Di hadapan para tamu dan pendengar, Dr. Laxmi, Ketua Pengabdian Kepada Masyarakat, membuka diskusi dengan suara yang tenang namun tegas. Ia berbicara tentang kelompok-kelompok seni Jawa perantauan, tentang bagaimana mereka menjaga denyut budaya di tanah baru. “Seni ini bukan hanya milik satu etnis,” ujarnya sambil sesekali menatap para penari yang sedang bersiap. “Ini adalah ruang bagi siapa pun yang ingin merawat harmoni.”
Di sampingnya, Dr. Sumiman Udu, tenaga ahli yang lama mengamati dinamika budaya di Sulawesi Tenggara, mengangguk pelan. Baginya, kebudayaan adalah sungai besar—dan para perantau adalah arus kecil yang terus menambah kejernihannya. Ia menegaskan bahwa kesenian bisa menjadi jembatan, bukan sekat, ketika dipeluk bersama.
Dan benar saja. Ketika musik mulai mengalun, para penari Mustika Budaya tampil tanpa sekat identitas. Ada remaja Jawa perantauan, tetapi di antara mereka terselip pula gerak tubuh Bugis, Bali, Tolaki, Muna, dan Buton. Bahu-bahu yang berbeda itu bergerak dalam ritme yang sama. Kain yang berwarna-warni berputar seperti kaleidoskop kebhinnekaan yang tak dibuat-buat.
Tidak ada yang dominan. Tidak ada yang merasa tamu. Mereka menari sebagai satu tubuh kebudayaan.
Para pendengar yang hadir di studio tertegun. Bukan semata karena keluwesan para penari, tetapi karena kesadaran bahwa inilah wajah Indonesia yang sering kali luput disadari: pertemuan, persilangan, dan penerimaan.
Usai pementasan, Dr. Laxmi kembali angkat suara. Kali ini nada suaranya menyimpan harapan. Ia menuturkan bahwa pemerintah daerah selayaknya memberi perhatian lebih pada kelompok seni seperti Mustika Budaya. “Kesenian ini bisa menjadi atraksi yang kuat untuk pariwisata budaya di Sulawesi Tenggara,” ujarnya. “Tinggal bagaimana kita merawat dan memberinya ruang tumbuh.”
RRI Kendari sore itu menjadi panggung yang lebih dari sekadar pementasan. Ia menjadi ruang di mana kebudayaan berdialog dengan dirinya sendiri, menegaskan bahwa akulturasi bukan sekadar teori dalam buku, melainkan sesuatu yang hidup, menari, dan bisa dirasakan detaknya.
Ketika acara usai, suara gamelan perlahan mereda, tetapi getarannya tinggal lama di dada para hadirin. Sanggar Mustika Budaya melangkah keluar studio dengan senyum lebar—membawa pesan sederhana namun kuat: bahwa keindahan lahir ketika kita memilih untuk menari bersama.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar