Pagi itu cuaca agak dingin, embun masih menyisahkan tanda-tandanya di tanah, basah.
20 km dari Ba’a Lobalain ke Busalangga pasar rakyat Rote Barat Laut. Dengan mengendarai motor metik Suzuki perburuan ini dimulai. Jalan beraspal yang mulus menjadikan perburuan ini tak begitu lama untuk sampai ke pasar Busalangga, cukup 20 menit saja.
Pesan sebagai pasar rakyat sampai kepada setiap orang yang baru pertama mengunjungi tempat ini. Terbayang tentang berbagai jenis hasil bumi Rote akan terpampang di sini. Umbi-umbian, Kacang-kacangan, Bawang, Sayur yang segar-segar, serta berbagai jenis gula hasil olahan dari pohon lontar akan ditemui sangat mudah di pasar ini.
Wow, sayur-sayur berwarna hijau sungguh menggugah hati untuk membelinya, ditumpuk sederhana berdasarkan klasifikasi harga. Seorang ibu menyapa, “Beli Sayur mas,” “berapa satu tempat kow mama?” “Ada yang 5.000 dan 10.000, kow mas beli sudah satu tempat,” bujuk seorang ibu penjual”
Pasar Busalangga adalah pasar yang mempertemuan hasil bumi dari 21 Desa di Rote Barat Laut. Para petani dan nelayan bertaruh nasib di sini, apakah akan pulang dengan membawa uang dari hasil dagangannya atau akan pulang dengan memikul kembali barang dagangannya sebab waktu mendagangkan hasil kebun dan melaut tidak panjang, hanya 5 jam saja sejak jam 5 pagi hingga 10 pagi, lalu pasar ini akan sepi dari pembeli yang datang dari berbagai desa sekitar. Pasar Busalangga hanya mempertemukan para pedagang hasil bumi dan peberli setiap hari Rabu dan Sabtu saja.
Pada bangunan los yang disediakan oleh pemda Rote, terdapat penjual pakaian dan barang kelontong, pecah belah dan barang-barang dapur.
Masih dalam los pasar, berjejer bapak dan ibu-ibu penjual pinang dan tembakau. Tembakau dihargai Rp. 25.000 per satu kilo. sedangkang pinang kering
Rp. 5.000 per 1 gantang kaleng
Di sebelah luar bagian kiri, para penjual hasil laut-pun berjejer menjajakan ikan, udang, kerang, dan jenis hasil laut lainnya.
Pencarian dilanjutkan ke bagian badan jalan sebelah Barat. Nah! Pandangan tertuju pada 3 orang ibu-ibu berjejer sambil berdiri. Apakah gerangan di hadapan mereka itu? Gula, ya itu gula yang menjadi perburuan utama.
Sejenak tentang gula Rote yang termashur, aroma wangi serta rasanya yang begitu berkesan hingga ke Wakatobi.
Di era pelayaran perahu Bangsa Buton terutama dari Pulau Binongko dan Tomia masih merajai lautan Flores. Perahu-perahu itu berlayar menelusuri pulau-pulau Selatan Wakatobi seperti; Solo, Larantuga, Lembata, dan sekitarnya. Menuju ke Barat dari Lembata perahu-perahu orang Wakatobi terus mencari hasil bumi untuk muatan hingga sampai ke Flores, Manggarai, Kupang serta Rote. Gula rote telah menembusi desa-desa pelosok di 7 pulau berpenghuni Wakatobi sekitar tahun 60an sampai tahun 90an.
Masyarakat Wakatobi mengenal 2 jenis gula Rote yakni gula cair dan gula lempeng. Gula semut luput dari ingatan sebab tak begitu terkenal entah kenapa. Gula cair Rote terkenal baik untuk pemanis Karasi dan Cucuru, selain itu bila dicampur gula cair Rote Karasi dan Cucuru mudah dibentuk. Sedangkan Gula Lempeng terkenal sebagai teman ‘suami, bahasa lokal Kawati Waha,’ soami, bahasal lokal Kawati Timu dan Tongano,’ atau ‘kasoami, bahasa Wolio’
Umbi-Umbian dari kawasan Selatan Indonesia Seperti “kanokau Solo, Opa Larantuka, cukup memberi andil bagi kehidupan penduduk Wakatobi di satu zaman, terutama penduduk Pulau Tomia. Apalagi asam-nya. Terbayang bagaimana menghidupkan transportasi laut dari Wakatobi ke Pulau- Pulau Selatan sebagai jembatan hasil bumi. “Pernah memang di Tahun 2013 pada kunjungan balasan Pemda Wakatobi ke Lembata mendiskusikan Jalur Tenggara-Tenggara”
Entah kabarnya kini sudah sampai tahap mana rencana kerjasama Pemda Wakatobi dan Pemda Lembata untuk Jalur Tenggara-Tenggara.
Lalu bagaimana dengan jalur Wakatobi - Rote Ndao? Negeri penghasil padi, umbi-umbian, serta kacang-kacangan ini menanti pasar. Ternak yang murah, misalkan harga seekor kambing di Wakatobi Rp. 2 juta di sini hanya Rp. 4oo ribu. Sapi yang seharga 15 juta di Wakatobi, di sini cuma 6 juta. Wow..
Pada bagian dalam pasar, pembeli akan terkesima dengan aneka corak sarung tenun khas Rote, dari warna hitam emas sampai warna alami alam. Sepasang sarung tenun dihargai Rp. 360.000 ribu yang terdiri dari satu sarung dan satu selendang. Sedangkan yang berukuran agak besar dihargai Rp. 500.000 sampai 700.000. Lama memandangi aneka warna sarung tenun ini sambil menghayal, “ Andai aku beli satu pasang sarung akan ku persembahkan pada siapakah sarung ini?,, hmm nasib bujang lapuk (^_*)
“Mas Katong ketemu lagi” sapa seorang ibu penjual sarung yang pernah ku ajak ngobrol di Metina Mokdale, membuyarkan lamunan (^_^). “Mas ambil Ko satu sarung nanti Be kasi kurang na.” Senyum bodohku-pun terlihat, “Mama kow, nanti sa be pi rumah kalau mau beli,” “bae sudah mas, nanti ambil beta pung nomor ana nona, mas supaya kontak,”. Senyum lebar mengembang, dalam hati bergumam “Mama baek sekali lay, ada ana nona-nya eeee.”
Sejenak lupakan guyonan. Di luar, perhatian tertuju ke seorang nenek yang sedang duduk menunggui dagangannya. Sembari mendekat sambil memberi senyum pada nenek yang cantik ini, “Nenek jual apa ni?” “Jual sayur nyong ee, bae nyong beli satu ikat sayur nenek,” “nenek sudah berapa jam di sini?” “sudah dari tadi pagi sampai sekarang, sonde ada jua yang laku, nyong bae ambil satu ikat buat penggembira hati nenek,” Nenek bernama Agustin dari desa Tualima ini berusia 65 tahun, pintar merayu higga 2 ikat sayurnya laku, dua ikat itu Rp.10.000
Di sebelah Timur, sebuah halaman rumah warga terdapat kursi dan meja yang bertumpuk uang kertas baru. Di sana, ada pegawai BI yang dijagai oleh 3 orang pengaman lengkap dengan senjata. Wow ada apa di sana ya? “Mas, itu uang untuk apa hingga ditaruh di atas meja?” tanyaku pada seorang penjaga. “itu uang untuk menukar uang para pedagang. Pedagang dan warga yang di sini boleh menukar uang kertasnya yang sudah rusak atau kusam dengan yang baru. Selain itu boleh juga menukar uang bulatan besar untuk dipecahkan ke bulatan kecil sesuai keinginan penukar ”terang seorang petugas jaga yang tak ku tanyai namanya. Takut ada senapannya :)
Memandang ke bagian depan pasar, sebuah bangunan bertuliskan BRI berdiri kokoh. Tak sempat ke sana untuk berdiskusi dengan pegawai BRI sebab hari sudah makin siang, perut sudah mulai ribut sendiri.
Mengunjungi pasar Busalangga, merupakan kepuasan tersendiri. Hari ini Mama, Nenek, dan To’o serta Ade Nona telah menyelipkan satu kisah perjalanan, apalagi kalian memanggilku “mas” (*-*)
I Love Busalangga, Aku akan kembali
Ba’a Lobalain Rote Ndao, 08 Oktober 2015
Hanya Anak Kampung
diambil dari https://www.facebook.com/notes/hanya-anak-kampung/gula-rote-sampai-ke-wakatobi/10156146073365230
Tidak ada komentar:
Posting Komentar