Oleh : Hamiruddin Udu
Email: hamirudin78@gmail.com
1.
Pendahuluan
Tradisi sebagai salah
satu bentuk kebudayaan mengandung sejumlah nilai yang berfungsi mengukuhkan
pandangan masyarakat dan memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan oleh
norma dalam masyarakat (bdk. Tuloli, 1990: 19). Sejalan dengan itu, Sztompka
(2005: 74) mengatakan bahwa sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, tradisi
merupakan mekanisme yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal
ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma
sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan itu, Parsons (1985) mengatakan bahwa
kebudayaan adalah sistem simbol yang menekankan pada tindakan manusia sebagai
pelakunya, yang memiliki sistem budaya yang terdiri dari sistem kepercayaan
(bagian dari religi), sistem pengetahuan, sistem nilai moral, dan sistem
pengungkap perasaan atau ekspresi.
Dalam konteks
ke-Indonesiaan, tentu keragaman suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing memungkinkan
bangsa Indonesia untuk menemukan sejumlah kearifan atau nilai-nilai luhur yang
dapat dijadikan sebagai modal sosial budaya yang dapat memperkokoh solidaritas
dan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihatlah masyarakat Bali misalnya,
dengan konsep Tri Hita Karananya,
nilai dan sejumlah kearifan yang ada di dalamnya ternyata mampu membentuk watak
manusia Bali yang mengedepankan keselaran dan keharmonisan dalam interaksinya
dengan Tuhan, manusia dan alam (lihat Dalem, 2007). Tentu eksistensi manusia di
setiap daerah di Indonesia dengan segala keterbatasannya, setiap komunitas itu
memiliki konsep untuk menciptakan keselaran dan keharmonisan dalam
kehidupannya. Artinya, di Indonesia dengan keragaman suku bangsa di dalamnya
tentu akan terdapat sejumlah tri hita
karana-tri hita karana dalam bentuk dan wujud yang berbeda di daerah lain.
Hal tersebut disebabkah karena secara insting dan alami, setiap komunitas
mempunyai keinginan dan kemauan untuk menyelaraskan dan mengharmoniskan
kehidupannya dalam interaksinya dengan alam, hidup bermasyarakat dan pengabdiannya
kepada Tuhan. Purwanto (2008: 62) mengatakan bahwa manusia dan lingkungan akan
berinteraksi dengan saling mempengaruhi sehingga tercipta keseimbangan sistem.
Dalam masyarakat Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satu konsep untuk mewujudkan keselaran dan
keharmonisan hidup terlihat dalam konsep kesucian ritual dan kesucian rasa dan
akhlak yang terdapat dalam tradisi kangkilo. Kedua konsep itu membentuk
karakter manusia Buton untuk menghindari berbagai hal yang dapat menodai
kesucian dirinya. Dengan konsep kesucian itu, masyarakat Buton akan merasa
takut untuk melakukan dan bahkan memikirkan sesuatu yang akan mengotori
kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlaknya. Sebagai contoh, masyarakat
Buton takut untuk berbuat atau bertutur kata yang dapat berakibat menyakiti
atau menyinggung perasaan orang lain, dengan acuan atau standar pada dirinya
sendiri sebagai alat ukurnya. Misalnya, bila ia mencubit dirinya sendiri sakit
maka mencubit orang lain pun pasti akan sakit. Dengan demikian, masyarakat
Buton takut untuk melakukan tindakan mencubit orang lain. Pemahaman kesucian
rasa dan akhlak seperti disebutkan di atas terbukti telah membentuk karakter
positif masyarakat Buton, khususnya bagi mereka yang masih memahami tradisi
kangkilo.
Untuk melihat bagaimana
memaknai dan memahami tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton, pendekatan yang
digunakan oleh penulis dalam makalah ini adalah pendekatan etnografi. Pawluch,
dkk. (2005: 1) mengatakan bahwa pendekatan etnografi adalah sebuah pendekatan
yang melihat dimensi makro sebuah komunitas, yang dilakukan secara komprehensif
dan relatif bersifat informal. Sedangkan metode yang digunakan untuk
menganalisis data menggunakan metode hermeneutik. Metode ini dimaksudkan untuk
memberi penafsiran pada makna dan kode-kode budaya yang ada pada tradisi
kangkilo (lihat Ricouer dalam Sumaryono, (1999: 105). Uraian secara detail
tentang bagaimana konsep kesucian dalam tradisi kangkilo secara sistematis
dapat digambarkan sebagai berikut.
2.
Tradisi
Kangkilo dalam masyarakat Buton
Tradisi kangkilo dalam
masyarakat Buton meliputi: (1) istinja atau tata cara membuang hajat, mulai
dari awal hingga akhir, (2) tata cara berwudhu serta segala hal yang dapat
membatalkannya, (3) tata cara mandi junub, dan (4) syahadat. Melihat luasnya
cakupan dari tradisi kangkilo, maka pada makalah ini hanya akan dibatasi
pembahasannya pada aspek istinja atau tata cara orang Buton membuang hajatnya. Dan
dengan pertimbangan untuk kedalaman analisis, penulis membatasi data yang
dikaji hanya pada data tentang istinja yang diperoleh melalui hasil wawancara
dengan Muhammad Amin Idrus Akbar pada tahun 2000.
Selanjutnya, sebelum
diuraikan tentang konsep kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak dalam
tradisi kangkilo dari aspek istinja, terlebih dahulu diuraikan tentang
masyarakat Buton yang dimaksud dalam tulisan ini. Masyarakat Buton dalam
tulisan ini adalah masyarakat yang menempati daerah-daerah yang masuk dalam
wilayah Kesultanan Buton masa lalu.
Masyarakat yang
menempati bekas wilayah Kesultanan Buton saat ini meliputi masyarakat yang
berada di wilayah Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Muna, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Buton Utara. Untuk lebih jelasnya,
wilayah bekas Kesultanan Buton dapat dilihat pada peta berikut.
Gambar
1. Peta Wilayah Daerah Kesultanan Buton dalam Peta Sulawesi Tenggara
Di masa Kesultanan Buton,
sekitar abad ke-17 (Lihat Niampe, 2007; Yunus, 1995) daerah yang berada di dalam
lingkaran garis merah pada peta di atas adalah daerah yang diduga sebagai
tempat penyebaran pengajaran tradisi kangkilo.
Istinja atau tata cara
membuang hajat sebagai salah satu aspek dari tradisi kangkilo yang ada dalam
masyarakat Buton kesatuan yang mesti dilaksanakan dengan tertib. Artinya, tata
cara atau prosedur pelaksanaan kangkilo harus mengikuti tahapan-tahapan yang
telah ditentukan. Kesalahan prosedur menjadikan kangkilo yang dilakukan tidak
sah. Untuk lebih jelasnya, urutan atau tahapan serta lafaz niat yang diucapkan
dalam tradisi kangkilo diuraikan sebagai berikut.
Tata
cara beristinja dimulai ketika masuk WC hingga keluar dari WC. Tata cara itu mulai
dengan: (1) meniatkan air yang hendak dipakai beristinja: kuala uwe makilo, uwe modadi, uwe cahea yinuncana surugaana allaahu
ta’ala to kupekangkiloaka karoku yinunca te karoku yisambali”. (saya
mengambil air yang suci, air yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya
Allah Taala untuk membersihkan diriku di luar dan di dalam). Setelah itu
ditetapkan keyakinan: allahu ta’ala manga
pekangkilona, yi pekangkilo mohammadi”(Allah Taala yang menyucikan diriku,
yang menyucikan Muhammad). Urutan pelaksanaan istinja yang dipahami adalah sebagai
berikut:
Yang pertama diistinja
ialah bagian pusat dengan ibu jari kiri dengan niat: bismillaahir rahmaanir rahiimi. Kupaila
zatuna te sifatuna hawa nafusuu te ibilisi saetani laknatullah modangiana yi
kalibi te momaina yi kalibi, modangiana i karona te memaina yi karon a
la…/wa…syi ambu (alingka)-mo yi sambalina dunia te akherati (asfala safiliyn).
(kusucikan zat dan sifatnya hawa nafsu dan iblis setan laknatullah yang ada di
hati dan yang datang dari hati, yang ada di badan dan yang datang dari badan la
… /wa….. untuk pergi keluar dari alam dunia dan akhirat (asfala safilin).
Kemudian mencuci
pangkal paha kanan dengan jari telunjuk kiri dan pangkal paha kiri dengan jari
kelingking kiri. niatnya: ”kupaila zatuna
te sifatuna yiapaika bisa, panyaki, te yiapaiaka karombu modaangiana te momaina
yi karona la…/wa…siy, kupalingkaia yi sambalina dunia te akherati”.
(kubersihkan zat dan sifatnya asal usul bisa, penyakit dan asal usul adanya
kotoran yang datang dari badan la…/wa…., saya simpan di luar alam dunia dan
akhirat).
Setalah itu, orang yang
melakukan kangkilo mencuci jalanya air kecil dengan jari tengah kiri dan mencuci
jalanya air besar oleh jari manis kiri. Lalu mencuci bakong (pinggul) dengan
tapak tangan kiri dengan niat: apekangkilomea
te aparadikamea allaahu ta’ala la…/
wa…siy, simbau apekangkilo te aparadika
mohammadi rasulullah s.a.w. (saya menyucikan hati yang disimpan Allah Taala
pada La…/Wa…., seperti menyucikan hatinya Nabi Muhammad Rasulullah Saw).
Kemudian kembali mencuci jalanya air kecil, jangan sampai ada tetesan akhir,
atau memang demikianlah adanya bagi kesempurnaan istinja. Kemudian kita mencuci
tangan, muka dan kaki kanan dan kiri. tetapi sedapat-dapatnya ber-wudhu
sebagaimana yang dikerjakan Rasullullah S.A.W.
Adapun doa sesudah
beristinja bagi umumnya orang ramai ialah: allahumma
thahhir qalbi minannifaaqi wahasinu farjii minal fawaahisi (ya Allah, ya
tuhan-ku! sucikanlah hatiku daripada nifak dan peliharakanlah kemaluanku dari
kekejian). Yang demikian itu adalah doa semenjak anak-anak kecil. Sedangkan
bagi dewasa utamanya bagi mereka yang telah berkeluarga, maka haruslah
disempurnakan sebagai ibadat baginya, yang dilakukan dengan penuh kekhusyuan
yaitu bagi mereka yang mau menyempurnakan doa dan niatnya, maka mereka harus
berwudhu. Kemudian membaca:
”astaghfirullaahul ‘adhim, sebanyak 3
kali. alladzi laa ilaaha illa huwal
hayyul kayyumu waatubu ilaihi”. asyhadu an laa ilaaha ilaaha illallahu wahdahu
laa syariika lahu (niat) rohi-ku rohullah. wa asyhaduu anna muhammadan abduhu
wa rasuuluhu (niat) kasara-ku mohammadi, subhaanakallaahumma wabikahamdika laa
ilaaha anta ‘amiltu suu-an wa dhalamtu
nasfii astahfirukallaa-humma wa atuubu ilaika, faghfirlii watub alayya innaka
anta tawwaabur rahiim. allaahummaj alni min’ ibadikash ahaalihiina waj-‘alni
abdan ahabuaran ayakuuran, waj-alinii adzkuru katsiiran wa usabbihuka bukratan
wa ashiilaa.”
Kemudian mengambil
kekhusyuan (khusyu) dan memanjatkan keyakinan:
”kupambulimea kangkilona karoku siy yinuncana
kalibina mia cahea yi alamu aruwaha siate. kangkiloku kangkilona allaahu ta’ala
opuna bari-baria rahamati ni’imati, opuna bari-baria kangkilo, opuna bari-baria
alamu. tepeneakamo te kalimatullah : “ laa ilaaha illallahu hakiimu kariimu wa
subhannallahu rabbull arsy adhiim wal hamdulillaahir rabbil alamin ” kun faya
kun”(saya
kembalikan kesucian diriku seperti di dalam kalbi yang berasal dari cahaya alam
arwa. Menyucikan diriku menyucikan Allah Taala, Tuhan yang memberikan rahmat,
nikmat, tuhan yang maha suci, tuhan segala alam). Setelah membaca doa itu maka selesailah tentang istinja.
Berdasarkan teks niat
dari istinja sebagaimana disebutkan di atas, diketahui bahwa tradisi kangkilo
(istinja) berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan kesucian ritual dan kesucian
rasa dan akhlak. Uraian secara rinci mengenai bagaimana kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak sebagai nilai dasar pembentukan karakter positif
masyarakat Buton adalah sebagai berikut.
a.
Kesucian
Ritual
Secara etimologi kesucian
dalam paper ini bersepadan dengan istilah thaharah.
Thaharah dalam bahasa Arab bermakna An-Nadhzafah, yaitu kebersihan. Namun yang dimaksud disini tentu
bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah: (1) mencuci
anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu, dan (2) mengangkat hadats dan
menghilangkan najis. Hal ini hampir sama dengan apa yang dikatakan Rifa’i (1976:
13) bahwa thaharah menurut syarah adalah suci dari hadas dan najis. Sedangkan
dalam Rama (blogger tentang urgensi thaharah) dikatakan bahwa, thaharah tidak
selalu identik dengan kebersihan, meski pun tetap punya hubungan yang kuat dan
seringkali tidak terpisahkan. Thaharah lebih tepat diterjemahkan menjadi kesucian secara ritual di
sisi Allah SWT.
Dalam
penjelasannya dikatakan (Blog Rama)[3] bahwa thaharah disebut kesucian ritual karena
beberapa alasan, yakni pertama, bersih itu lawan dari tidak kotor, tidak
berdebu, tidak belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau
tidak lusuh. Sementara suci
bukan kebalikan dari bersih. Suci itu kebalikan dari najis. Segala yang bukan
najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat
dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih Islam bukan najis atau benda yang
terkena najis. Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor, berdebu,
terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya,
justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu
dikatakan najis, maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan
fiqih adalah benda suci, boleh digunakan untuk bersuci.
Kedua, thaharah
adalah bentuk ritual, karena untuk menetapkan sesuatu itu suci atau tidak,
justru tidak ada alasan logis yang masuk akal. Kesucian
atau kenajisan itu semata-mata ajaran, ritus, ritual dan kepercayaan. Terkait
dengan itu, Salikin dalam Sahidin (2006: 20-21) mengatakan bahwa thaharah
terdiri atas empat tingkatan, yaitu:
Pertama, membersihkan anggota yang lahir dari segala
hadas dan najis untuk mencapai kesempurnaan ibadah yang lahir dengan ketentuan “sah
ibadahnya”. Kedua membersihkan tujuh anggota badan seperti mata, telinga,
lidah, perut, farji (kelamin), tangan dan kaki dari segala maksiat yang
lahiriah dan berbagai corak dosa dan kesalahan yang akan memproduksi
sifat-sifat kefasikan serta kemunafikan. Keistimewaan pembersihan pada tingkat
ini adalah membentuk sikap kepribadian yang adil. Ketiga, mensucikan hati dari
perangai tercela seperti sifat ujub, riya, hasud ghadhab, takabur, khianat dan
hal-hal lain
yang disebut sebagai penyakit hati. Keistimewaan pembersihan pada tingkat ini
adalah menumbuhkan perangai dengan segala sifat yang terpuji seperti ikhlas,
zuhud, wara’, tawadhu, hingga berbusana takwa dan bermahkota saleh. Keempat, mensucikan
rahasia batiniah seperti mensucikan ruh, yaitu rahasia yang ada di dalam hati
semacam lintasan dan angan-angan yang menimbulkan kegundah-gulanaan, karena
yang demikian itu membawa bimbang kepada sesuatu selain dari Allah atau masygul
dengan selain Allah Swt.
Konsep pemahaman
tentang kesucian ritual yang dijelaskan di atas juga terlihat pada konsepsi
kesucian ritual yang dalam tradisi kangkilo. Misalnya, pada saat meniatkan air
yang hendak dipakai beristinja: kuala uwe
makilo, uwe modadi, uwe cahea yinuncana surugaana allaahu ta’ala to
kupekangkiloaka karoku yinunca te karoku yisambali”. (saya mengambil air
yang suci, air yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala
untuk membersihkan diriku di luar dan di dalam), yang dilanjutkan dengan
keyakinan: allahu ta’ala manga
pekangkilona, yi pekangkilo mohammadi”(Allah Taala yang menyucikan diriku,
yang menyucikan Muhammad). Kedua niat atau keyakinan itu maknai oleh masyarakat
sebagai prasyarat untuk berterimahnya ibadah/ritual seseorang. Kalimat “Allah
Taala yang menyucikan diriku” dan “saya mengambil air yang suci, air yang baik,
air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala” menunjukkan bahwa masyarakat
Buton dengan tradisi kangkilonya hanya menjadikan Allah Taala sebagai
satu-satunya tempat untuk memohon dan menyembah. Dalam bahasa lain, masyarakat
Buton menyucikan (tidak menduakan) Allah sebagai Tuhan dalam segala aspek dari
kehidupannya. Hal yang sama dipertegas sebagaimana terlihat pada prosedur
terakhir dari tata cara beristinja, yakni pelaksanaan wudhu.
Menurut pemahaman
masyarakat Buton sebagaimana mungkin masyarakat muslim lainnya, wudhu mempunyai
makna penting dalam upaya mewujudkan kesucian ritual. Pertama, wudhu merupakan
bagian dari ritual bagi umat Islam sebelum melakukan ibadah. Quran surat
Al-Maidah ayat 6, Allah Swt berfirman “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah muka dan tangan kamu sampai siku. Dan sapulah kepala kamu serta
basuh kedua kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki”. Terkait dengan itu,
Rasulullah Saw pernah bersabda “Allah tidak menerima doa tanpa bersuci (wudhu)
dan Allah tidak menerima sedekah dari hasil penipuan”, (H.R. Muslim dalam
Albani, 2005: 107). Kedua, wudhu
merupakan salah satu media bagi umat Islam untuk menyucikan dirinya. Ketiga, para ahli fiqih menyakini bahwa
wudhu dapat membentuk pribadi atau karakter manusia muslim untuk selalu
menyucikan dirinya. Keempat, wudhu diyakini oleh para ahli fiqih dapat
membersihkan dosa-doa. Hal ini sejalan dengan sunnah rasul berikut.
“Dari Abu
Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda, “apabila seorang muslim
atau mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, maka keluarlah dari wajahnya
dosa-dosa akibat dari pandangan matanya bersama dengan air wudhu atau bersama
dengan tetesan air yang terakhir. Apabila dia membasuh kedua tangannya, maka
keluarlah dosa-dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya bersama dengan
air atau bersama dengan tetesan air wudhu yang terakhir. Apabila dia membasuh
kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosa yang telah dia perbuat dari kedua
kakinya bersama dengan air atau bersama dengan tetesan air terakhir sehingga ia
terhapus dosa-dosanya semua (H.R Muslim).
Mengacu pada beberapa uraian di atas tentang
pengetahuan dan pemahaman orang Buton tentang istinja maka dapat dikatakan
bahwa istinja sebagai salah satu aspek dari tradisi kangkilo selalu mendorong
penggunanya untuk mewujudkan kesucian ritual. Artinya, istinja sebagai bagian
dari tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton mendasarkan ajarannya pada
kesucian ritual. Ritual-ritual (ibadah) yang tidak didasarkan kepada
nilai-nilai kesucian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan berterima di sisi
Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Kesucian
Rasa dan Akhlak
Secara umum,
berdasarkan data hasil wawancara Muhammad Amin Idrus Akbar terlihat bahwa
kesucian bagi masyarakat Buton menempati posisi penting untuk menjaga
stabilitas dan persatuan dan kesatuan bangsa serta pelestarian lingkungan hidup.
Keberadaan manusia di muka bumi semestinya tidak membuat kerusakan, mengganggu,
atau mengotori alam beserta seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Di samping
itu, manusia juga harus menjaga kesucian dirinya sendiri dari berbagai godaan
iblis setan laknatullah, hawa nafsu yang tidak baik serta penyakit. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan doa istinja berikut:
“yapaiaka giuna
ibilisi saetani laknatullah, hawa nawusuu momadaki, obisa, opanyaki medaangiana
yi karona te momaina yi karona la…./wa….siy aosemo najisi te narakaa molimba
siro, boli atumpu yi tana, boli atumpu yi waa. boli atumpu yi uwe, boli atumpu
yi ngalu, boli atumpu yi kau, boli atumpu yiapai-yiapaipo, atumpu yisambalina
dunia te akherayi (asfala safiliyn).” (segala bentuk iblis setan
laknatullah, hawa nafsu yang merusak, bisa, penyakit yang ada dalam diri la
…/wa….. keluar mengikuti najis yang keluar, jangan mengotori tanah, jangan
mengotori api, jangan mengotori air, jangan mengotori udara, jangan kena kayu
atau pohon, jangan mengotori apa-apa di alam, tapi ia pergi keluar alam dunia
dan akhirat, yakni asfala safilin.
Dari segi kandungan
isi, makna kutipan di atas terbagi atas dua kategori, yaitu (1) bermakna penyucian
lahir seperti pada kata “alam dunia”, dan (2) bermakna penyucian batin seperti
terlihat pada kalimat “hawa nafsu yang merusak”, dan lain sebagainya. Penyucian
lahir meliputi perintah untuk tidak mengotori tanah, tidak mengotori api, tidak
mengotori air, tidak mengotor udara, tidak melengketkannya pada kayu atau
pohon, serta tidak mengotori apa-apa yang ada di alam mempunyai makna yang
mendalam. Menurut orang Buton, empat unsur tanah, api, air, dan udara
sebagaimana juga disebutkan dalam mantra atau niat penyucian diri di atas
merupakan unsur-unsur yang membentuk diri manusia. Hal sebagaimana Niampe,
(2007) mengatakan bahwa dalam paham sufisme Buton, terdapat kepercayaan bahwa
manusia terdiri dari empat anasir, yaitu anasir tanah, api, air, dan angin.
