Langsung ke konten utama

Menyia-nyiakan Waktu sebagai Persoalan Etika

 

Opini | Ketika Waktu Tidak Lagi Dihormati

Waktu bukan sekadar ukuran jam dan kalender. Ia adalah ruang hidup, tempat nilai-nilai kemanusiaan diuji. Cara seseorang memperlakukan waktu—miliknya sendiri maupun milik orang lain—sesungguhnya mencerminkan etika terdalam yang ia anut. Ketika waktu disia-siakan, yang rusak bukan hanya jadwal, melainkan martabat relasi manusia.

Opini ini menempatkan menyia-nyiakan waktu bukan sebagai kelalaian kecil, tetapi sebagai persoalan etika. Sebab waktu adalah sesuatu yang tak pernah bisa dikembalikan, namun kerap diperlakukan seolah tak bernilai.

Waktu dan Tanggung Jawab Moral

Setiap manusia hidup dalam batas. Umur terbatas, tenaga terbatas, dan waktu adalah batas yang paling tegas. Karena itu, waktu sejatinya adalah amanah. Ia menuntut tanggung jawab moral dalam penggunaannya.

Ketika seseorang berjanji hadir tetapi datang tanpa kehadiran batin, ketika kebersamaan dijalani tanpa tujuan dan kepedulian, di situlah etika waktu dilanggar. Menyia-nyiakan waktu orang lain sama artinya dengan meremehkan hidupnya.

Relasi yang Kosong oleh Waktu yang Hilang

Dalam hubungan antarmanusia—termasuk relasi antara seorang lelaki dan seorang wanita—waktu adalah fondasi utama. Namun tidak semua kebersamaan bernilai. Ada pertemuan yang panjang, tetapi hampa. Ada kebersamaan yang sering, tetapi tidak menumbuhkan apa pun.

Relasi semacam ini menciptakan ilusi kedekatan, padahal yang terjadi adalah pengabaian. Waktu dibiarkan pergi tanpa makna, dan sedikit demi sedikit ruang kepercayaan serta penghargaan pun terkikis. Inilah bentuk lain dari ketidaketisan yang jarang disadari.

Etika Hadir, Bukan Sekadar Bersama

Etika waktu menuntut lebih dari sekadar hadir secara fisik. Ia menuntut kesadaran, perhatian, dan niat untuk saling menjaga. Hadir tanpa mendengar, bersama tanpa peduli, adalah bentuk pemborosan waktu yang paling sunyi.

Dalam masyarakat yang semakin sibuk, kebersamaan sering direduksi menjadi formalitas. Padahal, waktu bersama seharusnya menjadi ruang untuk saling memulihkan, bukan sekadar mengisi kekosongan.

Mereka yang Tidak Rugi

Mereka yang tidak rugi dalam hidup adalah mereka yang memahami etika waktu. Mereka menggunakan waktunya untuk mencintai dengan tanggung jawab, bekerja dengan integritas, dan berguna bagi orang lain. Waktu yang dipakai dengan kesadaran etis akan meninggalkan jejak kebaikan, meski ia telah berlalu.

Sebaliknya, waktu yang dihamburkan tanpa makna hanya menyisakan penyesalan. Ia pergi tanpa warisan, tanpa nilai, tanpa cerita yang layak dikenang.

Menjaga Waktu, Menjaga Kemanusiaan

Tulisan ini hendak menegaskan satu hal: menghargai waktu adalah bagian dari menghargai manusia. Dalam setiap relasi, waktu adalah bahasa paling jujur tentang kepedulian.

Menyia-nyiakan waktu bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan pelanggaran etika sosial. Sebab dari cara kita menjaga waktu—milik kita dan milik orang lain—di sanalah kualitas kemanusiaan kita ditentukan.

Waktu sangat pendek. Dan sedetik yang dilepas tanpa makna adalah kehilangan yang tak pernah bisa ditebus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGUNGKAP KETOKOHAN MUHAMMAD IDRUS

 Oleh Dr. La Niampe, M.Hum [2] 1.       Siapakah Muhammad Idrus itu? Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18. Dilihat dari silsilah keturunannya, Beliau termasuk keturunan ke-16 dari raja Sipanjonga; raja Liya dari tanah Melayu yang pernah berimigrasi ke negeri Buton (lihat silsilah pada lampiran). Dalam naskah ”SILSILAH RAJA-RAJA BUTON” Muhammad Idrus memiliki 33 orang istri dan dikaruniai anak berjumlah 97 orang, dua orang di antaranya terpilih menjadi Sultan Buton, yaitu Muhammad Isa sebagai Sultan Buton ke-31 (1851-1861) dan Muhammad Salih sebagai Sultan Buton ke-32 (1861-1886). 2. Nama dan Gelar             Muhammad Idrus adalah nama lengkapnya. Selain itu ia juga memiliki cukup banyak tambahan atau gelaran sebagai berikut: a.       La Ode La Ode adalah gelaran bangsaw...

Buku Tembaga dan Harta karun Wa Ode Wau dalam Pelayaran Tradisional Buton

Oleh: Sumiman Udu Dalam suatu diskusi dengan teman-teman di beberapa jejaring sosial, banyak yang membicarakan tentang harta karun Wa Ode Wau. Dimana sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa harta itu masih milyaran Gulden, dan ada yang mengatakan bahwa harta karun itu tersimpan di gua-gua, ada juga yang mengatakan bahwa harta itu tersimpan di dalam tanah dan ditimbun. Berbagai klaim itu memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun, kalau kita melihat bagaimana Wa Ode Wau memberikan inspirasi pada generasinya dalam dunia pelayaran, maka harta itu menjadi sangat masuk akal. Banyak anak cucu Wa Ode Wau (cucu kultural) yang saat ini memiliki kekayaan milyaran rupiah. Mereka menguasai perdagangan antar pulau yang tentunya di dapatkan dari leluhur mereka di masa lalu. Dalam Makalah yang disampaikan yang disampaikan dalam seminal nasional Sejarah itu, beliau mengatakan bahwa sebutan sebagai etnik maritim yang ada di Buton, sangat pantas diberikan kepada pelayar-pelayar asal kepulauan t...

Harta Kekayaan Wa Ode Wau: Antara Misteri dan Inspirasi

 Oleh: Sumiman Udu Kisah Tentang Wa Ode Wau sejak lama telah menjadi memori kolektif masyarakat Buton. Kekayaannya, Kerajaan Binisnya hingga kemampuannya memimpin kerjaan itu. Semua itu telah menjadi sebuah misteri bagi generasi muda Buton dewasa ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu berupaya untuk menemukan harta karun itu. Dan sampai saat ini belum pernah ada yang terinspirasi bagaimana Wa Ode Wau mengumpulkan harta sebanyak itu.