Oleh:
Sumiman Udu[1]
ABSTRAK
Sastra lisan kabhanti merupakan sastra tradisi yang selama ini tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat Wakatobi. Perkembangan sastra lisan dari waktu
ke waktu selalu mengalami pergeseran,
seiring dengan perkembangan zaman dari masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, penelitian ini
diharapkan dapat mengungkapkan perkembangan memori kolektif masyarakat Wakatobi
di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang tersimpan dalam sastra lisan kabhanti.
Penelitian ini menggunakan
paradigma etnografis sehingga pengumpulan dan pengolahan data menggunakan
prinsip etnografis. Penggunaan paradgima ini digunakan untuk mengungkap
berbagai memori kolektif yang ada di dalam masyarakat pendukung kabhanti dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa tradisi lisan kabhanti merupakan
memori kolektif masyarakat Wakatobi yang terus berkembang dari satu generasi ke
generasi berikutnya. (1) Di masa lalu, hampir seluruh kehidupan masyarakat
Wakatobi menggunakan tradisi lisan kabhanti
sebagai bagian dari aktifitasnya, (2) saat ini, sastra lisan kabhanti masih tetap menjadi memori
kolektif masyarakat yang menyimpan berbagai nilai-nilai masyarakat Wakatobi,
(3) melalui sastra lisan kabhanti, banyak
generasi Wakatobi yang mampu melahirkan karya-karya kreatif dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi, (4) di masa mendatang, diharapkan sastra lisan kabhanti masih tetap menjadi media
memori kolektif masyarakat pendukungnya, yang tetap menyimpan nilai-nilai
kultural, disisi yang lain, sastra lisan kabhanti
di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi media pengembangan sastra
lisan yang efektif karena sastra lisan kabhanti
memiliki fleksibiltas yang tinggi untuk menerima setiap perubahan
masyarakatnya.
Kata Kunci: sastra
lisan, kabhanti, memori kolektif,
masyarakat Wakatobi, masa ke masa
SASTRA LISAN KABHANTI: MEMORI KOLEKTIF MASYARAKAT WAKATOBI DARI MASA KE MASA
A. Pengantar
Sastra lisan kabhanti merupakan sastra tradisi yang selama ini tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat Wakatobi. Perkembangan sastra lisan dari waktu
ke waktu selalu mengalami pergeseran,
seiring dengan perkembangan zaman dari masyarakat pendukungnya (Tuloli, 1991: 2). Oleh karena
itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan perkembangan memori kolektif
masyarakat Wakatobi di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang tersimpan
dalam sastra lisan kabhanti[2].
Sehubungan dengan itu, Jan Vansina (2014: vii) mengemukakan bahwa ingatan
manusia (memori) adalah salah satu keajaiban alami dunia, dan dengan (perluasan
ingatan manusia) begitu juga sejarah lisan, dan khususnya tradisi (sastra)
lisan.
Sebagai rumah kecil kebudayaan Wakatobi, sastra lisan
kabhanti selalu hadir sebagai tempat
penyimpanan memori kolektif masyarakat pendukungnya. Melalui sastra lisan kabhanti masyarakat dapat mempelajari
masa lalunya, mengetahui apa yang terjadi saat ini, dan dapat pula mempelajari
berbagai impian masyarakatnya di masa depan. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Silver (1979: 267) yang mengatakan bahwa memahami kesenian berarti bukan
hanya berupaya untuk memahami hakikat pengalaman artistik dan informasi yang
disampaikannya, tetapi juga kita harus memahami kerja-kerja subtantif proses
seni itu sendiri. Sebuah seni harus dimaknai dalam dua konteks yaitu seni itu
sendiri dan proses-proses kultural yaitu penggunaan makna-makna dan penghargaan
terhadapnya. Sumiman Udu (2015: 219) mengatakan bahwa sastra lisan kabhanti berisi tentang tiga ruang waktu,
yaitu (1) sebagai refleksi dari masyarakatnya (masa lalu), (2) merefleksikan
kehidupan masyarakat pendukungnya saat ini, dan (3) sastra lisan kabhanti memuat tentang proyeksi dari
masyarakat pendukungnya. Dengan
demikian, membongkar sastra lisan kabhanti
sebenarnya adalah membongkar memori kolektif masyarakat Wakatobi yang
meliputi (1) masa lalu mereka, (2) saat ini, (3) maupun apa yang mereka impikan
di masa yang akan datang.
Untuk membogkar berbagai memori
kolektif masyarakat Wakatobi di masa lalu, kini dan masa yang akan datang yang
tersimpan dalam sasatra lisan kabhanti memerlukan
suatu pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Oleh karena
itu, penelitian ini menggunakan paradigma etnografis sehingga pengumpulan dan
pengolahan data menggunakan prinsip etnografis. Penggunaan paradgima ini
digunakan untuk mengungkap berbagai memori kolektif yang ada di dalam
masyarakat pendukung kabhanti dari
waktu ke waktu.
Radclifffe
Brown dan B. Malinowski, etnografi modern dibedakan dengan etnografi mula-mula
berdasarkan ciri penting, yakni mereka tidak terlalu memandang hal-ikhwal yang
berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat (Spradley, 1997:
xviii). Perhatian utama mereka adalah pada kehidupan masa kini, yaitu tentang the way of life masyarakat tersebut.
Menurut pandangan dua antropolog ini tujuan etnografi adalah untuk
mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya suatu masyarakat.
Untuk itu peneliti tidak cukup hanya melakukan wawancara, namun hendaknya
berada bersama informan sambil melakukan observasi. Selanjutnya, perkembangan
pemikiran dalam paradgima ini kemudian memusatkan usahanya untuk menemukan
bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan
kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (Spradley, 1997: xix).
Analisis dalam penelitian ini tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi
peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek
keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan
organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi
bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian ini. “Pengumpulan riwayat
hidup atau suatu strategi campuran, bahasa akan muncul dalam setiap fase dalam
proses penelitian ini.
Sehubungan
dengan itu, Spardley mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang diamati dalam
etnografi. Selain itu juga sebagai proses belajar yang digunakan untuk
megintepretasikan dunia sekeliling mereka dan menyusun strategi perilaku untuk
menghadapinya. Dalam pandangannya ini, Spardley tidak lagi menganggap etnografi
sebagai metode untuk meneliti “Other
culture”, masyarakat kecil yang terisolasi, namun juga masyarakat kita
sendiri, masyarakat multicultural di seluruh dunia. Pemikiran ini kemudian dia
rangkum dalam “Alur Penelitian Maju Bertahap” yang terdiri atas lima, prinsip,
yakni: (1) Peneliti dianjurkan hanya menggunakan satu teknik pengumpulan data; (2)
mengenali langkah-langkah pokok dalam teknik tersebut, (3) misalnya 12 langkah
pokok dalam wawancara etnografi dari Spardley; (4) setiap langkah pokok
dijalankan secara berurutan; (5) praktik dan latihan harus selalu dilakukan; (5)
memberikan problem solving sebagai
tanggung jawab sosialnya, (6) bukan lagi ilmu untuk ilmu.
Inti
dari “Etnografi Baru” Spardley ini adalah upaya memperhatikan makna tindakan
dari kejadian yang menimpa orang yang ingin kita pahami melalui kebudayaan
mereka. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya
manusia dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara
orang bertidak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan. Namun, dalam artikel ini,
Spradley memfokuskan secara khusus pembuatan keksimpulan dari apa yang
dikatakan orang. Wawancara etnografik dianggap lebih mampu menjelajah susunan
pemikiran masyarakat yang sedang diamati.
Dengan menggunakan paradigma
etnografi, maka hasil penelitian ini
meliputi (1) Sastra Lisan kabhanti
sebagian besar berisi mengenai memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang
berbagai perstiwa, nilai-nilai yang sudah pernah ada di masa lalu; (2) sastra lisan bhanti-bhanti atau kabhanti memuat berbagai memori kolektif mengenai masa kini, (3)
sastra lisan bhanti-bhanti menjadi
sumber inspirasi bagi generasi; (4) sastra lisan bhanti-bhanti menyimpan tentang berbagai proyeksi masyarakat
pendukungnya.
B. Sastra
Lisan Kabhanti sebagai Memori
Kolektif Masa Lalu
Sebagai
sastra lisan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, sastra lisan kabhanti merupakan unsur budaya
masyarakat pendukungnya, karena menyimpan berbagai pemikiran, perasaan maupun
tindakan yang mereka lakukan. Sehingga memperlajari sastra lisan kabhanti berarti membongkar kesadaran
masyarakat pendukungnya, karena kabhanti sendiri
merupakan memori kolektif dari masyarakatnya.
Sastra
lisan kabhanti telah tumbuh dan
berkembang dan telah mewariskan memori kolektif masyarakat Wakatobi dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Hampir setiap peristiwa penting dalam
masyarakat Wakatobi tersimpan dengan rapi di dalam sastra lisan kabhanti.
Peristiwa diaspora masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku (Udu, 2010:
149; Udu, 2015), masih tersimpan secara rapi di dalam teks-teks kabhanti. Teks kabhanti yang menjelaskan bahwa /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/ “masih ada
pulau Buru dan Ambon” merupakan bukti bahwa proses diaspora masyarakat Wakatobi
ke kepulauan Maluku tersimpan dengan rapi di dalam sastra lisan kabhanti. Berdasarkan teks sastra lisan kabhanti di atas, menunjukan bahwa
memori kolektif itu dapat benar adanya
sebagai sebuah refleksi atau peristiwsa yang dulu pernah terjadi di dalam
masyarakaat Wakatobi. Dimana pada masa
dahulu, masyarakat Wakatobi telah menjadikan pulau Buru dan Ambon sebagai
sasaran perantauan mereka[3]. Ini
juga dapat dilihat dari keberadaan masyarakat Buton di kepulauan Maluku,
khususnya di pulau Buru bagian selatan dan pulau Seram, dimana masyarakat Wakatobi – Buton saat ini memiliki komunitas
yang besar di pulau Seram[4]. Bahkan
Rahman Hamid mengatakan bahwa dewasa ini banyak masyarakat Wakatobi khususnya
Binongko banyak mendiami Ambon dan Seram (2011: 216-217). Bahkan dalam
beberapa tulisan, Abdul Rahman Hamid
menemukan pernyataan Ziwar Effendi bahwa “Pendatang yang cukup banyak jumlahnya
dan hampir ada di setiap pelosok di daerah ini (Kepulauan Maluku) adalah
orang-orang dari pulau Buton khususnya pulau Binongko. Mereka adalah golongan
penduduk yang bakal banyak bicara di masa yang akan datang dalam menentukan
keadaan politik, ekonomi dan sosial di daerah Maluku” (dalam Hamid, 2011: 217).
Di
samping itu, untuk mengingat peristiwa masalah perbatasan beberapa kadhia[5]
atau wilayah adat di Wakatobi, mereka mereka abadikan juga di dalam sastra
lisan kabhanti. Hal ini sebagai mana
dilihat dalam teks kabhanti berikut. /lai Wanse
lai Mandati/ “sejauh Wanci sejauh Mandati” /dhi endapo na ngkaselapa/ “di Endapo[6]
perbatasannya”. Memori kolektif ini telah diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Melalui sastra lisan kabhanti
masyarakat Wakatobi dapat mengetahui berbagai peristiwa masa lalu. Karena
melalui tradisi kabhanti mereka
menyimpan seluruh ingatan budaaya tentang masa lalu mereka. Jan Vansina (2014:
vii) mengemukakan bahwa sastra lisan atau sejarah lisan merupakan supermaket
informasi masa lalu yang begitu kaya, dan tidak dipercaya oleh sejarahan,
tetapi sebagai kesenian tradisional yang selalu dipentaskan, maka itu akan
sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya.
Kearifan Lokal Masyarakat Wakatobi
Kearifan Lokal Masyarakat Wakatobi
Sebagai
sastra lisan, kabhanti telah
membuktikan diri sebagai memori kolektif berbagai kehidupan masyarakatnya. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh La Ode Taufik bahwa pementasan kabhanti dapat memiliki dampak positif dan
negatif dalam masyarakat Wakatobi. Melalui teks kabhanti /te po’o bula dhi bhaobhe/ “mangga albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena
di remas-remas” dan /teloka mepanda dhi
bhira/ “pisang pendek di Bhira” /nobungku’e
ntepepu’uno/ “dibungkukan oleh jantungnya”. Dua bait kabhanti tersebut dalam konteks pementasan kabhanti dalam bentuk pobhanti
dimaknai oleh pelantun kabhanti dari
Po’okambua bahwa /te po’o bula dhi
bhaobhe/ “mangga albino di Bhaobhe[7]”
mangga putih tersebut sebagai gadis putih, dan mangga itu dimaknai sebagai buah
dada, maka masak karena di remas-remas. Sehingga teks kabhanti tersebut melahirkan ketersinggungan, kampung. Lalu dalam
jawaban mereka, /teloka mepanda dhi bhira/
“pisang pendek di Bhira” /nobungku’e
ntepepu’uno/ “dibungkukan oleh jantungnya” merupakan jawaban yang kurang
lebih memiliki makna yang tidak sesuai dengan tata nilai masyarakat Wakatobi.
Pisang pendek diasosiakan sebagai gadis kecil dan pendek yang ada di Bhira di
bungkukkan oleh buah dadanya.
Dua
teks di atas kemudian menjadi memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang acara
pobhanti’a[8] tersebut sebagai konteks pementasan sastra
lisan kabhanti yang berakhir kacau.
Menurut La Ode Taufik teks-teks tersebut akan mengantarkan kita pada memori
kolektif dimana sastra lisan kabhanti sebagai
media pengungkapan pikiran dan perasaan muda-mudi Wakatobi sampai dengan tahun
1960-an. La Moane (47) tertawa saat mendengarkan teks kabhanti di atas, karena pikirannya langsung terkoneksi dengan
peristiwa atau referen buah dada yang dijadikan sebagai sekuen penting
sekaligus sebagai pemaknaan yang
mengundang pertengkaran dalam pementasan sastra lisan kabhanti di tahun 1960-an. “Kasus itu sangat lucu, dan setiap orang
melantunkan teks kabhanti tersebut,
langsung teringat dengan peristiwa tersebut[9].
Demikian juga, ketika teks kabhanti /timbangi la bhonto timbangi/ “renungkanlah la bhonto renungkanlah” /te togo nolingka-lingkamo/ “daerah
sudah mulai miring” merupakan memori kolektif masyarakat Wakatobi yang berisi
tentang model kepemimpinan masa lalu. Menurut Ediarto Rusmin kepemimpinan sara
Mandati memiliki sistem yang menarik untuk dihidupkan kembali. Karena kesalahan
seorang pemimpin dapat dikritik melalui teks kabhanti atau bhanti-bhanti
yang dilantunkan oleh masyarakat di halaman rumah seorang pejabat[10].
Jika ada seorang masyarakat yang menyanyi sambil lewat di halaman rumah seorang
pemimpin, maka itu adalah bentuk kritik kepada kepemimpinan yang sedang
berlangsung. Demikian juga dikatakan oleh Agung, bahwa ketika dalam tradisi welia[11]
terjadi pengangkatan pejabat yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan
harapan masyarakat banyak, maka masyarakat akan keliling kampung dan
menyanyikan teks kabhanti di atas.
Bentuk protes ini kemudian tersimpan dalam memori kolektif masyarakat Wakatobi.
Selain, hal-hal publik, sastra kabhanti juga memuat tentang aspek
seksualitas dalam masyarakat pendukungnya. Teks kabhanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dhempa merupakan salah satu
memori kolektif masyarakat Wakatobi Buton tentang seks. Masyarakat Buton dapat
belajar tentang seks melalui naskah tersebut. Mulai dari memilih calon istri,
waktu menebas, waktu menanam, dan waktu merawat semua dijelaskan dengan baik
dalam naskah tersebut (Rusdin, 1998; Udu, 2009: 257-272).
Dengan demikian, dari beberapa
peristiwa yang terjadi di masa lalu, selalu diawetkan dalam teks sastra lisan kabhanti Wakatobi. Ini menunjukan bahwa
sastra lisan kabhanti merupakan salah
satu media penyimpanan memori kolektif masyarakat Wakatobi tentang masa lalu
mereka. Oleh karena itu, mempelajari sastra lisan kabhanti sebenarnya adalah memperlajari kebudayaan masyarakat
Wakatobi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Greerzt (1992: 109) bahwa pada
prinsipnya antropologi merupakan studi mengenai adat-istiadat, kepercayaan-kepercayaan, pranata-pranata,
yang semua itu berarti bahwa itu mempelajari tentang pikiran. Sehingga
mempelajari sastra lisan kabhanti sebenarnya
adalah mempelajari sistem kebudayaan masyarakat pendukungnya.
C. Sastra
Lisan Kabhanti dan Memori Kolektif Saat Ini
Keberadaan sastra lisan kabhanti di dalam masyarakat Wakatobi
saat ini merupakan salah satu ruang ekspresi pikiran dan perasaan masyarakat
pendukungnya. Berbagai peristiwa direfleksikan oleh masyarakat dalam bentuk
teks-teks kabhanti. Ini menunjukan
bahwa secara kultural, kabhanti merupakan
sejarah yang hidup, atau sastra yang hidup yang selalu terus menerus berproses
merefleksikan berbagai kesadaran kolektif masyarakatnya. Namun sebagai sastra
lisan, kabhanti juga memuat
mimpi-mimpi individual, atau pengalaman-pengamalan individual yang memiliki
suatu struktur yang berarti, artinya bahwa fakta-fakta itu memiliki struktur
dan makna tertentu sebagai mana dikemukakan oleh Lucian Golmand (Faruk, 1999:
12-13) bahwa semua fakta kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti,
karena fakta-fakta kemanusiaan tersebut merupakan respon-respon dari subjek
kolektif atau individual atau dengan kata lain, fakta-fakta tersebut merupakan
hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan lebih baik dengan dunia
sekitarnya (Goldmann, 1981: 40).
Sebagai sastra lisan yang hidup,
terkadang kabhanti merefleksikan
pengalaman pribadi dari pelantunnya sendiri tentunya bukan hanya merefleksikan
hastrat individunya, tetapi juga merupakan suara dari masyarakatnya atau subjek
kolektifnya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam teks kabhanti yang dilantunkan oleh La Mbongo yang mengekspresikan kisah
cintanya dengan teks /nolinomo na mpadha
kuru/ “sudah sunyi pada kuru” /noramemo
na mpada ue/ “sudah ramai pada ue”. Mendengarkan teks tersebut, beberapa
penonton langsung berteriak histeri, ini disebabkan karena mereka semua
langsung teringat dengan kisah perkawinan pelantun. kegagalannya dalam membina
rumah tangganya di Pada kuru direfleksikan dalam teks di atas.
Ini menunjukan bahwa sebagai
sastra lisan, kabhanti merupakan
karya sastra yang berperan dalam merekam berbagai peristiwa masa kini. Di satu sisi, proses pewarisan akan
berlangsung dengan cepat. Kisah cinta seorang pengusaha yang merantau puluhan
tahun ke Bangka Belitung dan kemudian sukses. Saat kembali ke Wakatobi ia
mengumpulkan seluruh keluarganya dalam acara doa syukuran. Ketika La Ode
Kamaluddin melantunkan teks kabhanti /kubhali nunsepe naku/ “sewaktu kecil
(miskin) kau buang aku” /Kuto’oge nu
Sinta naku/ “ketika aku besar (kaya) kau sayang aku” membuat sentak kaget
seluruh keluarganya yang hadir. Teks di atas mengingatkan mereka semua pada
perilaku mertua perantau itu yang sangat menghina keberadaan anak mantunya
sewaktu miskin dulu. Disaat miskin seseorang dapat diabaikan begitu saja oleh
keluarganya. Sementara ketika seseorang itu sukses ia langsung dipuja dan
dimanja. Dalam teks nyanyian rakyat Wakatobi yang berjudul kilua dinyatakan bahwa /wa
ina na indho ngkiluasu/ “ibu aku hidup yatim piatu” /naposalasu ngkene mia/ “aku berbeda dengan orang” /te sama toumpa/ “pesan seperti apa?” /na ako kumentu/ “yang akan kukejar” /ako kupokana kemia/ “supaya aku dapat
sama dengan orang” /te namisi nungkiua’a/
“Perasaan diwaktu yatim piatu” /mou te
tuhanto no sepe/ “Walau keluarga dapat menjauh” /mbea’e kaasi nasumpaga numata/ “tidak ada kasihan tempat yang
menutup mata” /mbea satompa sapuria/ “tidak
ada satupun harapan” /wa ina na idho
ngkiluasu/ “Ibu betapa aku hidup yatim piatu” /ara nambembali kaasi wa ina mou buntu nggala dhi nihi/ “kalau bisa
kasihan ibu, walau hanya dalam mimpi” /seba-seba
naku/ “gendong-gendong aku” /ako
kumokadha/ “agar aku hangat” /kumoturu
tapa helumpo/ “aku tidur tanpa selimut” /moori kaasi tintiro akumo/ “tuhan kasihan, lihatlah diriku” /na mbaja umidho ngkilua/ “diri yang
hidup yatim piatu”.
Teks nyanyian di atas merupakan
refleksi dari kebudayaan masyarakat Wakatobi, dimana masyarakat akan memberikan
perhatian pada mereka yang berduit atau berada. Tetatpi jika hidup miskin dan
tak berdaya, maka keluarga pun akan menjauh. Nyanyian yang dikarang oleh H.
Saleh ini kemudian dilantunkan oleh Wa Mei, yang memang seorang yatim,
mengguggah perasaan orang banyak, terutama mereka yang yatim piatu dan orang
hidup miskin.
Dalam konteks yang lain, La Onu
mengatakan bahwa kabhanti merupakan
alat sindiran yang paling efekif dalam masyarakat dulu dan kini. Ia
mencontohkan bahwa melalui teks kabhanti seseorang
dapat mengetahui apakah ia masih di cintai oleh tunanganya atau tidak? Jika
arah sastra lisan kabhanti masih
menggambarkan pujian, maka tunangannya masih punya harapan. Tetapi jika sudah
di sindir dengan kejelakan, misalnya ketika seorang perempuan menyukai lelaki
Tomia, maka ia akan melantunkan teks /ara
te sope ntomiamo/ “kalau sudah perahu Tomia” /mou di bhenu kusumawi/ “walaupun di sabuk kelapa aku akan naik”.
Jika perempuan tersebut memiliki tunangan orang Kaledupa, maka syair tersebut
sekaligus pertanda bahwa perempuan itu sudah menyukai lelaki yang lain. Untuk
memahami teks tersebut, semua orang Wakatobi menyadari bahwa teks tersebut
perempuan tersebut sudah tidak menyukai lagi laki-laki tunangannya[12].
Selanjutnya dalam beberapa
persoalan kekinian, sastra lisan kabhanti
menyimpan memori kolektif masyarakat mengenai kawin insist. Sehubungan itu
sastra lisan kabhanti mengatakan
bahwa /ara topada mobhasamo/ “kalau
kita sudah sama-sama dewasa” /Mou te
tuhanto tomeri/ “Walau saudara kita sudah harus waspada”. Ini menunjukan
bahwa tata nilai dalam masyarakat Wakatobi sudah disimpan di dalam sastra lisan
mereka.
Teks tersebut juga ditemukan pada
teks kabhanti yang dilantunkan oleh
La Ode Kamaluddin. Bahkan pelantun kabhanti
pengantar tidur, Wa Yai juga melantunkan teks tersebut. Berdasarkan
wawancara dengan La Ode Kamaluddin, ia mengatakan bahwa sebenarnya teks kabhanti sudah ada di dalam kesadaran
masyarakat Wakatobi. Karena kabhanti sebenarnya adalah media yang
digunakan oleh masyarakat Wakatobi untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan impian
mereka. Norma-norma sosial disosialisasikan dalam teks kabhanti sejak kecil, sehingga ketika mereka sudah dewasa menjadi
kesadaran kolektif anak-anak Wakatobi. Dan bagi mereka yang melanggar adat,
sastra lisan kabhanti memberikan
penilaian bahwa /Wa leama tonto dhi komba/
“Kalau hanya kecantikan, tataplah pada purnama” /te popake na nto’ogeno/ “saling menghargai yang lebih utama”.
Sebagai memori kolektif
masyarakat, sastra lisan kabhanti memainkan
peran dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi tentang suatu
persoalan yang ada di dalam masyarakat Wakatobi. Sebagai contoh, kesadaran
kolektif yang tersimpan di dalam sastra lisan kabhanti yaitu kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi mengenai
pentingnya pendidikan. Saat ini, masyarakat Wakatobi sedang gencar-gencarnya
mengkampanyekan tentang perubahan masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Impian
publik Wakatobi tentang pendidikan tersebut kemudian dapat dilihat dalam kabhanti sebagai memori kolektif mereka
yaitu /mou ane na mbena-mbena/
“walaupun ada yang mengkilat (intan dan berlian)” /kumetao la nsumikola/ “aku akan menunggu yang berpendidikan”, /kumala te lansumikola/ “aku akan memilih
yang berpendidikan” /kumanga poaro dhi
meja/ “agar aku makan berhadapan di meja”.
Teks ini kemudian menjadi nilai dasar dalam menentukan jodoh bagi
anak-anak Wakatobi, dimana masyarakat Wakatobi lebih memilih calon menantu
seorang yang berpendidikan tinggi (sarjana, mastrer dan doktor) jika
dibandingkan dengan seorang pengusaha dan pedagang.
Seorang pengusaha yang sukses
akan memilih jodoh bagi anaknya, yaitu calon menantu yang berpendidikan. Dalam
beberapa kasus, orang tua dari kalangan ekonomi menengah ke atas, selalu
memilih jodoh untuk anak-anaknya dengan menuntut syarat harus sarjana. Bahkan
ada tokoh masyarakat yang ketika ada anak muda yang apel pada anak gadisnya,
maka ia memanggil teman-teman anak gadisnya dan menanyakan ijazah sarjana[13].
“Anda datang ke sini, harus membawa ijazah sarjana, jika tidak, cukup malam ini
anda datang apel ke anakku”. Bait selanjutnya, mengandung makna bahwa /kumala nte lasumikola/ “aku akan
mengambil yang sekolah” /kumanga poaro
dhi meja/ “aku akan makan berhadapan di meja makan”. Sebuah impiah
sederhana, dimana ia sebenarnya hanya ingin menikmati makan bersama di meja
makan. Konteks teks sastra lisan kabhanti
di atas, menunjukan bahwa bagi masyarakat Wakatobi secara umum, makan di
meja merupakan suatu kelebihan, karena mereka biasanya makan sambil bersila.
Prespektif ini, melihat bahwa makan berhadapan di meja adalah simbol dari
kesuksesan.
Selanjutnya, beberapa kejadian
dewasa ini selalu direfleksikan ke dalam kesadaran kolektif mereka adalah
kejadian tentang promosi pariwisata Wakatobi yang masif, namun bagi para
pelantun kabhanti dianggap belum berdampak signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat Wakatobi. Sehubungan dengan realitas di atas, dalam
salah satu pementasanya di Kaledupa, La Huudu melantunkan teks kabhanti sebagai berikut. /Wakatobi buntu tengaano/ “Wakatobi itu
hanya namanya” /rouno paka ntoitane/
“wajahnya kita tidak pernah lihat”, hal serupa juga disinggung dalam teks kabhanti /te labunga buntu tengaano/ “La Bunga itu hanya namanya” /te rouno te ngkopa-kopa/ “Wajahnya mirip
lopster batu”. Dua teks kabhanti tersebut
menjadi memori kolektif masyarakat
Wakatobi terutama yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak sesuai antara nama
(promosi) dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan
ruang memori kolektif yang sudah siap pakai di dalam memori masyarakat
Wakatobi. Setiap persoalan yang terjadi
di masyarakat akan direspon dengan cepat melalui teks-teks kabhanti, dan ketika teks-teks itu keluar, masyarakat Wakatobi tahu
apa maknanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan memori kolektif masyarakatnya yang merespon
setiap dinamika terkini di dalam masyarakat Wakatobi dewasa ini.
D. Sastra
Lisan Kabhanti sebagai Proyeksi
Sebagai memori kolektif
masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang, sastra lisan kabhanti akan menjadi kompas dalam pengembangan kebudayaan
masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, Irwan
Abdullah (2009: 1) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan blue print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup
manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku. Clifford Geerrz (1993: 89)
kemudian mengatakan bahwa kebudayaan itu merupakan pola dari
pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
simbol-simbol dan ditransmisi secara historis. Ini menunjukan bahwa, sastra
lisan kabhanti sebagai unsur
kebudayaan masyarakat Wakatobi tentunya akan mengarahkan arah perkembangan
kebudayaan masyarakat Wakatobi, karena sastra lisan kabhanti merupakan ruang konsepsi-konsepsi pemikiran masyarakat
Wakatobi yang diwariskan secara turun-temurun, dengan menggunakan bahasa-bahasa
simbolik, dan biasanya tetap digunakan dalam komunikasi, melestarikan
pengetahuan dan sikap mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai sastra lisan, kabhanti tentunya memuat berbagai
pikiran, perasaan dan rekaman kehidupan dari masyarakatnya. Oleh karena itu,
keberadaan kabhanti di masa depan
akan membawa kesadaran kolektif mereka tentang nilai-nilai kebudayaan yang ada.
Generasi Wakatobi akan dibentuk oleh sastra lisan kabhanti, karena kabhanti merupakan
memori kolektif yang menyimpan berbagai simbol-simbol, nilai-nilai yang
membentuk kesadaran masyarakat Wakatobi, baik secara individu maupun secara
kolektf. Hal ini sebagaimana ditemukan pada beberapa teks sastra lisan kabhanti yang ada sejak dulu, sekaligus
membentuk nilai-nilai yang ada pada generasi Wakatobi saat ini. Teks kabhanti yang menjelaskan tentang
diaspora masyarakat Wakatobi ke berbagai daerah di Nusantara, telah melahirkan
kesadaran masyarakat Wakatobi dewasa ini bahwa mereka adalah masyarakat
karakter pekerja keras, dimana Buru dan Ambon merupakan ruang-ruang baru yang
menyimpan harapan. /Wa ina bhara
nusambira/ “ibu tidak perlu kau galau” /ane
ke Buru ngkene Ambo” masih ada pulau Buru dan Ambon”. Teks di atas menunjukan bahwa sastra lisan kabhanti menyimpan memori kolektif
tentang diaspora masyarakat Wakatobi di masa lalu, dan sekaligus membentuk kesadaran
kolektif yang akan bahwa untuk dapat maju, masyarakat Wakatobi harus keluar
dari Wakatobi, dan salah satu tempat tujuan mereka yang sampai saat masih
menarik minat masyarakat Wakatobi adalah pulau Buru dan Ambon.
Sebagai sebuah proyeksi masa
depan kebudayaan masyarakat Wakatobi, sastra lisan kabhanti tentunya memuat berbagai impian masyarakat Wakatobi.
Impian-impian individu atau kolektif tersebut dapat menjadi cetak biru dari
perkembangan kebudayaan masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang. Harapan
Wa Yai dalam teks kabhanti bahwa /kutampo
te taho dhi meja/ “aku memasang jerat di atas meja” /no kona te Ana nsikola/ “yang terjerat adalah seorang anak
sekolah”. Teks tersebut merupakan suatu
impian dari seorang ibu yang menidurkan anaknya, ia mengharapkan agar kelak
anaknya dapat duduk di meja, sehingga anaknya dapat menjadi anak sekolah. Lalu
impian itu dipertegas lagi bahwa /mou ane
na mbena-mbena/ “walaupun ada intan permata’ /kumeta’o la nsumikola/ “aku akan menunggu yang berpendidikan”. Dua
bait di atas menunjukan bahwa impian seorang ibu yang diungkapkan saat
menidurkan anaknya adalah pendidikan.
Dari teks tersebut, kemudian
menyadarkan masyarakat Wakatobi bahwa pendidikan bukanlah hak bagi mereka yang
kaya saja, tetapi merupakan hak bagi seluruh masyarakat. untuk menguatkan
semangat anak-anaknya, Wa Yai kemudin mengemukakan /Wa ina tade hekikata/ “ibu perkuatlah berdiri” /wa bhara dhia ntotobhata/ “jangan sampai
kita terjatuh”. Teks di atas merupakan semangat yang memberikan kesadaran bagi
anak-anak Wakatobi, bahwa pendidikan adalah jalan untuk mengubah peradaban
mereka di masa depan. Namun, impian tentang pendidikan tersebut dinegasikan
dengan teks /te sikola buntu te boku/
“sekolah itu hasilnya hanya buku” /te
mangaji te ngkura’ani/ “tetapi merekalah yang akan mengkaji Al Qur'an”. Ini
menunjukan bahwa teks kabhanti tersebut
mempertentangkan antara pendidikan dan pengusaha, karena orang yang berilmu
pengetahuan hanyalah mengumpulkan buku, sementara seorang pengusaha akan
mengumpulkan harta yang banyak.
Dengan demikian, semua yang
dikandung dalam sastra lisan kabhanti akan
menjadi cetak biru dari peradaban masyarakat Wakatobi di masa yang akan datang,
karena teks kabhanti selalu mereka
dengar, dan lahir sebagai sebagai sebuah tata nilai yang mereka sendiri telah
menerima dengan kehilangan kesempatan untuk memberikan kritik, tetapi justru
mereka menerimanya sebagai kebudayaan yang harus mereka patuhi.
E. Sasra
Lisan kabhanti sebagai ruang
Inspirasi Penciptaan
Sastra
lisan kabhanti merupakan salah satu
sastra lisan yang memiliki pola-pola formula yang teratur (Udu, 2013: 50).
Melalui pola-pola itu kemudian memberikan satu bentuk dasar pembuatan sastra
lisan kabhanti bagi setiap generasi
Wakatobi. Penciptaan kabhanti dapat
dikatakan bahwa setiap pementasan kabhanti
adalah baru. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Albert Bates Lord (1981: 30)
yang mengatakan bahwa setiap pementasan tradisi lisan selalu asli dan baru.
Namun, di tengah kebaruan berbagai teks yang ada, sebenarnya ada pola-pola
pengulangan yang diperkenalkan oleh Lord dengan istilah formula sebagai sesuatu
yang tetap.
Dalam
perkembangan teknologi modern, terutama
telekomunikasi, perkembangan winamp, hand phone, komputer, piano telah
memberikan ruang baru dalam perkembangan sastra lisan kabhanti di dalam masyarakat Wakatobi. Kalau di zaman dahulu,
seorang penonton harus datang ke suatu tempat, misalnya di pesta atau harus
hadir ke acara tradisi kabuenga[14]
untuk dapat menikmati teks-teks kabhanti,
maka saat ini masyarakat Wakatobi dapat menikmati teks-teks sastra lisan kabhanti dalam berbagai media.
Dalam
konteks penciptaan misalnya, saat ini pemain organ tunggal di Wakatobi telah
banyak melahirkan karya-karya dengan memanfaatkan formula kabhanti. Hal ini sebagaimana beberapa karya dari musisi Rusiadin
yang melahirkan karya dangdut dengan mengembangkan irama kabhanti. Karya dengan judul Wajandi
Topomelaimo merupakan karya populer yang digubah dengan menggunakan formula
kabhanti. Pola kabhanti tersebut dapat dilihat dalam teks berikut.
Wajandi
topomelaimo
Wajandi
topomelaimo
Pia jaga
naorungu’u
Pia jaga
naorungu’u
|
Kekasihku kita sudah
berjauhan
Kekasihku kita
sudah berjauhan
Hati-hati kau
jaga badanmu
Hati-hati kau
jaga badanmu
|
Pia jaga
naorungu’u
Pia jaga
naorungu’u
Buke nahumei
lingkuko
Buke nahumei
lingkuko
|
Hati-hati kau
jaga badanmu
Hati-hati
kau jaga badanmu
Banyak
yang menginginkan secara rahasia
Banyak
yang menginginkan secara rahasia
|
Tau aku dhi
sangawa’u
Tau aku dhi
sangawa’u
Bhara dhia
kuntomolinga
Bhara dhia
kuntomolinga
|
Simpan
aku di atas ubun-ubunmu
Simpan
aku di atas ubun-ubunmu
Jangan
sampai kau melupakanku
Jangan
sampai kau melupakanku
|
Bhara dhia
kuntomolinga
Bhara dhia
kuntomolinga
Topoasa molengo
dhia
Topoasa molengo
dhia
|
Jangan
sampai kau melupakanku
Jangan
sampai kau melupakanku
Marilah
kita bersama selamanya
Marilah
kita bersama selamanya
|
Ara tamoasa te
laro
Ara tamoasa te
laro
Bhisa te gunu
nomopera
Bhisa te gunu
nomopera
|
Kalau
kita satukan hati
Kalau
kita satukan hati
Walaupun
gunung akan menjadi pendek
Walaupun
gunung akan menjadi pendek
|
Bhisa te gunu
nomopera
Bhisa te gunu
nomopera
Tadhumodhua salengo’e
Tadhumodhua
salengo’e
|
Walaupun
gunung akan menjadi pendek
Walaupun
gunung akan menjadi pendek
Kita
akan bersama selamanya
Kita
akan bersama selamanya
|
Te laro’u
telasosumo
Te laro’u
telasosumo
Te tuha’u te
tuha sumo
Te tuha’u te
tuha sumo
|
Hatimu
sudah menjadi hatiku
Hatimu
sudah menjadi hatiku
Keluargamu
sudah menjadi keluargaku
Keluargamu
sudah menjadi keluargaku
|
Ara tajari na
ikita
Ara tajari na
ikita
Te ina’u te ina
sumo
Te ina’u te ina
sumo
|
Kalau
suatu saat kita jadian
Kalau
suatu saat kita jadian
Ibumu
sudah menjadi ibuku
Ibumu
sudah menjadi ibuku
|
Labi topoawa
dhi e’e
Labi topoawa
dhi e’e
Dhi sapo te
mata nutuha
Dhi sapo te
mata nutuha
|
Lebih
baik kita bertemu di air
Lebih
baik kita bertemu di air
Di
rumah banyak pandangan keluarga
Di
rumah banyak pandangan keluarga
|
Labi topoawa
dhi e’e
Labi topoawa
dhi e’e
Tomepa
dhua-dhua ngkita
Tomepa
dhua-dhua ngkita
|
Lebih
baik kita bertemu di air
Lebih
baik kita bertemu di air
Kita
akan basah berdua
Kita
akan basah berdua
|
Tau aku dhi
sangawa’u
Tau aku dhi
sangawa’u
Bhara dhia
kuntomolinga
Bhara dhia
kuntomolinga
|
Simpan
aku di atas ubun-ubunmu
Simpan
aku di atas ubun-ubunmu
Jangan
sampai kau melupakanku
Jangan
sampai kau melupakanku
|
Teks
sastra lisan kabhanti di atas
merupakan bentuk pengembangan kabhanti yang
selama ini tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Kehadiran lagu
dangdut yang karang oleh Rusiadin tersebut menunjukan bahwa penciptaan seni Wakatobi
modern, banyak mendapatkan inspirasi dari kabhanti
sebagai memori kolektif masyarakat Wakatobi. Bahkan pada kenyataannya, para
penyanyi organ tunggal, mereka akan menyanyikan nada yang dipopulerkan oleh
Rusiadin tersebut, tetapi dengan teks yang lain sesuai dengan konteks
pementasan. Hal ini dilakukan oleh Wa Puti yang diiringi oleh Anton. Ia
menyanyikan bhanti-bhanti atau kabhanti dengan
teks-teks yang lain.
Sebagai
seorang musisi, banyak karya-karya La Ode Kamaluddin juga menggunakan formula kabhanti dalam karya-karyanya. Dalam
albumnya Wakatobi Wolume satu, membuktikan bahwa La Ode Kamaluddin banyak
terinspirasi dengan sastra lisan kabhanti
dalam proses penciptaannya. Dalam salah satu lagunya, yang berjudul Temondo Popilu dipengaruhi oleh formula
sastra lisan kabhanti, hal ini
sebagaimana dalam teks berikut.
Wa
jandi bhara umangkuru
Misiti
ane nta moawa
Te
amalasu ntamoawa
Wajandi
bhara umangkuru
Tamoawa
tumpu nularo
|
Kekasihku
janganlah kau bersedih
Sudah pasti
kita akan bertemu
Aku berdoa kita
akan bertemu
Kekasihku
janganlah bersedih
Kita akan
bertemu dan berbahagia
|
Nalaro
umompu te hadha
Mohali
na sampagi ano
Nalaro
umompu te hadha
Mohali
na sampagi ano
Ara
temondo mpopoilu
|
Hati yang
mengikat kehendak
Terlalu sudah
untuk putuskan
Hati yang
mengingat kehendak
Terlalu sudah
untuk putuskan
Kalau memang
sudah saling mencintai
|
Te
sangga nojumpa iyaku
Tembajau
ako te mia
Te
sangga nojumpa iyaku
Tembajau
ako te mia
Labi
kuita te koburu
|
Kecurigaan
mengarah kepada diriku
Tetapi badanmu
untuk orang lain
Kecurigaan
mengarah kepada diriku
Tetapi badanmu
untuk orang lain
Lebih baik aku
lihat kuburan
|
Ara
te sidha ke laro’u
Mai
potumpu ako naku
Mai
potumpu ako naku
Ara
te nsidha kelaro’u
Bhara
kusala nsaronako
|
Kalau memang
dengan hatimu
Lebih baik kau
datang melamarku
Lebih baik kau
datang melamarku
Kalau memang
dengan hatimu
Jangan sampai
aku salah mengharap
|
Telaomo
ntopodhani
Pakamo
ane ntamoga’a
Telaomo
ntopodhani
Bhisa
aneho ntamoga’a
Tamogaa
kaenularo
|
Kita sudah
terlanjur berkenalan
Tidak mungkin
lagi kita berpisah
Kita sudah
terlanjur berkenalan
Walaupun kita
masih berpisah
Kita akan
berpisah dengan hati tak sampai
|
Suru
noawamo namia
Telabhimo
mina dhi koo
Suru
noawamo namia
Paka
naumawa namia
Pakadhokulabhi
akoko
|
Mengapa orang
lain sudah mendapatkan
Karena sudah
sisa dari dirimu
Mengapa orang
lain sudah mendapatkan
Orang lain
tidak akan pernah dapat
Karena aku
tidak pernah lebih tentangmu
|
Berdasarkan beberapa karya
kreatif di atas menunjukan bahwa sastra lisan kabhanti menjadi inspirasi dalam beberapa karya seni modern di
Wakatobi. Bahkan dalam beberapa film yang digarap di Wakatobi selalu
menggunakan kabhanti sebagai musik latarnya. Hal ini
sebagaimana dilihat pada latar film The
Mirror Never Lies. Dengan demikian, sastra
lisan kabhanti di samping menjadi
ruang memori kolektif masyarakatnya, juga dapat mengispirasi berbagai menciptaan
seni di Wakatobi.
F. Penutup
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan kabhanti merupakan memori (ingatan) kolektif masyarakat Wakatobi,
baik yang menyangkut masa lalunya, maupun mengenai masa sekarang dan masa yang
akan datang. Keberadaan sastra lisan kabhanti
dalam masyarakat Wakatobi telah membuktikan diri sebagai media penyimpanan
berbagai ingatan kolektif mereka. Hampir semua peristiwa diabadikan dalam
sastra lisan kabhanti.
Di
masa kini, sastra lisan kabhanti mampu
merefleksikan seluruh keluh kesah masyarakat tentang fenomena yang terjadi,
tentang pemerintahan, tentang norma, tentang harapan dan impian dari masyarakat
pendukungnya. Sementara dimasa yang akan datang, sastra lisan kabhanti diharapkan dapat menjadi ruang
ispirasi bagi perkembangan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Karena
kebudayaan Wakatobi akan tergantung kemana arah kencederungan kesadaran
kolektif dari masyarakatnya. Dengan demikian, sastra lisan kabhanti sebagai memori kolektif mereka memegang peranan penting
dalam mengarahkan arah pengembangan kebudayaan dari masyarakat pendukungnya.
G. Daftar
Pustaka
Abdullah,
Irwan. 2009. Kontruksi dan Reproduksi
Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Greertz,
Clifford. 1983. Lokal Knowledge. New York:
Basic Books.
Greerzt,Clifford.
1992. Tafsir Kebudayaan diterjemahkan
oleh Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula
Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas
Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis.
1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian
Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
La
Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan
Wakatobi. Jakarta: Granada.Abdullah, Irwan. 2009. Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lord,
A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge,
Massachusetts, London, England: Harvard University Press.
Rahman,
Abdul Hamid. 2011. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Silver, Harrr R. 1979. “Etnoart”, Annual
Review og Antropology, Vol.8, hlm. 267-307.
Tuloli,
Noni. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam
Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Udu,
S. 2010. “Kearifan Lokal Masyarakat Wakatobi dalam Kabhanti”. Bangka Belitung: Makalah Seminar Internasional ATL
bekerjasama dengan Pemerintah Bangka Belitung tanggal 21-23 November 2010.
Udu,
Sumiman. 2003. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Wakatobi:
Analisis Formula dan Komposisi Skematik. Kendari: Laporan Akhir Penelitian Hibah Disertasi Doktor Lembaga
Penelitian Universitas Halu Oleo.
Udu,
Sumiman. 2003. Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Wakatobi:
Analisis Formula dan Komposisi Skematik. Kendari: Laporan Akhir Penelitian Hibah Disertasi Doktor Lembaga
Penelitian Universitas Halu Oleo.
Udu,
Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Buton”
dalam “Naskah Buton Naskah Dunia, Ed.
Yusran Darmawan. Bau-Bau: Penerbit Respect.
Udu,
Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti Sebagai
Media Komunikasi Kultural dalam Masyarakat Wakatobi”
dalam Humaniora Vol. 27 No. 1
tahun 2015. Hal. 217-228.
Udu,
Sumiman. 2015. “Menelusuri Jejak Pelayaran Perahu Karoro dan Transformasinya,
dalam Majalah Pabhitara Volome X
tahun 2015.
Udu,
Sumiman. Perempuan dalam kabhanti:
Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Penerbit Diandra.
Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan sebagai Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[1] Dosen Universitas Halu Oleo
Kendari dan peneliti Sastra Lisan kabhanti
Wakatobi
[2] Kabhanti merupakan gabungan dua awalan
ka-bhanti dalam bahasa Wolio. Menurut La Niampe Salah satu ingatan kolektif masyarakat Wakatobi yang mengandung
nilai-nilai budaya tersebut adalah nyanyian rakyat yang disebut kabhanti atau
bhanti-bhanti (Udu, 2010: 18). Secara etimologi kata “kabhanti”
berasal dari bahasa Wolio yang merupakan kata jadian dari kata “bhanti”yang
berarti sindiran, dan mendapatkan awalan (ka-) yang berfungsi untuk
mengubah kata kerja menjadi kata benda (Niampe, 1998: 5). Sehingga kata “kabhanti”
merupakan kata jadian yang bermakna
sebuah sindiran. Dalam bahasa Wakatobi, kata “kabhanti”, tidak dikenal,
mereka hanya mengenal kata “bhanti” yang berarti sindiran, hal ini dapat
dilihat dalam kalimat yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari
masyarakat Wakatobi, misalnya /kolalo di amai iso, nobhanti kami/ “kami
lewat pada mereka itu, mereka menyindir kami”. Mengacu pada konteks kalimat di
atas, maka bhanti berarti ungkapan yang mengandung sindiran. Selanjutnya
La Ode Kamaluddin, mengatakan bahwa kata “bhanti” merupakan nyanyian
yang dilantunkan dan tidak ditujukan untuk seseorang, tetapi hanya sebagai
luapan perasaan. Di sisi yang lain, La Ode Kamaluddin juga mengatakan bahwa
kata “bhanti-bhanti” merupakan nyanyian yang dilantunkan untuk menyindir
orang atau pendengar dengan menggunakan bahasa yang tidak langsung (Wawancara,
tanggal 2 Februari 2011). La Ode
Taalami (2008: 59) mengatakan bahwa kata bhanti dalam bahasa Wakatobi
berarti dua pengertian, pertama bhanti berarti “sindiran halus”, dan
kedua, bhanti sebagai salah satu jenis lagu yang berisi ungkapan
perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan kerinduan), juga nasihat. La
Ode Nsaha (1987/1988: 235) bahwa kabhanti
merupakan nyanyian rakyat yang disampaikan dalam bahasa halus sehingga
menyentuh sampai di hati.
[3] Wawancara dengan
La Ode Kamaluddin tanggal 21 Juli 2015
[4] Wawancara dengan
Abdul Rahman Hamid tanggal 21 Juli 2017.
[5] Kadhia merupakan wilayah pemerintahan di
dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton. Secara budaya kadhia merupakan wilayah otonom sehingga mereka berkembang dengan
baik di zaman kesultanan Buton.
[6] Endapo merupakan salah satu air
Gua yang berada di kelurahan Mandati 2 kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Dewasa
ini batas kecamatan Wangi-Wangi Selatan terletak di jalan Merdeka, tetapi batas
imajiner budaya antara Mandati dan Wanse adalah daerah jalan kemerdekaan dan
air Endapo.
[7] Bhaobhe
merupakan nama salah satu kampung yang ada di pegunungan pulau Wangi-Wangi
kecamatan Wangi-Wangi kabupaten Wakatobi. Umumnya memiliki gadis-gadis yang
berkulit putih dan cantik.
[8] Pobhnati merupakan konteks pementasan
sastra lisan kabhanti yang dilakukan
secara berbalasan (La Ode Taalami (2008: 60; Sumiman Udu, 2010; 69).
[9] Wawancara
tanggal 09 Agustus 2015
[10] Wawancara
tanggal 15 Agustus 2013
[11] Welia merupakan tradisi masyarakat Liya
Wakatobi untuk mengevaluasi kinerja pejabat sara, apakah ia sukses atau tidak
sukses selama kepemimpinananya. Jika ia sukses, maka masyarakat akan memberikan
apresiasi yang baik dan berhak melanjutkan kepemimpinannya, dan tetapi jika
dianggap tidak sukses, maka ia akan
diberikan kompensasi berupa hasil penan dan pejabat tersebut diusulkan
untuk diganti (wawancara dengan Agung
tanggal 21 April 2014).
[12] Wawancara dengan Onu La Ola
tanggal 10 Agustus 2015
[13]Wawancara dengan La Deni tanggal
23 Januari 2015, dalam kasus tersebut ia menyebutkan bahwa temannya pernah
diusir oleh orang tua perempuan hanya karena temannya belum memiliki ijazah
sarjana. “Ara mbeado dhi bhawa te sura
tama sarjana, bharaho dhi umba dhi wunua Ana, ara anemo maka dhi umba”
(kalau belum membawa Ijazah Sarjana, jangan dulu muncul di rumah ini, kalau
sudah ada baru kalian bisa datang ke rumah ini)” Deni menirukan pernyataan
orang tua tersebut.
[14] Tradisi kabuenga merupakan tradisi ayunan yang dilakukan oleh masyarakat
Wakatobi atas adanya hajat, kampung atau pribadi. Tradisi kabuenga ini
dilakukan dengan cara masyarakat membangun ayunan besar di lapangan lalu mereka
datang berayun, sambil melantunkan sastra lisan kabhanti sebagai media pengungkapan pikiran dan perasaan mereka.
Pada hari puncak tradisi kabuenga semua gadis-gadis duduk (nokedhe) lalu pihak laki-laki berkeliling (kadhandio) dan berakhir mereka akn menyuapi tunangan atau pacarnya.
Proses ini juga merupakan ruang kontrol sara
(pemerintahan adat) terutama dalam melihat hubungan darah antara
pasangan-pasangan yang sedang melakukan (posombui)
saling menyuapi, apakah mereka tidak melanggar (insest) atau tidak. Jika ada
hubungan insest, maka sara akan mengambillangkah adat yaitu mereka akan memohon
doa tolak bala (kutukan) supaya kampung terhindar dari bahaya, penyakit,
kelaparan, kekeringan.
Bacaan Terkait:
Relasi Gender dalam Masyarakat dan Pembangunan Wakatobi
Redupnya Matahari di Wakatobi
Bacaan Terkait:
Relasi Gender dalam Masyarakat dan Pembangunan Wakatobi
Redupnya Matahari di Wakatobi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar