Rabu, 12 April 2017

Integrasi Wakatobi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan



Kisah Awak Perahu Lambo, Mereka yang Berpiring Duralex”.
                                Harian Kompas (Jakarta) 11 Februari 1983
 Oleh: La Ode Rabani
Image result for piring makan duralexBerita yang dimuat Harian Kompas dengan judul di atas adalah kisah mengenai Wakatobi pada tahun 1983.  Wakatobi pada era ini sedang aktif dalam perdagangan keluar negeri. Dengan memiliki para pelayar, pedagang, modal, dan sarana transportasi yang memadai, maka barang-barang rumah tangga yang berkualitas tinggi dapat hadir di Wakatobi, melebihi kualitas produksi di dalam negeri. Tanda tanya besar pun hadir dalam suasana itu, di antaranya bagaimana mungkin masyarakat sebuah kawasan kepulaun kecil, jauh dari daratan pulau-pulai besar, jauh dari perbatasan dengan negara lain, dan jauh dari pelabuhan besar mampu menghadirkan barang-barang “mewah” untuk ukuran periode tahun 1980an?
Lalu, apa kaitan antara situasi tahun 1980an itu dengan yang terjadi pada masa lalu Wakatobi yang penuh dengan benteng? Pertama, kedua peristiwa, meskipun terjadi pada periode yang berbeda, namun memiliki kaitan yang erat, yakni era perdagangan dan pelayaran. Kedua, Benteng yang didirikan dalam jumlah yang banyak (44 benteng) dalam satu kawasan dan pulau yang kecil menandakan bahwa ada aktivitas (geliat) yang tidak biasa (baca: luar biasa) aktifnya. Ada pertarungan, mobilitas, dan aksesibilitas yang sangat aktif di kawasan yang kini bernama Wakatobi.[1]
            Memaknai kata aktif dan aksesibilitas pada wilayah Wakatobi memberi dampak signifikan, tergantung pada aspek mana yang paling dominan, khususnya pada periode abad XIV-XIX. Benteng-benteng yang tersebar di Wakatobi berdasarkan hasil penelitian menunjukan pendirian benteng itu pada periode yang berbeda-beda. Ada yang didirikan sebelum periode Islam, terutama benteng yang berada di Ketinggian (Tindoi). Ada juga benteng yang berada di ketinggian, namun jarak dengan pantai tidak jauh. Posisi benteng yang demikian memberikan indikasi kuat bahwa benteng yang didirikan pada daerah yang tidak jauh dari pantai umumnya untuk pertahanan dan keamanan, serta pusat pemerintahan para pejabat di bawah raja. Pada era kekuasaan Kesultanan Buton, wilayah benteng dijadikan sebagai tempat pemukiman pembesar kerajaan. Biasanya mereka berasal dari pejabat kerajaan dan keluarga raja.
            Apabila merujuk pada hasil temuan dan analisis data lapangan mengenai umur Benteng dan jumahnya, maka sejarah Wakatobi sebagai satu kawasan sangat luar biasa. Deretan jumlah benteng bila dilihat dari sisi pertahanan dan keamanan memberi pesan kuat bahwa wilayah ini adalah ruang pertempuran dan persaingan. Oleh karena itu, harus diperkokoh sebagai tempat perlindungan. Sebagai wilayah yang berada di jalur perdagangan rempah, Wakatobi tidak lepas dari berbagai ancaman kekuatan kerajaan besar di Sulawesi. Posisi geografisnya di jalur perdagangan utama rempah-rempah menempatkan kawasan ini diperebutkan. Studi Susanto Zuhdi (1999) dan laporan pemerintah kolonial Belanda bahwa (Buton, atau penduduk kawasan ini) menghadapi serangan dari kerajaan Gowa pada musim angin barat, sebaliknya bila musim angin timur harus menghadapi upaya kerajaan Ternate untuk menguasai wilayah ini. Perjanjian Bungaya tahun 1667 juga dengan jelas menyebut kawasan pulau-pulau ini agar dikembalikan pada Ternate dan Buton sebagai kompensasi atas bantuannya kepada VOC Belanda dalam mengalahkan Gowa.
            Rekaman peristiwa sejaman itu telah menguatkan posisi historis Wakatobi sebagai wilayah yang rentan terhadap berbagai gangguan keamanan. Oleh karena itu, berbagai upaya pada tingkat lokal dilakukan, di antaranya membangun benteng, memproduksi senjata untuk pertahanan, dan memproduksi perahu layar, yang tidak saja berfungsi untuk pelayaran dan perdagangan, namun juga sebagai saran mobilitas dalam mengalirkan orang (diaspora/migrasi) dan barang ke berbagai wilayah yang menguntungkan di Nusantara pada khususnya dan Asia Tenggara seperi Malaysia dan Singapura. Profesi inilah yang ikut menjadikan Wakatobi sebagai salah satu pelanjut dari tradisi maritim Nusantara yang hingga kini masih bertahan.
            Ali Hadara (1987), La Ode Rabani (1997), dan Abdul Rahman Hamid (2010) telah meneliti jaringan pelayaran dan dampaknya bagi masyarakat Wakatobi. Ketiga peneliti berada pada satu titik argumentasi bahwa pelayaran dan perdagangan telah menjadi urat nadi perekonomian dan telah menjadikan pelayaran dan perdagangan sebagai salah satu spirit perubahan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi. Kondisi alamiah wilayah yang tidak mendukung sepenuhnya pengembangan tradisi agraris telah mempercepat adaptasi masyarakat kawasan ini terintegrasi dalam kultur dan tradisi maritime. Ketika temuan itu menjadi dasar untuk menanyakan apakah spirit itu lahir pada awal abad ke-20 atau merupakan kelanjutan dari tradisi yang mengakar sejak jauh sebelumnya, maka alasan terakhir ini tampaknya yang masuk akal. Hal ini didasarkan pada realitas geografis, historis, dan faktual bahwa kawasan yang di sebut Wakatobi (dulu di era kolonial Belada: Toekang Besi Islands) telah menjadi ruang yang selalu dilewati dalam  pelayaran dari dan ke Kepulauan rempah-rempah Maluku.
            Pada masa lalu, wilayah ini menjadi bagian dari kerajaan Gowa, Bone, dan Buton, dengan aktivitas utama pada pengolahan besi untuk persenjataan dan alat-alat rumah tangga dan pertanian. Penamaan kawasan ini sebagai kepulauan Tukang Besi dilihat dari ilmu toponim tampaknya menguatkan realitas historis bahwa daerah ini sering dikunjungi oleh para pedagang dan pelayar, serta pada saat yang sama proses peniruan budaya untuk terlibat aktif dalam pelayaran dan perdagangan sedang berjalan. Perjalanan kultural itu telah berlangsung sangat lama, seusia manusia awal Wakatobi, bahasa sederhanya sejak Wakatobi memiliki warga. Dengan dasar itu, maka tidak berlebihan bila meyakini bahwa aktivitas perdagangan dan pelayaran dan perdagangan yang berkembang dan berlanjut hingga taun 1990an di Wakatobi merupakan kelanjutan historis yang telah berlangsung berabad-abad.

Integrasi Wakatobi dalam Sistem Pertahanan Kesultanan Buton    

Ligvoet[2] dalam karangannya mengenai Sejarah Kesultanan Buton pada tahun 1877 dan diterbitkan pada Januari 1878 telah memasukan wilayah Toekang Besi Island (kini: Wakatobi) sebagai salah satu wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Buton dan telah menjadi daerahnya. Dalam perjanjian Bungaya tahun 1667, kawasan ini menjadi wilayah yang banyak mendapat pengaruh Ternate. Ternate berkepentingan menguasai kawasan Wakatobi untuk kepentingan mengontrol atas perdagangan dan komoditi budak. Posisinya yang jauh dari kontrol Gowa dan juga kesultanan Buton yang memiliki keterbatasan perahu dalam mengontrol kawasan ini menyebabkan Wakatobi memiliki kesempatan luas untuk bertemu dengan perbagai peradaban. Pada saat yang sama, juga sangat rentan terhadap berbagai ancaman keamanan dari kekuatan besar yang ingin menguasai wilayah itu, termasuk dari Ternate dan juga Gowa.  
            Faktor kerentanan inilah diduga kuat berdirinya begitu banyak benteng pertahanan yang dibangun di kawasan ini. Cerita tentang pendirian benteng banyak diwarnai oleh gangguan keamanan seperti datangnya sanggila (Ternate), meskipun gangguan lainnya juga terjadi. Akan tetapi yang paling diingat (memory kolektif) masyarakat Wakatobi, sanggila sebagai yang paling banyak diingat. Esther Velthoen ketika menulis tentang jalur perompakan bajak Laut pada periode abad XIX dan awal abad XX memasukan kawasan Wakatobi sebagai salah satu jalur yang terintegrasi. Hasil penelitian Velthoen itu telah memperkuat dugaan bahwa aktivitas yang berkaitan dengan kekacauan dan keamanan di sepanjang jalur “perompak” bajak laut sejak di laut Sulu, Bitung, sepanjang Pantai Timur Sulawesi, sisi barat Laut Banda, Selayar, pesisir Nusa Tenggara, Bali, pantai Utara Jawa, hingga selat Sunda. Pemetaan Velthoen atas jaringan ini menggambarkan adanya integrasi antar kawasan yang menjadi jalur perompakan. Realitas lain yang tampak pada jalur itu adalah terjalinnya hubungan intensif antar wilayah dan ditemukannya komunitas-komunitas atau etnik lain (bukan orang asli) yang bermukim di sepanjang jalur.
Dalam kasus Wakatobi, masyarakatnya dapat ditemukan di Nusa Tenggara atau Pantai Timur, Sulawesi Timur.  Demikian juga suku Bugis dan Makassar, terlepas bahwa mereka adalah suku perantau, keberadaan mereka di sepanjang jalur yang dipetakan oleh Esther menadakan bahwa mereka juga aktif dalam aktivitas yang sama. Orang-orang Bajau juga bermukim di hampir sepanjang jalur yang dibuat Esther Velthoen. Terlepas bahwa keberadaan suku Bajau cenderung karena ketersediaan resouces maritim yang memadai dan menjadi unsur utama mata pencaharian mereka, maka hampir dapat dipastikan bahwa mereka juga menjadi bagian penting dari proses ekonomi dan mobilitas sirkuler yang berlangsung lama itu.  Perdagangan, pelayaran, dan berbagai jasa yang mengikutinya telah mendorong terlibatnya banyak komunitas sebagai pendukung jejaring ekonomi, namun juga politik.
Secara politik, jalur perdagangan ini dianggap aman bagi pelayaran dan perdagangan yang menggunakan perahu. Selain karena selalu dekat dengan daratan dan logistik bisa sewaktu-waktu bisa dipenuhi sepanjang perjalanan, maka komoditas perdagangan juga bisa jadi ditemukan sepanjang jalur yang oleh pemerintah kolonial dianggap tidak aman. Dalam konteks itu, sebenarnya justifikasi pemerintah terhadap kemanan jalur ini tidak lepas dari adanya persaingan antara pedagang kolonial dengan pedangan lokal yang dicap sebagai pedagang ilegal, dan sebagian dari mereka adalah “bajak laut”.
Apakah alasan tersebut bagi pemerintah Kolonial Belanda sejak abad XIX harus memperkuat Kesultanan Buton? Dokumen tetang itu tidak dapat ditemukan, namun secara faktual, realitas atas penguatan kesultanan Buton sejak era VOC sampai pemerintah Kolonial dapat dilacak dari periode ke periode. Dokumen-dokumen perjanjian itu mengenai indikasi adanya penguatan Kesultanan Buton tersebar di Corpus Diplomaticum (Susanto Zuhdi, 2010), Kolonial Verslag, dan beberapa majalah berbahasa Belanda.  
Perjanjian Abadi antara Kesultanan Buton dengan VOC pada tahun 1613 yang salah satu isinya bahwa kedua pihak (Kesultanan Buton dan VOC harus saling membantu dalam hal mencegah berbagai gangguan musuh. Kedua pihak sepakat juga bahawa musuh adalah musuh bersama, dan sahabat adalah sahabat bersama.[3] Perjanjian Bungaya pada 1667 memuat realitas bahwa Buton memperoleh kompensasi atas bantuannya kepada Speelaman dalam kemenangan perang atas kerajaan Gowa. Kompesasi itu adalah mengusai kembali kepulauan Tukang Besi dan masuk dalam wilayah Kesultanan Buton.[4] Wilayah Wakatobi pada saat itu adalah wilayah yang terbuka karena berada pada jalur utama dalam pelayaran dari dan ke kepulauan rempah-rempah, Maluku. Wakatobi memperoleh keuntungan dari posisi geografisnya dan ekonomi kawasannya. Kemajuan ekonomi dan politik Wakatobi dicapai secara bersamaan, terutama di Binongko dan Wangi-Wangi. Hanya saja, berbagai kepentingan kolonial atas kawasan ini menyebabkan terus menerus berada dalam tekanan politik dan ekonomi juga. Perahu Binongko dan Wangi-Wangi sebagai penghasil rempah-rempah (pala dan Cengkeh) serta melakukan pelayaran dicap sebagai pedagang ilegal dan tidak membayar pajak. Oleh karena itu pelaku dan perahunya harus ditangkap.
Tekanan politik atas wilayah Wakatobi juga dapt dilihat ketika pulau Wangi-Wangi harus merelakan cengkeh dan palanya ditebang oleh pemerintahan VOC dengan kompensasi 250 gulden (f 250) setiap tahun yang disetorkan kepada kesultanan Buton. Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi salah satu pulau di Wakatobi, cengkeh ditebang, uang disetorkan kepada kesultanan. Sebuah periode yang sangat sulit untuk masyarakat karena pintu penderitaan sedang di depan mata. Konsekuensi dari itu adalah jelas bagi masyarakat Wanci yaitu mengintegrasikan diri dalam pelayaran dan perdagangan dan pada saat yang sama melakukan diaspora ke kepulauan rempah-rempah. Hal yang sama dilakukan oleh masyarakat Binongko yang mengalami tekanan yang sama dari pemerintah VOC dan terus berlangsung hingga akhir masa kolonial Belanda.
Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824 juga telah memperkuat posisi kesultanan Buton oleh VOC. Barata Muna yang terus melawan dan selalu tidak mengakui bahwa Muna berada dalam wilayah Kesultanan Buton terus melawan. Pemerintah kolonial Belada akhirnya campur tangan dengan melakukan campur tangan terhadap penempatan penguasa Buton di Muna. Situasi ini berlangsung hingga akhir masa kolonial Belanda.  Satu hal penting dari informasi tersebut adalah Barata Muna baru berfungsi dalam sistem pertahanan dan keamanan bagi kesultanan Buton adalah pada paru kedua abad XIX. Barata Kaledupa yang terletak di Wakatobi diperoleh keterangan, meskipun pemerintah Kesultanan Buton telah menyatakan sejak abad XVI, namun realitasnya baru berfungsi dengan baik dalam membantu sistem pertahanan dan keamanan kesultanan Buton pada awal abad XIX, setelah mendapat sejumlah dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Posisi ekonomi kawasan itu (Wakatobi) yang telah lama terlibat aktif dalam perdagangan dan pelayaran secara teoritis tidak mengalami ketergantungan apapun pada kesultanan Buton. Kecuali pemimpin dan simbol-simbol kekuasaan. Sebaliknya, Kesultanan Buton memiliki ketergantungan pada kawasan Wakatobi dalam hal sumberdaya manusia dalam sarana transportasi untuk mengolah aspal dan mengangkutnya ke berbagai kota-kota pelabuhan di Indonesia. Relasi ekonomi dengan kawasan lain terjalin baik meskipun dalam rentang jarak geografis yang relatif jauh.
Dengan kondisi tersebut, maka Buton sebenarnya yang membutuhkan Wakatobi, bukan Wakatobi membutuhkan kekuatan Buton. Pemerintah kolonial secara sadar mendesain agar Buton diperkuat sehingga daerah-daerah yang selalu mengganggu dan menyaingi kepentingan ekonomi dan politik kolonial harus dikuasai dan ditaklukan. Dengan menaklukan daerah-daerah yang dianggap benalu kolonial, maka kepentingan ekonomi dan politik kolonial dapat dicapai secara bersamaan.[5] Pendirian  menara di Wangi-wangi adalah bukti kuat untuk kepentingan ekonomi kolonial dalam menemukan dan mengamankan jalur perkapalan dan perdagangannya. Pemerintahan setingkat Barata di Kaledupa juga menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial dengan menggunakan tangan pejabat kesultanan Buton. Pemungutan berbagai jenis pajak yang dikenakan pada masyarakat Wakatobi adalah indikasi kuat bahwa Buton membutuhkan Wakatobi dengan dukungan pemerintah kolonial. Sejumlah laporan kekacauan di Wakatobi pada awal abad XX dan Pemberotankan La Ode Boha pada awalnya dari adanya pemungutan pajak yang diterapkan pemerintah kolonial di Wakatobi dan Buton.[6]
 Meskipun demikian, kehadiran Kesultanan Buton di Wakatobi telah menjadi penyelamat sejarah kawasan itu. Dari catatan tertulis dan juga sejumlah tradisi lisan, serta salah satu putra Wakatobi menjadi sultan dalam pemerintahan Kesultanan Buton telah menandai integrasi Wakatobi dan masyarakat kesultanan di pulau Buton memiliki ikatan sosial kultural yang kuat dan telah menjadi bagian penting dalam sejarah Buton dan Wakatobi. Buton dan Wakatobi seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan memiliki nilai yang sama, terutama dari sisi historisnya. Ikatan kultural yang kuat itu terintegrasi dengan baik ketika di rantau dan karena kekuatan itu pula, masyarakat Sulawesi Tenggara seringkali mengidentifikasi dan juga menyamarkan dirinya sebagai “orang Buton”.

Referensi Tambahan

Haeruddin. “Akhir Dari Persekutuan; Aneksasi Buton Dalam Pax-Neerlandika, 1905-1918.” Gadjah Mada, 2015.
Ligtvoet, A. “Beschijrijving En Geschiedenish van Boeton.” BKI I (1878): 1-.
Rabani, La Ode. “Social Movements in Southeast Sulawesi, 1906-1942.” Humaniora Vol. 22, no. 1 (February 2010): 14–21.
Schoorl, J.W. “Power, Ideology and Change in the Early State of Buton.” In State and Trade in the Indonesian Archipelago, edited by G.J. Schutte, 17–59. Leiden: KITLV Press, 1994.
Schutte, G.J.  State and Trade in the Indonesian Archipelago, Leiden: KITLV Press, 1994.



[1] Fakta bahwa dalam negera kitab Negera Kertagama yang ditulis oleh Mpu Tantular menyebut Butun (dan sekitarnya) ikut memperkuat asumsi bahwa Kawasan Wakatobi juga sudah ada pada abad ke-14 atau bahkan sudah ada sebelumnya. Hanya saja kita belum memiliki bukti tertulisnya.
[2] A Ligtvoet, “Beschijrijving En Geschiedenish van Boeton,” BKI I (1878): 1.
[3] J.W. Schoorl, “Power, Ideology and Change in the Early State of Buton,” in State and Trade in the Indonesian Archipelago, ed. G.J. Schutte (Leiden: KITLV Press, 1994), 17–59.
[4] Terdapat cerita versi masyarakat lokal tentang periode ini adalah bahwa Kepulauan Tukang Besi tidak mau berada dalam wilayah dan tidak mau tunduk kepada kesultanan Buton. Keempat pulau besar telah memiliki penguasa sendiri.
[5]Analisis ini diperoleh dari pengalaman membaca Thesis yang dihasilkan oleh Haeruddin di UGM. Lihat; Haeruddin, “Akhir Dari Persekutuan; Aneksasi Buton Dalam Pax-Neerlandika, 1905-1918” Thesis, Yogyakarta: Gadjah Mada, 2015.
[6] La Ode Rabani, “Social Movements in Southeast Sulawesi, 1906-1942,” Humaniora Vol. 22, no. 1 (February 2010), hlm. 14–21.

Tidak ada komentar: