Sabtu, 17 September 2016

TRANSFORMASI PERAHU LAMBO KE PEDAGANG KIOS DI KAWASAN MELANESIA




Bagian 1

              
  Tobelo, negeri perompak yang paling ditakuti beberapa abad silam, bagi siapa saja di pesisir Laut Banda. Serangan mendadak yang selalu dilakukannya, membuat negeri Tobelo sebagai negeri yang menakutkan. Namun, karena negeri ini berada pada pusat rempah-rempah dunia, maka semua orang pun tetap menghampirinya.
Akhir abad ke 19 dan sampai menjelang akhir abad dua puluh, ratusan perahu lambo lalu lalang dalam pelayaran di Nusantara timur, menghubungkan Indonesia timur sebagai pusat rempah dan Indonesia barat sebagai pusat industri. Kelapa, cengkeh, pala menjadi komoditas utama yang menjadi target siapa pun. Magnet bisnis bagi siapapun, VOC, perahu lambo (Wakatobi-Buton), Bugis, Mandar, Jawa, Melayu, Arab, India, dan China semua mengarah ke pusat rempah-rempah ini.
Kini Tobelo bukan lagi, negeri perompak, tetapi negeri peradaban yang belajar dari gesekan sosial tahun awal tahun 2000-an yang mendapatkan dampak dari kasus Maluku. Mereka akhirnya menyadari lebih memilih hidup damai daripada hidup bermusuhan. Sampai pada akhir tahun, 1980-an, perahu-perahu lambo masih memenuhi pelabuhan Tobelo, mengumpulkan rempaah-rempah, kopra dari pulau-pulau dan kampung-kampung di Halmahera Utara. H. La Tara, sesepuh Buton (Tomia) yang sudah lama di Galela mengungkapkan kisah kedatangannya di daerah ini hampir seratus tahun silam. Kenangannya kepada perahu lambo yang lalu lalang di perairan Maluku Utara. Bisnis yang dibangun hanya karena kepercayaan para pemilik rempah (kopra) kepada penakluk samudra di perahu karoro atau lambo.
Menjelang tahun 1980-an akhir, terjadi pergeseran pemikiran dari generasi perahu lambo. Berlayar dengan angin, menaklukan samudra adalah pelayaran yang penuh resiko dan penderitaan, bermandikan badai, berselimutkan angin dan beratapkan langit, adalah suasana yang hampir menghiasi setiap jejak waktu yang ada. Generasi juragan melihat penderitaan itu, kemudian menyekolahkan anak-anak mereka. “Sekolahlah Nak, jangan lagi kau jadikan gelombang sebagai bantal, biarlah ayah yang menjadikan semua ini sebagai gurat nasib yang telah ayah lalu selama bertahun-tahun”, kata salah seorang juragan perahu karoro. “Dengan sekolah, kalian dapat menikmati bantal dan kehangatan kasur, makan bersama anak istri setiap waktu, dan gelombang kalian bisa pikirkan sebagai sumber energei yang tentunya bukan meniup layar.
Anak-anak juragan dan sawi kini sekolah, perahu karoro sekarat, mati. Namun, anak-anak juragan itu tetap kembali ke negeri rempah, yang kini telah menjadi negeri harapan, bukan lagi negeri perompak. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Saleh Hanan mengatakannya bahwa, “Ketika datang ke Tobelo, di benak kita, masih terbenteng ketakutan sejarah. Karena kita datang ke negeri perompak, tetapi rupanya ketika kita tiba, kita justru menemukan negeri cinta.
bersambung.... 


1 komentar:

nusaantara mengatakan...

Bung Minta gambar perahu Lambo Wakatobi, layarnya masih berkembang.