“Kisah Awak
Perahu Lambo, Mereka yang Berpiring Duralex”.
Harian Kompas (Jakarta) 11 Februari 1983
Oleh: La Ode Rabani
Berita yang dimuat Harian Kompas dengan judul di atas adalah kisah mengenai Wakatobi pada
tahun 1983. Wakatobi pada era ini sedang
aktif dalam perdagangan keluar negeri. Dengan memiliki para pelayar, pedagang,
modal, dan sarana transportasi yang memadai, maka barang-barang rumah tangga yang
berkualitas tinggi dapat hadir di Wakatobi, melebihi kualitas produksi di dalam
negeri. Tanda tanya besar pun hadir dalam suasana itu, di antaranya bagaimana
mungkin masyarakat sebuah kawasan kepulaun
kecil, jauh dari
daratan pulau-pulai besar, jauh dari perbatasan dengan negara lain,
dan jauh dari pelabuhan besar mampu
menghadirkan barang-barang “mewah” untuk ukuran periode tahun 1980an?
Lalu,
apa kaitan antara situasi tahun 1980an itu dengan yang terjadi pada masa lalu
Wakatobi yang penuh dengan benteng? Pertama, kedua peristiwa, meskipun terjadi
pada periode yang berbeda, namun memiliki kaitan yang erat, yakni era
perdagangan dan pelayaran. Kedua, Benteng yang didirikan dalam jumlah yang
banyak (44 benteng) dalam satu kawasan dan pulau yang kecil menandakan bahwa
ada aktivitas (geliat) yang tidak biasa (baca: luar biasa) aktifnya. Ada
pertarungan, mobilitas, dan aksesibilitas yang sangat aktif di kawasan yang
kini bernama Wakatobi.[1]
Memaknai kata aktif dan
aksesibilitas pada wilayah Wakatobi memberi dampak signifikan, tergantung pada aspek
mana yang paling dominan, khususnya pada periode abad XIV-XIX. Benteng-benteng
yang tersebar di Wakatobi berdasarkan hasil penelitian menunjukan pendirian
benteng itu pada periode yang berbeda-beda. Ada yang didirikan sebelum periode
Islam, terutama benteng yang berada di Ketinggian (Tindoi). Ada juga benteng
yang berada di ketinggian, namun jarak dengan pantai
tidak jauh. Posisi benteng yang demikian
memberikan indikasi kuat bahwa benteng yang didirikan pada daerah yang tidak
jauh dari pantai umumnya untuk pertahanan dan keamanan, serta pusat pemerintahan para pejabat di bawah raja. Pada era
kekuasaan Kesultanan Buton, wilayah benteng dijadikan sebagai tempat pemukiman
pembesar kerajaan. Biasanya mereka berasal dari pejabat kerajaan dan keluarga raja.
Apabila
merujuk pada hasil temuan dan analisis data lapangan mengenai umur Benteng dan
jumahnya, maka sejarah Wakatobi sebagai satu kawasan sangat luar biasa. Deretan
jumlah benteng bila dilihat dari sisi pertahanan dan keamanan memberi pesan
kuat bahwa wilayah ini adalah ruang pertempuran dan persaingan. Oleh karena itu,
harus diperkokoh sebagai tempat perlindungan. Sebagai wilayah yang berada di
jalur perdagangan rempah, Wakatobi tidak lepas dari berbagai ancaman kekuatan kerajaan
besar di Sulawesi. Posisi geografisnya di jalur perdagangan utama rempah-rempah
menempatkan kawasan ini diperebutkan. Studi Susanto Zuhdi (1999) dan laporan
pemerintah kolonial Belanda bahwa (Buton, atau penduduk kawasan ini) menghadapi
serangan dari kerajaan Gowa pada musim angin barat, sebaliknya bila musim angin
timur harus menghadapi upaya kerajaan Ternate untuk menguasai wilayah ini.
Perjanjian Bungaya tahun 1667 juga dengan jelas menyebut kawasan pulau-pulau
ini agar dikembalikan pada Ternate dan Buton sebagai kompensasi atas bantuannya
kepada VOC Belanda dalam mengalahkan Gowa.
Rekaman
peristiwa sejaman itu telah menguatkan posisi historis Wakatobi sebagai wilayah
yang rentan terhadap berbagai gangguan keamanan. Oleh karena itu, berbagai upaya
pada tingkat lokal dilakukan, di antaranya membangun benteng, memproduksi
senjata untuk pertahanan, dan memproduksi perahu layar, yang tidak saja
berfungsi untuk pelayaran dan perdagangan, namun juga sebagai saran mobilitas
dalam mengalirkan orang
(diaspora/migrasi) dan barang ke berbagai
wilayah yang menguntungkan di Nusantara pada
khususnya dan Asia Tenggara seperi Malaysia dan
Singapura. Profesi inilah yang ikut menjadikan Wakatobi sebagai salah satu
pelanjut dari tradisi maritim Nusantara yang hingga kini masih bertahan.
Ali
Hadara (1987), La Ode Rabani (1997), dan Abdul
Rahman Hamid (2010)
telah meneliti jaringan pelayaran dan dampaknya bagi masyarakat Wakatobi.
Ketiga peneliti berada pada satu titik argumentasi bahwa pelayaran dan
perdagangan telah menjadi urat nadi perekonomian dan telah menjadikan pelayaran
dan perdagangan sebagai salah satu spirit perubahan dalam kehidupan masyarakat
Wakatobi. Kondisi alamiah wilayah yang tidak mendukung sepenuhnya pengembangan
tradisi agraris telah mempercepat adaptasi masyarakat kawasan ini terintegrasi
dalam kultur dan tradisi maritime. Ketika temuan itu menjadi dasar untuk
menanyakan apakah spirit itu lahir pada awal abad ke-20 atau merupakan
kelanjutan dari tradisi yang mengakar sejak jauh sebelumnya, maka alasan
terakhir ini tampaknya yang masuk akal. Hal ini didasarkan pada realitas
geografis, historis,
dan faktual bahwa kawasan yang di sebut Wakatobi (dulu di era kolonial Belada:
Toekang Besi Islands) telah menjadi ruang yang selalu dilewati dalam pelayaran dari dan ke Kepulauan rempah-rempah
Maluku.
Pada
masa lalu, wilayah ini menjadi bagian dari kerajaan Gowa, Bone, dan Buton,
dengan aktivitas utama pada pengolahan besi untuk persenjataan dan alat-alat
rumah tangga dan pertanian. Penamaan kawasan ini sebagai kepulauan Tukang Besi
dilihat dari ilmu toponim tampaknya menguatkan realitas historis bahwa daerah
ini sering dikunjungi oleh para pedagang dan pelayar, serta pada saat yang sama
proses peniruan budaya untuk terlibat aktif dalam pelayaran dan perdagangan
sedang berjalan. Perjalanan kultural
itu telah berlangsung sangat lama, seusia manusia awal Wakatobi, bahasa
sederhanya sejak Wakatobi memiliki warga. Dengan
dasar itu, maka tidak berlebihan bila meyakini bahwa aktivitas perdagangan dan
pelayaran dan perdagangan yang berkembang dan berlanjut hingga taun 1990an di
Wakatobi merupakan kelanjutan historis yang telah berlangsung berabad-abad.
Integrasi Wakatobi dalam Sistem Pertahanan Kesultanan
Buton
Ligvoet[2]
dalam karangannya mengenai Sejarah Kesultanan Buton pada tahun 1877 dan
diterbitkan pada Januari 1878 telah memasukan wilayah Toekang Besi Island
(kini: Wakatobi) sebagai salah satu wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Buton
dan telah menjadi daerahnya. Dalam perjanjian Bungaya tahun 1667, kawasan ini
menjadi wilayah yang banyak mendapat pengaruh Ternate. Ternate berkepentingan
menguasai kawasan Wakatobi untuk kepentingan mengontrol atas perdagangan dan
komoditi budak. Posisinya yang jauh dari kontrol Gowa dan juga kesultanan Buton
yang memiliki keterbatasan perahu dalam mengontrol kawasan ini menyebabkan
Wakatobi memiliki kesempatan luas untuk bertemu dengan perbagai peradaban. Pada
saat yang sama, juga sangat rentan terhadap berbagai ancaman keamanan dari
kekuatan besar yang ingin menguasai wilayah itu, termasuk dari Ternate dan juga
Gowa.
Faktor kerentanan inilah diduga kuat
berdirinya begitu banyak benteng pertahanan yang dibangun di kawasan ini. Cerita
tentang pendirian benteng banyak diwarnai oleh gangguan keamanan seperti
datangnya sanggila (Ternate),
meskipun gangguan lainnya juga terjadi. Akan tetapi yang paling diingat (memory kolektif)
masyarakat Wakatobi, sanggila sebagai yang paling banyak diingat. Esther
Velthoen ketika menulis tentang jalur perompakan bajak Laut pada periode abad
XIX dan awal abad XX memasukan kawasan Wakatobi sebagai salah satu jalur yang
terintegrasi. Hasil penelitian Velthoen itu telah memperkuat dugaan bahwa
aktivitas yang berkaitan dengan kekacauan dan keamanan di sepanjang jalur
“perompak” bajak laut sejak di laut Sulu, Bitung, sepanjang Pantai Timur
Sulawesi, sisi barat Laut Banda, Selayar, pesisir Nusa Tenggara, Bali, pantai
Utara Jawa, hingga selat Sunda. Pemetaan Velthoen atas jaringan ini
menggambarkan adanya integrasi antar kawasan yang menjadi jalur perompakan.
Realitas lain yang tampak pada jalur itu adalah terjalinnya hubungan intensif
antar wilayah dan ditemukannya komunitas-komunitas atau etnik lain (bukan orang
asli) yang bermukim di sepanjang jalur.
Dalam kasus Wakatobi, masyarakatnya dapat ditemukan di
Nusa Tenggara atau Pantai Timur, Sulawesi Timur. Demikian juga suku Bugis dan Makassar,
terlepas bahwa mereka adalah suku perantau, keberadaan mereka di sepanjang
jalur yang dipetakan oleh Esther menadakan bahwa mereka juga aktif dalam
aktivitas yang sama. Orang-orang Bajau juga bermukim di hampir sepanjang jalur
yang dibuat Esther Velthoen. Terlepas bahwa keberadaan suku Bajau cenderung
karena ketersediaan resouces maritim yang memadai dan menjadi unsur utama mata
pencaharian mereka, maka hampir dapat dipastikan bahwa mereka juga menjadi
bagian penting dari proses ekonomi dan mobilitas sirkuler yang berlangsung lama
itu. Perdagangan, pelayaran, dan
berbagai jasa yang mengikutinya telah mendorong terlibatnya banyak komunitas
sebagai pendukung jejaring ekonomi, namun juga politik.
Secara politik, jalur perdagangan ini dianggap aman bagi
pelayaran dan perdagangan yang menggunakan perahu. Selain karena selalu dekat
dengan daratan dan logistik bisa sewaktu-waktu bisa dipenuhi sepanjang
perjalanan, maka komoditas perdagangan juga bisa jadi ditemukan sepanjang jalur
yang oleh pemerintah kolonial dianggap tidak aman. Dalam konteks itu, sebenarnya
justifikasi pemerintah terhadap kemanan jalur ini tidak lepas dari adanya
persaingan antara pedagang kolonial dengan pedangan lokal yang dicap sebagai
pedagang ilegal, dan sebagian dari mereka adalah “bajak laut”.
Apakah alasan tersebut bagi pemerintah Kolonial Belanda
sejak abad XIX harus memperkuat Kesultanan Buton? Dokumen tetang itu tidak
dapat ditemukan, namun secara faktual, realitas atas penguatan kesultanan Buton
sejak era VOC sampai pemerintah Kolonial dapat dilacak dari periode ke periode.
Dokumen-dokumen perjanjian itu mengenai indikasi adanya penguatan Kesultanan
Buton tersebar di Corpus Diplomaticum (Susanto Zuhdi, 2010), Kolonial Verslag,
dan beberapa majalah berbahasa Belanda.
Perjanjian Abadi antara Kesultanan Buton dengan VOC pada
tahun 1613 yang salah satu isinya bahwa kedua pihak (Kesultanan Buton dan VOC
harus saling membantu dalam hal mencegah berbagai gangguan musuh. Kedua pihak
sepakat juga bahawa musuh adalah musuh bersama, dan sahabat adalah sahabat
bersama.[3] Perjanjian Bungaya pada 1667
memuat realitas bahwa Buton memperoleh kompensasi atas bantuannya kepada
Speelaman dalam kemenangan perang atas kerajaan Gowa. Kompesasi itu adalah
mengusai kembali kepulauan Tukang Besi dan masuk dalam wilayah Kesultanan
Buton.[4] Wilayah Wakatobi pada saat
itu adalah wilayah yang terbuka karena berada pada jalur utama dalam pelayaran
dari dan ke kepulauan rempah-rempah, Maluku. Wakatobi memperoleh keuntungan
dari posisi geografisnya dan ekonomi kawasannya. Kemajuan ekonomi dan politik
Wakatobi dicapai secara bersamaan, terutama di Binongko dan Wangi-Wangi. Hanya
saja, berbagai kepentingan kolonial atas kawasan ini menyebabkan terus menerus
berada dalam tekanan politik dan ekonomi juga. Perahu Binongko dan Wangi-Wangi sebagai
penghasil rempah-rempah (pala dan Cengkeh) serta melakukan pelayaran dicap
sebagai pedagang ilegal dan tidak membayar pajak. Oleh karena itu pelaku dan
perahunya harus ditangkap.
Tekanan politik atas wilayah Wakatobi juga dapt dilihat
ketika pulau Wangi-Wangi harus merelakan cengkeh dan palanya ditebang oleh
pemerintahan VOC dengan kompensasi 250 gulden (f 250) setiap tahun yang disetorkan kepada kesultanan Buton.
Kondisi ini menjadi pukulan telak bagi salah satu pulau di Wakatobi, cengkeh
ditebang, uang disetorkan kepada kesultanan. Sebuah periode yang sangat sulit
untuk masyarakat karena pintu penderitaan sedang di depan mata. Konsekuensi
dari itu adalah jelas bagi masyarakat Wanci yaitu mengintegrasikan diri dalam
pelayaran dan perdagangan dan pada saat yang sama melakukan diaspora ke
kepulauan rempah-rempah. Hal yang sama dilakukan oleh masyarakat Binongko yang
mengalami tekanan yang sama dari pemerintah VOC dan terus berlangsung hingga
akhir masa kolonial Belanda.
Perjanjian Bungaya yang diperbaharui pada tahun 1824 juga
telah memperkuat posisi kesultanan Buton oleh VOC. Barata Muna yang terus
melawan dan selalu tidak mengakui bahwa Muna berada dalam wilayah Kesultanan
Buton terus melawan. Pemerintah kolonial Belada akhirnya campur tangan dengan
melakukan campur tangan terhadap penempatan penguasa Buton di Muna. Situasi ini
berlangsung hingga akhir masa kolonial Belanda. Satu hal penting dari informasi tersebut
adalah Barata Muna baru berfungsi dalam sistem pertahanan dan keamanan bagi
kesultanan Buton adalah pada paru kedua abad XIX. Barata Kaledupa yang terletak
di Wakatobi diperoleh keterangan, meskipun pemerintah Kesultanan Buton telah
menyatakan sejak abad XVI, namun realitasnya baru berfungsi dengan baik dalam
membantu sistem pertahanan dan keamanan kesultanan Buton pada awal abad XIX,
setelah mendapat sejumlah dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Posisi
ekonomi kawasan itu (Wakatobi) yang telah lama terlibat aktif dalam perdagangan
dan pelayaran secara teoritis tidak mengalami ketergantungan apapun pada
kesultanan Buton. Kecuali pemimpin dan simbol-simbol kekuasaan. Sebaliknya,
Kesultanan Buton memiliki ketergantungan pada kawasan Wakatobi dalam hal
sumberdaya manusia dalam sarana transportasi untuk mengolah aspal dan
mengangkutnya ke berbagai kota-kota pelabuhan di Indonesia. Relasi ekonomi
dengan kawasan lain terjalin baik meskipun dalam rentang jarak geografis yang
relatif jauh.
Dengan kondisi tersebut, maka Buton sebenarnya yang
membutuhkan Wakatobi, bukan Wakatobi membutuhkan kekuatan Buton. Pemerintah
kolonial secara sadar mendesain agar Buton diperkuat sehingga daerah-daerah
yang selalu mengganggu dan menyaingi kepentingan ekonomi dan politik kolonial
harus dikuasai dan ditaklukan. Dengan menaklukan daerah-daerah yang dianggap
benalu kolonial, maka kepentingan ekonomi dan politik kolonial dapat dicapai
secara bersamaan.[5]
Pendirian menara di Wangi-wangi adalah
bukti kuat untuk kepentingan ekonomi kolonial dalam menemukan dan mengamankan
jalur perkapalan dan perdagangannya. Pemerintahan setingkat Barata di Kaledupa
juga menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial dengan menggunakan tangan
pejabat kesultanan Buton. Pemungutan berbagai jenis pajak yang dikenakan pada
masyarakat Wakatobi adalah indikasi kuat bahwa Buton membutuhkan Wakatobi
dengan dukungan pemerintah kolonial. Sejumlah laporan kekacauan di Wakatobi
pada awal abad XX dan Pemberotankan La Ode Boha pada awalnya dari adanya
pemungutan pajak yang diterapkan pemerintah kolonial di Wakatobi dan Buton.[6]
Meskipun demikian,
kehadiran Kesultanan Buton di Wakatobi telah menjadi penyelamat sejarah kawasan
itu. Dari catatan tertulis dan juga sejumlah tradisi lisan, serta salah satu
putra Wakatobi menjadi sultan dalam pemerintahan Kesultanan Buton telah
menandai integrasi Wakatobi dan masyarakat kesultanan di pulau Buton memiliki
ikatan sosial kultural yang kuat dan telah menjadi bagian penting dalam sejarah
Buton dan Wakatobi. Buton dan Wakatobi seperti dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan dan memiliki nilai yang sama, terutama dari sisi historisnya.
Ikatan kultural yang kuat itu terintegrasi dengan baik ketika di rantau dan
karena kekuatan itu pula, masyarakat Sulawesi Tenggara seringkali
mengidentifikasi dan juga menyamarkan dirinya sebagai “orang Buton”.
Referensi
Tambahan
Haeruddin. “Akhir Dari
Persekutuan; Aneksasi Buton Dalam Pax-Neerlandika, 1905-1918.” Gadjah Mada,
2015.
Ligtvoet,
A. “Beschijrijving En Geschiedenish van Boeton.” BKI I (1878): 1-.
Rabani,
La Ode. “Social Movements in Southeast Sulawesi, 1906-1942.” Humaniora
Vol. 22, no. 1 (February 2010): 14–21.
Schoorl,
J.W. “Power, Ideology and Change in the Early State of Buton.” In State and
Trade in the Indonesian Archipelago, edited by G.J. Schutte, 17–59. Leiden:
KITLV Press, 1994.
Schutte, G.J. State and Trade in the Indonesian
Archipelago, Leiden: KITLV Press, 1994.
[1] Fakta bahwa dalam negera kitab Negera Kertagama yang ditulis oleh Mpu
Tantular menyebut Butun (dan sekitarnya) ikut memperkuat asumsi bahwa Kawasan
Wakatobi juga sudah ada pada abad ke-14 atau bahkan sudah ada sebelumnya. Hanya
saja kita belum memiliki bukti tertulisnya.
[3] J.W. Schoorl,
“Power, Ideology and Change in the Early State of Buton,” in State and Trade
in the Indonesian Archipelago, ed. G.J. Schutte (Leiden: KITLV Press,
1994), 17–59.
[4] Terdapat cerita versi
masyarakat lokal tentang periode ini adalah bahwa Kepulauan Tukang Besi tidak
mau berada dalam wilayah dan tidak mau tunduk kepada kesultanan Buton. Keempat
pulau besar telah memiliki penguasa sendiri.
[5]Analisis ini diperoleh dari pengalaman membaca
Thesis yang dihasilkan oleh Haeruddin di UGM. Lihat; Haeruddin, “Akhir Dari
Persekutuan; Aneksasi Buton Dalam Pax-Neerlandika, 1905-1918” Thesis, Yogyakarta: Gadjah Mada, 2015.
[6] La Ode Rabani,
“Social Movements in Southeast Sulawesi, 1906-1942,” Humaniora Vol. 22,
no. 1 (February 2010), hlm. 14–21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar