Oleh: Sumiman Udu
Dalam upaya untuk menjelaskan tentang kata pementasan,
Jan Vansina (2014: 52) mengatakan bahwa pementasan dalam tradisi lisan adalah
pengisahan kisah. Dalam pementasan lisan, seorang pendongeng dan atau pelantun
(dalam nyanyian) akan duduk dan dikelilingi oleh pendengar untuk mengisahkan
sebuah kisah. Dalam pementasan tradisi lisan (nyanyian) seorang pelantun akan
duduk untuk memainkan gitar, gambus dan biolanya untuk mengiringi
syair-syairnya yang disusun dan dikomposisi pada waktu bersamaan. Sementara penonton
duduk di sampingnya untuk mendengarkan pementasan atau pengisahan tersebut.
Dalam pementasan ini, penonton terkadang terlibat aktif, sehingga dapat
mempengaruhi komposisi skematik dari tradisi lisan.
Tunner dan Schechner dalam Sal Murgiyanto (2008: 16)
menekankan pementasan sebagai sebuah “proses” atau “bagaimana” pementasan
mewujud di dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat
pendukungnya. Ini menunjukan bahwa pementasan merupakan proses penyajian tradisi
lisan dalam konteks tertentu yang meliputi: (1) penonton, (2) konteks sosial
dari masyarakat pendukungnya, (3) berbagai sarana yang mendukung terwujudnya
sebuah pementasan tradisi lisan tersebut.
Ruth
Finnegan (1992:
91-92) mengatakan bahwa pementasan adalah
suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang
bermuatan sosial, budaya, dan estetik[1]. Pementasan memiliki model tindakan
dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat
dipahami[2]
oleh pendengar. Tindakan
komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari
lingkungan kontekstualnya. Pementasan
budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang
berkaitan dengan ruang dan waktu yang mendukung pementasan tersebut[3].
Ditinjau
dari unsur-unsur yang membangun sebuah pementasan,
Finnegan (1992: 91-111) mengatakan bahwa dalam pementasan tradisi lisan melibatkan: (1) situasi
dan tempat pementasan, (2) unsur performer atau
pelantun (orang yang melakukan pertunjukan), (3) audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), (4) media
(sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material seperti nada,
ekspresi, dan kostum), (5) variasi pementasan sebagai akibat dari reaksi audiens, dan (6) bahan atau alat (yang
meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan.
Menurut Finnegan (1992: 116-117) konteks sosial yang
perlu diperhatikan dalam kajian mengenai pementasan tradisi lisan, hampir sama
dengan fokus kajian yang terjadi pada kajian-kajian ilmu sosial lainnya. Finnegan
(1992: 117-121) mengatakan bahwa komposisi skematik merupakan cara atau proses
penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun dan dihidupkan dalam
proses pementasannya. Konsep komposisi dalam pementasan tradisi lisan tidak
dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti
keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan pementasan, dengan teks pasti dan
teks bebas.
Beberapa
komponen yang berperan dalam pementasan tradisi lisan adalah penyaji (performer), audience, situasi dan
pengorganisasian penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan
waktu penyajian (Bauman, 1994: 3). Karl Reich (1992: 93) mengatakan bahwa ada
beberapa aspek penting yang berhubungan dengan pementasan yaitu waktu dan tempat penyajian. Ia mengatakan bahwa dalam
pementasan diperlukan waktu untuk
penceritaan, suasana hati penonton yang berbeda dengan kondisi atau persitiwa
sehari-hari. Untuk memahami suasana hati penonton ini, maka perlu diperhatikan
adalah mengenai kondisi ekomoni, budaya, politik, keamanan, sistem religi, adat
istiadat dari suatu masyarakat yang mendukung pementasan tersebut.
Dalam
tradisi lisan masyarakat Mongol, pelaksanaan pementasan dalam tradisi lisan Geser, didahului oleh ritual seperti menawarkan dupa, pencahayaan lampu, membuat
sejaji, yang bertujuan untuk
mendapatkan perlindungan dari kekuatan jahat, namun saat ini ritual seperti itu
telah jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mongol (Enhong,
1998: 422). Dalam pementasan bhanti-bhanti, sesajian
ini tidak ditemukan, namun La Ode Kamaluddin mengakui bahwa ia seringkali
membacakan mantra (bongka randa)[4] sebelum
melantunkan bhanti-bhanti.
Menurut
Lord (1981: 13-29), bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia
melakukan pementasan
sehingga komposisi dan pementasan merupakan
dua hal yang dilakukaan pada saat bersamaan. Lord mengatakan bahwa tidak ada
komposisi, tetapi ada di dalam
pementasan (1981: 13). Selanjutnya,
ia menjelaskan ada tiga tahap dalam proses komposisi, yaitu (a) peletakan
pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, (b) penerapan atau
aplikasi, dan (c) pelantunan di hadapan pendengar.
Menurut
Lord, proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses mengakumulasi,
mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah ada. Para penyair lisan
dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama persis, meskipun bersumber
dari puisi lisan yang sama. Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya
menghafal formulanya saja, sehingga dalam pementasan terdapat perubahan,
penambahan atau kesalahan. Hal
semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi dalam proses
transmisi atau pewarisan dalam tradisi lisan.
Finnegan
(1992: 91-111) juga menguraikan lebih luas bahwa ada sejumlah gagasan dan teori
yang overlapping yang berkaitan
dengan karya seni dan ekspresi lisan. Pendekatan pada pementasan tradisi lisan cenderung dapat
dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji berbagai kegiatan masyarakat
pemiliknya yang berkaitan dengan budaya lisan tersebut. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Bauman (1994: 3) bahwa pementasan tradisi lisan dapat dipandang
sebagai satu “lahan” lain, di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi
dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi
pemahaman terhadap sastra lisan. Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh
perhatian pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat
artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu.
Dalam
buku Oral Traditions and Verbal Arts (1992),
Finnegan memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu
(1) primary audience, yaitu orang
yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk
sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar
dokumentasi, (3) integral audience, yaitu
orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian
tertentu yang sudah melekat dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang
(kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa
(Finnegan, 1992: 98-100).
Di samping itu, Finnegan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat
diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks tradisi lisan bhanti-bhanti dengan memperhatikan aspek
gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui
penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi.
Lebih
lanjut, Richard Bauman and Pamela Ritch
(1994: 225) membagi empat sifat pementasan dalam tradisi lisan yaitu (1) pementasan merupakan perilaku
estetika yang unik, yang berbeda dengan
tindakan di dalam kehidupan sehari-hari; (2) pementasan yang bersifat
refleksi terhadap budaya, sosial masyarakat, bentuk-bentuk komunikatif tentang
komunikasi, dimana makna dan nilai-nilai yang disampaikan
dalam bentuk simbolik
dan ditempatkan pada layar sebelumnya
oleh penonton; (3) pementasan yang performatif dan
yang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi sosial; (4) Setiap
pementasan tradisi lisan adalah baru, sehingga pementasan merupakan
sumber inspirasi dalam seni, makna, nilai, efikasi sosial, dan dinamika tradisi serta
menjadi ruang kreativitas baru.
Dengan
demikian, konsep pementasan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah proses
pelantunan atau pengisahan yang dilakukan oleh seorang pelantun di hadapan
penontonnya, dimana penonton juga ikut perpartisipasi dalam proses pementasan
tersebut. Untuk lebih jelasnya Ruth Finnegan (1992:
91-111) kemudian menjelaskan beberapa unsur yang harus diperhatikan dalam suatu pementasan yaitu:
(1) situasi dan tempat pementasan. Analisis mengenai situasi dan tempat
pementasan akan diarahkan untuk dapat mengungkapkan berbagai hal yang mendukung
pementasan bhanti-bhanti seperti
kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi yang ada dalam masyarakat
pendukungnya. Konteks sosial itu tentunya berhubungan dengan penonton (audiens),
pelantun (performer),
maupun yang berhubungan dengan partisipans
yang terlibat dalam pementasan bhanti-bhanti. Pascal
Boyer (1990: 1-2) mengatakan bahwa
penelitian antropologis harus mencakup ide-ide masyarakat, organisasi tempat
tradisi lisan itu dipentaskan, dan juga berhubungan dengan keterlibatan emosi
masyarakat dalam suatu pementasan tradisi lisan. (2) unsur performer (orang yang melakukan
pertunjukan). Menurut Finnegan performer atau pelantun adalah orang yang melakukan pementasan. Dalam konteks, bhanti-bhanti performer atau pelantun
adalah orang yang melantunkan teks-teks bhanti-bhanti
yang meliputi penyanyi, pemukul gendang, dan pemukul botol, pemetik gambus,
gitar dan pemain biola; (3) variasi sebagai
reaksi dari penonton. Dalam
konteks pementasan tradisi lisan sering kali terjadi tanggapan penonton, dan
memungkinkan terjadinya variasi pementasan sebagai akibat reaksi dari penonton tersebut.
Ini merupakan salah satu fokus kajian, mengingat pentingnya reaksi penonton dalam tradisi lisan
yang tentunya akan mempengaruhi suatu komposisi skematik dan bentuk pementasan; (4) penonton dan partisan
(pendengar dan orang-orang yang terlibat pertunjukan), yang dimaksud di sini
adalah pendengar dan orang-orang yang terlibat dalam proses pementasan bhanti-bhanti,
misalnya yang menyajikan air minum, teh,
minuman keras, orang yang joget atau bandendang; (5) media (sarana dan
prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material; (6) bahan atau alat (yang
meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi.
[1] Elizsbeth C. Fine (1984) yang menyebutkan tentang pementasan dalam tradisi
lisan sebagai proses komunikasi sosial yang berbeda dengan pembicaraan dalam
kehidupan sehari-hari.
[2] Dalam tulisannya Toward an
Understanding of Storytelling Events Robert A. Georges (1969: 317)
mengatakan bahwa (1) Setiap acara penceritaan tradisi
lisan atau mendongeng adalah acara komunikatif; (2) Setiap acara penceritaan tradisi lisan adalah pengalaman sosial;
(3) Setiap acara bercerita memiliki keunikan.
[3] Imran Teuku Abdullah, “Sastra Lisan”, materi penyerapan Ilmu
kesusastraan dan Penyerapannya, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999).
[4]Bhongka randa berasal dari bahasa Wakatobi yang terdiri dari dua kata yaitu “bhongka” yang berarti bongkar, dan kata randa yang berarti dada (hati). Sehingga
mantra bhongka randa merupakan jenis
mantra yang biasa dibacakan oleh seseorang agar suaranya atau penampilannya di
dengarkan oleh pendengar sehingga hatinya tertarik atas apa yang diucapkan atau
dilakukan.
Tugas:
Analisis pementasan tradisi lisan yang ada di daerah anda masing-masing sesuai dengan unsur-unsur pementasan sebagaimana telah dijelaskan di atas. !
Sistematika Makalah:
1. Latar Balakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan dan Manfaat
4. Kerangka Teori dan Metode Penelitian
5. Pambahasan
6. Penutup
7. Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar