Oleh:
Sumiman Udu[2]
Keberadaan
sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam
menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Sebagai ekspresi budaya lokal,
sastra lisan bhanti-bhanti tetap
menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan
diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga
ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat.
Penelitian ini
menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan
masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan
global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti.
Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat
Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi
dengan budaya global.
Hasil penelitian
ini menunjukan bahwa melalui sastra lisan bhanti-bhanti
masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi
yang lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam
menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Oleh karena itu, keberadaan sastra
lisan bhanti-bhanti merupakan identitas
lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam
menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini.
Kata kunci: eksistensi, sastra lisan, bhanti-bhanti, ruang, negosiasi lokal,
kebudayaan Global
A.
Pengantar
Keberadaan
sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam menghadapi
kebudayaan global di seluruh dunia. Nilai-Nilai budaya yang ada dalam kabhanti dapat memperkuat jati diri
masyarakatnya dan dapat menjadi penanda identitas masyarakatnya sendiri (Udu,
2009: 257). Asrif (2014: 133) mengatakan bahwa sastra lisan merupakan salah
satu alat untuk mendokumensikan identitas masyarakat pendukungnya. Mursal
Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu
penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa
tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan musik dan film yang
diproduksi di Afrika dan India. Namun di sisi yang lain, kehadiran sastra lisan
dan industri kreatif semakin memberikan ciri khas kedaerahan dalam berbagai
perkembangan dan kemajuan budaya global. Berangkat dari pemikiran di atas, maka
sastra lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam perkembangan
industri kreatif di tengah acaman globalisasi sebagaimana dikatakan oleh
Mursydah (2012: 377) bahwa globalisasi nyaris menyapu semua jenis tatanan
tradisional dan mengarahkan manusia kepada hegemonitas budaya yang menentang
keberadaan nilai identitas kelompok dan sekaligus mengancam eksistensi budaya
lokal.
Sebagai
ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti
tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus
menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus
menyerbu hingga ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat. Melalui sastra lisan bhanti-bhanti, masyarakat Wakatobi
selalu menanamkan nilai-nilai bagi masyarakat pendukungnya dan sekaligus
menawarkan cara pandang baru kepada dunia global tentang kearifan lokal yang
ada dalam sastra lisan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan (Udu, 2013: 192).
Di sisi yang lain, sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan ruang negosiasi kultural dalam menghadapi kebudayaan global
dewasa ini. Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti
merespon berbagai perkembangan dunia saat ini sebagai bagian dari perubahan
global.
Ciri
khas globalisasi yang memanfaatkan kemajuan ditiga pilar pembangunan global,
yaitu (1) kemajuan teknologi informasi, (2) transportasi dan (3) kemajuan pariwisata,
menyebabkan dunia ini seolah telah kehilangan batas-batas negara dan
kebudayaannya. Perkembangan teknologi informasi, telah mengubah batas-batas
kebudayaan dan negara, kebudayaan telah mengarah kepada pembentukan satu jenis
kebudayaan. Entitas kebudayaan di
belahan dunia yang lain akan dapat dengan mudah dipelajari dan ditiru
oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Pergeseran media besar dan hadirnya
media sosial, dapat berpeluang untuk tampilnya sastra-sastra lokal di dalam
berbagai blog dan group yang datang dan pergi dengan cepat, tetapi tetap
sebagai sebuah informasi yang merupakan bagian dari negosiasi
kebudayaan-kebudayaan kecil tersebut dalam menampilkan eksistensinya dalam
percaturan budaya global[3].
Oleh
karena itu, penelitian mengenai eksistensi sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang negosiasi lokal dalam kebudayaan global,
merupakan salah satu usaha untuk memahami bagaimana keberadaan berbagai budaya
lokal yang dimiliki oleh berbagai kebudayaan di dunia di era global. Bagaimana
kebudayaan-kebudayaan kecil bertahan di tengah serbuan kebudayaan global. Untuk
maksud tersebut, maka penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data
penelitian ini akan difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang
indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam
sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan
demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi
yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti
sebagai ekspersi budaya lokal dalam
berinteraksi dengan budaya global.
B.
Sastra
Lisan bhanti-bhanti Sebagai Identitas
Kultural
Sastra
lisan bhanti-bhanti dapat dikatakan
sebagai nyanyian masyarakat yang menyentuh sampai di hati, berisi nasihat dan
yang mengandung berbagai mutiara kebijaksanaan (La Niampe, 1998: 5; Udu, 2010: 21;).
Sehingga sastra lisan bhanti-bhanti merupakan
salah satu identitas dari masyarakat Wakatobi. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya masyarakat Wakatobi yang mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai
pemilik dari sastra lisan bhanti-bhanti.
Hal ini disebabkan karena sejak kecil, anak-anak Wakatobi sejak kecil sudah
ditidurkan dengan sastra lisan bhanti-bhanti
Wakatobi. Wa Yai mengatakan bahwa saya selalu menidurkan anak-anakku dengan
sastra lisan bhanti-bhanti. La Ode
Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa
kaŠ±anti berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau
pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena sehingga di dasar
hati bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam suasana dari hati ke hati.
Sementara La Ode
Kamaluddin mengatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat Wakatobi. Ia
bahkan mengatakan bahwa ketika berada di Maluku di pulau Seram, dan melantunkan
sastra lisan bhanti-bhanti, maka
secara tidak langsung mengundang orang-orang Wakatobi untuk mendengarkan
nyanyian tersebut[4].
Ini
merupakan bahwa dalam sastra lisan bhanti-bhanti
terdapat identitas kedaerahan yang hidup dalam setiap hati dan pikiran
orang Wakatobi. Sehubungan dengan itu, Daru Winarti (2013: 602) mengatakan
bahwa nyanyian pengantar tidur berhubungan dengan kepribadian yang dimiliki
oleh seorang individu dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Oleh
karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat
Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain,
sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti
masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai
perkembangan budaya global. Bahkan pada beberapa kasus, seorang anak muda yang
merantau dan bekerja di kota Kinabalu Sabah Malaysia, menghabiskan masa
remajanya hampir 14 tahun di kota itu, dan ratusan surat telah dikirim oleh
orang tuanya, tetapi ia tetap juga tidak mau pulang, terakhir ia dikirimi
sebuah kaset yang berisi rekaman nyanyian bhanti-bhanti
yang dilantunkan ibunya. Setelah mendengarkan sastra lisan bhanti-bhanti tersebut, maka anak muda
itu menangis dan pulanglah ia ke Wakatobi[5].
Dengan
demikian, sastra lisan bhanti-bhanti dapat
dikategorikan sebagai identitas lokal bagi masyarakat pendukungnya, karena
semua orang Wakatobi akan mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik sastra
lisan bhanti-bhanti. Siapapun orang
Wakatobi akan mengatakan bahwa bhanti-bhanti
adalah karya leluhur mereka, karena sejak dini mereka sudah ditidurkan
dengan bhanti-bhanti sebagai
pengantar tidur. Setelah mereka dewasa, mereka juga mengungkapkan cinta mereka
melalui teks-teks bhanti-bhanti hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Wa Ode Bulalu bahwa “Ara te pobhawa’a dhi molengo, te pobhanti’a tunggala morondo[6]”
(kalau masa-masa pacaran di masa muda dulu, selalu diisi dengan acara berbalas
pantun atau bhanti setiap malam). Hal
yang sama juga dikemukakan oleh La Rumadi bahwa “Teposerei’a dhi molengo sabaranamo te pobhanti’a” (pacaran di masa lalu sebenarnya adalah berbalas pantun).
Kondisi inilah kemudian, kalau dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti sebagai salah satu identitas
lokal dari masyarakat Wakatobi.
C.
Sastra
Lisan Bhanti-bhanti sebagai Ruang
Negosiasi Kultural
Sebagai
identitas lokal, sastra lisan bhanti-bhanti
memegang peranan penting dalam masyarakat pendukungnya. Ia bukan saja
tampil sebagai hiburan semata-mata, tetapi memiliki peran sebagai ruang
negosiasi kultural dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam
masyarakat Wakatobi (Udu, 2015: 220). Bahkan dalam perannya sebagai ruang
negosiasi kultural tersebut, sastra lisan bhanti-bhanti
dapat menjadi kontrol yang sangat kuat terhadap pemerintahan. Seorang yang
tidak senang dengan kebijakan sara[7]
atau pemerintah, dengan mudah memberikan koreksi. Teks yang paling banyak
digunakan untuk memprotes atas ketidakadilan penguasa (sara) adalah /timbangi
la bhonto timbangi/
“timbang-timbanglah la bhonto[8]
timbang-timbanglah” /te togo
nolingka-lingkamo/ “Kampung sudah mulai miring”. Teks tersebut, di zaman
kesultanan Buton, seseorang tidak perlu melakukan demosntrasi untuk memprotes
penguasa, tetapi kucup setiap lewat di halaman rumah penguasa akan selalu
melantunkan teks tersebut.
Ketika
terjadi perkelahian antarkampung mengenai perbatasan, maka orang Wanci dan
orang Mandati akan menggunakan teks sastra lisan bhanti-bhanti sebagai memori kolektif mereka untuk menyelesaikan
masalah mereka. /Te wansemo te mandatimo/
“baik orang Wanci maupun orang Mandati” /dhi
endapo na ngkaselapa/ “di air endapo perbatasannya”(Udu, 2015: 226). Ini
menunjukan bahwa dalam perannya sebagai ruang negosiasi kultural dalam
masyarakat Wakatobi, sastra lisan bhanti-bhanti
memegang peranan yang signifikan, karena orang Wakatobi menggunakan sastra
lisan bhanti-bhanti sebagai alat
komunikasi mereka yang santun dan dapat diterima oleh lawan komunikasi. H. La
Morunga mengatakan bahwa, sejak dulu masyarakat Wakatobi khususnya Wanci dan
Mandati memiliki ingatan kolektif tentang batas wilayah itu dalam bentuk lagu[9].
Orang
Wakatobi akan menganggap bahwa sindiran yang diberikan melalui sastra lisan bhanti-bhanti masih cenderung akan
diterima sebagai seni, jika dibandingkan dengan mengemukakan protesnya melalui
bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra lisan bhanti-bhanti, sejak dulu sudah sering dijadikan sebagai bahasa
komunikasi muda-mudi di dalam masyarakat Wakatobi sampai era 1960-an. Wa Ode
Bulalu mengatakan bahwa dulu, para saudara (lelaki) yang datang pada setiap
tradisi hekomba’a[10]
akan datang dengan membawa beberapa ole-ole, namun hati mereka dapat ketahui
melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti
yang mereka lantunkan setiap malam. “Ara
dhi molengo, te hesulu mai Ana omai kene nobhawa te malingu giu, maka amo te pobhanti sarondo’e na rondo” (kalau di
zaman dulu, saudara (lelaki) datang dengan membawa ole-ole untuk sahabat
(perempuan), baru mereka berbalas bhanti-bhanti
semalam suntuk)[11].
Di
samping itu, seorang ibu dapat mengkomunikasikan impiannya kepada anak-anaknya,
dan seorang anak dapat mengkomunikasikan impian dan harapannya kepada ibunya
melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti. Seorang ibu di Wakatobi
yang memiliki impian kehidupan yang layak di luar Wakatobi ketika mendapatkan
kesusahan hidup di Wakatobi, akan menyampaikan impian itu kepada anaknya dengan
teks bhanti-bhanti /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau
bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/
“masih ada Buru dan Ambon”. Impian ini dikomunikasikan dengan menggunakan
sastra lisan bhanti-bhanti sehingga
menjadi kekuatan sekaligus memori kolektif yang menjelaskan tentang kebiasaan
orang Wakatobi berlayar ke Maluku antara lain pulau Buru dan Ambon. Bagi orang Wakatobi, Ambon bukanlah hal baru
dalam kebudayaan mereka, tetapi malah sebuah negeri yang mengisi imajinasi
anak-anak Wakatobi sejak mereka masih dalam buaian.
Pada
persoalan jodoh, seorang anak Wakatobi akan dengan leluasa mengungkapkan impiannya
untuk mendapatkan jodoh dari orang yang dipilihnya sendiri. Ia mengungkapkannya
dengan /wa ina tamogagaimo/ “ibu kita
akan berbeda pendapat” /kunumangkamo te
matasu/ “saya akan mengikuti mataku”, /ara
dhoimo te wa ina/ “kalau tinggal ibu” /tohojane
te ntagambiri/ “nanti kita hibur dengan gambir”. Dua teks bhanti-bhanti di atas, menunjukan bahwa
sastra lisan bhanti-bhanti merupakan
ruang negosisasi kultural yang efektif dalam berbagai komunikasi di dalam
masyarakat Wakatobi. Sementara di sisi yang lain, seorang ibu akan memberikan
penekanan pada pentingnya peran orang tua dalam memilih jodoh dengan teks
sastra lisan bhanti-bhanti /te buri paka ntedhiguru/ “jodoh itu
tidak perlu diajari” /nolaha-laha
ngkaramano/ “dia akan datang mencari jalannya sendiri” (Udu, 2010: 103).
Teks di atas merupakan bentuk negosiasi orang tua[12]
Wakatobi pada anak-anaknya tentang jodoh, karena bagi mereka jodoh adalah
monopoli orang tua.
Bagi
orang Wakatobi, tersinggung secara langsung terhadap teks sastra lisan bhanti-bhanti akan dianggap sebagai
orang yang tidak beradab. Hal ini sebagaimana dilihat pada teks sastra lisan bhanti-bhanti /te mia sumeki te bhanti/ “orang yang tersinggung dengan sindiran (bhanti)” /te atumo na mia dha’o/ “sudah itulah orang jahat”.
Namun,
sebagai sastra lisan yang memiliki pementasan yang dinamis, tidak selamanya
sastra lisan bhanti-bhanti dapat
dipentaskan dengan damai. Tidak jarang juga terjadi perselisahan ketika terjadi
pobhanti[13]
hal ini sebagaimana informasi yang tersimpan dalam teks sastra lisan bhanti-bhanti /tepo’o bula dhi bhaobhe/ “Mangga albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena
di remas-remas”. Teks tersebut merupakan teks yang sangat keras, yang pernah dilantunkan
oleh sekelompok pelantun yang berasal dari kampung Bhira yang ditujukan kepada
gadis-gadis Bhaobhe[14] yang
rata-rata memiliki kulit yang lebih putih. Dalam sindiran tersebut, dimaknai
bahwa buah dada gadis-gadis Bhaobhe masak atau membesar karena sering
diremas-remas. Pemaknaan ini membuat mereka tersinggung, dan langsung menjawab
dengan teks bhanti-bhanti /te loka mepanda di bhira/ “pisang pendek
di bhira” /nobungku’e te mpepu’uno/
“dibungkukkan oleh jantungnya”, objek yang dikeplorasi adalah buah dada, dimana
disindir bahwa gadis gadis pendek yang ada di Bhira dibungkukkan oleh buah dada
yang besar-besar. Pementasan ini akhirnya berakhir dengan dicabutnya keris,
karena pihak keluarga laki-laki dari gadis-gadis teerbut sudah mulai
tersinggung. Setelah kejadian itu, maka para tetua datang dan menyampaikan
bahwa siapapun yang tersinggung dengan bhanti-bhanti
sudah itulah orang jahat, dan mereka semua akhirnya menerima bahwa itu hanyalah
sindiran yang multi tafsir, dan kata po’o
bula dan loka mepanda, jangan
diterjemahkan dengan gadis, dan demikian masak diremas-remas jangan
diterjemahkan ke buah dada yang diremas-remas.
Oleh
karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan identitas lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat
Wakatobi dalam menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini. Di
tengah perkembangan kebudayaan global, terutama dalam industri musik dan film
yang ada, perkembangan gendre musik yang ada, justru sastra lisan bhanti-bhanti kembali diproduksi dalam
berbagai jenis variasi dan kreasi yang baru. Para musisi lokal, berlomba
memanfaatkan formula bhanti-bhanti sebagai
basis kreatifitas mereka. Beberapa musisi lokal seperti La Ode Kamaluddin,
Rusiadin[15],
La Ode Adili[16],
La Mbongo, dan Marfina banyak menggunakan formula bhanti-bhanti sebagai
basis kultural dalam karya-karya terbaru mereka. Ini menunjukan bahwa sastra
lisan bhanti-bhanti sebenarnya adalah
karya sastra lokal yang hidup dan berkembang dalam kesadaran masyarakat
pendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah sastra yang hidup. Artefak kebudayaan yang
terus hidup dan berevolusi.
D. Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosisasi dalam
Menghadapi Budaya Global
Memasuki era modern, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang ada. Perkembangan yang melanda masyarakat dunia
dibidang teknologi informasi, transportasi dan pariwisata tidak membuat sastra
lisan bhanti-bhanti mati, tetapi
justru ia menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan
teknologi informasi telah menjadikan persebaran sastra lisan bhanti-bhanti tidak bisa terbendung,
mulai menjadi nada dering hand phone,
musik di winamp, hingga VCD dan DVD,
juga masuk ke you tobe sehingga dapat
dinikmati oleh masyarakat dunia khususnya masyarakat Wakatobi yang berada di
berbagai belahan dunia[17].
Perkembangan musik organ tunggal yang
melanda Wakatobi lima tahun terakhir, telah mengubah sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu karya
sastra yang mempengaruhi perkembangan lagu-lagu daerah. Hal ini sebagaimana
dinyanyikan oleh La Ode Kamaluddin dan Rusiadin. Dengan menggunakan organ
tunggal yang lebih kompleks mereka telah menggubah lagu dangdut yang
dikembangkan dari formula sastra lisan bhanti-bhanti.
Perkembangan sekaligus perubahan budaya badendang dan balumpa ke joget
dangdut, telah memberikan ruang baru ekonomi kreatif yang dikembangkan melalui sastra lisan bhanti-bhanti.
Menghadapi perkembangan kebudayaan
global, sastra lisan bhanti-bhanti justru
hadir dalam dimensinya yang lebih modern. Melalui film The Mirror Never Lies yang digarap Garin Nugroho, juga memanfaatkan
musik bhanti-bhanti sebagai musik
latar. Melalui film itu, sastra lisan bhanti-bhanti
diperkenalkan ke dunia internasional.
Dengan menonton film itu, paling tidak masyarakat dunia akan paham bahwa ada
sastra lisan yang tumbuh di Wakatobi yang menarik untuk dipelajari, karena itu
merupakan media penyimpanan rasa, pikiran dan tindakan masyarakat pendukungnya.
Salah satu model negosiasi budaya lokal
diera global adalah model sambutan masyarakat Wakatobi kepada para turis dengan
menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti. Setiap
turis yang datang di Wakatobi, akan
disambut dengan berbagai peristiwa budaya, seperti tradisi kabuenga atau ayunan yang di dalamnya
adalah menyajikan pementasan sastra lisan bhanti-bhanti.
Berbagai peristiwa budaya yang melibatkan sastra lisan bhanti-bhanti harus dilihat sebagai upaya negosiasi kultural dari
kebudayaan-kebudayaan lokal dalam melawan budaya global. Perlawanannya
diarahkan kepada upaya penyampaian kepada para turis dan tamu bahwa kami masih
mempunyai entitas kebudayaan yang mampu memuat atau merefleksikan berbagai
perasaan, pikiran dan tingkah laku kami, tentang jodoh, lingkungan, sosial, dan
lain sebagainya.
Bahkan dalam peringatan 17 Agustus tahun
2015 kemarin, para peserta sail turut melakukan joget Wakatobi yang menggunakan
irama dangdut bhanti-bhanti sebagai
musik pengiringnya[18]. Ini
menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti
sebagai kebudayaan lokal, dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan
kebudayaan kita kepada dunia internasional. Bahkan saat ini, sastra lisan bhanti-bhanti dan lariangi telah ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh
Indonesia. Saat ini juga, sedang disusun naskah akademik lariangi untuk diusulkan menjadi salah nominasi Indonesia ke Unesco
di tahun-tahun yang akan datang, sehingga lariangi
bukan hanya warisan budaya tak benda untuk Indonesia, tetapi warisan budaya tak
benda yang dipersembahkan ke dunia internasional.
Jika lariangi
ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, maka secara tidak
langsung memperkenalkan sastra lisan bhanti-bhanti
sebagai warisan budaya tak benda ke dunia internasional. Hal ini dapat dilihat
bahwa performasi lariangi[19] yang
disebut mangu-mangu, menggunakan
sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
nyanyiannya untuk menyindir ngiwi[20]
yang ada. Dalam proses itu, seorang turis yang terlibat dalam performasi dapat
saja mendapatkan sindiran atau bhanti
atas tindakan dan sikapnya.
Selanjutnya, dalam kehadirannya sebagai
budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti yang
dilantunkan dalam tarian pajogi hadir
berdampingan dengan dance dan joget dalam salah satu acara. Melihat adanya
akulturasi budaya di atas, La Ode Iwi Kepala Desa Waginopo mengatakan bahwa, “lemamamo nana, toguru’emo na ananto mai te
budaya Barat” (Sudah Bagusmi ini, anak-anak kita sudah kita ajari dengan
budaya barat)[21].
Walau dengan nada sinis, La Ode Iwi melihat bahwa perkembangan kebudayaan
Wakatobi akan mengarah kepada perbauran dengan budaya modern yang dipopulerkan
oleh Korea saat ini. Tetapi di satu sisi, seorang tokoh pendidikan Wakatobi (La
Ode Kuhairi) yang juga hadir pada kegiatan yang sama mengatakan bahwa “Ini
merupakan kenyataan dari kebudayaan kita, dimana tari Pajogi hadir bersamaan
dengan dance yang merupakan identitas global”. Ia melanjutkan bahwa “Ini adalah
konsekuensi bahwa Wakatobi berada dalam pusaran perkembangan budaya global, dan
kita masih tetap berbangga, karena nilai-nilai kultural kita masih tetap
dihadirkan oleh masyarakat”[22].
Di dunia maya, yang merupakan implikasi
dari perkembangan global, sastra lisan bhanti-bhanti
memiliki tempatnya tersendiri, khususnya bagi generasi muda Wakatobi. Mereka
selalu membuat status dengan menggunakan bhanti-bhanti
sebagai ruang komunikasi mereka. Mereka juga menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu identitas
lokal yang mereka banggakan. Bahkan ketika mereka mengungkapkan kerinduan
mereka terhadap kampung anak-anak Wakatobi yang ada di Malaysia berkomunikasi
dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti
di media-media sosial seperti facebook[23].
Dengan demikian, pembangunan ekonomi
kreatif di Wakatobi hendaknya memanfaatkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai bagian dari pengembangan film dan lagu yang
ada pada seniman-seniman lokal Wakatobi. Beberapa maju selalu memanfaatkan
cerita lokal mereka, dan kemudian mereka ekspor sebagai kekuatan budaya mereka
di era global. Beberapa film korea, turki, China dan India selalu memanfaatkan
kisah-kisah yang yang dalam sastra lisan mereka sebagai kekuatan dalam
penciptaan karya-karya baru. Sehubungan itu, Mursal Esten (1995: 105) mengatakan
bahwa tradisi lisan merupakan ruang isnpirasi bagi penciptaan karya-karya baru
dalam bidang seni. Sebagai contoh, kebanyakan film-film drama Turki seperti Shehrazat
mengangkat kisah 1001 malam yang tentunya memiliki berbagai kreatifitas, tetapi
apa yang dilakukan oleh kreator film Shehrazat
merupakan langkah nyata untuk memanfaatkan memori kolektif masyarakat Islam
dunia tentang cerita 1001 malam yang sangat terkenal itu.
Oleh karena itu, sebagai sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang
negosiasi budaya lokal khususnya kebudayaan masyarakat Wakatobi dalam pergaulan
global. Upaya-upaya ke arah itu, hendaknya dapat diwujudkan dalam berbagai
diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi dan
Indonesia, dalam mempromosikan kebudayaan dan pariwisata Wakatobi dan Indonesia
secara umum ke dunia internasional. Upaya untuk menatapkan lariangi sebagai
warisan budaya tak benda dunia yang akan diusulkan ke UNESCO merupakan bentuk
perjuangan diplomasi budaya lokal untuk ditampilkan dalam konteks global.
Di masa yang akan datang, diharapkan
diplomasi melalui kebudayaan, dapat mendorong pembangunan Indonesia secara
umum. Sastra sebagai ruang-ruang kebudayaan kita, hendaknya dapat menghadirkan
karya-karya kreatif yang tidak hanya mengeksplorasi isu-isu dari kehidupan
modern yang telah banyak dipengaruhi oleh globalisasi, tetapi kita harus
belajar dari beberapa negara maju di bidang kebuyadaan dalam memanfaatkan
potensi budaya lokal mereka dalam berkarya. Keseriusan Korea Selatan dalam
memanfaatkan berbagai potensi lokal mereka dalam industri perfilman membuktikan
bahwa berbagai kisah yang ada dalam drama mereka adalah perpaduan cerita lisan
mereka yang kemudian diolah kembali menjadi cerita yang difilmkan dan kemudian
mereka ekspor ke seluruh dunia. Dalam melihat berbagai potensi yang dimiliki
oleh sastra lisan bhanti-bhanti tentunya
dapat dikembangkan sebagai inspirasi dalam pembuatan film atau penulisan buku
mengenai kearifan lokal masyarakat Wakatobi, terutama dalam memelihara
lingkungan hidup mereka. Penetapan Wakatobi sebagai salah satu cagar biosfer
bumi, merupakan bentuk negesosiasi kebudayaan lokal dalam kebudayaan global.
Maka untuk mempelajari nilai-nilai budaya yang selama ini memelihara dan
mewariskan keindahan alam berupa karang di Wakatobi tidak lain dan tidak bukan
tersimpan di dalam sastra lisan bhanti-bhanti.
Hal ini sebagaimana dilihat dalam teks berikut.
Jagane
nggala nte kambano
Ako
te menangka taliku
|
Jagalah walaupun hanya bunganya
Karena itu milik generasi yang
akan datang
|
Na
bha’a nu dhosa numia
Tumadhe
ngkedhe sagauno
|
Besarnya dosa seseorang
Yang berlaku sekehendak hatinya
|
Namia
mala nsagauno
Menoso
dhi nganga randano
|
Orang yang berlaku
sekehandaknya
Akan menyesal di dalam hatinya
|
Te
pasi tenganga randanto
Si
nai wa menangka taliku
|
Karang itu adalah rasa atau
hati kita
Itu adalah kepunyaan generasi
mendatang
|
Hu’uke
te nganga randa’u
Ako
tei mele akono
|
Berikanlah hatimu
Agar generasi mendatang menikmatinya
|
Teks sastra lisan bhanti-bhanti di atas menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti memberikan pelajaran bagi
masyarakat Wakatobi dan dunia bahwa karang (pasi) merupakan warisan yang harus
diberikan kepada generasi berikutnya. Dia bukan milik kita, tetapi hanyalah
titipan yang harus dijaga. Bagi mereka yang merusak karang atau lingkungan,
maka meraka akan menyesal. Model-model konservasi lokal ini akan menjadikan
sastra lisan bhanti-bhanti sebagai
salah satu sastra lisan yang mengandung konsep-konsep konservasi lingkungan
yang dapat ditawarkan kepada dunia global. Bahwa ternyata warisan keindahan
bawah laut Wakatobi merupakan karya leluhur yang diabadikan dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Isu konservasi lingkungan
yang selama ini diteriakkan oleh Barat ternyata
hidup dalam kebudayaan Wakatobi, hidup dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang pembangunan kesadaran masyarakat
Wakatobi Buton sejak lama.
Dengan demikian, sebagai sastra lisan, bhanti-bhanti merupakan salah satu media
yang memperkenalkan berbagai kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi ke berbagai
belahan dunia lainnya. Dengan mempelajari sastra lisan bhanti-bhanti berarti berusaha untuk memahami bagaimana orang
Wakatobi merasa, berpikir dan bertingkah laku. Pola-pola konservasi alam yang
merupakan salah satu sumbangan Wakatobi untuk dunia, harus dapat tetapi
diabadikan dan dipublikasikan ke dunia global, karena berbagai nilai-nilai dan
ideologi yang berhubungan dengan sastra lisan bhanti-bhanti.
Bahkan di era digital, sastra lisan bhanti-bhanti digunakan sebagai salah
satu ungkapan muda-muda di media sosial. Mereka saling berbalasan mengungkapkan
bhanti-bhanti dalam mengkomunikasikan
berbagai tanggapan mereka tentang kondisi mereka saat ini. Masuknya sastra
lisan bhanti-bhanti di media sosial,
menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti
bukan hanya beredar dalam masyarakat Wakatobi, dan Buton pada umumnya
tetapi sudah hadir sebagai salah satu sastra alternatif dalam perkembangan
sastra global dewasa ini.
E.
Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah
disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam makalah
ini, yaitu : (1) sastra lisan bhanti-bhanti
merupakan salah satu sastra yang penyampaiannya dinyanyikan, (2) sastra
lisan bhanti-bhanti merupakan salah
satu identitas masyarakat Wakatobi, karena mereka mengidentifikasi diri sebagai
pemilik sastra lisan bhanti-bhanti.
Memasuki era digital dan era pariwisata
global, sastra lisan bhanti-bhanti menjadi
salah satu kesenian tradisional yang disukai oleh wisatawan. Melihat sifat
sastra lisan bhanti-bhanti yang
terbuka, terutama dalam pementasannya, maka sastra lisan bhanti-bhanti menjadi salah satu kekuatan lokal dalam pembangunan
kebudayaan global. Karena para wisatawan juga sangat menikmati beberapa tarian
dan tradisi yang melibatkan sastra lisan atau nyanyian rakyat bhanti-bhanti sebagai bagian dari
pementasannya.
Oleh karena itu, kehadiran sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang
negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil dalam pembangunan kebudayaan global yang
kian menyatu. Sastra lisan masyarakat Yugoslavia[24],
Afrika[25] kini
telah menjadi sastra dunia setelah diteliti oleh para ahli. Demikian juga
dengan ada berbagai kajian mengenai bhanti-bhanti
yang saat ini menyebar di berbagai media internet, semakin menguatkan bahwa
sastra lisan bhanti-bhanti adalah
bagian yang tak terpisahkan dengan kebudaayaan global dewasa ini.
F. Daftar Pustaka
Adejunmobi, Moradewun. 2011. “Revenge of the Spoken
Word?: Writing, Performance, and New Media in Urban West Africa” (Oral Tradition), Vol. 26. No. 1 (2011),
pp: 3-26.
Asrif,
2014. “Identifikasi, Pemetaan dan Perlindungan Sastra Lisan di Sulawesi
Tenggara” dalam Jurnal Kandai volume
10 Nomor 1 Mei 2014 Hal. 127-137.
Asrif.
2015. Tradisi Lisan Kabhanti :Teks, Konteks dan Fungsi. Jakarta:
Disertasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Esten, M.. 1999.Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula
Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas
Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis.
1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian
Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
La
Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan
Wakatobi. Jakarta: Granada.
Lord,
A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge,
Massachusetts, London, England: Harvard University Press.
Mursydah,
Dian. 2012. “Disfungsi Tradisi Lisan Melayu Jambi sebagai Media Komunikasi
Da’wah” dalam Tadjid Volume XI. Nomor
2 tahun 2012 hal. 368-381.
Udu,
S. 2010. Perempuan dalam Kabhanti:
Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Penerbit Diandra
Udu,
Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Buton” dalam Naskah Buton Naskah Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX
Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-bau (Ed. Yusran Darmawan). Bau-Bau:
Penerbit Respect.
Udu, Sumiman. 2013. “Tradisi Lisan Sebagai Media
Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Udu, Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti: Media Komunikasi Kutural
Dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Jurnal Humaniora
Volume 27 No. 1 Februari 2015 Halaman 217-228.
Winarti, Daru. 2013. “Nilai-nilai Budaya dalam
Tembang Dolanan sebagai Sarana Pembentuk Karakter Anak Bangsa” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia
Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[1] Disampaikan pada Konferensi
Internasional Kesusastraan XXIV Himpunan
Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Dan Musyawarah Nasional X Ambon, 3 – 5
Desember 2015.
[2] Anggota HISKI
Sulawesi Tenggara dan Dosen FKIP Univeritas Halu Oleo Kendari Sulawesi
Tenggara.
[3]
Kalau menggunakan kata kunci kabhanti di
google maka hasilnya adalah 1.290 yang ditemukan di dalam mesin pencarian kata
itu. Ini menunjukan bahwa betapa kayanya kata tersebut dalam memasuki kebudayaan
global tersebut.
[4]
Wawancara tanggal 12 Agustus 2013
[5]
Cerita tentang kisah ini dikisahkan oleh La Alira, salah satu generasi Wakatobi
yang berangkat ke Malaysia dan pulang setelah dikirimi dengan kaset bhanti-bhanti oleh ibunya (wawancara
tanggal 5 Februari 2010).
[6]
Wawancara tanggal 13 Juli 2013.
[7]
Sara dalam masyarakat Wakatobi Buton
adalah lembaga atau sebuah tatanan sosial budaya yang adalam masyarakat. orang
juga sering mengidentikannya dengan pemerintah.
[8]
Bhonto merupakan salah satu pangkat
dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton.
[9]
Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2015
[10]
Tradisi hekomba’a merupakan tradisi
menikmati bulan purnama dengan membuat api unggun yang lakukan oleh sekelompok
gadis-gadis, lalu pada malam hari, sahabat mereka yang laki-laki datang.
Gadis-gadis itu mengerjakaan sesuatu, sementara laki-laki akan datang dan
menyanyi, sehingga mereka berpantun atau pobhanti
hingga menjelang pagi.
[11]
Wawancara tanggal 13 Juli 2013
[12]
Dalam masyarakat bangsawan, jodoh anak-anaknya adalah pilihan orang tua, dan
berbeda dengan anak-anak dari kalangan maradhika atau merdeka, jodoh diberikan
kepada anak-anak mereka (Udu, 2010: 117).
[13]
Pobhanti merupakan pementasan bhanti-bhanti
yang dilakukan secara berbalasan. Dalam masyarakat Wakatobi tradisi ini
biasanya dilakukan antarkelompok, baik antarkampung, maupun antarlaki-laki dan
perempuan.
[14]
Bhaobhe merupakan nama sebuah kampung
yang berada di dalam wilayah kadhia wance, yang saat ini ketika dimekarkan
berada di daerah administrasi desa Po’okambua kecamatan Wangi-Wangi kabupatan
Wakatobi.
[15]
Dalam karyanya yang berjudul, Wa Jandi
Topomelaimo Rusiadin, mengekespresikan cintanya yang terpisah oleh jarak,
kerinduan itu diekspresikan melalui teks bhanti-bhanti
Wakatobi.
[16]
Dalam beberapa karya terbarunya,La Ode Adili menggunakan sastra lisan kabhanti dalam mendukung kampanye salah
satu calon di Wakatobi. perlawanannya pada kebijkan pemerintah, diekspresikan
melalui sastra lisan kabhanti.
[17]
Diasfora masyarakat Wakatobi berlangsung sejak berabad-abad silam, kemampuan
mereka mengarungi lautan dengan perahu karoro mereka membuat orang Wakatobi
menjelajahi hampir semua kawasan oceania yang meliputi kepulauan solomon di
pasifik sampai dengan madagaskar di samudra hindia.
[18]
Wawancara dengan Wa Suri yang merupakan salah satu peserta joget Wakatobi pada
peringatan 17 Agustus 2015 silam di Wakatobi. Ia mengatakan bahwa para turis
juga ikut menikmati joget Wakatobi bersama masyarakat (Wawancara tanggal 19
September 2015.
[19]
Lariangi merupakan salah satu tarian
tradisional masyarakat Wakatobi yang saat ini sudah ditetapkan oleh Menteri
Pendidikan Nasional Muh. Nuh sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.
[20]
Ngiwi merupakan gerakan putaran yang
biasanya dilakukan oleh laki-laki
[21]
Diskusi pada tanggal 25 September 2012
[22]
Diskusi pada tanggal 25 September 2015.
[23]
Salah satu group anak-anak Wakatobi yang menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti dalam komunikasi mereka
dalah group Sejuta Bhanti-bhanti Wakatobi.
[24]
Penelitian Albert Bates Lord mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia
tahun 1981 saat ini sudah menjadi bagian penting dalam pembangunan kebudayaan
khususnya dalam kajian-kajian tradisi lisan. Disertasi yang mengkaji tentang
sastra lisan kabhanti atau bhanti-bhanti sudah banyak dilakukan,
antara lain Ali Rusdin (2015), Asrif (2015) merupakan suatu kekuatan dalam
melihat keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti
dalam pembangunan kebudayaan global di masa yang akan datang.
[25]
Penelitian Jan Vansinna (2014) mengenai pemanfaatan tradisi lisan dalam
penulisan sejarah masyarakat Afrika telah memberikan sumbangan luar biasa dalam
membentuk peradaban global, khsususnya dalam pembangunan paradigma penelitian
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar