Jumat, 30 Oktober 2015

SASTRA LISAN KABHANTI: MEMORI KOLEKTIF MASYARAKAT WAKATOBI DARI MASA KE MASA



Oleh:
Sumiman Udu[1]

ABSTRAK
Sastra lisan kabhanti merupakan sastra tradisi yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatobi. Perkembangan sastra lisan dari waktu ke waktu selalu mengalami pergeseran,  seiring dengan perkembangan zaman dari masyarakat  pendukungnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan perkembangan memori kolektif masyarakat Wakatobi di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang tersimpan dalam sastra lisan kabhanti.
Penelitian ini menggunakan paradigma etnografis sehingga pengumpulan dan pengolahan data menggunakan prinsip etnografis. Penggunaan paradgima ini digunakan untuk mengungkap berbagai memori kolektif yang ada di dalam masyarakat pendukung kabhanti dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tradisi lisan kabhanti merupakan memori kolektif masyarakat Wakatobi yang terus berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya. (1) Di masa lalu, hampir seluruh kehidupan masyarakat Wakatobi menggunakan tradisi lisan kabhanti sebagai bagian dari aktifitasnya, (2) saat ini, sastra lisan kabhanti masih tetap menjadi memori kolektif masyarakat yang menyimpan berbagai nilai-nilai masyarakat Wakatobi, (3) melalui sastra lisan kabhanti, banyak generasi Wakatobi yang mampu melahirkan karya-karya kreatif dengan memanfaatkan perkembangan teknologi, (4) di masa mendatang, diharapkan sastra lisan kabhanti masih tetap menjadi media memori kolektif masyarakat pendukungnya, yang tetap menyimpan nilai-nilai kultural, disisi yang lain, sastra lisan kabhanti di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi media pengembangan sastra lisan yang efektif karena sastra lisan kabhanti memiliki fleksibiltas yang tinggi untuk menerima setiap perubahan masyarakatnya.


Kata Kunci: sastra lisan, kabhanti, memori kolektif, masyarakat Wakatobi, masa ke masa





SASTRA LISAN KABHANTI: MEMORI KOLEKTIF MASYARAKAT WAKATOBI DARI MASA KE MASA
A.     Pengantar
Sastra lisan kabhanti merupakan sastra tradisi yang selama ini tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat Wakatobi. Perkembangan sastra lisan dari waktu ke waktu selalu mengalami pergeseran,  seiring dengan perkembangan zaman dari masyarakat  pendukungnya (Tuloli, 1991: 2). Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan perkembangan memori kolektif masyarakat Wakatobi di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang tersimpan dalam sastra lisan kabhanti[2]. Sehubungan dengan itu, Jan Vansina (2014: vii) mengemukakan bahwa ingatan manusia (memori) adalah salah satu keajaiban alami dunia, dan dengan (perluasan ingatan manusia) begitu juga sejarah lisan, dan khususnya tradisi (sastra) lisan.
Sebagai  rumah kecil kebudayaan Wakatobi, sastra lisan kabhanti selalu hadir sebagai tempat penyimpanan memori kolektif masyarakat pendukungnya. Melalui sastra lisan kabhanti masyarakat dapat mempelajari masa lalunya, mengetahui apa yang terjadi saat ini, dan dapat pula mempelajari berbagai impian masyarakatnya di masa depan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Silver (1979: 267) yang mengatakan bahwa memahami kesenian berarti bukan hanya berupaya untuk memahami hakikat pengalaman artistik dan informasi yang disampaikannya, tetapi juga kita harus memahami kerja-kerja subtantif proses seni itu sendiri. Sebuah seni harus dimaknai dalam dua konteks yaitu seni itu sendiri dan proses-proses kultural yaitu penggunaan makna-makna dan penghargaan terhadapnya. Sumiman Udu (2015: 219) mengatakan bahwa sastra lisan kabhanti berisi tentang tiga ruang waktu, yaitu (1) sebagai refleksi dari masyarakatnya (masa lalu), (2) merefleksikan kehidupan masyarakat pendukungnya saat ini, dan (3) sastra lisan kabhanti memuat tentang proyeksi dari masyarakat pendukungnya.  Dengan demikian, membongkar sastra lisan kabhanti sebenarnya adalah membongkar memori kolektif masyarakat Wakatobi yang meliputi (1) masa lalu mereka, (2) saat ini, (3) maupun apa yang mereka impikan di masa yang akan datang.
Untuk membogkar berbagai memori kolektif masyarakat Wakatobi di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang tersimpan dalam sasatra lisan kabhanti memerlukan suatu pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan paradigma etnografis sehingga pengumpulan dan pengolahan data menggunakan prinsip etnografis. Penggunaan paradgima ini digunakan untuk mengungkap berbagai memori kolektif yang ada di dalam masyarakat pendukung kabhanti dari waktu ke waktu.
Radclifffe Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu memandang hal-ikhwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley, 1997: xviii). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way of life masyarakat tersebut. Menurut pandangan dua antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan wawancara, namun hendaknya berada bersama informan sambil melakukan observasi. Selanjutnya, perkembangan pemikiran dalam paradgima ini kemudian memusatkan usahanya untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (Spradley, 1997: xix). Analisis dalam penelitian ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam proses penelitian ini.
Sehubungan dengan itu, Spardley mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang diamati dalam etnografi. Selain itu juga sebagai proses belajar yang digunakan untuk megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan menyusun strategi perilaku untuk menghadapinya. Dalam pandangannya ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi sebagai metode untuk meneliti “Other culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima, prinsip, yakni: (1) Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; (2) mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut, (3) misalnya 12 langkah pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley; (4) setiap langkah pokok dijalankan secara berurutan; (5) praktik dan latihan harus selalu dilakukan; (5) memberikan problem solving sebagai tanggung jawab sosialnya, (6) bukan lagi ilmu untuk ilmu.
Inti dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam artikel ini, Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang dikatakan orang. Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan pemikiran masyarakat yang sedang diamati.
Dengan menggunakan paradigma etnografi, maka  hasil penelitian ini meliputi (1) Sastra Lisan kabhanti sebagian besar berisi mengenai memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang berbagai perstiwa, nilai-nilai yang sudah pernah ada  di masa lalu; (2) sastra lisan bhanti-bhanti atau kabhanti memuat berbagai memori kolektif mengenai masa kini, (3) sastra lisan bhanti-bhanti menjadi sumber inspirasi bagi generasi; (4) sastra lisan bhanti-bhanti menyimpan tentang berbagai proyeksi masyarakat pendukungnya.
B.     Sastra Lisan Kabhanti sebagai Memori Kolektif Masa Lalu
Sebagai sastra lisan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, sastra lisan kabhanti merupakan unsur budaya masyarakat pendukungnya, karena menyimpan berbagai pemikiran, perasaan maupun tindakan yang mereka lakukan. Sehingga memperlajari sastra lisan kabhanti berarti membongkar kesadaran masyarakat pendukungnya, karena kabhanti sendiri merupakan memori kolektif dari masyarakatnya.
Sastra lisan kabhanti telah tumbuh dan berkembang dan telah mewariskan memori kolektif masyarakat Wakatobi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hampir setiap peristiwa penting dalam masyarakat Wakatobi tersimpan dengan rapi di dalam sastra lisan kabhanti.  Peristiwa diaspora masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku (Udu, 2010: 149; Udu, 2015), masih tersimpan secara rapi di dalam teks-teks kabhanti. Teks kabhanti yang menjelaskan bahwa /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/ “masih ada pulau Buru dan Ambon” merupakan bukti bahwa proses diaspora masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku tersimpan dengan rapi di dalam sastra lisan kabhanti. Berdasarkan teks sastra lisan kabhanti di atas, menunjukan bahwa memori kolektif  itu dapat benar adanya sebagai sebuah refleksi atau peristiwsa yang dulu pernah terjadi di dalam masyarakaat Wakatobi.  Dimana pada masa dahulu, masyarakat Wakatobi telah menjadikan pulau Buru dan Ambon sebagai sasaran perantauan mereka[3]. Ini juga dapat dilihat dari keberadaan masyarakat Buton di kepulauan Maluku, khususnya di pulau Buru bagian selatan dan pulau Seram, dimana masyarakat  Wakatobi – Buton saat ini memiliki komunitas yang besar di pulau Seram[4]. Bahkan Rahman Hamid mengatakan bahwa dewasa ini banyak masyarakat Wakatobi khususnya Binongko banyak mendiami Ambon dan Seram (2011: 216-217). Bahkan dalam beberapa  tulisan, Abdul Rahman Hamid menemukan pernyataan Ziwar Effendi bahwa “Pendatang yang cukup banyak jumlahnya dan hampir ada di setiap pelosok di daerah ini (Kepulauan Maluku) adalah orang-orang dari pulau Buton khususnya pulau Binongko. Mereka adalah golongan penduduk yang bakal banyak bicara di masa yang akan datang dalam menentukan keadaan politik, ekonomi dan sosial di daerah Maluku” (dalam Hamid, 2011: 217).
Di samping itu, untuk mengingat peristiwa masalah perbatasan beberapa  kadhia[5] atau wilayah adat di Wakatobi, mereka mereka abadikan juga di dalam sastra lisan kabhanti. Hal ini sebagai mana dilihat  dalam teks kabhanti berikut. /lai Wanse lai Mandati/ “sejauh Wanci sejauh Mandati” /dhi endapo na ngkaselapa/ “di Endapo[6] perbatasannya”. Memori kolektif ini telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui sastra lisan kabhanti masyarakat Wakatobi dapat mengetahui berbagai peristiwa masa lalu. Karena melalui tradisi kabhanti mereka menyimpan seluruh ingatan budaaya tentang masa lalu mereka. Jan Vansina (2014: vii) mengemukakan bahwa sastra lisan atau sejarah lisan merupakan supermaket informasi masa lalu yang begitu kaya, dan tidak dipercaya oleh sejarahan, tetapi sebagai kesenian tradisional yang selalu dipentaskan, maka itu akan sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya.

Kearifan Lokal Masyarakat Wakatobi 
Sebagai sastra lisan, kabhanti telah membuktikan diri sebagai memori kolektif berbagai kehidupan masyarakatnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh La Ode Taufik bahwa pementasan kabhanti dapat memiliki dampak positif dan  negatif  dalam masyarakat Wakatobi. Melalui teks kabhanti /te po’o bula dhi bhaobhe/ “mangga albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena di remas-remas” dan /teloka mepanda dhi bhira/ “pisang pendek di Bhira” /nobungku’e ntepepu’uno/ “dibungkukan oleh jantungnya”. Dua bait kabhanti tersebut dalam konteks pementasan kabhanti dalam bentuk pobhanti dimaknai oleh pelantun kabhanti dari Po’okambua bahwa /te po’o bula dhi bhaobhe/ “mangga albino di Bhaobhe[7]” mangga putih tersebut sebagai gadis putih, dan mangga itu dimaknai sebagai buah dada, maka masak karena di remas-remas. Sehingga teks kabhanti tersebut melahirkan ketersinggungan, kampung. Lalu dalam jawaban mereka, /teloka mepanda dhi bhira/ “pisang pendek di Bhira” /nobungku’e ntepepu’uno/ “dibungkukan oleh jantungnya” merupakan jawaban yang kurang lebih memiliki makna yang tidak sesuai dengan tata nilai masyarakat Wakatobi. Pisang pendek diasosiakan sebagai gadis kecil dan pendek yang ada di Bhira di bungkukkan oleh buah dadanya.
Dua teks di atas kemudian menjadi memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang acara pobhanti’a[8]  tersebut sebagai konteks pementasan sastra lisan kabhanti yang berakhir kacau. Menurut La Ode Taufik teks-teks tersebut akan mengantarkan kita pada memori kolektif dimana sastra lisan kabhanti sebagai media pengungkapan pikiran dan perasaan muda-mudi Wakatobi sampai dengan tahun 1960-an. La Moane (47) tertawa saat mendengarkan teks kabhanti di atas, karena pikirannya langsung terkoneksi dengan peristiwa atau referen buah dada yang dijadikan sebagai sekuen penting sekaligus  sebagai pemaknaan yang mengundang pertengkaran dalam pementasan sastra lisan kabhanti di tahun 1960-an. “Kasus itu sangat lucu, dan setiap orang melantunkan teks kabhanti tersebut, langsung teringat dengan peristiwa tersebut[9].
Demikian juga, ketika teks kabhanti /timbangi la bhonto timbangi/ “renungkanlah la bhonto renungkanlah” /te togo nolingka-lingkamo/ “daerah sudah mulai miring” merupakan memori kolektif masyarakat Wakatobi yang berisi tentang model kepemimpinan masa lalu. Menurut Ediarto Rusmin kepemimpinan sara Mandati memiliki sistem yang menarik untuk dihidupkan kembali. Karena kesalahan seorang pemimpin dapat dikritik melalui teks kabhanti atau bhanti-bhanti yang dilantunkan oleh masyarakat di halaman rumah seorang pejabat[10]. Jika ada seorang masyarakat yang menyanyi sambil lewat di halaman rumah seorang pemimpin, maka itu adalah bentuk kritik kepada kepemimpinan yang sedang berlangsung. Demikian juga dikatakan oleh Agung, bahwa ketika dalam tradisi welia[11] terjadi pengangkatan pejabat yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan harapan masyarakat banyak, maka masyarakat akan keliling kampung dan menyanyikan teks kabhanti di atas. Bentuk protes ini kemudian tersimpan dalam memori kolektif masyarakat Wakatobi.
Selain, hal-hal publik, sastra kabhanti juga memuat tentang aspek seksualitas dalam masyarakat pendukungnya. Teks kabhanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dhempa merupakan salah satu memori kolektif masyarakat Wakatobi Buton tentang seks. Masyarakat Buton dapat belajar tentang seks melalui naskah tersebut. Mulai dari memilih calon istri, waktu menebas, waktu menanam, dan waktu merawat semua dijelaskan dengan baik dalam naskah tersebut (Rusdin, 1998; Udu, 2009: 257-272).
Dengan demikian, dari beberapa peristiwa yang terjadi di masa lalu, selalu diawetkan dalam teks sastra lisan kabhanti Wakatobi. Ini menunjukan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan salah satu media penyimpanan memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang masa lalu mereka. Oleh karena itu, mempelajari sastra lisan kabhanti sebenarnya adalah memperlajari kebudayaan masyarakat Wakatobi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Greerzt (1992: 109) bahwa pada prinsipnya antropologi merupakan studi mengenai adat-istiadat,  kepercayaan-kepercayaan, pranata-pranata, yang semua itu berarti bahwa itu mempelajari tentang pikiran. Sehingga mempelajari sastra lisan kabhanti sebenarnya adalah mempelajari sistem kebudayaan masyarakat pendukungnya.
C.     Sastra Lisan Kabhanti dan Memori Kolektif  Saat Ini
Keberadaan sastra lisan kabhanti di dalam masyarakat Wakatobi saat ini merupakan salah satu ruang ekspresi pikiran dan perasaan masyarakat pendukungnya. Berbagai peristiwa direfleksikan oleh masyarakat dalam bentuk teks-teks kabhanti. Ini menunjukan bahwa secara kultural, kabhanti merupakan sejarah yang hidup, atau sastra yang hidup yang selalu terus menerus berproses merefleksikan berbagai kesadaran kolektif masyarakatnya. Namun sebagai sastra lisan, kabhanti juga memuat mimpi-mimpi individual, atau pengalaman-pengamalan individual yang memiliki suatu struktur yang berarti, artinya bahwa fakta-fakta itu memiliki struktur dan makna tertentu sebagai mana dikemukakan oleh Lucian Golmand (Faruk, 1999: 12-13) bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti, karena fakta-fakta kemanusiaan tersebut merupakan respon-respon dari subjek kolektif atau individual atau dengan kata lain, fakta-fakta tersebut merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan lebih baik dengan dunia sekitarnya (Goldmann, 1981: 40).
Sebagai sastra lisan yang hidup, terkadang kabhanti merefleksikan pengalaman pribadi dari pelantunnya sendiri tentunya bukan hanya merefleksikan hastrat individunya, tetapi juga merupakan suara dari masyarakatnya atau subjek kolektifnya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam teks kabhanti yang dilantunkan oleh La Mbongo yang mengekspresikan kisah cintanya dengan teks /nolinomo na mpadha kuru/ “sudah sunyi pada kuru” /noramemo na mpada ue/ “sudah ramai pada ue”. Mendengarkan teks tersebut, beberapa penonton langsung berteriak histeri, ini disebabkan karena mereka semua langsung teringat dengan kisah perkawinan pelantun. kegagalannya dalam membina rumah tangganya di Pada kuru direfleksikan dalam teks di atas.
Ini menunjukan bahwa sebagai sastra lisan, kabhanti merupakan karya sastra yang berperan dalam merekam berbagai peristiwa masa kini.  Di satu sisi, proses pewarisan akan berlangsung dengan cepat. Kisah cinta seorang pengusaha yang merantau puluhan tahun ke Bangka Belitung dan kemudian sukses. Saat kembali ke Wakatobi ia mengumpulkan seluruh keluarganya dalam acara doa syukuran. Ketika La Ode Kamaluddin melantunkan teks kabhanti /kubhali nunsepe naku/ “sewaktu kecil (miskin) kau buang aku” /Kuto’oge nu Sinta naku/ “ketika aku besar (kaya) kau sayang aku” membuat sentak kaget seluruh keluarganya yang hadir. Teks di atas mengingatkan mereka semua pada perilaku mertua perantau itu yang sangat menghina keberadaan anak mantunya sewaktu miskin dulu. Disaat miskin seseorang dapat diabaikan begitu saja oleh keluarganya. Sementara ketika seseorang itu sukses ia langsung dipuja dan dimanja. Dalam teks nyanyian rakyat Wakatobi yang berjudul kilua dinyatakan bahwa /wa ina na indho ngkiluasu/ “ibu aku hidup yatim piatu” /naposalasu ngkene mia/ “aku berbeda dengan orang” /te sama toumpa/ “pesan seperti apa?” /na ako kumentu/ “yang akan kukejar” /ako kupokana kemia/ “supaya aku dapat sama dengan orang” /te namisi nungkiua’a/ “Perasaan diwaktu yatim piatu” /mou te tuhanto no sepe/ “Walau keluarga dapat menjauh” /mbea’e kaasi nasumpaga numata/ “tidak ada kasihan tempat yang menutup mata” /mbea satompa sapuria/ “tidak ada satupun harapan” /wa ina na idho ngkiluasu/ “Ibu betapa aku hidup yatim piatu” /ara nambembali kaasi wa ina mou buntu nggala dhi nihi/ “kalau bisa kasihan ibu, walau hanya dalam mimpi” /seba-seba naku/ “gendong-gendong aku” /ako kumokadha/ “agar aku hangat” /kumoturu tapa helumpo/ “aku tidur tanpa selimut” /moori kaasi tintiro akumo/ “tuhan kasihan, lihatlah diriku” /na mbaja umidho ngkilua/ “diri yang hidup yatim piatu”.
Teks nyanyian di atas merupakan refleksi dari kebudayaan masyarakat Wakatobi, dimana masyarakat akan memberikan perhatian pada mereka yang berduit atau berada. Tetatpi jika hidup miskin dan tak berdaya, maka keluarga pun akan menjauh. Nyanyian yang dikarang oleh H. Saleh ini kemudian dilantunkan oleh Wa Mei, yang memang seorang yatim, mengguggah perasaan orang banyak, terutama mereka yang yatim piatu dan orang hidup miskin.
Dalam konteks yang lain, La Onu mengatakan bahwa kabhanti merupakan alat sindiran yang paling efekif dalam masyarakat dulu dan kini. Ia mencontohkan bahwa melalui teks kabhanti seseorang dapat mengetahui apakah ia masih di cintai oleh tunanganya atau tidak? Jika arah sastra lisan kabhanti masih menggambarkan pujian, maka tunangannya masih punya harapan. Tetapi jika sudah di sindir dengan kejelakan, misalnya ketika seorang perempuan menyukai lelaki Tomia, maka ia akan melantunkan teks /ara te sope ntomiamo/ “kalau sudah perahu Tomia” /mou di bhenu kusumawi/ “walaupun di sabuk kelapa aku akan naik”. Jika perempuan tersebut memiliki tunangan orang Kaledupa, maka syair tersebut sekaligus pertanda bahwa perempuan itu sudah menyukai lelaki yang lain. Untuk memahami teks tersebut, semua orang Wakatobi menyadari bahwa teks tersebut perempuan tersebut sudah tidak menyukai lagi laki-laki tunangannya[12].
Selanjutnya dalam beberapa persoalan kekinian, sastra lisan kabhanti menyimpan memori kolektif masyarakat mengenai kawin insist. Sehubungan itu sastra lisan kabhanti mengatakan bahwa /ara topada mobhasamo/ “kalau kita sudah sama-sama dewasa” /Mou te tuhanto tomeri/ “Walau saudara kita sudah harus waspada”. Ini menunjukan bahwa tata nilai dalam masyarakat Wakatobi sudah disimpan di dalam sastra lisan mereka.
Teks tersebut juga ditemukan pada teks kabhanti yang dilantunkan oleh La Ode Kamaluddin. Bahkan pelantun kabhanti pengantar tidur, Wa Yai juga melantunkan teks tersebut. Berdasarkan wawancara dengan La Ode Kamaluddin, ia mengatakan bahwa sebenarnya teks kabhanti sudah ada di dalam kesadaran masyarakat Wakatobi.  Karena kabhanti sebenarnya adalah media yang digunakan oleh masyarakat Wakatobi untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan impian mereka. Norma-norma sosial disosialisasikan dalam teks kabhanti sejak kecil, sehingga ketika mereka sudah dewasa menjadi kesadaran kolektif anak-anak Wakatobi. Dan bagi mereka yang melanggar adat, sastra lisan kabhanti memberikan penilaian bahwa /Wa leama tonto dhi komba/ “Kalau hanya kecantikan, tataplah pada purnama” /te popake na nto’ogeno/ “saling menghargai yang lebih utama”.
Sebagai memori kolektif masyarakat, sastra lisan kabhanti memainkan peran dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi tentang suatu persoalan yang ada di dalam masyarakat Wakatobi. Sebagai contoh, kesadaran kolektif yang tersimpan di dalam sastra lisan kabhanti yaitu kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi mengenai pentingnya pendidikan. Saat ini, masyarakat Wakatobi sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan tentang perubahan masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Impian publik Wakatobi tentang pendidikan tersebut kemudian dapat dilihat dalam kabhanti sebagai memori kolektif mereka yaitu /mou ane na mbena-mbena/ “walaupun ada yang mengkilat (intan dan berlian)” /kumetao la nsumikola/ “aku akan menunggu yang berpendidikan”, /kumala te lansumikola/ “aku akan memilih yang berpendidikan” /kumanga poaro dhi meja/ “agar aku makan berhadapan di meja”.  Teks ini kemudian menjadi nilai dasar dalam menentukan jodoh bagi anak-anak Wakatobi, dimana masyarakat Wakatobi lebih memilih calon menantu seorang yang berpendidikan tinggi (sarjana, mastrer dan doktor) jika dibandingkan dengan seorang pengusaha dan pedagang.
Seorang pengusaha yang sukses akan memilih jodoh bagi anaknya, yaitu calon menantu yang berpendidikan. Dalam beberapa kasus, orang tua dari kalangan ekonomi menengah ke atas, selalu memilih jodoh untuk anak-anaknya dengan menuntut syarat harus sarjana. Bahkan ada tokoh masyarakat yang ketika ada anak muda yang apel pada anak gadisnya, maka ia memanggil teman-teman anak gadisnya dan menanyakan ijazah sarjana[13]. “Anda datang ke sini, harus membawa ijazah sarjana, jika tidak, cukup malam ini anda datang apel ke anakku”. Bait selanjutnya, mengandung makna bahwa /kumala nte lasumikola/ “aku akan mengambil yang sekolah” /kumanga poaro dhi meja/ “aku akan makan berhadapan di meja makan”. Sebuah impiah sederhana, dimana ia sebenarnya hanya ingin menikmati makan bersama di meja makan. Konteks teks sastra lisan kabhanti di atas, menunjukan bahwa bagi masyarakat Wakatobi secara umum, makan di meja merupakan suatu kelebihan, karena mereka biasanya makan sambil bersila. Prespektif ini, melihat bahwa makan berhadapan di meja adalah simbol dari kesuksesan.
Selanjutnya, beberapa kejadian dewasa ini selalu direfleksikan ke dalam kesadaran kolektif mereka adalah kejadian tentang promosi pariwisata Wakatobi yang masif, namun bagi para pelantun kabhanti  dianggap belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Wakatobi. Sehubungan dengan realitas di atas, dalam salah satu pementasanya di Kaledupa, La Huudu melantunkan teks kabhanti sebagai berikut. /Wakatobi buntu tengaano/ “Wakatobi itu hanya namanya” /rouno paka ntoitane/ “wajahnya kita tidak pernah lihat”, hal serupa juga disinggung dalam teks kabhanti /te labunga buntu tengaano/ “La Bunga itu hanya namanya” /te rouno te ngkopa-kopa/ “Wajahnya mirip lopster batu”. Dua teks kabhanti tersebut menjadi memori kolektif  masyarakat Wakatobi terutama yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak sesuai antara nama (promosi) dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan ruang memori kolektif yang sudah siap pakai di dalam memori masyarakat Wakatobi. Setiap  persoalan yang terjadi di masyarakat akan direspon dengan cepat melalui teks-teks kabhanti, dan ketika teks-teks itu keluar, masyarakat Wakatobi tahu apa maknanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan memori kolektif masyarakatnya yang merespon setiap dinamika terkini di dalam masyarakat Wakatobi dewasa ini.
D.     Sastra Lisan Kabhanti sebagai Proyeksi
Sebagai memori kolektif masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang, sastra lisan kabhanti akan menjadi kompas dalam pengembangan kebudayaan masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, Irwan Abdullah (2009: 1) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan blue print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku. Clifford Geerrz (1993: 89) kemudian mengatakan bahwa kebudayaan itu merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisi secara historis. Ini menunjukan bahwa, sastra lisan kabhanti sebagai unsur kebudayaan masyarakat Wakatobi tentunya akan mengarahkan arah perkembangan kebudayaan masyarakat Wakatobi, karena sastra lisan kabhanti merupakan ruang konsepsi-konsepsi pemikiran masyarakat Wakatobi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik, dan biasanya tetap digunakan dalam komunikasi, melestarikan pengetahuan dan sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai sastra lisan, kabhanti tentunya memuat berbagai pikiran, perasaan dan rekaman kehidupan dari masyarakatnya. Oleh karena itu, keberadaan kabhanti di masa depan akan membawa kesadaran kolektif mereka tentang