Sebuah Essay untuk Mata Kuliah
OLEH
LA ODE WAHIDIN
Wakatobi
nama gugusan pulau memanjang di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, yang dahulunya
dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi, terdiri atas 4 pulau besar (Wanci,
Kaledupa, Tomia dan Binongko) dan puluhan pulau-pulau kecil lainnya dimana laut
banda di bagian utara dan laut flores di bagian selatan. Wakatobi ditetapkan
sebagai sebuah kawasan yang sangat strategis merupakan sebuah proses yang
panjang. Sebelum terintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) pada tahun 1950, Wakatobi merupakan sebuah wilayah Bharata (Provinsi)
Kahedupa di bawah pemerintahan Kesultanan Buton. Sistem tata pemerintahan dan
tata kelola sumberdaya alam yang terdapat di gugusan ini telah diatur dengan
sangat apik, baik di darat maupun di laut. Sumberdaya lokal (tanah, hutan, sumberdaya
air, terumbu karang, dan jenis-jenis ikan tertentu serta sumberdaya alam
lainnya) yang menyangkut hajat hidup masyarakat lokal dikuasai oleh Sara (pemerintahan adat). Setiap pulau
mempunyai Sara dan dari setiapnya
disusun oleh pemuka-pemuka masyarakat sebagai pengambil kebijakan yang
didasarkan atas pemenuhan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan
keluarga.
Wakatobi
mulai menjadi perhatian setelah melalui proses yang panjang sebagai sebuah daerah
yang memiliki sumberdaya alam yang unik dan berbeda dari tempat lain di
Indonesia. Sejak tahun 1987 dimana dimulai dari survey potensi sumberdaya alam
laut oleh Ditjen PHPA tanggal 1987, sampai tahun 2007 menjadi Taman Nasional
Wakatobi (TNW) setidaknya terdapat 24 proses administrasi legal formal yang
telah dilewati. Luas kawasan TNW adalah 1.390.000 Ha, sama persis atau overlap dengan luas dan letak wilayah
Kabupaten Wakatobi. Dari luasan tersebut sebanyak 97% merupakan wilayah
perairan/laut dan sisanya sebanyak 3% merupakan wilayah daratan berupa
pulau-pulau[1].
Sedangkan defenitif menjadi sebuah pemerintah Kabupaten administratif baru
dimulai sejak tanggal 18 Desember 2003 Wakatobi resmi ditetapkan sebagai
salah satu kabupaten pemekaran di Sulawesi Tenggara yang terbentuk berdasarkan
Undang – Undang Nomor 29 tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten
Bombana, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Kolaka Utara[2].
Status
Wakatobi juga secara internasional diakui sebagai warisan dunia melalui kerja keras dari Bupati Wakatobi,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta para peneliti dan masyarakat
Wakotobi, berdasar kearifan lokal Masyarakat Wakatobi, kelestarian lingkungan
dan kepentingan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan, UNESCO pada sidang ke 24 International Coordination Council (ICC)
of the Man and Biosphere (MAB) Programme pada tanggal 11-13 Juli 2012
menetapkan Wakatobi sebagai cagar biosfer dunia[4].
Sedangkan pada akhir tahun 2015,
Wakatobi ditetapkan menjadi 10 destinasi pariwisata nasional yang diwujudkan
dalam bentuk kawasan strategis pariwisata nasional. Dengan adanya penetapan
ini, maka pengelolaan pariwisata di Wakatobi nantinya akan dikelola oleh sebuah
badan yang disebut Badan Otoritas Pariwisata. Yang menurut situs resmi
Pemerintah Kabupaten Wakatobi[5]
bahwa BOP akan menggunakan lahan seluas 1.000 ha atau seluas 0.07% dari luas
Wakatobi. Badan ini hanya berfokus pada pengelolaan pariwisata, sedangkan
sektor-sektor lainnya akan menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten.
Gambar 1. Wakatobi sebagai Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional[6]
Lebih
lanjut, pengelolaan kondisi kawasan sumberdaya alam laut wakatobi tidak hanya
pada pengambil kebijakan di atas. Pengelolaan kawasan laut yang menjadi titik-titik
penting terumbu karang (pristine corals
ecosystem) yang berada di Wakatobi ternyata juga dikelola oleh beberapa
pihak yang juga mengambil ruang pengelolaan yang hampir sama atau bahkan
tumpang tindih ruang pengelolaan, yang hingga saat ini status pengelolaanya
belum berubah. Yang masih ada sampai saat ini adalah status daerah perlindungan
laut (marine protected areas) yang
dibangun oleh Coremap-Lipi tahun 2006 hingga tahun 2008 dan daerah larangan penangkapan
ikan dan biota laut (marine sanctuary)
yang dibangun oleh PT. Wakatobi Dive Resort seluas 20.1 km di Pulau Tomia sejak
tahun 2001 hingga saat ini.
Marine Protected Area
adalah Pengelolaan Kawasan Laut yang lebih memfokuskan pada pemecahan terhadap
isu-isu eksploitasi sumberdaya alam yang dominan dilakukan oleh para pengguna
lokal, disamping pada potensi area utama biodiversity
yang penting. Kegiatan Marine Protected Area berisikan keputusan pada
ukuran pengelolaan dan penggunaan Sumber Daya Alam serta batasan oleh
masyarakat yang selanjutnya memperoleh legalitas dari pemerintahan Desa.
Penyusunan dan Penetapan Marine Protected
Area/Daerah Perlindungan Laut (DPL) merupakan indikator keberhasilan bagi
Desa Lokasi Program COREMAP II Kab. Wakatobi. Sejak Tahun 2006 – 2008 Program
COREMAP II Kab. Wakatobi telah mencanangkan Daerah Perlindungan Laut DPL
sebanyak 35 dari 40 Desa Lokasi Program[7]. Hingga
kini, penetapan daerah-daerah DPL tersebut belum mengalami perubahan status. Penerapan
undang-undang tentang penanaman modal asing di Wakatobi telah berlangsung dengan
berdirinya PT. Wakatobi Dive Resort (WDR) pada tahun 1997. Perusahaan ini telah
menanamkan asetnya di Wakatobi untuk kegiatan bisnis penyelaman (diving) dan telah memberikan konsekuensi
terhadap pelestarian lingkungan laut dengan memberikan insentif secara langsung
kepada masyarakat lokal ke 17 Desa/Kelurahan di Pulau Tomia dalam bentuk
bantuan tunai. Luasan wilayah perlindungan (sanctuary)
hingga kini telah mencapai 20 km (12.5 mil) dari struktur terumbu karang yang
dilindungi di dalam Taman Nasional Wakatobi[8]. Selain
itu juga terdapat beberapa resort dan hotel yang ada di ibu kota kabupaten
Wakatobi yang memanfaatkan keindahan sumberdaya laut (eksotisme terumbu karang)
sebagai daya tarik utama mereka kepada para pengunjung (visitors) dengan menyediakan pusat-pusat penyelaman (dive centers). Kehadiran usaha pariwisata
tersebut juga memberikan konsekuensi terhadap privatisasi beberapa pantai yang
notabenenya merupakan barang publik (public
goods) berubah menjadi kepentingan bisnis. Berbagai kepentingan untuk
pengembangan Wakatobi menjadi lebih maju, juga banyak mendapat perhatian dari berbagai
LSM Internasional dan Nasional, dan Lokal serta Kolaborasi Penelitian yang
dilakukan di Wakatobi. Beberapa di antara pengambil kebijakan (stakeholders) diluar swasta tersebut di
atas yang juga turut serta memberikan sumbangsih terhadap pengelolaan di
Wakatobi adalah JICA, Operation Wallacea, WWF, TNC, LSM Lokal (Komanangi,
Forkani, Komunto, Formabi) dan Lembaga swadaya lain yang melakukan kegiatan di
sana.
Berdasarkan
pada berbagai tumpang tindih kewenangan pengelolaan di atas, maka essay ini berusaha untuk memunculkan sudut
pandang permasalahan pengelolaan Wakatobi melalui kaca mata kajian ekonomi sumberdaya
berbasis kelembagaan dan biaya transaksi.
Pada
dasarnya, dalam sebuah Negara yang berdaulat seperti Indonesia mengakui hak
kepemilikan (property rights) yang
terdiri atas kepemilikan Negara (state
property), kepemilikan umum (common
property), kepemilikan masyarakat (communal
property) dan kepemilikan pribadi/swasta (private property). Setiap hak kepemilikan memiliki prinsip-prinsip
yang dipegang masing-masing. Schlager dan Ostrom (1992) menggambarkan tabel
posisi yang berkaitan dengan hak kepemilikan sebagai berikut.
Rights
|
Owner
|
Proprietor
|
Claimant
|
Authorized
User
|
Access and
Withdrawal
|
X
|
X
|
X
|
X
|
Management
|
X
|
X
|
X
|
|
Exclusion
|
X
|
X
|
||
Alienation
|
X
|
Pada
kasus Wakatobi, terjadi tumpang tindih pengelolaan kawasan di Wakatobi di mana Taman
Nasional menjadi lembaga Negara yang mempunyai fungsi untuk melindungi
sumberdaya alam sesuai dengan yang diamantkan oleh peraturan pemerintah (state property) berbenturan dengan kepemilikan
lokal masyarakat (darat maupun laut) sebagai warisan budaya dari pemerintahan
sebelumnya (communal property). Hal
ini saja menjadi perdebatan karena hak pengelolaan itu harus mendapat
pengakuan. Sementara di sisi lain, proses panjang yang dibangun oleh Taman
Nasional Wakatobi (TNW) sejak tahun 1987 merupakan proses atas pengakuan hak
tersebut, namun hingga saat ini penegakkan pengakuan tersebut juga bertentangan
dengan struktur pemerintahan yang lain, contohnya adalah penetapan Wakatobi
sebagai pemerintah kabupaten. Di wakatobi, luasan antara taman nasional dan
luasan Kabupaten sama besarnya atau tidak ada bedanya. Ini menjadi dilemma
dimana di satu sisi, usaha pelestarian sumberdaya alam dan di sisi lain adanya usaha
ekstraksi karena pembangunan. Pada titik bersinggungan ini, teori kepemilikan
yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) tidak berlaku disebabkan oleh
batasan kepemilikan antara setiap rezim tidak ada dan benang merah yang
menyatukan kedua rezim tersebut terputus oleh fungsi masing-masing kelembagaan.
Tumpang
tindih selanjutnya adalah daerah perlindungan laut (sanctuary) yang digagas oleh PT. WDR terhadap pengelolaan kawasan
laut di dalam TNW juga menjadi hal yang perlu dipertanyakan. Karena di satu
sisi, luasan wakatobi secara keseluruhan merupakan taman nasional yang tentu
saja ada zona-zona yang ditetapkan berupa zona inti, zona penyangga, zona
pariwisata dan zona pemanfaatan. Namun yang terjadi adalah sanctuary tersebut terletak pada zona pariwisata di Pulau Tomia
yang menurut TNW merupakan zona yang bebas eksploitasi sedangkan di sisi lain,
zona tersebut merupakan daerah yang berhadapan dengan pemukiman masyarakat yang
tentu saja menjadi tumpuan masyarakat dalam menggantungkan kebutuhan ekonomi
dimana sebagian besar masyarakatnya merupakan nelayan tradisional dengan
jangkauan operasi yang terbatas oleh keahlian dan fasilitas penangkapan. Sedangkan
dilihat dari sudut pandang peranan masing-masing kelembagaan antara TNW dan
PT.WDR berada pada titik simpul sama yang baik yaitu pelestarian. Namun ketika dikaitkan
dengan fungsi kelembagaan, maka PT.WDR tidak memiliki hak untuk melakukan
pembangunan sanctuary tersebut,
karena daerah sanctuary tersebut
merupakan daerah pariwisata dari TNW. Meskipun, apa yang dilakukan oleh PT.WDR
dengan melakukan pengawasan pada sanctuary
tersebut dengan membuat pos-pos pengamatan dan pengamanan bagi masyarakat lokal
yang akan melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Namun di sisi lain,
sebagai timbal balik pelarangan pada daerah tersebut, pemerintah desa
masing-masing mendapatkan kompensasi berupa dana tunai dalam jumlah tertentu,
hingga tahun 2012 jumlah yang diterima per desa bervariasi tergantung letaknya,
semakin dekat jumlahnya sebesar Rp 5 juta. Hingga saat ini, berdasarkan pada pencarian
berbasis internet, belum dilakukan pengkajian lebih lanjut secara empiris,
bahwa apakah jumlah uang tersebut sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan
oleh masyarakat lokal (nelayan) lokal terhadap pembatasan ruang pemanfaatan
mereka.
Gambar
2. Zonasi Taman Nasional Wakatobi
Permasalahan
lain yang dihadapi dalam pengelolaan pariwisata di Wakatobi adalah pemanfaatan ruang
publik (public goods) contohnya
pantai-pantai berpasir putih dan daerah-daerah tertentu. Wakatobi mempunyai
banyak daerah yang berpasir putih dan eksotis. Umumnya ditanami kelapa. Adanya
kebutuhan ekonomi dan tuntutan pariwisata massal (mass tourism) menyebabkan pengambil-alihan tanah-tanah tersebut
melalui mekanisme jual beli antara pemilik lahan (pemilik pohon kelapa) dengan
para investor. Pada titik ini, terjadi perampasan hak kepemilikan publik (public goods) untuk kepentingan ekonomi
investor. Terjadinya perpindahan kepemilikan tersebut, maka laut yang berada di
depan pohon kelapa secara sendirinya telah dikuasai oleh investor dimana dilarang
melakukan kegiatan ekstraksi sumberdaya oleh masyarakat lokal. Sementara di
sisi lain daerah tersebut termasuk dalam daerah pemanfaatan umum. Budaya
masyarakat wakatobi yang menjadikan pantai pasir putih sebagai tempat tambatan
perahu dan aktivitas ekonomi nelayan mulai tersingkirkan dengan adanya
bergantinya status kepemilikan tersebut. Ini hal serius karena berkaitan dengan
hajat hidup masyarakat lokal dan masa depan generasi lokal, mata pencaharian
berubah. Selain itu, karena adanya kegiatan industrialisasi pariwisata
tersebut, terjadi transaksi jual beli atas tanah-tanah Sara/adat untuk kepentingan investor
(seperti yang terjadi di Pulau Wangi Wangi dalam kurun waktu sepuluh tahun
terakhir). Sementara hingga saat ini, Negara Republik Indonesia menjamin kehadiran
adat sebagai suatu tatanan dalam masyarakat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 11 ahun 2005 Tentang Pengesahan
International Covenant on Economics,
Social and Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya). Di sinilah benturan antara kepentingan ekonomi dan kepentingan
budaya lokal dipertaruhkan dan secara langsung ataupun tidak langsung
memunculkan konflik horizontal di dalam masyarakat.
Pada
tahun 2012, Wakatobi ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia dimana fungsinya
hampir sama dengan TNW dilihat dari sudut pandang pelestarian. Pada luasan
daerah yang sama, terdapat tiga status kepemilikan (property righs) di dalam badan pemerintahan (state) yang berbeda yaitu Pemerintah Daerah Wakatobi (Penerpaan kebijakan
otonomi daerah), Taman Nasional Wakatobi (merupakan implementasi kebijakan dari
Kementerian Kehutanan) dan Cagar Biosfer (merupakan implementasi kebijakan
pelestarian dunia yang diinisiasi oleh UNESCO dan LIPI-Indonesia). Pada tahun
2015 akhir, Wakatobi mendapat status baru yaitu sebagai daerah 10 destinasi
Wisata di Indonesia. Konsekuensi logisnya adalah akan dibangun sebuah badan
pemerintah pusat di daerah dengan sebutan Badan Otoritas Pariwisata (BOP)
dengan luasan kawasan yang akan dikelola adalah 1.000 ha dari luas daratan. Perlu
diketahui bahwa dari setiap proses penaikan status, memakan biaya transaksi (transactional cost) yang tidak sedikit
yang disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan informasi (misleading and unsynchronized information) diantara para pengampu
kepentingan. Masuknya dan berdirinya status-status tersebut setidaknya
memunculkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Juga secara tidak langsung
membuat konflik horizontal di dalam
masyarakat dan meninggalkan permasalahan yang belum terjawab tuntas hingga
kini. Dampak secara langsungnya adalah sulitnya penegakan aturan dari setiap
rezim pengelolaan yang ada karena harus menghadirkan komunikasi lintas rezim
yang memakan tenaga, waktu dan tentu saja biaya yang tidak sedikit. Di tingkat
masyarakat awam, aturan-aturan tersebut akhirnya membingungkan masyarakat dan
membuat aturan tersebut tidak dapat dipatuhi oleh masyarakat sebagai objek dari
aturan tersebut.
Contoh
yang masih hangat di Wakatobi saat ini adalah penunjukan Wakatobi sebagai salah
satu dari 10 Badan Otoritas Pariwisata oleh Kementerian Koordinator Maritim
memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Di tataran elit masyarakat (pemuka
masyarakat), masih terjadi perdebatan antara menerima atau menolak. Pandangan
dari unsur masyarakat yang menerima adalah Badan ini akan mendatangkan kegiatan
ekonomi dan pembangunan secara langsung kepada masyarakat, yang pada akhirnya
akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, seperti yang
tertulis dalam situs Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan hasil-hasil penjelasan
pemerintah daerah dalam media-media lokal. Hasil dari pencarian online (searching) yang berkaitan dengan penolakan
ini adalah terdapatnya beberapa kali rentetan demonstrasi baik di Wakatobi
maupun di Kota Kendari. Beberapa pandangan dari unsur yang menolak kehadiran
badan ini, badan ini akan nantinya mengambil hak-hak kepemilikan lahan
masyarakat dan memunculkan penjajahan baru di tanah kelahiran masyarakat lokal
sendiri, seperti yang terjadi pada perusahaan-perusahaan investor yang telah
ada saat ini. Sedangkan pro dan kontra secara tertulis juga menjadi
perbincangan hangat dalam media sosial warga, Wakatobi Online[9].
Badan
ini sesungguhnya berusaha untuk menjembatani kepentingan pengusaha (investor) dan masyarakat (Landlords) untuk
menciptakan/menghasilkan keuntungan ekonomi (economic generating) atas asas saling menguntungkan bagi pendapatan
Negara (devisa) secara langsung. Secara kultural, bagi masyarakat Wakatobi,
semua tanah ada kepemilikannya. Ada tanah sara/adat
dan tanah masyarakat sendiri. Terbentuknya badan ini seharusnya tidak digunakan
pada lahan-lahan adat/sara karena secara statusnya merupakan ruang publik (public goods) yang diperuntukkan untuk
kepentingan publik. Selain itu, lokasi-lokasi penting seperti pantai-pantai
berpasir putih, sumber-sumber mata air, daerah-daerah hutan sebaiknya tidak
menjadi pengelolaan otorita ini apalagi diberikan kepada investor karena akan
membatasi akses masyarakat terhadap barang publik dan secara langsung akan merusak
budaya masyarakat lokal. Sedangkan bagi lahan-lahan yang dimiliki oleh
masyarakat, sebaiknya diberikan garis batas yang jelas (stating by rules) bahwa hak pakai (kepemilikan melalui kontrak), hak
guna usaha, dan sebaiknya jangan dijual karena Wakatobi secara defacto
merupakan pulau-pulau kecil. Selain itu, secara generasi, masyarakat Wakatobi
itu tersebar di seluruh Indonesia dan bila lahan-lahan tersebut terjual kepada
para investor maka akan mengasingkan masyarakat itu sendiri dalam beberapa
tahun mendatang karena tanah adalah ikatan darah yang menjadi ikatan keluarga
bagi generasi Wakatobi baik di masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang,
serta menjadi identitas jati diri anak lokal.
Pengelolaan
terhadap barang-barang publik, pantai, laut dan terumbu karang terlepas dari
zona-zona inti, zona penyangga, zona pariwisata, di Wakatobi sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangan tahapan yang diajukan oleh Ostom (1990) bahwa
terdapat 8 prinsip dalam mempelajari
pengelolaan common property:
1.
Batas
akses dan penggunaan dari common property terdefinisikan dengan jelas
2.
Relevansi
aturan terhadap kondisi sumber daya lokal
3.
Pengaturan
pilihan kolektif dalam pengambilan keputusan
4.
Monitoring
efektif terhadap akses dan penggunaan sumber daya common property
5.
Sanksi
gradual terhadap pelanggar aturan
6.
Mekanisme
penyelesaian konflik
7.
Pengakuan
minimal terhadap hak untuk mengelola dari otoritas eksternal.
8.
Manajemen
jaringan dari sistem pengelolaan common property yang lebih besar (tiap
lapisan dari manajemen berkaitan dengan lapisan manajemen yang lebih tinggi.
Ostrom
lebih lanjut menyarankan bahwa seharusnya, kepemilikan swasta (private),
lembaga-lembaga common-property, atau intervensi pemerintah, para cendikiawan
membutuhkan sebuah pemahaman yang baik mengenai: (1) kondisi-kondisi yang
memperluas atau memperkecil kerawanan dari rejim-rejim hak kepemilikan yang
lebih efektif yang berkaitan dengan sumberdaya yang beragam, (2) stabilitas
atau ketidakstabilitas sistem-sistem ini ketika ditantang oleh berbagai jenis perubahan
baik dari dalam maupun dari luar, dan (3) biaya penguatan peraturan yang tidak berikaitan
dengan keterlibatan tersebut. Selanjutnya, keandalan rejim-rejim hak
kepemilikan di dalam keadaan lapangan harus dibandingkan dengan rejim-rejim
yang lain di dalam keadaan lapangan. Tidak ada lembaga di dunia nyata yang
dapat menang dalam konteks melawan lembaga-lembaga yang ideal. Pertanyaan
validnya adalah bagaiana berbagai jenis bentuk pengaturan kelembagaan secara
sebanding ketika diperhadapkan dengan lingkungan-lingkungan sulit yang sama.
Biaya
transformasi merupakan sumberdaya yang dicurahkan untuk proses yang berkaitan
dengan sebuah perubahan peraturan (Buchanan and Tullock, 1962; Ostrom, 1990). Ostrom
melanjutkan bahwa biaya transformasi, sebagai contoh, secara positif berkaitan
dengan jumlah individu yang membuah pilihan-pilihan kelembagaan, heterogenitas
kepentingan yang dipertaruhkan, dan proporsi individual yang secara minimal
penting untuk mencapai sebuah perubahan dalam peraturan status quo (disusun
oleh peraturan-peraturan yang mengelola proses perubahan peraturan-peraturan
tersebut). Biaya transformasi lebih rendah manakala para pemimpin yang
terlibat. Karena biaya-biaya transformasi merupakan biaya-biaya dimuka, biaya-biaya
tersebut agaknya kuran dipengaruhi oleh disount
rate yang digunakan oleh para partisipan. Ostrom juga menyarankan
penggunaan variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan kelembagaan seperti yang
digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3.
Ringkasan Variabel yang Mempengaruhi Pilihan Kelembagaan
(Sumber: Ostrom,
1990).
Daftar Pustaka
Eco_Gypsy., 2014. Founder of Wakatobi Dive Resort and
The Collaborative Reef Conservation Project. Edition 03-Indonesia Jul. 14.
Kunaefi T.D., 2015. Tradisi Lisan Masyarakat dalam
Melindungi Alam dan Lingkungan. Disampaikan pada Seminar Nasional “Pengembangan
Green Business dan Green Technology yang Berkelanjutan” Universitas Budi Luhur,
Jakarta, 21 November 2015.
Ostrom, Elinor., 1990. Governing the Commons.
TheEvaluation of Institutions for Collective Action. Indiana University.
Ratman D.R., 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata
Prioritas 2016-2019. Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Investasi
Pariwisata Kementerian Pariwisata. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional
Kementerian Pariwisata “Akselerasi Pembangunan Kepariwisataan dalam Rangka
Pencapaian Target 12 Juta Wisman dan 260 Juta Wisnus 2016” di Jakarta, 27
Januari 2016.
Schlager E., and Ostrom E., 1992. Property-Rights
Regimes and Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics. Vol. 68
(3): 249 – 262.
Udu, Sumiman., 2012. Pengembangan Pariwisata dan
Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat.
Disampaikan dalam International
Conference & Summer School on Indonesian Studies Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang dilaksanakan di Sanur Bali
tanggal 9-10 Februari 2012.
Baca Juga
Kabanti Ajonga Yinda Malusa: ‘Mutiara Berkilau’ dari Buton untuk Indonesia"
Kabanti Ajonga Yinda Malusa: ‘Mutiara Berkilau’ dari Buton untuk Indonesia"
[2]
http://wakatobikab.go.id/statik/sejarah.kabupaten.wakatobi/sejarah.kabupaten.wakatobi.html
[3] Sumiman
Udu, 2012. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan
Masyarakat Adat.
[5]
http://www.wakatobikab.go.id/newsview/507/wakatobi.satu.dari.10.top.destinasi.pariwisata.nasional.html
[6] Ratman D.R., 2016.
Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019.
[7] info kegiatan Coremap,
2008
[9] https://www.facebook.com/groups/wakatobi0nline/permalink/1022620321118999/
1 komentar:
Harusnya dibaca dengan jelas dasar teori mengenai competitive advantage, comparative advantage, teori mengenai property rights yang di cetuskan oleh Hardin yang kemudian disempurnakan oleh Elinor Ostrom (konsep prison dillema dan life boat ethics). Tambahkan pemahaman mengenai konsep integrated Coastal Zone management dan UU no 07 thn 2007 dan UU no 32 tahun 2014. Kemudian berbanyak baca literature mengenai environmental governance yang banyak membahas mengenai environmental management and development. Sehingga tulisan yang di publish akan lebih ber"warna" research sesuai dengan maksud yang akan dikemukakan. Bukan wacana yang akan menjadi debat kusir.
Posting Komentar