Sabtu, 17 September 2016

SEHARI YANG MENGUBAH GALELA




Sumiman Udu dan Saleh Hanan bersama H. La Tara

Sore itu, pertemuan dengan Pak H. La Tara, mengisahkan banyak hal. Perjalanan hidupnya yang pernah dipenjara, karena di tuduh PKI, hingga peristiwa mengerikan. Peristiwa mengerikan itu, dimulai dari kisah meledaknya perahu Tomia di Perairan utara Halmahera. Untuk mengisahkan pertemuannya dengan H. La Tara, Saleh Hanan mengurainya dalam tulisan begini.

"Apa itu? Dentuman! Seseorang mencungkil silinder baja, bom bekas perang dunia kedua, salah dan fatal. Orang-orang perahu dari Tomia yang mencungkil, mengumpul dan berdagang bubuk mesiu bom sisa perang itu tercabik, roboh dalam satu letupan. Mesiu cungkilan, mata dagangan yang mengubah jalan perahu dari komoditi pertanian ke bahan peledak. Ledakan yang membuka mata ke Galela, petugas berdatangan. Perahu-perahu fenes merasa tertuduh, hilang nyali ke Galela. Harga kopra jatuh – Galela 1950.  Tahun 1954, 1959 beberapa perahu fenes masih masuk tapi tidak sepadat sebelum ledakan. Seperti kebiasaan menghindari banyak urusan dengan petugas, maka untuk sekian lama fenes sembunyi-sembunyi, jumlahnya terbatas, tentu waktunya terpangkas. Mereka berdagang batu gosok dan ditukar dengan harga murah, 1 rupiah tiap kilo gram, tidak cukup modal untuk membeli kopra. Meskipun begitu sampai tahun 1960-an, harga 100 kg kopra di Galele masih cukup untuk 100 kg beras.

Lalu prahara 1965 terjadi. Perahu fenes mengakhiri misi dagang di Galela. Orang-orang Buton dalam lingkaran perahu diincar sebagai kaki tanga PKI. Masa itu di tanah Buton sendiri sedang terjadi pembersihan dengan stigma terjadi penyelundupan senjata oleh partai terlarang ke Buton dan perahu layarlah media pengangkut senjata-senjata itu. Benangnya makin ‘merah’ : pelaku pencurian bubuk mesiu yang meledak beberapa tahun lalu adalah pelaut-pelaut Buton, setali sudah dengan stigma mobilisasi senjata. Rangkaian cerita yang makan korban. Tak tetlewati La Tara; dibui dengan tuduhan simpatisan partai terlarang. Cap yang sampai dirinya bebas tak pernah terbukti.
Pria kelahiran 1932 dari ayah Buton Tomia dan ibu pribumi Galele itu bahkan belum pernah ke Buton tetapi Tuhan menempatkannya lahir dalam keluarga yang berada pada lingkaran orang perahu dan pedagang kopra; lingkaran yang hanya kebetulan memiliki hubungan suku dengan orang-orang perahu pencuri mesiu. Lingkaran yang bulat dalam halusinasi tentara sebagai keluarga partai terlarang.

Orang tuanya berlayar ke Galela mencari kopra sebelum kemerdekaan. Lebih dari kopra, pelayaran dari Buton terutama perahu Tomia sebenarnya tarikan leluhur. Sumber-sumber sejarah menyebut nenek moyang orang Tomia yang bernama Si Panyong konon datang dari negeri Galele Tobelo.     

2000 pohon yang disebut sedikit
La Tara menanam 2000 pohon kelapa, jumlah yang disebutnya hanya sedikit. Panen pertama tahun 1965, di masa yang sulit karena perahu fenes yang biasa membeli kopra tidak datang lagi. La Tara dan penduduk Galela lainnya bersatu mengumpulkan kopra dan memanggil kapal yang akan mengangkut kopra mereka.
Ledakan mesiu telah mengubah Galela. Perahu-perahu Mandar yang biasa menjual barang juga jarang datang. Para pelaut lebih mudah ke Tobelo membeli kopra dan berdagang. Meski  berada dalam masa sulit itu, negara masih dianggap bertanggung jawab atas petani kelapa. Secara regular Yayasan Kopra mewakili pemerintah turun memeriksa timbangan agar tidak merugikan petani. Cara melindugi petani yang sampai tahun 2015 ini ditegaskan La Tara dengan bahasa : tidak pernah lagi sama sekali.

Sekarang timbangan sepenuhnya diurus pedagang. Dan petani kelapa sepertinya tak bisa berbuat apa-apa.

(kenangan H. La Tara saat bertemu Saleh, Sumi, Satrio, Yanse dan Suwarno di desa Togawa, Galela 25 Maret 2015).   

Baca Juga:
Benteng Tindoi: Pusat Konservasi Hutan Wangi-Wangi

Tidak ada komentar: