencintai budaya sendiri. Mereka lebih bangga mengenal budaya orang lain di banding mengenal budaya daerahnya.
   
Di sisi  lain, memang kebijakan tentang kebudayaan belum menjanjikan untuk digeluti generasi muda. Butuh sentuhan yang dapat mengubah potensi budaya untuk dapat bernilai ekonomis, misalnya penelitian untuk menemukan pola ornament kebudayan Sultra.   (p2)