nilai-nilai kebudayaan yang ada. Generasi Wakatobi akan dibentuk oleh sastra lisan kabhanti, karena kabhanti merupakan memori kolektif yang menyimpan berbagai simbol-simbol, nilai-nilai yang membentuk kesadaran masyarakat Wakatobi, baik secara individu maupun secara kolektf. Hal ini sebagaimana ditemukan pada beberapa teks sastra lisan kabhanti yang ada sejak dulu, sekaligus membentuk nilai-nilai yang ada pada generasi Wakatobi saat ini. Teks kabhanti yang menjelaskan tentang diaspora masyarakat Wakatobi ke berbagai daerah di Nusantara, telah melahirkan kesadaran masyarakat Wakatobi dewasa ini bahwa mereka adalah masyarakat karakter pekerja keras, dimana Buru dan Ambon merupakan ruang-ruang baru yang menyimpan harapan. /Wa ina bhara nusambira/ “ibu tidak perlu kau galau” /ane ke Buru ngkene Ambo” masih ada pulau Buru dan Ambon”. Teks  di atas menunjukan bahwa sastra lisan kabhanti menyimpan memori kolektif tentang diaspora masyarakat Wakatobi di masa lalu, dan sekaligus membentuk kesadaran kolektif yang akan bahwa untuk dapat maju, masyarakat Wakatobi harus keluar dari Wakatobi, dan salah satu tempat tujuan mereka yang sampai saat masih menarik minat masyarakat Wakatobi adalah pulau Buru dan Ambon.
Sebagai sebuah proyeksi masa depan kebudayaan masyarakat Wakatobi, sastra lisan kabhanti tentunya memuat berbagai impian masyarakat Wakatobi. Impian-impian individu atau kolektif tersebut dapat menjadi cetak biru dari perkembangan kebudayaan masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang. Harapan Wa Yai dalam teks kabhanti  bahwa /kutampo te taho dhi meja/ “aku memasang jerat di atas meja” /no kona te Ana nsikola/ “yang terjerat adalah seorang anak sekolah”.  Teks tersebut merupakan suatu impian dari seorang ibu yang menidurkan anaknya, ia mengharapkan agar kelak anaknya dapat duduk di meja, sehingga anaknya dapat menjadi anak sekolah. Lalu impian itu dipertegas lagi bahwa /mou ane na mbena-mbena/ “walaupun ada intan permata’ /kumeta’o la nsumikola/ “aku akan menunggu yang berpendidikan”. Dua bait di atas menunjukan bahwa impian seorang ibu yang diungkapkan saat menidurkan anaknya adalah pendidikan.
Dari teks tersebut, kemudian menyadarkan masyarakat Wakatobi bahwa pendidikan bukanlah hak bagi mereka yang kaya saja, tetapi merupakan hak bagi seluruh masyarakat. untuk menguatkan semangat anak-anaknya, Wa Yai kemudin mengemukakan /Wa ina tade hekikata/ “ibu perkuatlah berdiri” /wa bhara dhia ntotobhata/ “jangan sampai kita terjatuh”. Teks di atas merupakan semangat yang memberikan kesadaran bagi anak-anak Wakatobi, bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah peradaban mereka di masa depan. Namun, impian tentang pendidikan tersebut dinegasikan dengan teks /te sikola buntu te boku/ “sekolah itu hasilnya hanya buku” /te mangaji te ngkura’ani/ “tetapi merekalah yang akan mengkaji Al Qur'an”. Ini menunjukan bahwa teks kabhanti tersebut mempertentangkan antara pendidikan dan pengusaha, karena orang yang berilmu pengetahuan hanyalah mengumpulkan buku, sementara seorang pengusaha akan mengumpulkan harta yang banyak.
Dengan demikian, semua yang dikandung dalam sastra lisan kabhanti akan menjadi cetak biru dari peradaban masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang, karena teks kabhanti selalu mereka dengar, dan lahir sebagai sebagai sebuah tata nilai yang mereka sendiri telah menerima dengan kehilangan kesempatan untuk memberikan kritik, tetapi justru mereka menerimanya sebagai kebudayaan yang harus mereka patuhi.
E.     Sasra Lisan kabhanti sebagai ruang Inspirasi Penciptaan
Sastra lisan kabhanti merupakan salah satu sastra lisan yang memiliki pola-pola formula yang teratur (Udu, 2013: 50). Melalui pola-pola itu kemudian memberikan satu bentuk dasar pembuatan sastra lisan kabhanti bagi setiap generasi Wakatobi. Penciptaan kabhanti dapat dikatakan bahwa setiap pementasan kabhanti adalah baru. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Albert Bates Lord (1981: 30) yang mengatakan bahwa setiap pementasan tradisi lisan selalu asli dan baru. Namun, di tengah kebaruan berbagai teks yang ada, sebenarnya ada pola-pola pengulangan yang diperkenalkan oleh Lord dengan istilah formula sebagai sesuatu yang tetap.
Dalam perkembangan teknologi modern, terutama  telekomunikasi, perkembangan winamp, hand phone, komputer, piano telah memberikan ruang baru dalam perkembangan sastra lisan kabhanti di dalam masyarakat Wakatobi. Kalau di zaman dahulu, seorang penonton harus datang ke suatu tempat, misalnya di pesta atau harus hadir ke acara tradisi kabuenga[14] untuk dapat menikmati teks-teks kabhanti, maka saat ini masyarakat Wakatobi dapat menikmati teks-teks sastra lisan kabhanti dalam berbagai media.
Dalam konteks penciptaan misalnya, saat ini pemain organ tunggal di Wakatobi telah banyak melahirkan karya-karya dengan memanfaatkan formula kabhanti. Hal ini sebagaimana beberapa karya dari musisi Rusiadin yang melahirkan karya dangdut dengan mengembangkan irama kabhanti. Karya dengan judul Wajandi Topomelaimo merupakan karya populer yang digubah dengan menggunakan formula kabhanti. Pola kabhanti tersebut dapat dilihat dalam teks berikut.

Wajandi topomelaimo
Wajandi topomelaimo
Pia jaga naorungu’u
Pia jaga naorungu’u

Kekasihku kita sudah berjauhan
Kekasihku kita sudah berjauhan
Hati-hati kau jaga badanmu
Hati-hati kau jaga badanmu
Pia jaga naorungu’u
Pia jaga naorungu’u
Buke nahumei lingkuko
Buke nahumei lingkuko

Hati-hati kau jaga badanmu
Hati-hati kau jaga badanmu
Banyak yang menginginkan secara rahasia
Banyak yang menginginkan secara rahasia
Tau aku dhi sangawa’u
Tau aku dhi sangawa’u
Bhara dhia kuntomolinga
Bhara dhia kuntomolinga

Simpan aku di atas ubun-ubunmu
Simpan aku di atas ubun-ubunmu
Jangan sampai kau melupakanku
Jangan sampai kau melupakanku
Bhara dhia kuntomolinga
Bhara dhia kuntomolinga
Topoasa molengo dhia
Topoasa molengo dhia

Jangan sampai kau melupakanku
Jangan sampai kau melupakanku
Marilah kita bersama selamanya
Marilah kita bersama selamanya
Ara tamoasa te laro
Ara tamoasa te laro
Bhisa te gunu nomopera
Bhisa te gunu nomopera

Kalau kita satukan hati
Kalau kita satukan hati
Walaupun gunung akan menjadi pendek
Walaupun gunung akan menjadi pendek
Bhisa te gunu nomopera
Bhisa te gunu nomopera
Tadhumodhua salengo’e
Tadhumodhua salengo’e

Walaupun gunung akan menjadi pendek
Walaupun gunung akan menjadi pendek
Kita akan bersama selamanya
Kita akan bersama selamanya
Te laro’u telasosumo
Te laro’u telasosumo
Te tuha’u te tuha sumo
Te tuha’u te tuha sumo

Hatimu sudah menjadi hatiku
Hatimu sudah menjadi hatiku
Keluargamu sudah menjadi keluargaku
Keluargamu sudah menjadi keluargaku
Ara tajari na ikita
Ara tajari na ikita
Te ina’u te ina sumo
Te ina’u te ina sumo

Kalau suatu saat kita jadian
Kalau suatu saat kita jadian
Ibumu sudah menjadi ibuku
Ibumu sudah menjadi ibuku
Labi topoawa dhi e’e
Labi topoawa dhi e’e
Dhi sapo te mata nutuha
Dhi sapo te mata nutuha

Lebih baik kita bertemu di air
Lebih baik kita bertemu di air
Di rumah banyak pandangan keluarga
Di rumah banyak pandangan keluarga
Labi topoawa dhi e’e
Labi topoawa dhi e’e
Tomepa dhua-dhua ngkita
Tomepa dhua-dhua ngkita

Lebih baik kita bertemu di air
Lebih baik kita bertemu di air
Kita akan basah berdua
Kita akan basah berdua
Tau aku dhi sangawa’u
Tau aku dhi sangawa’u
Bhara dhia kuntomolinga
Bhara dhia kuntomolinga

Simpan aku di atas ubun-ubunmu
Simpan aku di atas ubun-ubunmu
Jangan sampai kau melupakanku
Jangan sampai kau melupakanku

            Teks sastra lisan kabhanti di atas merupakan bentuk pengembangan kabhanti yang selama ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Kehadiran lagu dangdut yang karang oleh Rusiadin tersebut menunjukan bahwa penciptaan seni Wakatobi modern, banyak mendapatkan inspirasi dari kabhanti sebagai memori kolektif masyarakat Wakatobi. Bahkan pada kenyataannya, para penyanyi organ tunggal, mereka akan menyanyikan nada yang dipopulerkan oleh Rusiadin tersebut, tetapi dengan teks yang lain sesuai dengan konteks pementasan. Hal ini dilakukan oleh Wa Puti yang diiringi oleh Anton. Ia menyanyikan  bhanti-bhanti atau kabhanti dengan teks-teks yang lain.
            Sebagai seorang musisi, banyak karya-karya La Ode Kamaluddin juga menggunakan formula kabhanti dalam karya-karyanya. Dalam albumnya Wakatobi Wolume satu, membuktikan bahwa La Ode Kamaluddin banyak terinspirasi dengan sastra lisan kabhanti dalam proses penciptaannya. Dalam salah satu lagunya, yang berjudul Temondo Popilu dipengaruhi oleh formula sastra lisan kabhanti, hal ini sebagaimana dalam teks berikut.

Wa jandi bhara umangkuru
Misiti ane nta moawa
Te amalasu ntamoawa
Wajandi bhara umangkuru
Tamoawa tumpu nularo

Kekasihku janganlah kau bersedih
Sudah pasti kita akan bertemu
Aku berdoa kita akan bertemu
Kekasihku janganlah bersedih
Kita akan bertemu dan berbahagia

Nalaro umompu te hadha
Mohali na sampagi ano
Nalaro umompu te hadha
Mohali na sampagi ano
Ara temondo mpopoilu

Hati yang mengikat kehendak
Terlalu sudah untuk putuskan
Hati yang mengingat kehendak
Terlalu sudah untuk putuskan
Kalau memang sudah saling mencintai

Te sangga nojumpa iyaku
Tembajau ako te mia
Te sangga nojumpa iyaku
Tembajau ako te mia
Labi kuita te koburu

Kecurigaan mengarah kepada diriku
Tetapi badanmu untuk orang lain
Kecurigaan mengarah kepada diriku
Tetapi badanmu untuk orang lain
Lebih baik aku lihat kuburan

Ara te sidha ke laro’u
Mai potumpu ako naku
Mai potumpu ako naku
Ara te nsidha kelaro’u
Bhara kusala nsaronako

Kalau memang dengan hatimu
Lebih baik kau datang melamarku
Lebih baik kau datang melamarku
Kalau memang dengan hatimu
Jangan sampai aku salah mengharap
Telaomo ntopodhani
Pakamo ane ntamoga’a
Telaomo ntopodhani
Bhisa aneho ntamoga’a
Tamogaa kaenularo

Kita sudah terlanjur berkenalan
Tidak mungkin lagi kita berpisah
Kita sudah terlanjur berkenalan
Walaupun kita masih berpisah
Kita akan berpisah dengan hati tak sampai
Suru noawamo namia
Telabhimo mina dhi koo
Suru noawamo namia
Paka naumawa namia
Pakadhokulabhi akoko

Mengapa orang lain sudah mendapatkan
Karena sudah sisa dari dirimu
Mengapa orang lain sudah mendapatkan
Orang lain tidak akan pernah dapat
Karena aku tidak pernah lebih tentangmu

Berdasarkan beberapa karya kreatif di atas menunjukan bahwa sastra lisan kabhanti menjadi inspirasi dalam beberapa karya seni modern di Wakatobi. Bahkan dalam beberapa film yang digarap di Wakatobi selalu menggunakan kabhanti  sebagai musik latarnya. Hal ini sebagaimana dilihat pada latar film The Mirror Never Lies.  Dengan demikian, sastra lisan kabhanti di samping menjadi ruang memori kolektif masyarakatnya, juga dapat mengispirasi berbagai menciptaan seni di Wakatobi.  

F.      Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan memori (ingatan) kolektif masyarakat Wakatobi, baik yang menyangkut masa lalunya, maupun mengenai masa sekarang dan masa yang akan datang. Keberadaan sastra lisan kabhanti dalam masyarakat Wakatobi telah membuktikan diri sebagai media penyimpanan berbagai ingatan kolektif mereka. Hampir semua peristiwa diabadikan dalam sastra lisan kabhanti.
Di masa kini, sastra lisan kabhanti mampu merefleksikan seluruh keluh kesah masyarakat tentang fenomena yang terjadi, tentang pemerintahan, tentang norma, tentang harapan dan impian dari masyarakat pendukungnya. Sementara dimasa yang akan datang, sastra lisan kabhanti diharapkan dapat menjadi ruang ispirasi bagi perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Karena kebudayaan Wakatobi akan tergantung kemana arah kencederungan kesadaran kolektif dari masyarakatnya. Dengan demikian, sastra lisan kabhanti sebagai memori kolektif mereka memegang peranan penting dalam mengarahkan arah pengembangan kebudayaan dari masyarakat pendukungnya.
G.    Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2009. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Greertz, Clifford. 1983. Lokal Knowledge. New York: Basic Books.
Greerzt,Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan diterjemahkan oleh Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
La Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan Wakatobi. Jakarta: Granada.Abdullah, Irwan. 2009. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press.
Rahman, Abdul Hamid. 2011. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Silver, Harrr R. 1979. “Etnoart”, Annual Review og Antropology, Vol.8, hlm. 267-307.
Tuloli, Noni. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Udu, S. 2010. “Kearifan Lokal Masyarakat Wakatobi dalam Kabhanti”. Bangka Belitung: Makalah Seminar Internasional ATL bekerjasama dengan Pemerintah Bangka Belitung tanggal 21-23 November 2010.
Udu, Sumiman. 2003. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Wakatobi: Analisis Formula dan Komposisi Skematik. Kendari: Laporan Akhir Penelitian Hibah Disertasi Doktor Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo.
Udu, Sumiman. 2003. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Wakatobi: Analisis Formula dan Komposisi Skematik. Kendari: Laporan Akhir Penelitian Hibah Disertasi Doktor Lembaga Penelitian Universitas Halu Oleo.
Udu, Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Butondalam “Naskah Buton Naskah Dunia, Ed. Yusran Darmawan. Bau-Bau: Penerbit Respect.
Udu, Sumiman. 2015.  Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Sebagai Media Komunikasi Kultural dalam Masyarakat Wakatobidalam Humaniora Vol. 27 No. 1 tahun 2015. Hal. 217-228.
Udu, Sumiman. 2015. “Menelusuri Jejak Pelayaran Perahu Karoro dan Transformasinya, dalam Majalah Pabhitara Volome X tahun 2015.
Udu, Sumiman. Perempuan dalam kabhanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Penerbit Diandra.
Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.


[1] Dosen Universitas Halu Oleo Kendari dan peneliti Sastra Lisan kabhanti Wakatobi
[2] Kabhanti merupakan gabungan dua awalan ka-bhanti dalam bahasa Wolio. Menurut La Niampe Salah satu ingatan kolektif masyarakat Wakatobi yang mengandung nilai-nilai budaya tersebut adalah nyanyian rakyat yang disebut kabhanti atau bhanti-bhanti (Udu, 2010: 18). Secara etimologi kata “kabhanti” berasal dari bahasa Wolio yang merupakan kata jadian dari kata “bhanti”yang berarti sindiran, dan mendapatkan awalan (ka-) yang berfungsi untuk mengubah kata kerja menjadi kata benda (Niampe, 1998: 5). Sehingga kata “kabhanti”  merupakan kata jadian yang bermakna sebuah sindiran. Dalam bahasa Wakatobi, kata “kabhanti”, tidak dikenal, mereka hanya mengenal kata “bhanti” yang berarti sindiran, hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Wakatobi, misalnya /kolalo di amai iso, nobhanti kami/ “kami lewat pada mereka itu, mereka menyindir kami”. Mengacu pada konteks kalimat di atas, maka bhanti berarti ungkapan yang mengandung sindiran. Selanjutnya La Ode Kamaluddin, mengatakan bahwa kata “bhanti” merupakan nyanyian yang dilantunkan dan tidak ditujukan untuk seseorang, tetapi hanya sebagai luapan perasaan. Di sisi yang lain, La Ode Kamaluddin juga mengatakan bahwa kata “bhanti-bhanti” merupakan nyanyian yang dilantunkan untuk menyindir orang atau pendengar dengan menggunakan bahasa yang tidak langsung (Wawancara, tanggal 2 Februari 2011). La Ode Taalami (2008: 59) mengatakan bahwa kata bhanti dalam bahasa Wakatobi berarti dua pengertian, pertama bhanti berarti “sindiran halus”, dan kedua, bhanti sebagai salah satu jenis lagu yang berisi ungkapan perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan kerinduan), juga nasihat. La Ode Nsaha (1987/1988: 235) bahwa kabhanti merupakan nyanyian rakyat yang disampaikan dalam bahasa halus sehingga menyentuh sampai di hati.

[3] Wawancara dengan La Ode Kamaluddin tanggal 21 Juli 2015
[4] Wawancara dengan Abdul Rahman Hamid tanggal 21 Juli 2017.
[5] Kadhia merupakan wilayah pemerintahan di dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton. Secara budaya kadhia merupakan wilayah otonom sehingga mereka berkembang dengan baik di zaman kesultanan Buton.
[6] Endapo merupakan salah satu air Gua yang berada di kelurahan Mandati 2 kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Dewasa ini batas kecamatan Wangi-Wangi Selatan terletak di jalan Merdeka, tetapi batas imajiner budaya antara Mandati dan Wanse adalah daerah jalan kemerdekaan dan air Endapo.
[7] Bhaobhe merupakan nama salah satu kampung yang ada di pegunungan pulau Wangi-Wangi kecamatan Wangi-Wangi kabupaten Wakatobi. Umumnya memiliki gadis-gadis yang berkulit putih dan cantik.
[8] Pobhnati merupakan konteks pementasan sastra lisan kabhanti yang dilakukan secara berbalasan (La Ode Taalami (2008: 60; Sumiman Udu, 2010;  69). 
[9] Wawancara tanggal 09 Agustus 2015
[10] Wawancara tanggal 15 Agustus 2013
[11] Welia merupakan tradisi masyarakat Liya Wakatobi untuk mengevaluasi kinerja pejabat sara, apakah ia sukses atau tidak sukses selama kepemimpinananya. Jika ia sukses, maka masyarakat akan memberikan apresiasi yang baik dan berhak melanjutkan kepemimpinannya, dan tetapi jika dianggap  tidak sukses, maka ia akan diberikan kompensasi berupa hasil penan dan pejabat tersebut diusulkan untuk  diganti (wawancara dengan Agung tanggal 21 April 2014).
[12] Wawancara dengan Onu La Ola tanggal 10 Agustus 2015
[13]Wawancara dengan La Deni tanggal 23 Januari 2015, dalam kasus tersebut ia menyebutkan bahwa temannya pernah diusir oleh orang tua perempuan hanya karena temannya belum memiliki ijazah sarjana. “Ara mbeado dhi bhawa te sura tama sarjana, bharaho dhi umba dhi wunua Ana, ara anemo maka dhi umba” (kalau belum membawa Ijazah Sarjana, jangan dulu muncul di rumah ini, kalau sudah ada baru kalian bisa datang ke rumah ini)” Deni menirukan pernyataan orang tua tersebut.
[14] Tradisi kabuenga merupakan tradisi ayunan yang dilakukan oleh masyarakat Wakatobi atas adanya hajat, kampung atau pribadi. Tradisi kabuenga ini dilakukan dengan cara masyarakat membangun ayunan besar di lapangan lalu mereka datang berayun, sambil melantunkan sastra lisan kabhanti sebagai media pengungkapan pikiran dan perasaan mereka. Pada hari puncak tradisi kabuenga semua gadis-gadis duduk (nokedhe) lalu pihak laki-laki berkeliling (kadhandio) dan berakhir mereka akn menyuapi tunangan atau pacarnya. Proses ini juga merupakan ruang kontrol sara (pemerintahan adat) terutama dalam melihat hubungan darah antara pasangan-pasangan yang sedang melakukan (posombui) saling menyuapi, apakah mereka tidak melanggar (insest) atau tidak. Jika ada hubungan insest, maka sara akan mengambillangkah adat yaitu mereka akan memohon doa tolak bala (kutukan) supaya kampung terhindar dari bahaya, penyakit, kelaparan, kekeringan.

Bacaan Terkait:

Relasi Gender dalam Masyarakat dan Pembangunan Wakatobi 

Redupnya Matahari di Wakatobi 

Tidak ada komentar: