Selasa, 20 Oktober 2015

Tradisi Duata dan Keberlangsungan Kehidupan Suku Bajo Di Wakatobi


  Oleh: Sumiman Udu

Keberadaan Orang Bajo di Wakatobi, sudah hampir tuanya dengan perkembangan manusia di Kawasan ini. Kalau merujuk kepada Hikayat Negeri Buton atau Hikayat Si Panjonga, maka Suku Bajo telah menjadi orang tempat bertanyanya orang-orang perahu yang memuat rombongan Si Panjongan setelah mereka ditimpa oleh angin ribut yang dasyat. Berdasarkan cerita tersebut, maka sebenanya orang bajo, sudah datang jauh sebelum kedatangan orang-orang Melayu di Kepulauan Wakatobi dan Buton pada Umumnya. Mereka telah menjadi penunjuk jalan atas kapal Si Panjongan dan teman-temannya. 

Peristiwa itu, dapat dijadikan rujukan keberadaan mereka di Wakatobi Buton pada umumnya. Kalau melihat tentang keberadaan masyarakat Bajo di dalam Kesultanan Buton, maka mereka sesungguhnya adalah salah satu masyarakat Buton yang diakui keberadaanya. Di Beteng Buton, dikenal adanya Lawana Wajo. Itu artinya, bahwa suku Bajo memiliki juga ruang di dalam kesultanan. 


Sebagai masyarakat laut, masyarakat yang akrab dengan laut, mereka pada awalnya telah hadir lebih dulu di kepulauan ini, sehingga mereka tidak pernah bersentuhan dengan daratan, atau mungkin pada awalnya mereka tidak tertarik dengan tanah (ruang). Ruang mereka adalah lautan dan samudra, yang dapat dilayari dengan sampan (rumah Bajo) yang ada di sampan. Seks, cinta, kematian, ritual, semuanya dilakukan di dalam sampan. Itu, menjadi warna kehidupan mereka selama berabad-abad, khsususnya masyarakat bajo yang ada di Wakatobi.

Sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan, dekat dengan laut, hidup dari laut, serta mati di laut, masyarakat Bajo memiliki tradisi Duata yang dilakukan untuk pengobatan, dan yang paling penting adalah untuk menghargai laut, menghargai nilai-nilai kemusiaan dan lingkungan. Dari beberapa blog orang bajo, ditemukan satu penjelasan mengenai tradisi duata. Salah satunya adalah Blog http://suarakomunitas.net/baca/17394/duata--prosesi-pengobatan-dari-suku-bajo/ menuliskan bahwa secara etimologi, kata duata artinya dewata. 

Dalam keyakinan mereka (masyarakat Bajo), Duata adalah dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional Suku Bajo untuk mengobati orang yang sakit keras dan tidak dapat disembuhkan dengan cara lain, termasuk pengobatan medis.

Dalam prosesi Duata itu, sejumlah tetua adat berkumpul di satu ruang pengobatan berukuran sekitar 2 meter persegi. Ada hiasan janur kuning di bagian atas. Ada pula Ula-Ula, bendera yang merupakan lambang kebesaran Suku Bajo yang diyakini membawa berkah. Tetua adat yang didominasi perempuan lanjut usia itu meramu berbagai jenis sesaji ritual. Ada beras warna-warni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang. Ini melambangkan warna-warni sifat manusia. Ada pula pembakaran dupa yang mengharumkan sekitar pelaksanan kegiatan

Setelah semuanya teracik sebagai mana kebiasaan sebelumnya, orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan. Demikian dengan tabuhan gendang. Di barisan terdepan, ada delapan orang gadis cantik berpakaian adat yang tak hentinya-hentinya menarikan tarian Ngigal. Di atas perahu semua peserta juga ada yang menari Ngigal untuk menyemangati orang yang diobati agar menemukan semangat hidupnya lagi. 
Menurut cerita, prosesi ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Masyarakat Bajo percaya setiap kelahiran anak pasti bersama kembarannya yang langsung hidup di laut. Jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercaya bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya yang disebut “kaka” dan dibawa ke laut. Sebagian lagi diambil oleh dewa dan dibawa naik di langit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan ke langit.

Usai pelarungan, si sakit dan tetua adat kembali di tempat semula. Orang yang sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang (mayah) yang berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubuhnya dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit. Tetua adat juga akan mengikatkan benang di lengan si sakit sebagai obat. Konon benang ini berasal dari langit ke tujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembut atau tidak.

Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat di atas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya tetua adat yang  membawa keris  terhunus mengitari si orang sakit itu beberapa kali. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan. Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si sakit.

Prosesi itu, sebenarnya bukan hanya bentuk pengobatan tradisional Orang Bajo, tetapi sekaligus kesadaran kolektif mereka tentang laut, tentang rumah mereka. Sehingga jika kita memikirkan tentang Keberlangsungan kehidupan Suku Laut di Wakatobi dan dunia Internasional, maka diperlukan langkah-langkah strategis yang diambil oleh Pemerintah, Masyarakat, akademisi, Univeritas, harus melihat suku Bajo sebagai salah satu entitas kebudayaan yang ada di Indonesia.

Kalau dalam Seminar Bajo Internasional yang dilaksanakan di Massara dan Wakatobi tanggal 20-23 Oktober 2015 ini dipertanyakan kehadiran negara dalam pembangunan masyarakat Bajo, maka sesungguhnya negara sudah kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini hadir di Bajo, khsususnya pada masyarakat Bajo Wakatobi. Tetapi pertanyaan kemudian yang akan muncul adalah mengapa orang Bajo seolah mereka tetap tidak berdaya, seolah negara selalu absen? Jawaban sederhananya adalah sebenarnya yang terjadi selama ini adalah, uang sudah milyaran yang diarahkan untuk pembangunan masyarakat Bajo di Wakatobi, tetapi mengapa masih tetap dianggap absen, karena itu persoalan paradigma pembangunan yang menganggap bahwa Orang Bajo itu sebagai Objek. Mereka hanya dijadikan sebagai target pelatihan, target pemeberdayaan, mereka hanya dilihat sebagai suatu masyarakat yang miskin finansial, masyarakat yang tidak berdaya secara ekonomi. Tetapi sesungguhnya yang terjadi di Wakatobi dan masyarakat Bajo pada khususnya adalah, dari tiga modal pembangunan yaitu (1) modal kultural, (2) modal sosial, dan (3) modal finansial, maka sentuhan untuk masyarakat Bajo selama ini baru pada tataran sentuhan modal Finansial. Aspek modal kutural dan modal sosial belum maksimal di lakukan intervensi, sehingga pada tahun 2013 yang lalu, ketika selesai kelompok-kelompok nelayan itu menemukan sendiri, apa masalah mereka sendiri melalui proses perenungan dan refleksi kelompok, maka mereka menemukan beberapa hal yang penting untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah Kabupaten Wakatobi, Provinsi dan Jakarta, yaitu mereka menemukan bahwa masalah yang membuat mereka tidak berdaya adalah (1) memudarnya nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan kesucian, tanggung jawab, kebersamaan, solidaritas, kejujuran, (2) akibat dari memudarnya nilai-nilai kultural tersebut, maka berimplikasi pada modal sosial mereka yaitu (1) kerja sama menjadi sesuatu yang sulit dilakukan karena saling mengkhianati, sering kali menggerogoti kelompok-kelompok yang ada di sana, (2) Saling tidak percaya atau saling curiga menjadi jurus andalan setiap anggota kelompok.ampak dari hilangnya dua modal tersebut, berimplikasi pada gagalnya pembangunan yang bertumpu pada modal finansial, bantuan langsung tunai, bantuan kelompok, berupa jaring, (termasuk pada masyarakat wakatobi di darat) kasus ini menjadi tidak berjalan. Masyarakat justru senang negara hadir dalam bentuk uang tunai, lalu hari ini kita pertanyakan peran negara bahwa negara absen?
Setelah selesai pelatihan, mereka menyadari bahwa kelemahan setiap kelompok adalah (1) tidak adannya saling kepercayaan, (2) tidak adanya pembagian kerja yang adil, (3) tidak adanya pembagian hasil yang adil.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah lewat mana negara bisa hadir di dalam masyarakat (bajo) dan masyarakat Indonesia pada umumnya? Jawaban sederhananya adalah saya teringat pada jawaban salah seorang Doktor Bidang Antropologi UGM dalam ujian terbuka, ketika waktu itu ditanya oleh seorang penguji, "Seandainya anda ditelopon oleh Presiden Jokowidodo tentang bagaimana strategi pembangunan Papua di massa yang akan datang?" tanya penguji. Lalu sang Doktor baru yang menulis tentang orang Papua dalam kapitalisasi Global itu menjawab, bahwa "Andaikan aku dimintai saran oleh Prseiden, maka saran saya adalah untuk membangun masyarakat Papua, maka kita harus mengenal masyarakat Papua lebih dekat, oleh karena itu, saya akan sarankan prseiden agar ia menugaskan para Ahli Antrolopog untuk datang membangun Papua, sehingga yang berubah adalah Bagaiamana memahami cara berpikir orang Papua, bagaimana membangun sebuah nilai-nilai pada masyarakat Papua".

Dalam kasus, Bajo pada umumnya, akan sama dengan absenya negara pada hampir semua suku-suku bangsa di Indonesia. Mengapa? sesungguhnya negara tidak pernah absen, termasuk dalam pembangunan Bajo di Wakatobi, Negara hadir Kok, melalui Kabupaten Negara Hadir, Melalui Bantun langung tunia (BLT) negara hadir, andaikan negara ini seperti anak SD, maka teriakannya kehadirannya mungkin seperti sangkakala yang ditiup oleh Malaikat. Tetapi mengapa negara masih dianggap gagal, ya, karena paradigmanya yang perlu diperketat lagi. Para teknokrat, sudah saatnya menggunakan hasil-hasil kerja pada antrolog untuk dijadikan dasar dalam pembangunan modal kultrural dan modal sosial dalam suatu kawasan. Selama ini terbalik, dua modal pembangunan itu belum disentuh, eh justru modal finansial yang terus menerus diturunkan. Negara akhirnya gagal dalam mambangun masyarakat, tetapi justru negara sukses menciptakan masyarakat konsumtif dan ketergantungan pada bantuan. Akibatnya negara menanggung utang, yang kelak akan dibebankan pada generasi mendatang. Universitas, juga masih dianggap gagal, keterpisahan penelitian dan pengabdian yang dilakukan hanya dalam kepentingan laporan turut juga menyumbangkan kegagalan negara sebagai keabsenannya di dalam pembangunan masyarakat, termasuk masyarakat Bajo.

Sebagai contoh, beberapa generasi Bajo yang suskes sampai di perguruan Tinggi, (s1, s2, dan s3) banyak yang sukses dan bahkan mereka lebih sukses dari orang darat. Maka ternyata masalah utama dalam diskusi tentang keberlangsungan hidup orang Bajo itu akan sama dengan jawaban ketika kami di Wangi-Wangi Timur (Longa, Mata hora) yang memiliki nama panggilan yang hina seperti "Pandola Longa, "Wembe Goro-goro mina di longa". Kehinaan itu, membuat kami generasi mudanya bertemu pada tahun 2002 yang lalu. Di dalam pertemuan itu, isunya hanya dua, (1) mengapa kita terhina dengan dua hinaan itu dari masyarakat Togo (kota)? (2) Mengapa orang Tua kita tidaak berdaya? maka seluruh generasi Longa Waktu itu berpikir dan setiap orang menuliskan jawaban atas pertaanyaan yang menyangkut harga diri orang longa sebagai Wembe Goro-goro atau Kambing berbulu (bau dan Busuk) segitu kira-kira perasaan mereka yang terhina dan tek berdaya waktu itu. Atau pandola longa (terung dari longa) yang ditafsir sebagai hinaan oleh generasi longa adalah sayur, lembek dan murah, tak bernilai.

kemarahan generasi muda Longa itu diskperesikan ke dalam bentuk kata, mengapa kita terhina dan miskin. Semua generasi muda yang hadir, harus maju ke papan untuk menulis menurut sudut pandang mereka. Full papan itu, lalu pertnyaan pertama setelah mereka semua diam adalah "Coba cari masalah yang dengan terhapusnya masalah itu, semuanya masalah akan memudar, dan keterhinaan akan kita sulap menjadi kebanggaan' semua terdiam dan berdiri seorang pemuda dan menghapus, masalah yang tidak penting. Lalu seorang gadis datang menunjuk satu kata "Kebodohan", semua mata tertuju pada kata itu. Lalu semua sepakat, kajian apapun, kata kunci utamanya adalah kita harus menghapuskan kebodohan dari Wangi-Wangi Timur.

Maka sejak saaat itu, terucaplah Ikrar "Wangi-wangi Timur baru berbasis SDM", dimana semua generasi muda Wangi-Wangi Timur Baru harus saling membantu dalam membangun SDM. Maka kemduian disosialisasikan, kemasyarakat. Terbangunlah SD, SMP dan SMK di Wangi-Wangi Timur yaitu (SMP Waopu jenggo, (SMK Unggulan Wakatobi, dan SD Topanuanda) semuanya dibangun atas Swadaya masyarakat. Berbentu yayasan Wakaf yang merupakan milik semua masyarakat Wangi-Wangi Timur Baru.

Dalam jangka 12 tahun lebih, hinaan masih tetap ada, tetapi Wangi-Wangi Timur Baru menghasilkan Puluhan Sarjana, Beberapa Orang Master dan Beberapa orang Doktor, dengan target bahwa tidak boleh lagi ada generasi Wangi-Wangi timur Baru yang tidak tamat SMA atau SMK. Semua orang tua komitemen mencari uang, untuk menyekolahkan anak-anak mereka, karena hanya dengan Pendidikan yang dapat menghapus Hinaan Wembe Goro-goro dan Pandola Longa itu dari Bumi Wangi-Wangi Timur, selama berabad-abad terhina dan miskin. Padahal pada tahun 2001, seorang kerabat dari Raha datang ke Wangi-Wangi Timur untuk mencari tamatan SMA yang mau bekerja di PT POS, kami tidak dapatkan satu orang pun yang berijazah SMA atau sederajat. Mengapa karena sekolah jauh, mereka memilih untuk menjadi ABK kapal ikan di Malaysia.

Bagaimana dengan Bajo, apakah bisa mengambil terobosan kebudayaan yang dibangun di Wangi-Wangi Timur Baru? Walaahu alam. Di sini pemerintah harus hadir, karena berdasarkan hasil wawacanra dengan beberapa pemuda Bajo yang ada dalam Bajo bangkit, sesungguhnyan  mereka juga ingin sekolah. "Kami juga ingin sekolah seperti Presiden Bajo, tetapi kami tidak punya uang. Di sini Negara akan berterik seperti Guntur dan kilat di langit Wakatobi "Hadirrrrrrrrrrr Pak, kami siapkan Beasiswa untuk generasi Bajo. Kami Juga akan memberikan dana Penelitian Sosial dan Antropologi untuk membedah masalah Kultural dan Sosial di bajo, kami juga akan siap memberikan dana pendampingan yang akan dikelola secara berkelanjutan. Saat itu negara tidak akan pernah absen lagi. Atau Kalau meminjam istilahnya Lucian Goldmman "The Hiddeng God" atau dalam kasusu Bajo atau masyarakat tertinggal pemerintah selalu dituduh bersembunyi atau dalam seminar Bajo seorang antrolog Unhas Tasrifin Tahara Menggunakan hilangnya peran pemerintah dalam pembangunan masyarakat Bajo di Wakatobi.
Lalu, bagaimana negara harus hadir? Negara harus hadir dengan mengubah sudut pandangnya terhadap masyarakat termasuk masyarakat Bajo. Pertama, negara sudah saatnya untuk melakukan konsep pembanguan bekerja sama dengan univeristas untuk melakukan pendampingan, dan penguataan kelembagaan. Orang Bajo sudah saatnya diberikan beasiswa hingga keperguruan tinggi, kelompok-kelompok nelayan, petani (didarat) pengrajin sudah saatnya mendapatkan pendampingan dari birokrasi dan perguruan tinggi. Sehingga mereka tetap memiliki jalur dalam proses penguatan kelembagaan dan paling penting adalah sudah harus diarahkan kepada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)nya.

Mungkin, kita bisa belajar dari bagaimana pembangunan Kelembagaan Jagung di Lampung, di Gorontalo, atau kita belajar bagaimana pembangunan Koperasi di Banglades, saya kira inti dari pembangunan mereka adalah membanguan kelembagaan dan menghadirkan modal kultural dan modal sosial sebagai landasan pembangunan kelembagaannya.

Dalam konteks Masyarakat Bajo Wakatobi, bagaimana kelangsungan hidup mereka? pertanyaan yang bagus, di dalam Seminar internasional itu. Maka jawabannya adalah kehadiran negara dengan mambaw paradigma baru, pembanguan berbasis kultural dan sosial, yang akan menjadi landasan pembagunan ekonomi (finansial). Dengan menghidupkan kembali tradisi Duata, orang bajo akan memahami laut, memahami hakikat dirinya, memahami konteks sosialnya, sehingga akhirnya mereka dapat hidup dalam suatu kelompok yang memiliki mimpi bersama, memiliki cara pandang yang sama tentang laut.

Walahu alam, semoga dapat menjadi bahan Diskusi untuk menemukan model Pembangunan Masyarakat Bajo ke depan

Baca juga 
Pentingnya Kesehatan 

Tidak ada komentar: