Langsung ke konten utama

Waktu sebagai Amanah: Renungan Sastra dan Filsafat

 

Renungan | Etika Hidup di Hadapan Detik yang Terbatas

Waktu tidak pernah benar-benar menjadi milik manusia. Ia hanya singgah, lalu pergi. Dalam hampir semua kebudayaan dan keyakinan, waktu diperlakukan bukan sebagai benda bebas pakai, melainkan sebagai titipan—amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. Maka menyia-nyiakan waktu bukan sekadar kelalaian, tetapi persoalan etika yang menyentuh inti kemanusiaan.

Renungan ini lahir sebagai lanjutan dari kegelisahan bersama: mengapa manusia begitu mudah menghamburkan waktu, terutama waktu kebersamaan, seolah hidup menyediakan cadangan yang tak terbatas.

Agama: Waktu yang Akan Dimintai Pertanggungjawaban

Dalam tradisi agama, waktu hampir selalu disumpahkan. Ia disebut, diingatkan, bahkan dijadikan saksi. Pesannya seragam: manusia berada dalam kerugian jika tidak memaknai waktu dengan iman, kebaikan, dan kesabaran. Setiap detik dipandang sebagai kesempatan berbuat baik, atau sebaliknya, peluang kehilangan makna.

Dalam renungan keagamaan, menyia-nyiakan waktu berarti menunda kebaikan, mengabaikan amanah, dan melupakan tujuan hidup. Waktu bersama sesama—dalam keluarga, persahabatan, atau relasi lelaki dan perempuan—adalah ruang ujian: apakah ia dipakai untuk saling menguatkan, atau dibiarkan kosong tanpa tanggung jawab. Mereka yang mengabaikan waktu dalam hubungan cinta mereka, banyak dikutuk dalam berbagai agama, mereka merelakan waktu sia-sia dalam hubungan mereka. Mungkin, mereka berpikir bahwa masih ada hari esok, pada hal setiap detik adalah detik terakhir yang tak akan bisa diulang. Ketika seseorang pergi, maka jangan pernah berpikir bahwa ia akan datang lagi besok pagi, tetapi yakinlah bahwa kedatangannya adalah hal baru lagi, waktu yang terbuang tidak akan kembali, walau orangnya masih kembali. Agama menjadikan ini sebagai ruang yang rugi, karena waktu di sia-siakan.

Filsafat: Waktu dan Kesadaran Akan Kefanaan

Para filsuf sejak lama mengingatkan bahwa waktu adalah pengingat paling jujur tentang kefanaan. Hidup manusia tidak panjang; ia rapuh dan sementara. Kesadaran akan keterbatasan inilah yang melahirkan etika. Etika untuk manfaatkan waktu dengan baik, untuk membangun kebahagiaan, kebersamaan yang bermanfaat, bukan dihabiskan oleh perasaan egois yang menghancurkan. Waktu sangat penting untuk memahamkan kita akan makna kehidupan, bahwa hidup ini sangat singkat. 

Ketika seseorang menghabiskan waktu tanpa kesadaran, ia sesungguhnya sedang menolak kenyataan bahwa hidup memiliki batas. Filsafat memandang pemborosan waktu sebagai kegagalan eksistensial—manusia hadir, tetapi tidak sungguh-sungguh hidup.

Dalam relasi, kegagalan ini tampak jelas: kebersamaan dijalani tanpa tujuan, percakapan tanpa kedalaman, kehadiran tanpa perhatian. Di situlah waktu berubah dari anugerah menjadi kehilangan. Manusia melepas waktu, seolah ia akan datang besok, dekik depan, menit depan, pada hal, ketika waktu datang, ia tidak akan pernah bisa diikt lagi. Ia akan pergi, sehingga dalam beberapa kajian filsafat, keberadaan waktu menjadi ruang kesadaran untuk memahami kehidupan itu sendiri. Kehidupan yang begitu fana, kehidupan yang begitu pendek. Bahkan ketika waktu itu pergi, ia tidak akan kembali, satu satunya yang bisa mengingat waktu adalah ketika Anda menyimpannya dengan perbuatan baik, dan mengabadikan setiap detiknya dalam kebaikan. 

Nilai Lokal: Petuah tentang Menjaga Saat

Dalam nilai-nilai lokal Nusantara, waktu kerap diajarkan melalui pepatah dan petuah sederhana. Ada saat untuk berkata, ada saat untuk diam. Ada waktu menanam, ada waktu menuai. Melanggar waktu berarti melanggar keseimbangan.

Kearifan lokal tidak pernah memisahkan waktu dari etika sosial. Menyia-nyiakan waktu orang lain dianggap tidak tahu adat, tidak tahu diri. Sebab waktu dipahami sebagai bagian dari kehormatan.

Ketika kebersamaan dijalani tanpa arah dan tanggung jawab, sesungguhnya bukan hanya waktu yang terbuang, tetapi juga nilai-nilai yang diwariskan. Mereka yang merawat kebersamaan, mereka yang akan memberikan makna terhadap waktu itu sendiri. Mereka yang dapat memahami betaapa pentingnya waktu, maka mereka tidak akan membuangnya, karena itu akan membuat mereka kehilangan martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya dan mermartabat. 

Relasi sebagai Ruang Amanah

Dalam hubungan manusia, waktu adalah bahasa paling jujur. Ia menunjukkan seberapa besar kepedulian, seberapa dalam kesungguhan. Waktu bersama yang dibiarkan berlalu tanpa makna adalah bentuk pengingkaran etika.

Seorang lelaki dan seorang wanita yang menghabiskan waktu bersama tanpa tujuan kebaikan sedang menunda kedewasaan moral. Bukan karena kebersamaan itu salah, melainkan karena waktu diperlakukan tanpa kesadaran akan nilainya. Oleh karena itu, setiap detik seharusnya dibuat bermakna, diisi dengan hal yang bermanfaat, dan saling peduli, baik terhadap diri sendiri, manusia, dan alam. Setiap detik waktu adalah amanah, jangan sia-siakan. 

Menjaga Waktu, Menjaga Martabat

Renungan ini tidak dimaksudkan sebagai penghakiman, melainkan sebagai ajakan untuk kembali sadar. Bahwa setiap detik adalah peluang merawat martabat—martabat diri sendiri dan orang lain.

Agama mengingatkan, filsafat menyadarkan, dan nilai lokal menegur dengan lembut: waktu yang disia-siakan tidak pernah benar-benar pergi sendirian. Ia membawa serta makna yang seharusnya bisa tumbuh.

Karena itu, menjaga waktu adalah menjaga etika hidup. Dan etika hidup adalah cara manusia menghormati keberadaannya sendiri di hadapan dunia yang sementara.


Baca Juga https://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2025/12/menyia-nyiakan-waktu-sebagai-persoalan.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUNGKAP KETOKOHAN MUHAMMAD IDRUS

 Oleh Dr. La Niampe, M.Hum [2] 1.       Siapakah Muhammad Idrus itu? Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18. Dilihat dari silsilah keturunannya, Beliau termasuk keturunan ke-16 dari raja Sipanjonga; raja Liya dari tanah Melayu yang pernah berimigrasi ke negeri Buton (lihat silsilah pada lampiran). Dalam naskah ”SILSILAH RAJA-RAJA BUTON” Muhammad Idrus memiliki 33 orang istri dan dikaruniai anak berjumlah 97 orang, dua orang di antaranya terpilih menjadi Sultan Buton, yaitu Muhammad Isa sebagai Sultan Buton ke-31 (1851-1861) dan Muhammad Salih sebagai Sultan Buton ke-32 (1861-1886). 2. Nama dan Gelar             Muhammad Idrus adalah nama lengkapnya. Selain itu ia juga memiliki cukup banyak tambahan atau gelaran sebagai berikut: a.       La Ode La Ode adalah gelaran bangsaw...

Buku Tembaga dan Harta karun Wa Ode Wau dalam Pelayaran Tradisional Buton

Oleh: Sumiman Udu Dalam suatu diskusi dengan teman-teman di beberapa jejaring sosial, banyak yang membicarakan tentang harta karun Wa Ode Wau. Dimana sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa harta itu masih milyaran Gulden, dan ada yang mengatakan bahwa harta karun itu tersimpan di gua-gua, ada juga yang mengatakan bahwa harta itu tersimpan di dalam tanah dan ditimbun. Berbagai klaim itu memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun, kalau kita melihat bagaimana Wa Ode Wau memberikan inspirasi pada generasinya dalam dunia pelayaran, maka harta itu menjadi sangat masuk akal. Banyak anak cucu Wa Ode Wau (cucu kultural) yang saat ini memiliki kekayaan milyaran rupiah. Mereka menguasai perdagangan antar pulau yang tentunya di dapatkan dari leluhur mereka di masa lalu. Dalam Makalah yang disampaikan yang disampaikan dalam seminal nasional Sejarah itu, beliau mengatakan bahwa sebutan sebagai etnik maritim yang ada di Buton, sangat pantas diberikan kepada pelayar-pelayar asal kepulauan t...

Harta Kekayaan Wa Ode Wau: Antara Misteri dan Inspirasi

 Oleh: Sumiman Udu Kisah Tentang Wa Ode Wau sejak lama telah menjadi memori kolektif masyarakat Buton. Kekayaannya, Kerajaan Binisnya hingga kemampuannya memimpin kerjaan itu. Semua itu telah menjadi sebuah misteri bagi generasi muda Buton dewasa ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu berupaya untuk menemukan harta karun itu. Dan sampai saat ini belum pernah ada yang terinspirasi bagaimana Wa Ode Wau mengumpulkan harta sebanyak itu.