Artinya, bila larangan
untuk merusak atau mengotori tanah, air, api dan angin yang disebutkan dalam
teks istinja atau teks kangkilo itu juga ditujukan untuk tidak mengotori atau
melukai perasaan atau hati manusia yang lainnya, yang unsur-unsurnya terdiri
dari tanah, api, angin dan air. Manusia Buton harus menjaga kesuciannya dalam interaksinya
sebagai individu dalam suatu komunitas atau kehidupan berbangsa. Kesucian dalam
konteks ini berkaitan dengan lima filosofi kesucian rasa dan akhlak yang dalam
prakteknya dikenal dengan istilah: (1) pobinci-binciki
kuli (saling cubit-mencubit kulit), (2) poangka-angkataka
(saling utama-mengutamakan), (3) pomaa-maasiaka
(saling cinta-mencintai), (4) popia-piara
(saling abdi-mengabdi), dan (5) pomae-maeka
(saling takut-menakuti) (Putra, 2000: 117).
Kesucian rasa dan akhlak pada ungkapan kearifan pobinci-binciki kuli (saling cubit-mencubit kulit) adalah kesucian
yang didasarkan pada hukum rasa. Menurut hukum ini, semua makhluk bernyawa,
utamanya manusia melihat bahwa pada bentangan hukum rasa itulah manusia membaca
nilai kebenaran dan keadilan sejati. Tidak ada satu makhluk bernyawa pun yang
dapat mendustakan wajah dan bahasa rasa diri mereka sendiri. Pada wajah dan
tubuh rasa itulah terbacanya undang-undang hukum yang bersifat benar, mutlak,
absolut, abadi, dan bersifat universal.
Kesucian rasa dan akhlak pada falsafah poangka-angkataka
(saling utama-mengutamakan) adalah hukum kesucian rasa dan akhlak yang
didasarkan pada sebuah keyakinan untuk mengutamakan kepentingan orang banyak
yang benar hukum-hukumnya sesuai hukum kemanusiaan di atas kepentingan pribadi
atau kelompoknya. Kesucian ini kemudian membentuk
sifat pemurah, pemaaf, penyanyang, pengabdian dan pengorbanan suci.
Kesucian
rasa dan akhlak pada falsafah pomaa-maasiaka
(saling cinta-mencintai) adalah kesucian yang didasarkan pada hukum kesucian
cinta kasih. Bentuk hukum ini akan terlihat misalnya, jika seseorang mencintai
mobilnya yang baru, kalau catnya yang mengkilat itu digores orang, maka
tergores pulalah wajah dan tubuh rasa hatinya yang ada dalam dadanya. Konsepsi
ini dalam dunia Islam dikenal dengan istilah “tidak beriman seseorang diantara
kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Kesucian rasa dan akhlak yang didasarkan pada
falsafah pomaa-maasiaka akan
membentuk pribadi-pribadi yang berkeinginan kuat untuk mempertahankan persatuan
dan kesatuan.
Kesucian
rasa dan akhlak pada falsafah popia-piara
(saling abdi-mengabdi) adalah kesucian yang didasarkan pada upaya untuk
mewujukan kesucian rasa dan akhlak. Dalam konteks ini, popia-piara diarahkan memunculkan semangat pengorbanan, baik pada
kepentingan duniawi maupun pada kepentingan ukhrawi. Di dunia, konsepsi ini
digunakan untuk mewujudkan keadilan, cinta (persatuan dan kesatuan), kebaikan,
dan kebenaran dengan memerangi syirik, kesombongan, kedengkian, kemunafikan dan
kekikiran, riya, keji, kemungkaran dan kedzaliman.
Kesucian
rasa dan akhlak pada falsafah pomae-maeka
(saling takut-menakuti) adalah kesucian yang didasarkan pada sebuah
keyakinan untuk takut mengerjakan pelanggaran dan semua larangan Allah dan
Rasul-Nya. Dalam konteks ini, termasuk manusia Buton takut berbuat syirik,
melakukan kesombongan, kedengkian, takabur, ujub, riya, keji dan mungkar,
kekikiran, kemunafikan, dan kedzaliman (Bdk. Putra, 2000: 116).
Lima
falsafah dasar kesucian humanis, sebagaimana disebutkan di atas tidak hanya
diarahkan untuk manusia, akan tetapi diarahkan pula kepada seluruh makhluk
Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk Tuhan yang dimaksud meliputi seluruh
bangsa tumbuh-tumbuhan dan binatang atau hewan, maupun kepada bangsa Jin atau
makhluk gaib. Dalam paham ini diyakini bahwa semua makhluk bernyawa itu
(tumbuhan, hewan, dan bangsa Jin) memiliki hukum rasa. Semua yang memiliki rasa
bila ada perlakukan yang tidak sesuai dengan hukum-hukum rasa maka rasa pada
makhluk apapun juga akan merasakannya sesuai dengan perlakuan atau tindakan
yang mengenainya.
Di
samping itu, kesucian dalam lima falsafah masyarakat Buton itu bermakna bahwa
tinja manusia tidak boleh dibuang sembarang tempat karena nantinya akan
mengganggu makhluk Tuhan lainnya. Misalnya, baunya akan mengganggu penciuman
manusia, mengotori lingkungan, dan lain sebagainya. Tinja tersebut bisa saja
mengenai semut yang ada di tanah atau tanaman kecil/rumput yang dikenainya
sehingga akan mengganggu dan bahkan membunuhnya, atau bisa saja nanti tinja itu
akan terbawa air hujan sehingga mengotori air yang masih bisa dipakai manusia
sehingga menimbulkan penyakit. Oleh karena itu, menurut pemahaman ini, kesucian
rasa dan akhlak manusia juga harus mampu menciptakan keharmonisan antara
manusia, alam, dan berbagai makhluk hidup yang ada di atasnya.
3.
Tradisi
Kangkilo sebagai Modal Sosial Budaya Bagi Pembentukan Karakter Positif
Masyaraat Buton
Burt (1992) mendefinsikan modal sosial adalah
kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama
lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang
lain. Sedangkan (Anonim, 2009) modal budaya adalah keseluruhan yang kompleks
yang terdapat di dalam unsur-unsur kebudayaan universal yaitu: sistem
pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial dan sistem kekerabatan, religi,
bahasa, dan kesenian, yang diwujudkan dalam perilaku. Sesungguhnya apa yang
dimaksud dari serangkaian istilah tersebut adalah bentuk-bentuk modal budaya
yang tumbuh dan berkembang secara alami sepanjang sejarah berdasarkan hasil
ramuan interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Merujuk pada konsep di atas, maka modal sosial
budaya dalam makalah ini diartikan sebagai keseluruhan yang kompleks yang
terdapat dalam unsur-unsur kebudayaan universal yang terdapat dalam tradisi
kangkilo, yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan kebaikan atau keuntungan
sosial. Unsur-unsur kebudayaan universal itu terungkap dari pengetahuan dan
pemahaman masyarakat Buton mengenai makna dan penafsiran merekat terhadap
tradisi kangkilo.
Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi kangkilo yang
ada dalam masyarakat Buton sebagaimana digambarkan pada subjudul di atas
merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan keselarasan dan
keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan kesucian
rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya dengan baik akan membentuk
karakter prilaku, tutur kata dan sikap positif masyarakat Buton sesuai dengan
nilai etika dan moral yang dianjurkan dalam tradisi itu. Hal ini terkait dengan
Dilthey dalam Rafiek (2010) mengatakan
bahwa eksepresi seseorang ditentukan atau dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pemahaman dia terhadap hidup dan atau aspek mental kejiwaannya. Edmund Husserl,
Martin Heidegger dan Merleau (dalam Bungin, 2010: 3) mengatakan bahwa setiap
fenomena berasal dari kesadaran manusia, dengan demikian setiap fenomena pasti
ada maknanya.
Dengan memahami filosofi kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak, masyarakat, khususnya masyarakat Buton akan takut
untuk melanggar perintah Tuhan karena mengetahui dan menyadari bahwa Tuhan
adalah satu-satunya penguasa atas hidup manusia, tempat memohon, mengabdi, maha
pemurah dan penyayang serta maha pengampun, satu-satunya tempat kembalinya
semua manusia. Pemahaman ini akan mendorong manusia untuk bergerak di atas petunjukNya.
Ibarat mesin, semua akan berjalan dalam sebuah sistem yang teratur. Tidak ada
yang jalan diluar sistem yang telah diatur itu. Begitu pula dalam interaksinya
dengan sesama manusia dan alam, masyarakat Buton yang mengetahui dan memahami
kangkilo dengan baik akan takut
menyinggung atau menyakiti perasaan orang atau makhluk lain karena disakiti
atau disinggung perasaannya oleh orang tidak enak dihati. Dengan konsep ponci-binciki kuli-nya serta beberapa terminologi
lain dari kesucian rasa dan akhlak akan membentuk karakter positif untuk
melihat orang lain seperti dirinya sendiri. Artinya, ia perlu mencintai,
menyayangi, menghargai dan menghormati orang lain sebagaimana ia mencintai,
menyayangi dan menghargai dirinya sendiri, begitu pula pada alam semesta karena
alam dan segala isinya terdapat zat dan hakikat Tuhan.
Upaya membentuk karakter positif dari kesucian
ritual dan kesucian rasa dan akhlak dapat dilakukan melalui pelatihan pembinaan
karakter dengan kurikulum dan materi yang sistematis. Pelatihan tersebut dapat
dilakukan oleh pihak kampus dan pemerintah daerah yang melibatkan kelembagaan
adat yang ada di daerah. Di samping melalui pelatihan formal tersebut,
pembentukan karakter tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode banch
marking. Metode ini dilakukan dengan cara melihat proses pewarisan atau
pengajaran kangkilo yang ada dalam masyarakat Buton, yang telah terbukti dapat
membentuk karakter positif anak-anaknya dengan nilai-nilai kesucian ritual dan
kesucian rasa dan akhlak yang ada pada kangkilo.
4.
Penutup
Tradisi kangkilo yang
meliputi istinja, wudhu, mandi junub dan syahadat menyimpan sejumlah kearifan
dan nilai dasar universal didalamnya perlu mendapat perhatian dari semua pihak,
khususnya pemerintah dan masyarakat Buton. Filosofi (1) pobinci-binciki kuli, (2) poangka-angkataka,
(3) pomaa-maasiaka, (4) popia-piara, dan (5) pomae-maeka sudah sangat kurang orang
yang memahaminya. Kelima filosofi itu hanya muncul dalm jargo-jargon politik
untuk menarik masa. Akan tetapi, komunikasi tersebut tetap memperlihatkan
kehampaan makna dalam realitas. Oleh karena itu, perlu penelitian untuk
mengungkap makna dari kode-kode budaya yang ada di dalamnya, termasuk
penelitian tentang bagaimana strategi yang tepat untuk membelajarkan kangkilo
pada masyarakat. Pentingnya penelitian itu berkaitan dengan adanya sejumlah kearifan
atau nilai luhur yang melekat didalam tradisi kangkilo dimana kearifan dan
nilai itu bersifat universal, dan dapat diterapkan untuk mewujudkan keselaran
dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Daftar
Pustaka
Albani,
Muhammad Nashirudin Al. 2005. Ringkasan
Shahih (buku 1): Kitab tentang Wudhu. Jakarta: Pustaka Azzam
Bungin,
Burhan. 2010. Penelitian
Kualitatif:Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta:
Prenada Media Group
Dalem,
A.A.G.R. 2007. “Implementasi Tri Hita Karana dalam Bidang Pariwisata Menuju
Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal
Lingkungan Hidup Bumi Lestari 7 (1): 78-84. Denpasar: PPLH-UNUD
Niampe,
La. 2007. Sarana Wolio : Unsur-Unsur Tasawuf Dalam Naskah Kitab Undang-Undang Buton
Serta Edisi Teks. Bandung:
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran
Parsons,
Talcott. 1985. Persepsi Manusia tentang
Kebudayaan, Alfian (ed). Jakarta: Gramedia
Pawluch,
Doronthy, William Shaffir, and Charlene Miall. 2005. Doing Ethonography: Studying Everyday Life. Toronto: Canadian
Scholars’ Press
Purwanto,
Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan
dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Putra,
MAIA Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan
Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah: Mengenal Keagungan
Buton dalam Aneka Budaya Peradaban Dunia. Makassar: Yayasan AUA Menyingsing
Pagi
Rafiek,
M., 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan
Praktik. Bandung: Refika Aditama
Rifa’i,
Moh. Risalah. 1976. Risalah Tuntunan
Shalat Lengkap. Semarang: Toha Putra
Salikin,
Titian. 2003. Rahasia-rahasia Thaharah. Jakarta:
for Artikel. Php?dbab-34
Sahidin, La Ode. 2006. Kitab Kangkilo Pataanguna:
suntingan Teks dan Kajian Isi. Bandung: Tesis Program
Pascasarjana Universitas Padjajar
Sumaryono,
E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Sztompka,
Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial.
Jakarta: Prenada
Tuloli,
Nani. 1990. Tanggamo: Salah Satu Ragam
Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Disertasi FIB Universitas Indonesia
Yunus,
Abdul Rahim. 1995. Posisi Tasawuf dalam
Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: INIS
Baca Juga:
Sastra Tradisi: Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan
Baca Juga:
Sastra Tradisi: Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan
Betena Tombula: Jejak Tionghoa dalam Tradisi Lisan Buton
Kangkilo Sebagai Modal Sosial Budaya
Kangkilo Sebagai Modal Sosial Budaya
[1]
Dipresentasikan pada International Conferrence on Indonesia Studies, Bali
[2]
Dosen Universitas Haluoleo, Kendari – Mahasiswa S3 Linguistik konsentrasi
Wacana Sastra Universitas Udayana
[3]
Urgensi thaharah, rahasia panas file.htm yang diakses pada tanggal 8 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar