Oleh:
Rima
Devi, FIB Universitas Andalas, rima_devi2004@yahoo.com
Abstrak
Peneliti: Dr. Rima Devi |
Pendahuluan
Keluarga
merupakan satu institusi yang sudah langsung dapat dipahami oleh setiap
individu di manapun berada. Hal ini dapat terjadi karena setiap individu lahir
di dalam keluarga, tumbuh dan berkembang dalam keluarga, kemudian
mengaktualisasikan dirinya dalam keluarga, lalu meninggal dunia pun akan
dikembalikan kepada keluarga di mana individu tersebut berasal. Sehubungan
dengan hal tersebut maka setiap keluarga yang berada dalam satu masyarakat
tertentu pada umumnya akan mengikuti adat istiadat atau kebiasaan umum yang
berlaku pada masyarakatnya. Setiap individu dalam satu keluarga akan diajarkan
bagaimana berinteraksi dengan sesama anggota keluarga dan dengan sesama anggota
masyarakat tempat mereka tinggal. Beragamnya adat istiadat dan kebiasaan di
satu wilayah membuat kebiasaan dalam keluargapun juga bermacam-macam sehingga
para ahli mengelompokkan jenis keluarga berdasarkan jumlah anggota dan hubungan
antaranggota menjadi keluarga besar atau extended
family dan keluarga inti atau nuclear
family.
Keluarga
besar adalah satu keluarga yang anggotanya terdiri dari suami, istri,
anak-anak, orang tua, kerabat yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan.
(Goode: 2007). Keluarga besar biasanya terdapat pada keluarga tradisional di
negara-negara belahan dunia bagian timur seperti Indonesia dan Jepang. Pada
keluarga di Indonesia ditemukan banyak keluarga tradisional dari berbagai suku
dan keluarga tradisional tersebut biasanya adalah keluarga besar seperti
keluarga pada suku Minang Kabau, Batak, dan lain sebagainya. Demikian juga pada
keluarga tradisional di Jepang terdapat pula sistem kekeluargaan tradisional
yang pernah diberlakukan dan dikukuhkan pada undang-undang dasar negaranya
ketika zaman Meiji (1868-1912).
Seiring
dengan perubahan zaman dan perubahan sistem yang terjadi dalam masyarakat
secara global, bentuk keluarga tradisional turut berubah menjadi keluarga
modern. Keluarga modern adalah keluarga yang anggota terdiri atas suami, istri
dan anak-anak yang belum menikah, maka disebut juga dengan keluarga inti atau nuclear family. Perubahan struktur
keluarga ini dipicu oleh berbagai hal dan salah satunya menurut Goode (2007)
adalah karena semakin berkembangnya teknologi dan industri yang menuntut
struktur keluarga menjadi keluarga inti. Anggota keluarga yang awalnya
tergabung dalam keluarga besar meninggalkan keluarga dan kampung halamannya
untuk mencari kehidupan di daerah industri. Lahan-lahan baru yang dibuka untuk
kawasan industri tidak hanya digunakan untuk membangun pabrik, juga
dimanfaatkan untuk membangun perumahan bagi buruh pabrik. Perumahan yang
dibangun dirancang pula untuk menampung anggota keluarga dari buruh pabrik
tersebut, dan pada umumnya anggota keluarga yang dibawa serta adalah istri dan
anak-anak yang belum menikah.
Berubahnya
struktur keluarga dari keluarga tradisional menjadi keluarga modern juga
mengubah adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat. Persoalan-persoalan
yang terjadi di dalam keluarga inti sedapat mungkin tidak dibawa ke dalam
keluarga besar dan diusahakan untuk diselesaikan sendiri. Keluarga besar
biasanya hanya dilibatkan dalam acara seremonial terkait pesta kelahiran, pesta
perkawinan dan penyelenggaraan kematian anggota keluarga. Banyak hal terkait
adat istiadat dan kebiasaan dalam keluarga besar secara berangsur-angsur tidak
dilaksanakan atau ditinggalkan sehubungan dengan anggota keluarga yang
semestinya hadir dalam acara tersebut tidak lengkap atau tidak ada. (Aruga:
1981).
Seperti
dalam keluarga tradisional Jepang, ada acara keluarga yang disebut dengan
perjodohan atau omiai. Anggota
keluarga yang sudah patut menikah akan dicarikan jodohnya oleh kepala keluarga
atau kachō. Perjodohan ini harus
diterima oleh anggota keluarga yang dijodohkan dan mereka tidak mempunyai hak
untuk menolak calon pasangan hidup pilihan keluarganya. Mereka beranggapan
kepala keluarga sudah memikirkan secara seksama calon pasangan dari anggota
keluarga yang akan menikah. Sementara pada masa sekarang dalam masyarakat
Jepang, tidak ada lagi kachō yang
menjadi kepala keluarga. Masing-masing individu mempunyai hak untuk menentukan
jalan hidupnya. Apakah akan menikah dengan pasangan yang disukai, apakah akan
menikah atau tidak, apakah setelah menikah akan mempunyai anak atau tidak,
semuanya diputuskan sendiri oleh individu tanpa campur tangan anggota keluarga
yang lain termasuk ayah atau ibunya sendiri. (Sugimoto: 1997).
Sama
halnya dengan Jepang, masyarakat pada keluarga tradisional di Indonesia juga
mengenal perjodohan. Anak pada keluarga tradisional yang dijodohkan oleh orang
tuanya dituntut pula untuk patuh dan menerima perjodohan tersebut. Orang tua
menganggap bahwa dirinya lebih paham siapa jodoh yang pantas untuk anaknya dan
sang anak harus patuh dengan pilihan orang tua. Mengenai perjodohan ini terbaca
dalam cerita roman di Indonesia seperti kisah Siti Nurbaya yang ditulis Marah Rusli, ataupun cerita roman karya
Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck. Penggambaran kisah kawin paksa dalam dua roman ini
menunjukkan bahwa adanya tradisi menjodohkan anggota keluarga sesuai dengan
keinginan orang tuanya.
Kawin
paksa yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada masa lalu sudah mulai hilang
pada masa sekarang. Anak muda sudah mendapatkan kebebasan memilih jodoh yang
diinginkan. Hampir tidak terdengar cerita kawin paksa dalam keluarga modern di
Indonesia saat ini. Demikian juga halnya di Jepang. Sejak otoritas kachō dilemahkan dengan penghapusan
sistem kekeluargaan tradisional di Jepang dan aturan yang memberlakukan kaum
pria dan wanita mempunyai kedudukan yang setara dalam masyarakat, hampir tidak
terdengar pula kisah perjodohan seperti pada masa sistem ie atau sistem
kekeluargaan tradisional Jepang masih diberlakukan secara hukum.
Bebasnya
seorang individu memilih jodoh di Jepang juga tergambar dalam novel-novel yang
ditulis oleh pengarang Jepang seperti novel Kifujin
A no Sosei yang ditulis oleh Ogawa Yoko. Dikisahkan dalam novel tentang
seorang tokoh bernama Bibi Yuli yang berkebangsaan Rusia dapat dengan mudah
menikah dengan pria Jepang tanpa ada pertentangan sedikitpun dari pihak
keluarga. Padahal Bibi Yuli sudah lanjut usia yaitu berumur 69 tahun dan
suaminya 51 tahun saat mereka menikah. Perkawinan mereka berjalan dengan baik
walaupun tetap ada pergunjingan dari keluarga pihak laki-laki. Bibi Yuli dan
suaminya hidup dalam masyarakat membentuk keluarga dengan struktur keluarga
modern. Hak mereka sebagai individu dihormati dan dihargai dalam masyarakat
modern sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan tenang.
Sementara
pada novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode
karya Sumiman Udu dikisahkan tokoh Amalia Ode yang dipaksa menikah dengan
sepupunya yang sama-sama bergelar Ode. Pemaksaan tersebut memperlihatkan tidak
adanya hak individu sebagai manusia modern dalam keluarga modern.
Aruga
(1981) mengatakan bahwa walaupun sistem kekerabatan tradisional di Jepang sudah
dihapuskan dalam perundang-undangan tapi masih terlihat penerapan sistem
tersebut dalam kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Sementara dalam
masyarakat Buton yang sudah berada pada masa modern dan mengikuti
kebiasaan-kebiasaan modern namun dalam keseharian masih terlihat adanya
pengaruh adat tradisional dalam masyarakat seperti yang tergambar dalam novel Di Bawah Bayang Bayang Ode ini. Bagaimanakah pengaruh sistem kekeluargaan
tradisional mewarnai kehidupan masyarakat modern pada dua budaya yang berbeda
yaitu pada keluarga Buton dan Jepang merupakan permasalahan pada tulisan ini
Teori
dan Metode Penelitian
Menelaah
dan menggali karya sastra secara mendalam sehingga terungkap hal-hal yang
tersirat dari sebuah karya sastra merupakan satu kegiatan yang dilakukan dalam
penelitian sastra. Pendekatan yang digunakan bermacam ragam sesuai dengan
permasalahan yang dikemukakan. Pada tulisan ini yang permasalahannya adalah
keluarga yang terdapat dalam karya sastra maka pendekatan yang digunakan dalam
analisis adalah pendekatan sosiologi sastra. Wellek dan Warren (1993)
mengatakan bahwa karya sastra dapat diteliti menggunakan pendekatan sosiologi
sastra dan mengemukakan tiga kategori sebagai berikut. Sosiologi pengarang
yaitu hal yang berkaitan dengan keadaan sosial pengarang, sosiologi pembaca
yaitu hal yang terkait dengan keadaan sosial pembaca ketika membaca satu karya
sastra, dan sosiologi karya yaitu gambaran sosial masyarakat yang terdapat di
dalam karya sastra.
Penelaahan
karya sastra menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini memerlukan pula
konsep-konsep yang terdapat dalam sosiologi untuk menentukan variabel yang akan
dianalisis seperti konsep keluarga. Keluarga dan permasalahannya yang dibahas
dalam ilmu sosiologi merupakan pembahasan tersendiri yang memiliki beragam
konsep. Konsep keluarga yang digunakan pada pengumpulan data adalah konsep yang
terkait dengan struktur keluarga baik keluarga tradisional maupun modern. Goode
(2007) memaparkan keluarga secara umum, keluarga tradisional dan struktur
keluarga yang terdapat pada zaman modern ini. Selain menggunakan konsep yang
dikemukakan Goode juga digunakan konsep keluarga yang dikemukakan oleh Aruga
(1981) mengenai sistem ie yaitu sistem kekeluargaan tradisional Jepang. Pada
sistem ie ini satu keluarga dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang disebut
dengan kachō. Anggota keluarganya
terdiri dari anggota yang memiliki hubungan darah dengan kachō seperti anak-anak dan orang tuanya baik ayah maupun ibunya,
serta saudara sekandungnya, anggota yang memiliki hubungan perkawinan dengan kachō seperti istrinya dan menantunya,
dan anggota yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali atau disebut
dengan hōkōnin.
Konsep
lain yang digunakan adalah konsep keluarga interdependen yang dikemukakan oleh
Devi (2015) yaitu keluarga yang saling bergantung di mana struktur keluarga
yang terbentuk bukan keluarga tradisional ataupun keluarga modern. Hubungan
antaranggota dari keluarga tersebut dapat berupa hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan hubungan saling membutuhkan satu sama lain. Sementara untuk
melihat sistem kekeluargaan dalam masyarakat Buton, digunakan konsep keluarga
yang tergambar tulisan-tulisan atau makalah yang ditulis oleh Udu (2009, 2015).
Udu (2009) menggambarkan bagaimana seorang perempuan yang ditinggal merantau
oleh suaminya memiliki otoritas penuh terhadap keluarga bahkan sampai kepada
hal menjodohkan anak-anaknya. Sementara metode penelitian yang digunakan adalah
metode kepustakaan dengan menganalisis secara kualitatif.
Sinopsis
Novel Di Bawah Bayang – Bayang Ode
Tokoh
Imam adalah seorang pemuda desa Wakatobi yang tidak mempunyai gelar bangsawan
jatuh cinta kepada Amalia Ode seorang perempuan kaya yang memiliki gelar kebangsawanan
Buton. Cinta Imam diterima dengan suka cita oleh Amalia Ode dan mereka berdua
berharap satu saat dapat hidup bersama sebagai suami istri. Baik Imam maupun
Lia, panggilan akrab Amalia Ode, sama-sama menyadari status mereka di dalam
masyarakat, tapi mereka masih bersikeras untuk bisa bersama. Imam yang
menyadari bahwa dirinya yang tidak mempunyai gelar Ode tidak akan mungkin dapat
menikahi Lia, tetap berusaha membujuk ayah dan ibunya agar bersedia pergi
melamar Lia. Lia pun demikian. Lia meminta Imam untuk segera melamar dirinya
agar dapat terbebas dari paksaan ibunya untuk menikah dengan sepupunya yang
sama-sama memiliki gelar Ode.
Tingginya
nilai gelar kebangsawanan Ode bagi keluarga Lia, dan gelar Ode yang akan selalu
melekat dalam diri Lia bila menikah dengan sesama Ode, serta gelar Ode yang
dapat diturunkan kepada anaknya Lia kelak membuat ibu dari Amalia Ode tidak
menyerah dengan keinginan keras anaknya yang menolak perjodohan. Ibu Lia
berhasil menggagalkan niat Lia yang ingin lari dari rumah dan meninggalkan
kampung halamannya menuju kota Kendari bersama Imam. Ibu Lia melalui bantuan
sepupunya, La Ode Halimu, yang juga calon menantunya akhirnya berhasil
menghentikan niat Lia lari bersama Imam dengan mencengat kapal yang ditumpangi
Lia menuju Kendari. Dengan berat hati Lia kembali pulang dan gagal melarikan
diri.
Sikap
Lia yang memperlihatkan perlawanan atas keinginan ibunya membuat sang ibu
sangat khawatir bila anaknya kabur lagi. Lia pun akhirnya dikurung di dalam
kamarnya dan tidak boleh ke mana-mana. Ibu Lia juga mempercepat proses
pernikahan Lia dengan sepupunya. Dalam keadaan tak berdaya, Lia akhirnya
menikah dengan sepupunya setelah ibunya meminta sambil bersujud di hadapannya.
Lia
kemudian menjalani perkawinan yang tidak bahagia. Lia yang jadi pemurung
akhirnya mengalami depresi yang membuat kesehatannya menurun drastis. Berharap
bayi yang dikandungnya dapat lahir dengan selamat, Lia masih mencoba bertahan
hingga kandungannya cukup bulan. Setelah kelahiran anak perempuannya yang
diberi nama Anastasia, Lia pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Sementara
Imam yang patah hati tidak berniat untuk menikah. Imam lebih menikmati
kehidupannya sebagai dosen di salah satu universitas di Kendari. Imam mengejar
karir dan menambah pendidikannya sehingga berhasil memperoleh gelar doktor.
Dalam kesibukannya mengajar dan membimbing mahasiswa, Imam bertemu dengan
Anastasia yang sudah beranjak dewasa. Tanpa mengetahui bahwa mereka saling
memilki hubungan darah, terjalin keakraban antara Imam dan Anastasia seperti
seorang ayah dan anak hingga kebenaran itu terungkap ketika Anastasia datang
menemui Imam yang sedang dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya
menurun akibat kanker darah yang dideritanya. Sumbangan sum-sum tulang dari
Anastasia membuat kesehatan Imam sedikit membaik, namun tidak bertahan lama.
Imam akhirnya menutup usia dan meninggalkan pesan terakhir agar dimakamkan di
samping makam kekasihnya Amalia Ode.
Sinopsis
Novel Kifujin A no Sosei
Tokoh
aku atau sebut saja Gadis yang ditinggal mati ayahnya mendapat tugas menjaga
Bibi Yuli istri pamannya. Paman Gadis lebih dahulu meninggal dunia dua bulan
sebelum kepergian ayah Gadis. Paman Gadis adalah seorang pengusaha kaya yang
mempunyai pabrik plastik, mempunyai banyak koleksi binatang yang diawetkan, dan
mempunyai rumah yang besar dan mewah berikut para pembantu yang mengurus dan
menjaga koleksinya. Paman Sang Gadis menikah dengan seorang perempuan Rusia
yang merupakan pelarian dan mendapat suaka tinggal di Jepang. Usia istri Paman
Gadis atau Bibi Yuli saat menikah adalah 69 tahun, sementara Paman Gadis
berusia 51 tahun. Semua orang berpraduga bahwa perkawinan mereka tidak akan
berjalan lama dengan anggapan Bibi Yuli hanya mengharapkan harta saja. Kiranya
perkawinana mereka berjalan mulus selama sepuluh tahun lebih, dan kematian
Paman Gadis yang memisahkan mereka.
Sepeninggal
ayahnya, ibu Gadis dan adiknya yang tidak punya tempat bergantung akhirnya
pulang ke rumah orang tuanya untuk mencari penghidupan baru. Sementara Gadis
yang setahun lagi akan menyelesaikan kuliahnya mendapat tugas menjaga dan
merawat Bibi Yuli di rumahnya yang besar dengan imbalan biaya kuliah Gadis
ditanggung dari warisan pamannya. Gadis merawat dan menjaga Bibi Yuli dengan
baik dan tidak membuatnya berubah pikiran, walaupun kemudian Gadis mengetahui
bahwa harta pamannya yang tersisa hanyalah rumah dan koleksinya saja.
Gadis
mempunyai pacar bernama Niko yang sering berkunjung ke rumah Bibi Yuli dan
membantu segala sesuatu yang terkait dengan urusan rumah yang tidak bisa diselesaikan
sendiri oleh Gadis. Bibi Yulipun dengan senang hati menerima kehadiran Niko di
rumah mereka walaupun Niko memiliki kelainan psikologis yaitu OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Baik
Gadis maupun Bibi Yuli, keduanya memikirkan bagaimana cara untuk membantu
menyembuhkan penyakit Niko dengan memberikan perhatian dan kasih sayang.
Sang
Gadis tidak menyadari bahwa bola mata biru bibinya dan kulitnya yang putih
menarik perhatian seorang wartawan majalah pencinta binatang yang diawetkan
bernama Ohara. Ohara melihat Bibi Yuli mirip dengan Putri Anastasia, putri ke empat dari Raja Nicholas II yang digulingkan di Rusia. Ohara
kemudian mempublikasikan keberadaan Bibi
Yuli sebagai orang yang diduga mirip dengan Putri Anastasia di majalah yang
dikelolanya. Sejak itu banyak tamu berdatangan ke rumah untuk bertemu dengan
Bibi Yuli dan meminta tanda tangan. Ohara tanpa berbasa basi telah mendaulat
dirinya sebagai manajer Bibi Yuli dan mengatur pertemuan Bibi Yuli dengan
tamu-tamu. Ohara juga mendatangkan ahli sejarah untuk mewawancarai Bibi Yuli
dan untuk membuktikan apakah Bibi Yuli benar-benar Putri Anastasia.
Bibi
Yuli sendiri sangat senang dengan kedatangan para tamu yang menganggap dirinya
adalah Putri Anastasia. Bibi Yuli terkadang menyempatkan diri bermain sulap di
depan tamu-tamunya, sebuah permainan yang sangat mahir dilakukannya. Bibi yang
diwawancarai oleh para tamu sering
bercerita mengenai kehidupannya semasa tinggal di istana di Rusia dan
kehidupannya setelah tiba di Jepang. Gadis dan pacarnya Niko tidak percaya
bahwa Bibi Yuli adalah Putri Anastasia, terlebih setelah mereka melihat Bibi
Yuli pergi ke toko barang antik, mengumpulkan barang-barang yang kira-kira
terkait dengan Rusia dan melihat Bibi membuka-buka album berisi foto-foto
keluarga kerajaan Rusia.
Ohara
memberitahukan bahwa akan diadakan wawancara antara Bibi Yuli dengan para ahli
untuk direkam dengan maksud akan ditayangkan di TV. Gadis dan Niko yang semula
tidak begitu peduli dengan anggapan bahwa Bibi Yuli adalah Putri Anastasia,
akhirnya ikut membantu Bibi Yuli menyiapkan diri agar ketika diwawancarai bisa
menjawab pertanyaan yang terkait dengan Putri Anastasia dengan mempelajari
silsilah keluarga kerajaan Rusia yang terakhir dan menyuruh Bibi Yuli
menghafalkannya. Dari wawancara yang dilakukan untuk TV, ahli sejarah
menyatakan kemungkinan Bibi Yuli adalah Putri Anastasia adalah 90% yang
disimpulkan berdasarkan bukti fisik tampak luar dan dari foto ronsen rangka
kepala dan susunan giginya. Sangat disayangkan beberapa hari setelah diwawancarai
dan rekaman wawancara belum sempat di tayangkan di TV, Bibi Yuli meninggal
dunia pada usia 80 di rumahnya di hadapan Gadis.
Struktur Keluarga Pada Kedua Novel
Membaca
kedua novel yaitu Di Bawah Bayang-Bayang
Ode karya Sumiman Udu dan novel Kifujin A no Sosei karya Ogawa Yoko,
sekilas terlihat sangat berbeda dan tidak ada kesamaannya sama sekali. Novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode mengisahkan
tentang kawin paksa dan bagaimana menderitanya kedua insan yang kasihnya tak
sampai hingga salah seorang dari tokoh meninggal dunia lebih dahulu karena
tertekan dengan kehidupan dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Sedangkan
novel Kifujin A no Sosei lebih
menekankan penceritaan pada kehidupan Bibi Yuli yang mengaku dirinya sebagai
Putri Anastasia dari kerajaan Romanov Rusia. Namun bila dilihat gambaran
keluarga dari kedua novel maka akan tampak banyak persamaan yang satu sama lain
bisa saling diuraikan menggunakan pendekatan yang sama yaitu keluarga.
Persamaan
mendasar dari kedua novel ini adalah sama-sama menggambarkan kehidupan
masyarakat pada zaman sekarang dan sama-sama menggambarkan interaksi antar
individu dalam satu sistem kekerabatan yang tidak mengacu pada keluarga
tradisional. Pada novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode, tokoh Imam awalnya digambarkan tinggal dalam keluarga
inti yaitu bersama ayah, ibu dan saudaranya yang belum menikah, kemudian pada
akhir cerita Imam tinggal sendiri di kota Kendari. Tokoh Lia digambarkan
tinggal berdua saja dengan ibunya sedangkan ayahnya pergi merantau. Pada novel Kifujin A no Sosei, struktur keluarga
yang terbangun adalah keluarga interdependen. Masing-masing tokoh memiliki
hubungan yang berbeda-beda seperti Bibi Yuli dengan Gadis memiliki hubungan
karena perkawinan Bibi Yuli dengan paman Gadis. Sedangkan tokoh Niko dan Ohara
memiliki hubungan yang saling membutuhkan atau interdependen dengan Bibi Yuli
yang berperan sebagai kachō.
Persamaan
mendasar yang kedua adalah baik keluarga dalam masyarakat Buton maupun
masyarakat Jepang pada masa sebelum berakhirnya perang dunia kedua ketika
industri dan teknologi belum berkembang pesat, kedua masyarakat ini sama-sama
menjalankan sistem kekeluargaan tradisional. Kedua masyarakat sama-sama
menganut sistem kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang berdaulat. Pada
saat raja masih memiliki kekuasaan penuh di Buton, sistem kekerabatan
tradisional masih dijalankan, demikian pula halnya dengan kerajaan di Jepang
yang dipimpin oleh seorang kaisar.
Selain
itu kedua masyarakat baik masyarakat Buton maupun Jepang masih menjalankan adat
istiadat yang ada dalam keluarga tradisional walaupun sistem kekeluargaan
tradisional sudah tidak diberlakukan lagi sebagaimana halnya di Jepang. Ahli
sosiologi keluarga di Jepang, Aruga Kizaemon (1981) dengan tegas menyatakan
bahwa sistem yang berlaku dalam kekeluargaan tradisional Jepang tidak serta
merta hilang ketika sistem tersebut dihapuskan dari undang-undang dasar Jepang.
Sampai saat ini masih ditemukan penerapan sistem ie dalam masyarakat Jepang walaupun
hanya bersifat parsial.
Keluarga
dalam masyarakat Buton tergambar pada keluarga Imam. Imam tinggal seorang diri
dan tidak menikah. Kehidupan melajang yang dijalani Imam adalah di luar
kebiasaan masyarakat Buton. Imam tetap melajang sampai usia yang cukup matang
sementara teman-teman sebayanya sudah menikah pada usia 20-an. Keluarga Imam
yaitu ayah dan ibunya masih tinggal di Wakatobi sementara Imam seorang diri
tinggal di kota Kendari. Bisa dikatakan Imam tidak membentuk keluarga di
Kendari karena hanya hidup seorang diri hingga ajalnya menjemput.
Mengenai
keluarga Lia, sebelum Lia menikah hanya terdiri dari Lia dan ibunya saja. Dalam
masyarakat Buton sekarang yang dikatakan keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri atas suami/istri, atau suami, istri dan anaknya atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Definisi keluarga ini dituliskan oleh
Bupati Buton dalam peraturan daerah no. 12 tahun 2014. Penggambaran keluarga
dari definisi keluarga menurut Bupati Buton ini sangat bersesuaian dengan
keluarga Amalia Ode yang hanya terdiri dari Lia dan Ibunya. Ayah Lia sudah lama
pergi merantau dan tidak pulang-pulang sehingga segala urusan mengenai rumah
tangganya diatur oleh ibu Lia. Ibu memiliki otoritas yang tinggi dalam satu
keluarga yang dipimpin oleh perempuan (Udu, 2009).
Mengenai
kebiasaan pada keluarga tradisional, masih terlihat dalam masyarakat Buton
seperti tergambar dalam novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode. Keluarga Imam masih memegang teguh adat seperti tidak
menggunakan gelar Ode padahal kakek Imam adalah seorang yang memiliki gelar
Ode. Keluarga Imam beranggapan bahwa gelar Ode adalah satu gelar yang
didapatkan dari Raja karena sudah berjasa kepada negara, dan bukan gelar yang
didapatkan karena keturunan. Keluarga Imam juga menjalankan tradisi melamar Lia
dengan mendatangi keluarga Lia. Pada masyarakat tradisional Buton, Ayah dan ibu
pihak laki-lakilah yang mendatangi keluarga pihak perempuan untuk melamar.
Sementara pada tradisi pada zaman modern ini, melamar seorang perempuan
dilakukan sendiri oleh seorang laki-laki langsung kepada perempuan tanpa
melibatkan keluarga. Setelah kedua pasangan saling sepakat menikah baru mereka
menghubungi keluarga masing-masing untuk meminta restu.
Tradisi
yang berkaitan dengan keluarga pada masyarakat Buton yang tergambar dalam novel
di Bawah Bayang-Bayang Ode berikutnya
adalah ketika prosesi pernikahan Amalia Ode yang diselenggarakan menurut adat
yang berlaku. Keluarga besar Lia yaitu paman-pamam beserta istri mereka
membantu penyelenggaraan pesta perkawinan Lia dengan La Ode Halimu mulai dari
proses lamaran, persiapan hal-hal yang berkaitan dengan adat seperti hidangan,
sampai pada proses pernikahan hingga selesai. Sementara pada masyarakat modern
sekarang, banyak proses pernikahan secara adat ditinggalkan dan prosesi
perkawinan yang biasanya berhari-hari bisa diselesaikan satu hari saja pada
gedung pesta yang disewa secara bersama oleh kedua keluarga mempelai.
Pelaksanaan
kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional yang tergambar dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode juga hanya
bersifat parsial atau sebagian saja yaitu ketika orang tua Imam pergi melamar
Lia dan ketika proses pernikahan Lia dengan sepupunya. Pada novel tidak
tergambar bagaimana Imam sebagai seorang individu megikuti kebiasaan menikah
pada usia muda yaitu sekitar usia 20-an. Imam malah tetap melajang sampai akhir
hayatnya. Di sini terlihat bagaimana kebiasaan menikah pada masyarakat Buton
sudah sedikit bergeser dari kebiasaan tradisional.
Pada
novel Kifujin A no Sosei masih
terlihat adanya kachō atau kepala
keluarga yaitu Bibi Yuli yang memposisikan diri sebagai pemimpin dalam
keluarganya. Anggota keluarga yang lain juga mengikuti apa yang diperintahkan
Bibi Yuli yang berperan sebagai seorang kepala keluarga. Suami Bibi Yuli juga
mengangkat anak yang dalam istilah pada sistem ie disebut dengan yōshi atau anak angkat. Anak angkatnya
adalah Gadis. Ada pula hōkōnin yaitu
anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan
Bibi Yuli yaitu Niko dan Ohara. Selain itu terdapat pula bisnis keluarga atau kagyō sebagaimana terdapat dalam
keluarga tradisional Jepang. Bibi Yuli bersama anggota keluarganya juga
mempunyai kebiasaan keluarga atau kafu
seperti mengadakan pesta makan bersama dengan semua anggota keluarga. Istilah kachō, yōshi, hōkōnin, kagyō, dan kafu adalah istilah-istilah yang
terdapat pada sistem ie. Tapi sistem kekeluargaan yang berjalan dalam keluarga
Bibi Yuli tidak sepenuhnya seperti pada keluarga tradisonal Jepang karena masih
ada beberapa kebiasaan yang tidak dijalankan yaitu tidak adanya sosen suhai atau pemujaan arwah leluhur
dan tidak ditentukannya calon pewaris.
Penyelesaian Masalah Keluarga Pada
Kedua Novel
Kedua
novel baik Di Bawah Bayang-Bayang Ode
maupun Kifujin A no Sosei selain
menggambarkan struktur keluarga juga tergambar permasalahan yang dihadapi oleh
keluarga. Pada novel Di Bawah
Bayang-Bayang Ode, permasalahan keluarga yang muncul adalah tidak
bersedianya Amalia Ode dinikahkan dengan sepupunya. Lia yang sudah mempunyai
kekasih Imam, menolak untuk dinikahkan dengan sepupunya yang sama-sama
menyandang gelar Ode. Bagi Lia gelar Ode bukanlah hal yang penting dalam
kehidupannya. Malah gelar tersebut menjadi beban baginya karena harus menikah
pula dengan sesama Ode. Penolakan Lia terhadap perjodohan dirinya yang terkesan
seperti pemberontakan ketika Lia berusaha lari ke Kendari bersama Imam
memperburuk situasinya. Ibu Lia yang sudah kehabisan akal menghadapi anak
gadisnya akhirnya melakukan kebiasaan yang berlaku pada keluarga tradisional
yaitu bersujud di kaki Lia. Ibu Lia dalam sujudnya memohon agar Lia bersedia
menikah dengan calon pilihan ibunya. Atas dasar rasa kemanusiaan yang merupakan
falsafah rakyat Buton dan hukum tertinggi dalam budaya masyarakat, Lia tak
kuasa lagi menolak keinginan ibu dan keluarga besarnya. Falsafah ini
mengajarkan cubitlah kulitmu sendiri, bila merasa sakit maka orang lain juga
merasakan hal yang sama. (Udu, 2015).
Tindakan
sujud seorang ibu di hadapan kaki anaknya memperlihatkan bahwa masih tertanam
dalam masyarakat Buton kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional.
Masyarakat Buton yang sangat kuat memegang ajaran agama Islam tentu menyadari
pula bahwa seharusnya anaklah yang bersujud di telapak kaki ibu, bukan
sebaliknya. Namun apa yang dilakukan oleh ibu Amalia Ode adalah salah satu
jalan keluar agar Lia bersedia menikah dengan La Ode Halimu sehingga gelar
kebangsawanan yang disandangnya tidak hilang dan mereka masih tetap menikmati
kehidupan yang layak dari harta kekayaan keluarga besar yang tetap terjaga karena
adanya ikatan perkawinan ini. Apa yang dilakukan oleh ibu Lia juga merupakan
satu tindakan dari perempuan Buton yang menjadi kepala keluarga di rumahnya.
Ibu Lia memiliki otoritas penuh terhadap keluarga dan dapat melakukan apa yang
dianggap baik untuk kepentingan semua anggota keluarga, (Udu, 2009).
Pada
novel Kifujin A no Sosei permasalahan
yang muncul dan berkaitan dengan keluarga adalah ketika Bibi Yuli yang sudah
lansia kehilangan suaminya karena meninggal dunia. Keluarga besar suaminya
kemudian memberikan solusi dengan mengirim Gadis, keponakan suaminya untuk
mengurus Bibi Yuli. Keberadaan Gadis di dekat Bibi Yuli didukung oleh sistem
kekeluargaan yang memperbolehkan kachō mengangkat
anak atau yōshi untuk dijadikan calon
pewaris. Gadis menjadi yōshi dari
pamannya. Sebagai yōshi, Gadis
mempunyai kewajiban menjaga Bibi Yuli berikut harta peninggalan pamannya.
Mengangkat
yōshi merupakan satu kebiasan yang
terdapat dalam sistem ie. Sementara pada masyarakat modern, bila seorang istri
yang sudah lansia kehilangan suami dan tidak sanggup mengurus dirinya sendiri
maka perawatannya diserahkan ke panti jompo. Walaupun lansia tersebut mempunyai
anak-anak, anak-anak tersebut tidak berkewajiban mengurus orang tua yang sudah
lansia. Mereka hanya berkewajiban mengurus keluarga inti mereka yaitu suami,
istri dan anak-anak yang belum menikah (Ochiai, 1997).
Permasalahan lain yang muncul adalah Gadis
yang kewalahan mengurus Bibi Yuli seorang diri. Bibi Yuli kemudian menjadikan
Niko dan Ohara sebagai anggota keluarganya. Bibi Yuli memperlakukan Niko dan
Ohara seperti anggota keluarganya sendiri dengan melibatkan mereka menghadapi
tamu-tamu yang hadir ke rumah Bibi Yuli. Sikap Bibi Yuli yang penuh perhatian
dan meminta bantuan dalam kesulitan yang dihadapinya seperti seorang kepala
keluarga kepada anggota keluarnya. Hal ini membuat Niko dan Ohara juga merasa
menjadi bagian dari keluarga Bibi Yuli sehingga mereka dengan sukarela
melakukan apa yang diminta Bibi Yuli sebagaimana seorang anggota keluarga melaksanakan
perintah dari kepala keluarga. Hal ini terlihat ketika Niko dan Ohara dengan
senang hati menjamu dan melayani tamu Bibi Yuli yang diduga sebagai adik
kandungnya Alexei. Kehadiran Niko dan Ohara dalam keluarga Bibi Yuli dan
bersikap serta bertindak seperti bagian dari keluarga dapat disebut dengan hōkōnin karena keduanya tidak memiliki
hubungan darah ataupun hubungan kekerabatan dengan Bibi Yuli. Kehadiran mereka
berdua membuat Bibi Yuli merasa senang dan Gadis sangat terbantu dalam mengurus
Bibi Yuli.
Tindakan
keluarga Bibi Yuli yang mengangkat anak untuk merawat Bibi Yuli yang sudah
lansia hingga ajalnya merupakan satu pemecahan masalah keluarga yang diambil
dari kebiasaan yang terdapat dalam keluarga tradisional Jepang. Demikian juga
dengan menerima orang asing di dalam keluarga menjadi hōkōnin juga merupakan kebiasaan yang terdapat dalam sistem ie.
Pemecahan masalah yang diambil menggunakan sistem kekeluargaan tradisional
sangat membantu Bibi Yuli menjalani hari-hari terakhir dalam hidupnya dengan
bahagia. Bibi Yuli meninggal dunia dengan tenang di hadapan Gadis. Sementara
pada zaman sekarang di Jepang banyak kasus lansia yang meninggal seorang diri
tanpa diketahui oleh keluarga atau tetangga hingga berhari-hari (Devi, 2013).
Simpulan
Uraian
yang menjelaskan gambaran keluarga yang terdapat dalam novel Di Bawah Bayang-Bayang Ode karya Sumiman
Udu dan novel Kifujin A no Sosei
karya Ogawa Yoko memperlihatkan bahwa kedua masyarakat yaitu Buton dan Jepang
yang tergambar dalam novel, walaupun anggota keluarga dalam masyarakat sudah
berada dalam zaman modern, mereka masih menjalankan tradisi-tradisi dalam
keluarga tradisional. Tradisi yang terdapat dalam keluarga tradisional baik
pada masyarakat Buton maupun Jepang tidak sepenuhnya dijalankan pada keluarga
modern, hanya sebagian saja dari tradisi tersebut yang dijalankan. Tradisi yang
dijalankan adalah tradisi yang membantu para individu menyelesaikan persoalan
ayng dihadapi di dalam keluarga sehingga dari penelaahan kedua novel ini
diketahui bahwa dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam keluarga
modern, ada kecendrungan untuk menggunakan tradisi-tradisi yang berlaku atau
pernah diberlakukan dalam keluarga tradisional
Daftar
Pustaka
Aruga, Kizaemon.
(1981). Ie : Nihon No Kazoku (Edisi
Revisi). Tokyo: Shibundo.
Bupati Buton. (2014). Peraturan Daerah Kabupaten Buton No. 12
tahun 2014
Devi,
Rima. (2010). Perjuangan Simbolik Seorang Ilmuwan Sebagai Ayah Alternatif pada
Novel Hakase No Aishita Shuushiki Karya
Ogawa Yoko. Depok: Kajian Wilayah Jepang Pascasarjana Universitas Indonesia.
(Tesis).
Devi,
Rima. (2012). Keluarga Alternatif dalam Masyarakat Jepang Abad Milenium pada
Novel Hakase no Aishita Suushiki
Karya Ogawa Yoko. Journal of Japanese
Studies Vol. 01 No. 01 June 2012. Center for Japanese Studies Universitas
Indonesia.
Devi,
Rima. (2013). Ketiadaan Muenshi pada
Lansia dalam Novel Kifujin A No Sosei
Karya Ogawa Yoko. Prosiding Simposium
Nasional Asosiasi Studi Jepang Indonesia (ASJI), kamis, 28 November 2013 di
Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. ISBN: 979-26-0267-4.
Devi,
Rima. (2014). Keluarga Jepang Kontemporer dalam Tiga Novel Karya
Ogawa Yoko. Lingua Cultura Jurnal Bahasa dan Budaya Vol. 8 No. 2
November 2014. Universitas Bina
Nusantara.
Devi,
Rima. (2015). Keluarga Jepang dalam Novel Kifujin
A No Sosei, Hakase No Aishita
Suushiki, dan Miina No Koushin
Karya Ogawa Yoko. Depok: Program Studi Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. (Disertasi).
Devi,
Rima. (2015). Struktur Keluarga Jepang dan Implementasinya dalam Keluarga
Indonesia. Dalam buku, Sastra Kita: Kini, Dulu, dan Nanti. Jatinganor:
Unpad Press
Damono,
Sapardi. (2013). Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
Faruk
(2012). Pengantar Sosiologi Sastra dari
Strukturalisme Genetik Sampai Post-Modernisme. (2nd ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode,
William. (2007). Sosiologi Keluarga.
(7th ed.). (Dra. Lailahanoum
Hasyim,
Penerjemah.). Jakarta: Bumi Aksara.
Ogawa,
Yoko. (2002). Kifunjin A no Sosei. Tokyo: Asahi Shinbunsha.
Ochiai, Emiko. (1997). The Japanese Family System in Transition.
Japan: LTCB International Library Foundation.
Sugimoto,
Yoshio. (1997). An Introduction to
Japanese Society. Hongkong: Cambridge University Press.
Udu, Sumiman. (2009). Perempuan dalam Sistem Pemerintahan Kesultanan Buton: Suatu Tatanan
yang Terlupakan. Yogyakarta: Makalah Seminar PSW-UGM, 18 Juni 2009.
Udu, Sumiman. (2015). Di Bawah Bayang – Bayang Ode. Pekanbaru: Seligi Press.
Wellek, Rene, & Warren, Austin.
(1993). Teori Kesusastraan. (3th
ed.) (Melani Budianta, Penerjemah.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2 komentar:
Hey there outstanding website! Does running a blog such as this take a lot of work? I've very little expertise in computer programming but I had been hoping to start my own blog soon. Anyway, should you have any suggestions or techniques for new blog owners please share. I understand this is off topic nevertheless I just needed to ask. Kudos! www.gmail.com login
Wahh penasaran pengen baca novel ny
Posting Komentar