Jumat, 02 Oktober 2015

EKSISTENSI SASTRA LISAN BHANTI-BHANTI SEBAGAI RUANG NEGOSIASI LOKAL DALAM KEBUDAYAAN GLOBAL[1]



Oleh:
Sumiman Udu[2]
Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Sebagai ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat.
Penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi dengan budaya global.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa melalui sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini.
Kata kunci: eksistensi, sastra lisan, bhanti-bhanti, ruang, negosiasi lokal, kebudayaan Global




A.    Pengantar
Keberadaan sastra lisan selama ini telah menjadi indentitas masyarakat lokal dalam menghadapi kebudayaan global di seluruh dunia. Nilai-Nilai budaya yang ada dalam kabhanti dapat memperkuat jati diri masyarakatnya dan dapat menjadi penanda identitas masyarakatnya sendiri (Udu, 2009: 257). Asrif (2014: 133) mengatakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu alat untuk mendokumensikan identitas masyarakat pendukungnya. Mursal Esten (1999: 105) mengatakan bahwa sastra lisan dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern. Moradewun Adejunmobi (2011: 3) mengatakan bahwa tradisi lisan menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan musik dan film yang diproduksi di Afrika dan India. Namun di sisi yang lain, kehadiran sastra lisan dan industri kreatif semakin memberikan ciri khas kedaerahan dalam berbagai perkembangan dan kemajuan budaya global. Berangkat dari pemikiran di atas, maka sastra lisan diharapkan dapat menyumbangkan kontribusi dalam perkembangan industri kreatif di tengah acaman globalisasi sebagaimana dikatakan oleh Mursydah (2012: 377) bahwa globalisasi nyaris menyapu semua jenis tatanan tradisional dan mengarahkan manusia kepada hegemonitas budaya yang menentang keberadaan nilai identitas kelompok dan sekaligus mengancam eksistensi budaya lokal.
Sebagai ekspresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyuarakan identitas lokal masyarakat Wakatobi yang terus-menerus menyesuaikan diri dan membangun dialog dengan kebudayaan global yang terus menyerbu hingga ke ruang-ruang ketaksadaran kolektif masyarakat. Melalui sastra lisan bhanti-bhanti, masyarakat Wakatobi selalu menanamkan nilai-nilai bagi masyarakat pendukungnya dan sekaligus menawarkan cara pandang baru kepada dunia global tentang kearifan lokal yang ada dalam sastra lisan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan (Udu, 2013: 192). Di sisi yang lain, sastra lisan bhanti-bhanti merupakan ruang negosiasi kultural dalam menghadapi kebudayaan global dewasa ini. Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti merespon berbagai perkembangan dunia saat ini sebagai bagian dari perubahan global.
Ciri khas globalisasi yang memanfaatkan kemajuan ditiga pilar pembangunan global, yaitu (1) kemajuan teknologi informasi, (2) transportasi dan (3) kemajuan pariwisata, menyebabkan dunia ini seolah telah kehilangan batas-batas negara dan kebudayaannya. Perkembangan teknologi informasi, telah mengubah batas-batas kebudayaan dan negara, kebudayaan telah mengarah kepada pembentukan satu jenis kebudayaan. Entitas kebudayaan di  belahan dunia yang lain akan dapat dengan mudah dipelajari dan ditiru oleh masyarakat di belahan dunia lainnya. Pergeseran media besar dan hadirnya media sosial, dapat berpeluang untuk tampilnya sastra-sastra lokal di dalam berbagai blog dan group yang datang dan pergi dengan cepat, tetapi tetap sebagai sebuah informasi yang merupakan bagian dari negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil tersebut dalam menampilkan eksistensinya dalam percaturan budaya global[3].
Oleh karena itu, penelitian mengenai eksistensi sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang negosiasi lokal dalam kebudayaan global, merupakan salah satu usaha untuk memahami bagaimana keberadaan berbagai budaya lokal yang dimiliki oleh berbagai kebudayaan di dunia di era global. Bagaimana kebudayaan-kebudayaan kecil bertahan di tengah serbuan kebudayaan global. Untuk maksud tersebut, maka penelitian ini menggunakan paradigma etnografi. Data penelitian ini akan difokuskan pada pandangan masyarakat Wakatobi tentang indentitas lokal mereka dalam menghadapi kebudayaan global yang ada dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Dengan demikian, data akan dianalisis untuk melihat eksistensi masyarakat Wakatobi yang digambarkan dalam sastra lisan bhanti-bhanti  sebagai ekspersi budaya lokal dalam berinteraksi dengan budaya global.
B.       Sastra Lisan bhanti-bhanti Sebagai Identitas Kultural
Sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikatakan sebagai nyanyian masyarakat yang menyentuh sampai di hati, berisi nasihat dan yang mengandung berbagai mutiara kebijaksanaan (La Niampe, 1998: 5; Udu, 2010: 21;). Sehingga sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu identitas dari masyarakat Wakatobi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat Wakatobi yang mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik dari sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini disebabkan karena sejak kecil, anak-anak Wakatobi sejak kecil sudah ditidurkan dengan sastra lisan bhanti-bhanti Wakatobi. Wa Yai mengatakan bahwa saya selalu menidurkan anak-anakku dengan sastra lisan bhanti-bhanti. La Ode Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa kaŠ±anti berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena sehingga di dasar hati bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam suasana dari hati ke hati.
 Sementara La Ode Kamaluddin mengatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti merupakan tradisi yang menjadi ciri khas dari masyarakat Wakatobi. Ia bahkan mengatakan bahwa ketika berada di Maluku di pulau Seram, dan melantunkan sastra lisan bhanti-bhanti, maka secara tidak langsung mengundang orang-orang Wakatobi untuk mendengarkan nyanyian tersebut[4].  Ini merupakan bahwa dalam sastra lisan bhanti-bhanti terdapat identitas kedaerahan yang hidup dalam setiap hati dan pikiran orang Wakatobi. Sehubungan dengan itu, Daru Winarti (2013: 602) mengatakan bahwa nyanyian pengantar tidur berhubungan dengan kepribadian yang dimiliki oleh seorang individu dalam hubungannya dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi mampu membangun identitas lokal mereka. Tetapi di sisi yang lain, sebagai ekpresi budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti masyarakat Wakatobi tetap terbuka, terutama dalam menghadapi berbagai perkembangan budaya global. Bahkan pada beberapa kasus, seorang anak muda yang merantau dan bekerja di kota Kinabalu Sabah Malaysia, menghabiskan masa remajanya hampir 14 tahun di kota itu, dan ratusan surat telah dikirim oleh orang tuanya, tetapi ia tetap juga tidak mau pulang, terakhir ia dikirimi sebuah kaset yang berisi rekaman nyanyian bhanti-bhanti yang dilantunkan ibunya. Setelah mendengarkan sastra lisan bhanti-bhanti tersebut, maka anak muda itu menangis dan pulanglah ia ke Wakatobi[5].
Dengan demikian, sastra lisan bhanti-bhanti dapat dikategorikan sebagai identitas lokal bagi masyarakat pendukungnya, karena semua orang Wakatobi akan mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti. Siapapun orang Wakatobi akan mengatakan bahwa bhanti-bhanti adalah karya leluhur mereka, karena sejak dini mereka sudah ditidurkan dengan bhanti-bhanti sebagai pengantar tidur. Setelah mereka dewasa, mereka juga mengungkapkan cinta mereka melalui teks-teks bhanti-bhanti hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wa Ode Bulalu bahwa “Ara te pobhawa’a dhi molengo, te pobhanti’a tunggala morondo[6]” (kalau masa-masa pacaran di masa muda dulu, selalu diisi dengan acara berbalas pantun atau bhanti setiap malam). Hal yang sama juga dikemukakan oleh La Rumadi bahwa “Teposerei’a dhi molengo sabaranamo te pobhanti’a” (pacaran di  masa lalu sebenarnya adalah berbalas pantun). Kondisi inilah kemudian, kalau dikatakan bahwa sastra lisan kabhanti sebagai salah satu identitas lokal dari masyarakat Wakatobi.
C.      Sastra Lisan Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosiasi Kultural
Sebagai identitas lokal, sastra lisan bhanti-bhanti memegang peranan penting dalam masyarakat pendukungnya. Ia bukan saja tampil sebagai hiburan semata-mata, tetapi memiliki peran sebagai ruang negosiasi kultural dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam masyarakat Wakatobi (Udu, 2015: 220). Bahkan dalam perannya sebagai ruang negosiasi kultural tersebut, sastra lisan bhanti-bhanti dapat menjadi kontrol yang sangat kuat terhadap pemerintahan. Seorang yang tidak senang dengan kebijakan sara[7] atau pemerintah, dengan mudah memberikan koreksi. Teks yang paling banyak digunakan untuk memprotes atas ketidakadilan penguasa (sara) adalah /timbangi la  bhonto timbangi/ “timbang-timbanglah la bhonto[8] timbang-timbanglah” /te togo nolingka-lingkamo/ “Kampung sudah mulai miring”. Teks tersebut, di zaman kesultanan Buton, seseorang tidak perlu melakukan demosntrasi untuk memprotes penguasa, tetapi kucup setiap lewat di halaman rumah penguasa akan selalu melantunkan teks tersebut.
Ketika terjadi perkelahian antarkampung mengenai perbatasan, maka orang Wanci  dan  orang Mandati akan menggunakan teks sastra lisan bhanti-bhanti sebagai memori kolektif mereka untuk menyelesaikan masalah mereka. /Te wansemo te mandatimo/ “baik orang Wanci maupun orang Mandati” /dhi endapo na ngkaselapa/ “di air endapo perbatasannya”(Udu, 2015: 226). Ini menunjukan bahwa dalam perannya sebagai ruang negosiasi kultural dalam masyarakat Wakatobi, sastra lisan bhanti-bhanti memegang peranan yang signifikan, karena orang Wakatobi menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai alat komunikasi mereka yang santun dan dapat diterima oleh lawan komunikasi. H. La Morunga mengatakan bahwa, sejak dulu masyarakat Wakatobi khususnya Wanci dan Mandati memiliki ingatan kolektif tentang batas wilayah itu dalam bentuk lagu[9].
Orang Wakatobi akan menganggap bahwa sindiran yang diberikan melalui sastra lisan bhanti-bhanti masih cenderung akan diterima sebagai seni, jika dibandingkan dengan mengemukakan protesnya melalui bahasa sehari-hari. Bahasa dalam sastra lisan bhanti-bhanti, sejak dulu sudah sering dijadikan sebagai bahasa komunikasi muda-mudi di dalam masyarakat Wakatobi sampai era 1960-an. Wa Ode Bulalu mengatakan bahwa dulu, para saudara (lelaki) yang datang pada setiap tradisi hekomba’a[10] akan datang dengan membawa beberapa ole-ole, namun hati mereka dapat ketahui melalui teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti yang mereka lantunkan setiap malam. “Ara dhi molengo, te hesulu mai Ana omai kene nobhawa te malingu giu, maka amo  te pobhanti sarondo’e na rondo” (kalau di zaman dulu, saudara (lelaki) datang dengan membawa ole-ole untuk sahabat (perempuan), baru mereka berbalas bhanti-bhanti semalam suntuk)[11].
Di samping itu, seorang ibu dapat mengkomunikasikan impiannya kepada anak-anaknya, dan seorang anak dapat mengkomunikasikan impian dan harapannya kepada ibunya melalui  teks-teks sastra lisan bhanti-bhanti. Seorang ibu di Wakatobi yang memiliki impian kehidupan yang layak di luar Wakatobi ketika mendapatkan kesusahan hidup di Wakatobi, akan menyampaikan impian itu kepada anaknya dengan teks bhanti-bhanti /wa ina bhara nusambira/ “ibu jangan kau bersedih” /ane ke Buru ngkene Ambo/ “masih ada Buru dan Ambon”. Impian ini dikomunikasikan dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sehingga menjadi kekuatan sekaligus memori kolektif yang menjelaskan tentang kebiasaan orang Wakatobi berlayar ke Maluku antara lain pulau Buru dan Ambon.  Bagi orang Wakatobi, Ambon bukanlah hal baru dalam kebudayaan mereka, tetapi malah sebuah negeri yang mengisi imajinasi anak-anak Wakatobi sejak mereka masih dalam buaian.
Pada persoalan jodoh, seorang anak Wakatobi akan dengan leluasa mengungkapkan impiannya untuk mendapatkan jodoh dari orang yang dipilihnya sendiri. Ia mengungkapkannya dengan /wa ina tamogagaimo/ “ibu kita akan berbeda pendapat” /kunumangkamo te matasu/ “saya akan mengikuti mataku”, /ara dhoimo te wa ina/ “kalau tinggal ibu” /tohojane te ntagambiri/ “nanti kita hibur dengan gambir”. Dua teks bhanti-bhanti di atas, menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti merupakan ruang negosisasi kultural yang efektif dalam berbagai komunikasi di dalam masyarakat Wakatobi. Sementara di sisi yang lain, seorang ibu akan memberikan penekanan pada pentingnya peran orang tua dalam memilih jodoh dengan teks sastra lisan bhanti-bhanti /te buri paka ntedhiguru/ “jodoh itu tidak perlu diajari” /nolaha-laha ngkaramano/ “dia akan datang mencari jalannya sendiri” (Udu, 2010: 103). Teks di atas merupakan bentuk negosiasi orang tua[12] Wakatobi pada anak-anaknya tentang jodoh, karena bagi mereka jodoh adalah monopoli orang tua.
Bagi orang Wakatobi, tersinggung secara langsung terhadap teks sastra lisan bhanti-bhanti akan dianggap sebagai orang yang tidak beradab. Hal ini sebagaimana dilihat pada teks sastra lisan bhanti-bhanti /te mia sumeki te bhanti/ “orang yang tersinggung dengan sindiran (bhanti)” /te atumo na mia dha’o/ “sudah itulah orang jahat”.
Namun, sebagai sastra lisan yang memiliki pementasan yang dinamis, tidak selamanya sastra lisan bhanti-bhanti dapat dipentaskan dengan damai. Tidak jarang juga terjadi perselisahan ketika terjadi pobhanti[13] hal ini sebagaimana informasi yang tersimpan dalam teks sastra lisan bhanti-bhanti /tepo’o bula dhi bhaobhe/ “Mangga albino di Bhaobhe” /nomota’a dhi lende-lende/ “masak karena di remas-remas”. Teks tersebut merupakan teks yang sangat keras, yang pernah dilantunkan oleh sekelompok pelantun yang berasal dari kampung Bhira yang ditujukan kepada gadis-gadis Bhaobhe[14] yang rata-rata memiliki kulit yang lebih putih. Dalam sindiran tersebut, dimaknai bahwa buah dada gadis-gadis Bhaobhe masak atau membesar karena sering diremas-remas. Pemaknaan ini membuat mereka tersinggung, dan langsung menjawab dengan teks bhanti-bhanti /te loka mepanda di bhira/ “pisang pendek di bhira” /nobungku’e te mpepu’uno/ “dibungkukkan oleh jantungnya”, objek yang dikeplorasi adalah buah dada, dimana disindir bahwa gadis gadis pendek yang ada di Bhira dibungkukkan oleh buah dada yang besar-besar. Pementasan ini akhirnya berakhir dengan dicabutnya keris, karena pihak keluarga laki-laki dari gadis-gadis teerbut sudah mulai tersinggung. Setelah kejadian itu, maka para tetua datang dan menyampaikan bahwa siapapun yang tersinggung dengan bhanti-bhanti sudah itulah orang jahat, dan mereka semua akhirnya menerima bahwa itu hanyalah sindiran yang multi tafsir, dan kata po’o bula dan loka mepanda, jangan diterjemahkan dengan gadis, dan demikian masak diremas-remas jangan diterjemahkan ke buah dada yang diremas-remas.
Oleh karena itu, keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti merupakan identitas lokal dan sekaligus menjadi ruang negosiasi kultural masyarakat Wakatobi dalam menghadapi perkembangan dan perubahan budaya global dewasa ini. Di tengah perkembangan kebudayaan global, terutama dalam industri musik dan film yang ada, perkembangan gendre musik yang ada, justru sastra lisan bhanti-bhanti kembali diproduksi dalam berbagai jenis variasi dan kreasi yang baru. Para musisi lokal, berlomba memanfaatkan formula bhanti-bhanti sebagai basis kreatifitas mereka. Beberapa musisi lokal seperti La Ode Kamaluddin, Rusiadin[15], La Ode Adili[16], La Mbongo, dan Marfina banyak menggunakan formula bhanti-bhanti sebagai basis kultural dalam karya-karya terbaru mereka. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti sebenarnya adalah karya sastra lokal yang hidup dan berkembang dalam kesadaran masyarakat pendukungnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah sastra yang hidup. Artefak kebudayaan yang terus hidup dan berevolusi.
D.      Bhanti-bhanti sebagai Ruang Negosisasi dalam Menghadapi Budaya Global
Memasuki era modern, sastra lisan bhanti-bhanti tetap menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan yang melanda masyarakat dunia dibidang teknologi informasi, transportasi dan pariwisata tidak membuat sastra lisan bhanti-bhanti mati, tetapi justru ia menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan persebaran sastra lisan bhanti-bhanti tidak bisa terbendung, mulai menjadi nada dering hand phone, musik di winamp, hingga VCD dan DVD, juga masuk ke you tobe sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat dunia khususnya masyarakat Wakatobi yang berada di berbagai belahan dunia[17].
Perkembangan musik organ tunggal yang melanda Wakatobi lima tahun terakhir, telah mengubah sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu karya sastra yang mempengaruhi perkembangan lagu-lagu daerah. Hal ini sebagaimana dinyanyikan oleh La Ode Kamaluddin dan Rusiadin. Dengan menggunakan organ tunggal yang lebih kompleks mereka telah menggubah lagu dangdut yang dikembangkan dari formula sastra lisan bhanti-bhanti. Perkembangan sekaligus perubahan budaya badendang dan balumpa ke joget dangdut, telah memberikan ruang baru ekonomi kreatif yang dikembangkan melalui sastra lisan bhanti-bhanti.
Menghadapi perkembangan kebudayaan global, sastra lisan bhanti-bhanti justru hadir dalam dimensinya yang lebih modern. Melalui film The Mirror Never Lies yang digarap Garin Nugroho, juga memanfaatkan musik bhanti-bhanti sebagai musik latar. Melalui film itu, sastra lisan bhanti-bhanti diperkenalkan  ke dunia internasional. Dengan menonton film itu, paling tidak masyarakat dunia akan paham bahwa ada sastra lisan yang tumbuh di Wakatobi yang menarik untuk dipelajari, karena itu merupakan media penyimpanan rasa, pikiran dan tindakan masyarakat pendukungnya.
Salah satu model negosiasi budaya lokal diera global adalah model sambutan masyarakat Wakatobi kepada para turis dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti. Setiap turis yang datang di Wakatobi, akan  disambut dengan berbagai peristiwa budaya, seperti tradisi kabuenga atau ayunan yang di dalamnya adalah menyajikan pementasan sastra lisan bhanti-bhanti. Berbagai peristiwa budaya yang melibatkan sastra  lisan bhanti-bhanti harus dilihat sebagai upaya negosiasi kultural dari kebudayaan-kebudayaan lokal dalam melawan budaya global. Perlawanannya diarahkan kepada upaya penyampaian kepada para turis dan tamu bahwa kami masih mempunyai entitas kebudayaan yang mampu memuat atau merefleksikan berbagai perasaan, pikiran dan tingkah laku kami, tentang jodoh, lingkungan, sosial, dan lain sebagainya.
Bahkan dalam peringatan 17 Agustus tahun 2015 kemarin, para peserta sail turut melakukan joget Wakatobi yang menggunakan irama dangdut bhanti-bhanti sebagai musik pengiringnya[18]. Ini menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti sebagai kebudayaan lokal, dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan kebudayaan kita kepada dunia internasional. Bahkan saat ini, sastra lisan bhanti-bhanti dan lariangi telah ditetapkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia sebagai warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini juga, sedang disusun naskah akademik lariangi untuk diusulkan menjadi salah nominasi Indonesia ke Unesco di tahun-tahun yang akan datang, sehingga lariangi bukan hanya warisan budaya tak benda untuk Indonesia, tetapi warisan budaya tak benda yang dipersembahkan ke dunia internasional.
Jika lariangi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, maka secara tidak langsung memperkenalkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai warisan budaya tak benda ke dunia internasional. Hal ini dapat dilihat bahwa performasi lariangi[19] yang disebut mangu-mangu, menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai nyanyiannya untuk menyindir ngiwi[20] yang ada. Dalam proses itu, seorang turis yang terlibat dalam performasi dapat saja mendapatkan sindiran atau bhanti atas tindakan dan sikapnya.
Selanjutnya, dalam kehadirannya sebagai budaya lokal, sastra lisan bhanti-bhanti yang dilantunkan dalam tarian pajogi hadir berdampingan dengan dance dan joget dalam salah satu acara. Melihat adanya akulturasi budaya di atas, La Ode Iwi Kepala Desa Waginopo mengatakan bahwa, “lemamamo nana, toguru’emo na ananto mai te budaya Barat” (Sudah Bagusmi ini, anak-anak kita sudah kita ajari dengan budaya barat)[21]. Walau dengan nada sinis, La Ode Iwi melihat bahwa perkembangan kebudayaan Wakatobi akan mengarah kepada perbauran dengan budaya modern yang dipopulerkan oleh Korea saat ini. Tetapi di satu sisi, seorang tokoh pendidikan Wakatobi (La Ode Kuhairi) yang juga hadir pada kegiatan yang sama mengatakan bahwa “Ini merupakan kenyataan dari kebudayaan kita, dimana tari Pajogi hadir bersamaan dengan dance yang merupakan identitas global”. Ia melanjutkan bahwa “Ini adalah konsekuensi bahwa Wakatobi berada dalam pusaran perkembangan budaya global, dan kita masih tetap berbangga, karena nilai-nilai kultural kita masih tetap dihadirkan oleh masyarakat”[22]. 
Di dunia maya, yang merupakan implikasi dari perkembangan global, sastra lisan bhanti-bhanti memiliki tempatnya tersendiri, khususnya bagi generasi muda Wakatobi. Mereka selalu membuat status dengan menggunakan bhanti-bhanti sebagai ruang komunikasi mereka. Mereka juga menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu identitas lokal yang mereka banggakan. Bahkan ketika mereka mengungkapkan kerinduan mereka terhadap kampung anak-anak Wakatobi yang ada di Malaysia berkomunikasi dengan menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti di media-media sosial seperti facebook[23].
Dengan demikian, pembangunan ekonomi kreatif di Wakatobi hendaknya memanfaatkan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai bagian dari pengembangan film dan lagu yang ada pada seniman-seniman lokal Wakatobi. Beberapa maju selalu memanfaatkan cerita lokal mereka, dan kemudian mereka ekspor sebagai kekuatan budaya mereka di era global. Beberapa film korea, turki, China dan India selalu memanfaatkan kisah-kisah yang yang dalam sastra lisan mereka sebagai kekuatan dalam penciptaan karya-karya baru. Sehubungan itu, Mursal Esten (1995: 105) mengatakan bahwa tradisi lisan merupakan ruang isnpirasi bagi penciptaan karya-karya baru dalam bidang seni. Sebagai contoh, kebanyakan film-film drama Turki seperti Shehrazat mengangkat kisah 1001 malam yang tentunya memiliki berbagai kreatifitas, tetapi apa yang dilakukan oleh kreator film Shehrazat merupakan langkah nyata untuk memanfaatkan memori kolektif masyarakat Islam dunia tentang cerita 1001 malam yang sangat terkenal itu.
Oleh karena itu, sebagai sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang negosiasi budaya lokal khususnya kebudayaan masyarakat Wakatobi dalam pergaulan global. Upaya-upaya ke arah itu, hendaknya dapat diwujudkan dalam berbagai diplomasi kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi dan Indonesia, dalam mempromosikan kebudayaan dan pariwisata Wakatobi dan Indonesia secara umum ke dunia internasional. Upaya untuk menatapkan lariangi sebagai warisan budaya tak benda dunia yang akan diusulkan ke UNESCO merupakan bentuk perjuangan diplomasi budaya lokal untuk ditampilkan dalam konteks global.
Di masa yang akan datang, diharapkan diplomasi melalui kebudayaan, dapat mendorong pembangunan Indonesia secara umum. Sastra sebagai ruang-ruang kebudayaan kita, hendaknya dapat menghadirkan karya-karya kreatif yang tidak hanya mengeksplorasi isu-isu dari kehidupan modern yang telah banyak dipengaruhi oleh globalisasi, tetapi kita harus belajar dari beberapa negara maju di bidang kebuyadaan dalam memanfaatkan potensi budaya lokal mereka dalam berkarya. Keseriusan Korea Selatan dalam memanfaatkan berbagai potensi lokal mereka dalam industri perfilman membuktikan bahwa berbagai kisah yang ada dalam drama mereka adalah perpaduan cerita lisan mereka yang kemudian diolah kembali menjadi cerita yang difilmkan dan kemudian mereka ekspor ke seluruh dunia. Dalam melihat berbagai potensi yang dimiliki oleh sastra lisan bhanti-bhanti tentunya dapat dikembangkan sebagai inspirasi dalam pembuatan film atau penulisan buku mengenai kearifan lokal masyarakat Wakatobi, terutama dalam memelihara lingkungan hidup mereka. Penetapan Wakatobi sebagai salah satu cagar biosfer bumi, merupakan bentuk negesosiasi kebudayaan lokal dalam kebudayaan global. Maka untuk mempelajari nilai-nilai budaya yang selama ini memelihara dan mewariskan keindahan alam berupa karang di Wakatobi tidak lain dan tidak bukan tersimpan di dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Hal ini sebagaimana dilihat dalam teks berikut.
Jagane nggala nte kambano
Ako te menangka taliku
Jagalah walaupun hanya bunganya
Karena itu milik generasi yang akan datang

Na bha’a nu dhosa numia
Tumadhe ngkedhe sagauno
Besarnya dosa seseorang
Yang berlaku sekehendak hatinya

Namia mala nsagauno
Menoso dhi nganga randano
Orang yang berlaku sekehandaknya
Akan menyesal di dalam hatinya

Te pasi tenganga randanto
Si nai wa menangka taliku
Karang itu adalah rasa atau hati kita
Itu adalah kepunyaan generasi mendatang

Hu’uke te nganga randa’u
Ako tei mele akono
Berikanlah hatimu
Agar generasi mendatang menikmatinya
 
Teks sastra lisan bhanti-bhanti di atas menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti memberikan pelajaran bagi masyarakat Wakatobi dan dunia bahwa karang (pasi) merupakan warisan yang harus diberikan kepada generasi berikutnya. Dia bukan milik kita, tetapi hanyalah titipan yang harus dijaga. Bagi mereka yang merusak karang atau lingkungan, maka meraka akan menyesal. Model-model konservasi lokal ini akan menjadikan sastra lisan bhanti-bhanti sebagai salah satu sastra lisan yang mengandung konsep-konsep konservasi lingkungan yang dapat ditawarkan kepada dunia global. Bahwa ternyata warisan keindahan bawah laut Wakatobi merupakan karya leluhur yang diabadikan dalam sastra lisan bhanti-bhanti. Isu konservasi lingkungan yang selama ini diteriakkan oleh Barat ternyata hidup dalam kebudayaan Wakatobi, hidup dalam sastra lisan bhanti-bhanti sebagai ruang pembangunan kesadaran masyarakat Wakatobi Buton sejak lama.
Dengan demikian, sebagai sastra lisan, bhanti-bhanti merupakan salah satu media yang memperkenalkan berbagai kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi ke berbagai belahan dunia lainnya. Dengan mempelajari sastra lisan bhanti-bhanti berarti berusaha untuk memahami bagaimana orang Wakatobi merasa, berpikir dan bertingkah laku. Pola-pola konservasi alam yang merupakan salah satu sumbangan Wakatobi untuk dunia, harus dapat tetapi diabadikan dan dipublikasikan ke dunia global, karena berbagai nilai-nilai dan ideologi yang berhubungan dengan sastra lisan bhanti-bhanti.
Bahkan di era digital, sastra lisan bhanti-bhanti digunakan sebagai salah satu ungkapan muda-muda di media sosial. Mereka saling berbalasan mengungkapkan bhanti-bhanti dalam mengkomunikasikan berbagai tanggapan mereka tentang kondisi mereka saat ini. Masuknya sastra lisan bhanti-bhanti di media sosial, menunjukan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti bukan hanya beredar dalam masyarakat Wakatobi, dan Buton pada umumnya tetapi sudah hadir sebagai salah satu sastra alternatif dalam perkembangan sastra global dewasa ini.
E.                     Penutup
Berdasarkan pembahasan yang telah disebutkan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam makalah ini, yaitu : (1) sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu sastra yang penyampaiannya dinyanyikan, (2) sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu identitas masyarakat Wakatobi, karena mereka mengidentifikasi diri sebagai pemilik sastra lisan bhanti-bhanti. 
Memasuki era digital dan era pariwisata global, sastra lisan bhanti-bhanti menjadi salah satu kesenian tradisional yang disukai oleh wisatawan. Melihat sifat sastra lisan bhanti-bhanti yang terbuka, terutama dalam pementasannya, maka sastra lisan bhanti-bhanti menjadi salah satu kekuatan lokal dalam pembangunan kebudayaan global. Karena para wisatawan juga sangat menikmati beberapa tarian dan tradisi yang melibatkan sastra lisan atau nyanyian rakyat bhanti-bhanti sebagai bagian dari pementasannya.
Oleh karena itu, kehadiran sastra lisan bhanti-bhanti merupakan salah satu ruang negosiasi kebudayaan-kebudayaan kecil dalam pembangunan kebudayaan global yang kian menyatu. Sastra lisan masyarakat Yugoslavia[24], Afrika[25] kini telah menjadi sastra dunia setelah diteliti oleh para ahli. Demikian juga dengan ada berbagai kajian mengenai bhanti-bhanti yang saat ini menyebar di berbagai media internet, semakin menguatkan bahwa sastra lisan bhanti-bhanti adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kebudaayaan global dewasa ini.

F.       Daftar Pustaka
Adejunmobi, Moradewun. 2011. “Revenge of the Spoken Word?: Writing, Performance, and New Media in Urban West Africa” (Oral Tradition), Vol. 26. No. 1 (2011), pp: 3-26.
Asrif, 2014. “Identifikasi, Pemetaan dan Perlindungan Sastra Lisan di Sulawesi Tenggara” dalam Jurnal Kandai volume 10 Nomor 1 Mei 2014 Hal. 127-137.
Asrif. 2015. Tradisi Lisan Kabhanti :Teks, Konteks dan Fungsi. Jakarta: Disertasi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Esten, M.. 1999.Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
La Ode Taalami. 2008. Mengenal Kebudayaan Wakatobi. Jakarta: Granada.
Lord, A. B. 1981. The Singer of Tales. Cambridge, Massachusetts, London, England: Harvard University Press.
Mursydah, Dian. 2012. “Disfungsi Tradisi Lisan Melayu Jambi sebagai Media Komunikasi Da’wah” dalam Tadjid Volume XI. Nomor 2 tahun 2012 hal. 368-381.
Udu, S. 2010. Perempuan dalam Kabhanti: Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Penerbit Diandra
Udu, Sumiman. 2009. “Konsep Seks Masyarakat Buton” dalam Naskah Buton Naskah Dunia: Prosiding Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-bau (Ed. Yusran Darmawan). Bau-Bau: Penerbit Respect.
Udu, Sumiman. 2013. “Tradisi Lisan Sebagai Media Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Udu, Sumiman. 2015. “Tradisi Lisan Bhanti-Bhanti: Media Komunikasi Kutural Dalam Masyarakat Wakatobi” dalam Jurnal Humaniora Volume 27 No. 1 Februari 2015 Halaman 217-228.
Winarti, Daru. 2013. “Nilai-nilai Budaya dalam Tembang Dolanan sebagai Sarana Pembentuk Karakter Anak Bangsa” dalam Folklore and Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Ombak.


[1] Disampaikan pada Konferensi Internasional Kesusastraan XXIV  Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Dan Musyawarah Nasional X Ambon, 3 – 5 Desember 2015.
[2] Anggota HISKI Sulawesi Tenggara dan Dosen FKIP Univeritas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara.
[3] Kalau menggunakan kata kunci kabhanti di google maka hasilnya adalah 1.290 yang ditemukan di dalam mesin pencarian kata itu. Ini menunjukan bahwa betapa kayanya kata tersebut dalam memasuki kebudayaan global tersebut.
[4] Wawancara tanggal 12 Agustus 2013
[5] Cerita tentang kisah ini dikisahkan oleh La Alira, salah satu generasi Wakatobi yang berangkat ke Malaysia dan pulang setelah dikirimi dengan kaset bhanti-bhanti oleh ibunya (wawancara tanggal 5 Februari 2010).
[6] Wawancara tanggal 13 Juli 2013.
[7] Sara dalam masyarakat Wakatobi Buton adalah lembaga atau sebuah tatanan sosial budaya yang adalam masyarakat. orang juga sering mengidentikannya dengan pemerintah.
[8] Bhonto merupakan salah satu pangkat dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton.
[9] Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2015
[10] Tradisi hekomba’a merupakan tradisi menikmati bulan purnama dengan membuat api unggun yang lakukan oleh sekelompok gadis-gadis, lalu pada malam hari, sahabat mereka yang laki-laki datang. Gadis-gadis itu mengerjakaan sesuatu, sementara laki-laki akan datang dan menyanyi, sehingga mereka berpantun atau pobhanti hingga menjelang pagi.
[11] Wawancara tanggal 13 Juli 2013
[12] Dalam masyarakat bangsawan, jodoh anak-anaknya adalah pilihan orang tua, dan berbeda dengan anak-anak dari kalangan maradhika atau merdeka, jodoh diberikan kepada anak-anak mereka (Udu, 2010: 117).
[13] Pobhanti merupakan pementasan bhanti-bhanti yang dilakukan secara berbalasan. Dalam masyarakat Wakatobi tradisi ini biasanya dilakukan antarkelompok, baik antarkampung, maupun antarlaki-laki dan perempuan.
[14] Bhaobhe merupakan nama sebuah kampung yang berada di dalam wilayah kadhia wance, yang saat ini ketika dimekarkan berada di daerah administrasi desa Po’okambua kecamatan Wangi-Wangi kabupatan Wakatobi.
[15] Dalam karyanya yang berjudul, Wa Jandi Topomelaimo Rusiadin, mengekespresikan cintanya yang terpisah oleh jarak, kerinduan itu diekspresikan melalui teks bhanti-bhanti Wakatobi.
[16] Dalam beberapa karya terbarunya,La Ode Adili menggunakan sastra lisan kabhanti dalam mendukung kampanye salah satu calon di Wakatobi. perlawanannya pada kebijkan pemerintah, diekspresikan melalui sastra lisan kabhanti.
[17] Diasfora masyarakat Wakatobi berlangsung sejak berabad-abad silam, kemampuan mereka mengarungi lautan dengan perahu karoro mereka membuat orang Wakatobi menjelajahi hampir semua kawasan oceania yang meliputi kepulauan solomon di pasifik sampai dengan madagaskar di samudra hindia.
[18] Wawancara dengan Wa Suri yang merupakan salah satu peserta joget Wakatobi pada peringatan 17 Agustus 2015 silam di Wakatobi. Ia mengatakan bahwa para turis juga ikut menikmati joget Wakatobi bersama masyarakat (Wawancara tanggal 19 September 2015.
[19] Lariangi merupakan salah satu tarian tradisional masyarakat Wakatobi yang saat ini sudah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Muh. Nuh sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.
[20] Ngiwi merupakan gerakan putaran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki
[21] Diskusi pada tanggal 25 September 2012
[22] Diskusi pada tanggal 25 September 2015.
[23] Salah satu group anak-anak Wakatobi yang menggunakan sastra lisan bhanti-bhanti dalam komunikasi mereka dalah group Sejuta Bhanti-bhanti Wakatobi.
[24] Penelitian Albert Bates Lord mengenai nyanyian rakyat masyarakat Yugoslavia tahun 1981 saat ini sudah menjadi bagian penting dalam pembangunan kebudayaan khususnya dalam kajian-kajian tradisi lisan. Disertasi yang mengkaji tentang sastra lisan kabhanti atau bhanti-bhanti sudah banyak dilakukan, antara lain Ali Rusdin (2015), Asrif (2015) merupakan suatu kekuatan dalam melihat keberadaan sastra lisan bhanti-bhanti dalam pembangunan kebudayaan global di masa yang akan datang.
[25] Penelitian Jan Vansinna (2014) mengenai pemanfaatan tradisi lisan dalam penulisan sejarah masyarakat Afrika telah memberikan sumbangan luar biasa dalam membentuk peradaban global, khsususnya dalam pembangunan paradigma penelitian sejarah.

Tidak ada komentar: