Minggu, 07 Mei 2017

Teori Pementasan Tradisi Lisan



Oleh: Sumiman Udu
Dalam upaya untuk menjelaskan tentang kata pementasan, Jan Vansina (2014: 52) mengatakan bahwa pementasan dalam tradisi lisan adalah pengisahan kisah. Dalam pementasan lisan, seorang pendongeng dan atau pelantun (dalam nyanyian) akan duduk dan dikelilingi oleh pendengar untuk mengisahkan sebuah kisah. Dalam pementasan tradisi lisan (nyanyian) seorang pelantun akan duduk untuk memainkan gitar, gambus dan biolanya untuk mengiringi syair-syairnya yang disusun dan dikomposisi pada waktu bersamaan. Sementara penonton duduk di sampingnya untuk mendengarkan pementasan atau pengisahan tersebut. Dalam pementasan ini, penonton terkadang terlibat aktif, sehingga dapat mempengaruhi komposisi skematik dari tradisi lisan.
Tunner dan Schechner dalam Sal Murgiyanto (2008: 16) menekankan pementasan sebagai sebuah “proses” atau “bagaimana” pementasan mewujud di dalam ruang, waktu, konteks sosial dan budaya masyarakat pendukungnya. Ini menunjukan bahwa pementasan merupakan proses penyajian tradisi lisan dalam konteks tertentu yang meliputi: (1) penonton, (2) konteks sosial dari masyarakat pendukungnya, (3) berbagai sarana yang mendukung terwujudnya sebuah pementasan tradisi lisan tersebut.
Ruth Finnegan (1992: 91-92) mengatakan bahwa pementasan adalah suatu peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik[1]. Pementasan memiliki model tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami[2] oleh pendengar. Tindakan komunikasi diperagakan, diperkenalkan dengan objek luar, dan dibangun dari lingkungan kontekstualnya. Pementasan budaya merupakan konteks pertunjukan yang menonjolkan suasana komunitas, yang berkaitan dengan ruang dan waktu yang mendukung pementasan tersebut[3].
Ditinjau dari unsur-unsur yang membangun sebuah pementasan, Finnegan (1992: 91-111) mengatakan bahwa dalam pementasan tradisi lisan melibatkan: (1) situasi dan tempat pementasan, (2) unsur performer atau pelantun (orang yang melakukan pertunjukan), (3) audies dan partisan (orang-orang yang terlibat pertunjukan), (4) media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material seperti nada, ekspresi, dan kostum), (5) variasi pementasan sebagai akibat dari reaksi audiens, dan (6) bahan atau alat (yang meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan.
Menurut Finnegan (1992: 116-117) konteks sosial yang perlu diperhatikan dalam kajian mengenai pementasan tradisi lisan, hampir sama dengan fokus kajian yang terjadi pada kajian-kajian ilmu sosial lainnya. Finnegan (1992: 117-121) mengatakan bahwa komposisi skematik merupakan cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara sastra lisan disusun dan dihidupkan dalam proses pementasannya. Konsep komposisi dalam pementasan tradisi lisan tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan pementasan, dengan teks pasti dan teks bebas.
Beberapa komponen yang berperan dalam pementasan tradisi lisan adalah penyaji (performer), audience, situasi dan pengorganisasian penyajian yang didukung oleh media seperti musik, tempat dan waktu penyajian (Bauman, 1994: 3). Karl Reich (1992: 93) mengatakan bahwa ada beberapa aspek penting yang berhubungan dengan pementasan yaitu waktu dan tempat penyajian. Ia mengatakan bahwa dalam pementasan diperlukan waktu untuk penceritaan, suasana hati penonton yang berbeda dengan kondisi atau persitiwa sehari-hari. Untuk memahami suasana hati penonton ini, maka perlu diperhatikan adalah mengenai kondisi ekomoni, budaya, politik, keamanan, sistem religi, adat istiadat dari suatu masyarakat yang mendukung pementasan tersebut.
Dalam tradisi lisan masyarakat Mongol, pelaksanaan pementasan dalam tradisi lisan Geser, didahului oleh ritual seperti menawarkan dupa, pencahayaan lampu, membuat sejaji, yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan jahat, namun saat ini ritual seperti itu telah jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Mongol (Enhong, 1998: 422). Dalam pementasan bhanti-bhanti, sesajian ini tidak ditemukan, namun La Ode Kamaluddin mengakui bahwa ia seringkali membacakan mantra (bongka randa)[4] sebelum melantunkan bhanti-bhanti.
Menurut Lord (1981: 13-29), bagi penyair lisan, pembuatan komposisi dilakukaan saat ia melakukan pementasan sehingga komposisi dan pementasan merupakan dua hal yang dilakukaan pada saat bersamaan. Lord mengatakan bahwa tidak ada komposisi, tetapi ada di dalam pementasan (1981: 13). Selanjutnya, ia menjelaskan ada tiga tahap dalam proses komposisi, yaitu (a) peletakan pondasi dengan cara mendengarkan atau melakukan penyerapan, (b) penerapan atau aplikasi, dan (c) pelantunan di hadapan pendengar.
Menurut Lord, proses komposisi tersebut dilanjutkan dengan proses mengakumulasi, mengkombinasi dan memodelkan kembali formula yang telah ada. Para penyair lisan dalam melantunkan puisi lisan (lagu) tidak akan sama persis, meskipun bersumber dari puisi lisan yang sama. Hal ini disebabkan karena penyair lisan hanya menghafal formulanya saja, sehingga dalam pementasan terdapat perubahan, penambahan atau kesalahan. Hal semacam ini dapat memberi penegasan tentang proses yang terjadi dalam proses transmisi atau pewarisan dalam tradisi lisan.
Finnegan (1992: 91-111) juga menguraikan lebih luas bahwa ada sejumlah gagasan dan teori yang overlapping yang berkaitan dengan karya seni dan ekspresi lisan. Pendekatan pada pementasan tradisi lisan cenderung dapat dijadikan sebagai ide sentral untuk mengkaji berbagai kegiatan masyarakat pemiliknya yang berkaitan dengan budaya lisan tersebut. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Bauman (1994: 3) bahwa pementasan tradisi lisan dapat dipandang sebagai satu “lahan” lain, di samping teks sebagai salah satu unit deskripsi dan analisis yang fundamental dalam mendukung kerangka kerja empiris bagi pemahaman terhadap sastra lisan. Sebagai sebuah pendekatan, etnografi menaruh perhatian pada tingkah laku yang aktual pada saat penyajian lisan yang bersifat artistik dalam kehidupan masyarakat tertentu.
Dalam buku Oral Traditions and Verbal Arts (1992), Finnegan memperkaya tiga aspek di atas dengan membagi aspek audience menjadi empat kelompok, yaitu (1) primary audience, yaitu orang yang berkepentingan dengan pelaksanaan tradisi lisan, (2) secondary audience, yaitu orang yang tidak hanya hadir untuk sekedar menikmati penyajian, tetapi juga merekam dan mengambil gambar dokumentasi, (3) integral audience, yaitu orang yang memang wajib untuk datang karena penyajian adalah satu bagian tertentu yang sudah melekat dalam diri dan kesehariannya, dan (4) accidental audience, yaitu orang (kelompok) yang mendapat informasi dari pemberitaan lisan ataupun media massa (Finnegan, 1992: 98-100). Di samping itu, Finnegan juga memberikan sejumlah panduan yang dapat diaplikasikan dalam menganalisis dan membandingkan teks tradisi lisan bhanti-bhanti dengan memperhatikan aspek gaya, struktur, dan isi serta proses pengolahan teks lisan melalui penerjemahan, pendeskripsian, dan presentasi.
Lebih lanjut, Richard Bauman and Pamela Ritch (1994: 225) membagi empat sifat pementasan dalam tradisi lisan yaitu (1) pementasan merupakan perilaku estetika yang unik, yang berbeda dengan tindakan di dalam kehidupan sehari-hari; (2) pementasan yang bersifat refleksi terhadap budaya, sosial masyarakat, bentuk-bentuk komunikatif tentang komunikasi, dimana makna dan nilai-nilai yang disampaikan dalam bentuk simbolik dan ditempatkan pada layar sebelumnya oleh penonton; (3) pementasan yang performatif dan yang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi sosial; (4) Setiap pementasan tradisi lisan adalah baru, sehingga pementasan merupakan sumber inspirasi dalam seni, makna, nilai, efikasi sosial, dan dinamika tradisi serta menjadi ruang kreativitas baru.
Dengan demikian, konsep pementasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses pelantunan atau pengisahan yang dilakukan oleh seorang pelantun di hadapan penontonnya, dimana penonton juga ikut perpartisipasi dalam proses pementasan tersebut. Untuk lebih jelasnya Ruth Finnegan (1992: 91-111) kemudian menjelaskan beberapa unsur yang harus diperhatikan dalam suatu pementasan yaitu: (1) situasi dan tempat pementasan. Analisis mengenai situasi dan tempat pementasan akan diarahkan untuk dapat mengungkapkan berbagai hal yang mendukung pementasan bhanti-bhanti seperti kondisi sosial, budaya, politik, ekonomi yang ada dalam masyarakat pendukungnya. Konteks sosial itu tentunya berhubungan dengan penonton (audiens), pelantun (performer), maupun yang berhubungan dengan partisipans yang terlibat dalam pementasan bhanti-bhanti. Pascal Boyer (1990: 1-2) mengatakan bahwa penelitian antropologis harus mencakup ide-ide masyarakat, organisasi tempat tradisi lisan itu dipentaskan, dan juga berhubungan dengan keterlibatan emosi masyarakat dalam suatu pementasan tradisi lisan. (2) unsur performer (orang yang melakukan pertunjukan). Menurut Finnegan performer atau pelantun adalah orang yang melakukan pementasan. Dalam konteks, bhanti-bhanti performer atau pelantun adalah orang yang melantunkan teks-teks bhanti-bhanti yang meliputi penyanyi, pemukul gendang, dan pemukul botol, pemetik gambus, gitar dan pemain biola; (3) variasi sebagai reaksi dari penonton. Dalam konteks pementasan tradisi lisan sering kali terjadi tanggapan penonton, dan memungkinkan terjadinya variasi pementasan sebagai akibat reaksi dari penonton tersebut. Ini merupakan salah satu fokus kajian, mengingat pentingnya reaksi penonton dalam tradisi lisan yang tentunya akan mempengaruhi suatu komposisi skematik dan bentuk pementasan; (4) penonton dan partisan (pendengar dan orang-orang yang terlibat pertunjukan), yang dimaksud di sini adalah pendengar dan orang-orang yang terlibat dalam proses pementasan bhanti-bhanti, misalnya yang menyajikan air minum, teh, minuman keras, orang yang joget atau bandendang; (5) media (sarana dan prasarana yang digunakan, baik verbal maupun material; (6) bahan atau alat (yang meliputi seluruh alat yang digunakan dalam pementasan tradisi lisan bhanti-bhanti Wakatobi.


[1] Elizsbeth C. Fine (1984) yang menyebutkan tentang pementasan dalam tradisi lisan sebagai proses komunikasi sosial yang berbeda dengan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari.
[2] Dalam tulisannya Toward an Understanding of Storytelling Events Robert A. Georges (1969: 317) mengatakan bahwa (1) Setiap acara penceritaan tradisi lisan atau mendongeng adalah acara komunikatif; (2) Setiap acara penceritaan tradisi lisan adalah pengalaman sosial; (3) Setiap acara bercerita memiliki keunikan.
[3] Imran Teuku Abdullah, “Sastra Lisan”, materi penyerapan Ilmu kesusastraan dan Penyerapannya, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999).
[4]Bhongka randa berasal dari bahasa Wakatobi yang terdiri dari dua kata yaitu “bhongka” yang berarti bongkar, dan kata randa yang berarti dada (hati). Sehingga mantra bhongka randa merupakan jenis mantra yang biasa dibacakan oleh seseorang agar suaranya atau penampilannya di dengarkan oleh pendengar sehingga hatinya tertarik atas apa yang diucapkan atau dilakukan.

Tugas: 
Analisis pementasan tradisi lisan yang ada di daerah anda masing-masing sesuai dengan unsur-unsur pementasan sebagaimana telah dijelaskan di atas. !
Sistematika Makalah:
1. Latar Balakang
2. Rumusan Masalah
3. Tujuan dan Manfaat
4. Kerangka Teori dan Metode Penelitian
5. Pambahasan
6. Penutup
7. Daftar Pustaka


Tidak ada komentar: