Sabtu, 07 Mei 2016

TRADISI KANGKILO: SALAH SATU MODAL SOSIAL BUDAYA BAGI PEMBENTUKAN KARAKTER POSITIF MASYARAKAT BUTON[1]




 Oleh : Hamiruddin Udu
 Email: hamirudin78@gmail.com
1.         Pendahuluan
Tradisi sebagai salah satu bentuk kebudayaan mengandung sejumlah nilai yang berfungsi mengukuhkan pandangan masyarakat dan memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan oleh norma dalam masyarakat (bdk. Tuloli, 1990: 19). Sejalan dengan itu, Sztompka (2005: 74) mengatakan bahwa sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, tradisi merupakan mekanisme yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan itu, Parsons (1985) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sistem simbol yang menekankan pada tindakan manusia sebagai pelakunya, yang memiliki sistem budaya yang terdiri dari sistem kepercayaan (bagian dari religi), sistem pengetahuan, sistem nilai moral, dan sistem pengungkap perasaan atau ekspresi.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, tentu keragaman suku bangsa dengan kebudayaannya masing-masing memungkinkan bangsa Indonesia untuk menemukan sejumlah kearifan atau nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai modal sosial budaya yang dapat memperkokoh solidaritas dan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihatlah masyarakat Bali misalnya, dengan konsep Tri Hita Karananya, nilai dan sejumlah kearifan yang ada di dalamnya ternyata mampu membentuk watak manusia Bali yang mengedepankan keselaran dan keharmonisan dalam interaksinya dengan Tuhan, manusia dan alam (lihat Dalem, 2007). Tentu eksistensi manusia di setiap daerah di Indonesia dengan segala keterbatasannya, setiap komunitas itu memiliki konsep untuk menciptakan keselaran dan keharmonisan dalam kehidupannya. Artinya, di Indonesia dengan keragaman suku bangsa di dalamnya tentu akan terdapat sejumlah tri hita karana-tri hita karana dalam bentuk dan wujud yang berbeda di daerah lain. Hal tersebut disebabkah karena secara insting dan alami, setiap komunitas mempunyai keinginan dan kemauan untuk menyelaraskan dan mengharmoniskan kehidupannya dalam interaksinya dengan alam, hidup bermasyarakat dan pengabdiannya kepada Tuhan. Purwanto (2008: 62) mengatakan bahwa manusia dan lingkungan akan berinteraksi dengan saling mempengaruhi sehingga tercipta keseimbangan sistem.
Dalam masyarakat Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, salah satu konsep untuk mewujudkan keselaran dan keharmonisan hidup terlihat dalam konsep kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak yang terdapat dalam tradisi kangkilo. Kedua konsep itu membentuk karakter manusia Buton untuk menghindari berbagai hal yang dapat menodai kesucian dirinya. Dengan konsep kesucian itu, masyarakat Buton akan merasa takut untuk melakukan dan bahkan memikirkan sesuatu yang akan mengotori kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlaknya. Sebagai contoh, masyarakat Buton takut untuk berbuat atau bertutur kata yang dapat berakibat menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain, dengan acuan atau standar pada dirinya sendiri sebagai alat ukurnya. Misalnya, bila ia mencubit dirinya sendiri sakit maka mencubit orang lain pun pasti akan sakit. Dengan demikian, masyarakat Buton takut untuk melakukan tindakan mencubit orang lain. Pemahaman kesucian rasa dan akhlak seperti disebutkan di atas terbukti telah membentuk karakter positif masyarakat Buton, khususnya bagi mereka yang masih memahami tradisi kangkilo.
Untuk melihat bagaimana memaknai dan memahami tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton, pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam makalah ini adalah pendekatan etnografi. Pawluch, dkk. (2005: 1) mengatakan bahwa pendekatan etnografi adalah sebuah pendekatan yang melihat dimensi makro sebuah komunitas, yang dilakukan secara komprehensif dan relatif bersifat informal. Sedangkan metode yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan metode hermeneutik. Metode ini dimaksudkan untuk memberi penafsiran pada makna dan kode-kode budaya yang ada pada tradisi kangkilo (lihat Ricouer dalam Sumaryono, (1999: 105). Uraian secara detail tentang bagaimana konsep kesucian dalam tradisi kangkilo secara sistematis dapat digambarkan sebagai berikut.

2.       Tradisi Kangkilo dalam masyarakat Buton
Tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton meliputi: (1) istinja atau tata cara membuang hajat, mulai dari awal hingga akhir, (2) tata cara berwudhu serta segala hal yang dapat membatalkannya, (3) tata cara mandi junub, dan (4) syahadat. Melihat luasnya cakupan dari tradisi kangkilo, maka pada makalah ini hanya akan dibatasi pembahasannya pada aspek istinja atau tata cara orang Buton membuang hajatnya. Dan dengan pertimbangan untuk kedalaman analisis, penulis membatasi data yang dikaji hanya pada data tentang istinja yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan Muhammad Amin Idrus Akbar pada tahun 2000.
Selanjutnya, sebelum diuraikan tentang konsep kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak dalam tradisi kangkilo dari aspek istinja, terlebih dahulu diuraikan tentang masyarakat Buton yang dimaksud dalam tulisan ini. Masyarakat Buton dalam tulisan ini adalah masyarakat yang menempati daerah-daerah yang masuk dalam wilayah Kesultanan Buton masa lalu.
Masyarakat yang menempati bekas wilayah Kesultanan Buton saat ini meliputi masyarakat yang berada di wilayah Kabupaten Buton, Kota Bau-Bau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna, Kabupaten Bombana, dan Kabupaten Buton Utara. Untuk lebih jelasnya, wilayah bekas Kesultanan Buton dapat dilihat pada peta berikut.
Gambar 1. Peta Wilayah Daerah Kesultanan Buton dalam Peta Sulawesi Tenggara
Di masa Kesultanan Buton, sekitar abad ke-17 (Lihat Niampe, 2007; Yunus, 1995) daerah yang berada di dalam lingkaran garis merah pada peta di atas adalah daerah yang diduga sebagai tempat penyebaran pengajaran tradisi kangkilo.
Istinja atau tata cara membuang hajat sebagai salah satu aspek dari tradisi kangkilo yang ada dalam masyarakat Buton kesatuan yang mesti dilaksanakan dengan tertib. Artinya, tata cara atau prosedur pelaksanaan kangkilo harus mengikuti tahapan-tahapan yang telah ditentukan. Kesalahan prosedur menjadikan kangkilo yang dilakukan tidak sah. Untuk lebih jelasnya, urutan atau tahapan serta lafaz niat yang diucapkan dalam tradisi kangkilo diuraikan sebagai berikut.
Tata cara beristinja dimulai ketika masuk WC hingga keluar dari WC. Tata cara itu mulai dengan: (1) meniatkan air yang hendak dipakai beristinja: kuala uwe makilo, uwe modadi, uwe cahea yinuncana surugaana allaahu ta’ala to kupekangkiloaka karoku yinunca te karoku yisambali”. (saya mengambil air yang suci, air yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala untuk membersihkan diriku di luar dan di dalam). Setelah itu ditetapkan keyakinan: allahu ta’ala manga pekangkilona, yi pekangkilo mohammadi”(Allah Taala yang menyucikan diriku, yang menyucikan Muhammad). Urutan pelaksanaan istinja yang dipahami adalah sebagai berikut:
Yang pertama diistinja ialah bagian pusat dengan ibu jari kiri dengan niat: bismillaahir  rahmaanir rahiimi. Kupaila zatuna te sifatuna hawa nafusuu te ibilisi saetani laknatullah modangiana yi kalibi te momaina yi kalibi, modangiana i karona te memaina yi karon a la…/wa…syi ambu (alingka)-mo yi sambalina dunia te akherati (asfala safiliyn). (kusucikan zat dan sifatnya hawa nafsu dan iblis setan laknatullah yang ada di hati dan yang datang dari hati, yang ada di badan dan yang datang dari badan la … /wa….. untuk pergi keluar dari alam dunia dan akhirat (asfala safilin).
Kemudian mencuci pangkal paha kanan dengan jari telunjuk kiri dan pangkal paha kiri dengan jari kelingking kiri. niatnya: ”kupaila zatuna te sifatuna yiapaika bisa, panyaki, te yiapaiaka karombu modaangiana te momaina yi karona la…/wa…siy, kupalingkaia yi sambalina dunia te akherati”. (kubersihkan zat dan sifatnya asal usul bisa, penyakit dan asal usul adanya kotoran yang datang dari badan la…/wa…., saya simpan di luar alam dunia dan akhirat).
Setalah itu, orang yang melakukan kangkilo mencuci jalanya air kecil dengan jari tengah kiri dan mencuci jalanya air besar oleh jari manis kiri. Lalu mencuci bakong (pinggul) dengan tapak tangan kiri dengan niat: apekangkilomea te aparadikamea allaahu ta’ala  la…/ wa…siy,  simbau apekangkilo te aparadika mohammadi rasulullah s.a.w. (saya menyucikan hati yang disimpan Allah Taala pada La…/Wa…., seperti menyucikan hatinya Nabi Muhammad Rasulullah Saw). Kemudian kembali mencuci jalanya air kecil, jangan sampai ada tetesan akhir, atau memang demikianlah adanya bagi kesempurnaan istinja. Kemudian kita mencuci tangan, muka dan kaki kanan dan kiri. tetapi sedapat-dapatnya ber-wudhu sebagaimana yang dikerjakan Rasullullah S.A.W.
Adapun doa sesudah beristinja bagi umumnya orang ramai ialah: allahumma thahhir qalbi minannifaaqi wahasinu farjii minal fawaahisi (ya Allah, ya tuhan-ku! sucikanlah hatiku daripada nifak dan peliharakanlah kemaluanku dari kekejian). Yang demikian itu adalah doa semenjak anak-anak kecil. Sedangkan bagi dewasa utamanya bagi mereka yang telah berkeluarga, maka haruslah disempurnakan sebagai ibadat baginya, yang dilakukan dengan penuh kekhusyuan yaitu bagi mereka yang mau menyempurnakan doa dan niatnya, maka mereka harus berwudhu. Kemudian membaca:
”astaghfirullaahul ‘adhim, sebanyak 3 kali. alladzi laa ilaaha illa huwal hayyul kayyumu waatubu ilaihi”. asyhadu an laa ilaaha ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu (niat) rohi-ku rohullah. wa asyhaduu anna muhammadan abduhu wa rasuuluhu (niat) kasara-ku mohammadi, subhaanakallaahumma wabikahamdika laa ilaaha anta  ‘amiltu suu-an wa dhalamtu nasfii astahfirukallaa-humma wa atuubu ilaika, faghfirlii watub alayya innaka anta tawwaabur rahiim. allaahummaj alni min’ ibadikash ahaalihiina waj-‘alni abdan ahabuaran ayakuuran, waj-alinii adzkuru katsiiran wa usabbihuka bukratan wa ashiilaa.”

Kemudian mengambil kekhusyuan (khusyu) dan memanjatkan keyakinan:
”kupambulimea kangkilona karoku siy yinuncana kalibina mia cahea yi alamu aruwaha siate. kangkiloku kangkilona allaahu ta’ala opuna bari-baria rahamati ni’imati, opuna bari-baria kangkilo, opuna bari-baria alamu. tepeneakamo te kalimatullah : “ laa ilaaha illallahu hakiimu kariimu wa subhannallahu rabbull arsy adhiim wal hamdulillaahir rabbil alamin ” kun faya kun”(saya kembalikan kesucian diriku seperti di dalam kalbi yang berasal dari cahaya alam arwa. Menyucikan diriku menyucikan Allah Taala, Tuhan yang memberikan rahmat, nikmat, tuhan yang maha suci, tuhan segala alam). Setelah membaca doa itu maka selesailah tentang istinja.

Berdasarkan teks niat dari istinja sebagaimana disebutkan di atas, diketahui bahwa tradisi kangkilo (istinja) berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak. Uraian secara rinci mengenai bagaimana kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak sebagai nilai dasar pembentukan karakter positif masyarakat Buton adalah sebagai berikut.

a.        Kesucian Ritual
Secara etimologi kesucian dalam paper ini bersepadan dengan istilah thaharah. Thaharah dalam bahasa Arab bermakna An-Nadhzafah, yaitu kebersihan. Namun yang dimaksud disini tentu bukan semata kebersihan. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah: (1) mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu, dan (2) mengangkat hadats dan menghilangkan najis. Hal ini hampir sama dengan apa yang dikatakan Rifa’i (1976: 13) bahwa thaharah menurut syarah adalah suci dari hadas dan najis. Sedangkan dalam Rama (blogger tentang urgensi thaharah) dikatakan bahwa, thaharah tidak selalu identik dengan kebersihan, meski pun tetap punya hubungan yang kuat dan seringkali tidak terpisahkan. Thaharah lebih tepat diterjemahkan menjadi kesucian secara ritual di sisi Allah SWT.
            Dalam penjelasannya dikatakan (Blog Rama)[3] bahwa thaharah disebut kesucian ritual karena beberapa alasan, yakni pertama, bersih itu lawan dari tidak kotor, tidak berdebu, tidak belepotan lumpur, tidak tercampur keringat, tidak dekil atau tidak lusuh. Sementara suci bukan kebalikan dari bersih. Suci itu kebalikan dari najis. Segala yang bukan najis atau yang tidak terkena najis adalah suci. Debu, tanah, lumpur, keringat dan sejenisnya dalam rumus kesucian fiqih Islam bukan najis atau benda yang terkena najis. Artinya, meski tubuh dan pakaian seseorang kotor, berdebu, terkena lumpur atau tanah becek, belum tentu berarti tidak suci. Buktinya, justru kita bertayammum dengan menggunakan tanah atau debu. Kalau debu dikatakan najis, maka seharusnya hal itu bertentangan. Tanah dalam pandangan fiqih adalah benda suci, boleh digunakan untuk bersuci.
Kedua, thaharah adalah bentuk ritual, karena untuk menetapkan sesuatu itu suci atau tidak, justru tidak ada alasan logis yang masuk akal. Kesucian atau kenajisan itu semata-mata ajaran, ritus, ritual dan kepercayaan. Terkait dengan itu, Salikin dalam Sahidin (2006: 20-21) mengatakan bahwa thaharah terdiri atas empat tingkatan, yaitu: Pertama, membersihkan anggota yang lahir dari segala hadas dan najis untuk mencapai kesempurnaan ibadah yang lahir dengan ketentuan “sah ibadahnya”. Kedua membersihkan tujuh anggota badan seperti mata, telinga, lidah, perut, farji (kelamin), tangan dan kaki dari segala maksiat yang lahiriah dan berbagai corak dosa dan kesalahan yang akan memproduksi sifat-sifat kefasikan serta kemunafikan. Keistimewaan pembersihan pada tingkat ini adalah membentuk sikap kepribadian yang adil. Ketiga, mensucikan hati dari perangai tercela seperti sifat ujub, riya, hasud ghadhab, takabur, khianat dan hal-hal lain yang disebut sebagai penyakit hati. Keistimewaan pembersihan pada tingkat ini adalah menumbuhkan perangai dengan segala sifat yang terpuji seperti ikhlas, zuhud, wara’, tawadhu, hingga berbusana takwa dan bermahkota saleh. Keempat, mensucikan rahasia batiniah seperti mensucikan ruh, yaitu rahasia yang ada di dalam hati semacam lintasan dan angan-angan yang menimbulkan kegundah-gulanaan, karena yang demikian itu membawa bimbang kepada sesuatu selain dari Allah atau masygul dengan selain Allah Swt.
Konsep pemahaman tentang kesucian ritual yang dijelaskan di atas juga terlihat pada konsepsi kesucian ritual yang dalam tradisi kangkilo. Misalnya, pada saat meniatkan air yang hendak dipakai beristinja: kuala uwe makilo, uwe modadi, uwe cahea yinuncana surugaana allaahu ta’ala to kupekangkiloaka karoku yinunca te karoku yisambali”. (saya mengambil air yang suci, air yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala untuk membersihkan diriku di luar dan di dalam), yang dilanjutkan dengan keyakinan: allahu ta’ala manga pekangkilona, yi pekangkilo mohammadi”(Allah Taala yang menyucikan diriku, yang menyucikan Muhammad). Kedua niat atau keyakinan itu maknai oleh masyarakat sebagai prasyarat untuk berterimahnya ibadah/ritual seseorang. Kalimat “Allah Taala yang menyucikan diriku” dan “saya mengambil air yang suci, air yang baik, air cahaya yang berasal dari surganya Allah Taala” menunjukkan bahwa masyarakat Buton dengan tradisi kangkilonya hanya menjadikan Allah Taala sebagai satu-satunya tempat untuk memohon dan menyembah. Dalam bahasa lain, masyarakat Buton menyucikan (tidak menduakan) Allah sebagai Tuhan dalam segala aspek dari kehidupannya. Hal yang sama dipertegas sebagaimana terlihat pada prosedur terakhir dari tata cara beristinja, yakni pelaksanaan wudhu.
Menurut pemahaman masyarakat Buton sebagaimana mungkin masyarakat muslim lainnya, wudhu mempunyai makna penting dalam upaya mewujudkan kesucian ritual. Pertama, wudhu merupakan bagian dari ritual bagi umat Islam sebelum melakukan ibadah. Quran surat Al-Maidah ayat 6, Allah Swt berfirman “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kamu sampai siku. Dan sapulah kepala kamu serta basuh kedua kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki”. Terkait dengan itu, Rasulullah Saw pernah bersabda “Allah tidak menerima doa tanpa bersuci (wudhu) dan Allah tidak menerima sedekah dari hasil penipuan”, (H.R. Muslim dalam Albani, 2005: 107). Kedua, wudhu merupakan salah satu media bagi umat Islam untuk menyucikan dirinya. Ketiga, para ahli fiqih menyakini bahwa wudhu dapat membentuk pribadi atau karakter manusia muslim untuk selalu menyucikan dirinya. Keempat, wudhu diyakini oleh para ahli fiqih dapat membersihkan dosa-doa. Hal ini sejalan dengan sunnah rasul berikut.
“Dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda, “apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu lalu membasuh wajahnya, maka keluarlah dari wajahnya dosa-dosa akibat dari pandangan matanya bersama dengan air wudhu atau bersama dengan tetesan air yang terakhir. Apabila dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah dosa-dosa yang pernah diperbuat oleh kedua tangannya bersama dengan air atau bersama dengan tetesan air wudhu yang terakhir. Apabila dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah dosa-dosa yang telah dia perbuat dari kedua kakinya bersama dengan air atau bersama dengan tetesan air terakhir sehingga ia terhapus dosa-dosanya semua (H.R Muslim).

 Mengacu pada beberapa uraian di atas tentang pengetahuan dan pemahaman orang Buton tentang istinja maka dapat dikatakan bahwa istinja sebagai salah satu aspek dari tradisi kangkilo selalu mendorong penggunanya untuk mewujudkan kesucian ritual. Artinya, istinja sebagai bagian dari tradisi kangkilo dalam masyarakat Buton mendasarkan ajarannya pada kesucian ritual. Ritual-ritual (ibadah) yang tidak didasarkan kepada nilai-nilai kesucian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan berterima di sisi Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

b.        Kesucian Rasa dan Akhlak
Secara umum, berdasarkan data hasil wawancara Muhammad Amin Idrus Akbar terlihat bahwa kesucian bagi masyarakat Buton menempati posisi penting untuk menjaga stabilitas dan persatuan dan kesatuan bangsa serta pelestarian lingkungan hidup. Keberadaan manusia di muka bumi semestinya tidak membuat kerusakan, mengganggu, atau mengotori alam beserta seluruh ekosistem yang ada di dalamnya. Di samping itu, manusia juga harus menjaga kesucian dirinya sendiri dari berbagai godaan iblis setan laknatullah, hawa nafsu yang tidak baik serta penyakit. Hal ini dapat dilihat pada kutipan doa istinja berikut:
yapaiaka giuna ibilisi saetani laknatullah, hawa nawusuu momadaki, obisa, opanyaki medaangiana yi karona te momaina yi karona la…./wa….siy aosemo najisi te narakaa molimba siro, boli atumpu yi tana, boli atumpu yi waa. boli atumpu yi uwe, boli atumpu yi ngalu, boli atumpu yi kau, boli atumpu yiapai-yiapaipo, atumpu yisambalina dunia te akherayi (asfala safiliyn).” (segala bentuk iblis setan laknatullah, hawa nafsu yang merusak, bisa, penyakit yang ada dalam diri la …/wa….. keluar mengikuti najis yang keluar, jangan mengotori tanah, jangan mengotori api, jangan mengotori air, jangan mengotori udara, jangan kena kayu atau pohon, jangan mengotori apa-apa di alam, tapi ia pergi keluar alam dunia dan akhirat, yakni asfala safilin.

Dari segi kandungan isi, makna kutipan di atas terbagi atas dua kategori, yaitu (1) bermakna penyucian lahir seperti pada kata “alam dunia”, dan (2) bermakna penyucian batin seperti terlihat pada kalimat “hawa nafsu yang merusak”, dan lain sebagainya. Penyucian lahir meliputi perintah untuk tidak mengotori tanah, tidak mengotori api, tidak mengotori air, tidak mengotor udara, tidak melengketkannya pada kayu atau pohon, serta tidak mengotori apa-apa yang ada di alam mempunyai makna yang mendalam. Menurut orang Buton, empat unsur tanah, api, air, dan udara sebagaimana juga disebutkan dalam mantra atau niat penyucian diri di atas merupakan unsur-unsur yang membentuk diri manusia. Hal sebagaimana Niampe, (2007) mengatakan bahwa dalam paham sufisme Buton, terdapat kepercayaan bahwa manusia terdiri dari empat anasir, yaitu anasir tanah, api, air, dan angin.
Artinya, bila larangan untuk merusak atau mengotori tanah, air, api dan angin yang disebutkan dalam teks istinja atau teks kangkilo itu juga ditujukan untuk tidak mengotori atau melukai perasaan atau hati manusia yang lainnya, yang unsur-unsurnya terdiri dari tanah, api, angin dan air. Manusia Buton harus menjaga kesuciannya dalam interaksinya sebagai individu dalam suatu komunitas atau kehidupan berbangsa. Kesucian dalam konteks ini berkaitan dengan lima filosofi kesucian rasa dan akhlak yang dalam prakteknya dikenal dengan istilah: (1) pobinci-binciki kuli (saling cubit-mencubit kulit), (2) poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan), (3) pomaa-maasiaka (saling cinta-mencintai), (4) popia-piara (saling abdi-mengabdi), dan (5) pomae-maeka (saling takut-menakuti) (Putra, 2000: 117).
Kesucian rasa dan akhlak pada ungkapan kearifan pobinci-binciki kuli (saling cubit-mencubit kulit) adalah kesucian yang didasarkan pada hukum rasa. Menurut hukum ini, semua makhluk bernyawa, utamanya manusia melihat bahwa pada bentangan hukum rasa itulah manusia membaca nilai kebenaran dan keadilan sejati. Tidak ada satu makhluk bernyawa pun yang dapat mendustakan wajah dan bahasa rasa diri mereka sendiri. Pada wajah dan tubuh rasa itulah terbacanya undang-undang hukum yang bersifat benar, mutlak, absolut, abadi, dan bersifat universal.
Kesucian rasa dan akhlak pada falsafah poangka-angkataka (saling utama-mengutamakan) adalah hukum kesucian rasa dan akhlak yang didasarkan pada sebuah keyakinan untuk mengutamakan kepentingan orang banyak yang benar hukum-hukumnya sesuai hukum kemanusiaan di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kesucian ini kemudian membentuk sifat pemurah, pemaaf, penyanyang, pengabdian dan pengorbanan suci.
Kesucian rasa dan akhlak pada falsafah pomaa-maasiaka (saling cinta-mencintai) adalah kesucian yang didasarkan pada hukum kesucian cinta kasih. Bentuk hukum ini akan terlihat misalnya, jika seseorang mencintai mobilnya yang baru, kalau catnya yang mengkilat itu digores orang, maka tergores pulalah wajah dan tubuh rasa hatinya yang ada dalam dadanya. Konsepsi ini dalam dunia Islam dikenal dengan istilah “tidak beriman seseorang diantara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Kesucian rasa dan akhlak yang didasarkan pada falsafah pomaa-maasiaka akan membentuk pribadi-pribadi yang berkeinginan kuat untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan.
Kesucian rasa dan akhlak pada falsafah popia-piara (saling abdi-mengabdi) adalah kesucian yang didasarkan pada upaya untuk mewujukan kesucian rasa dan akhlak. Dalam konteks ini, popia-piara diarahkan memunculkan semangat pengorbanan, baik pada kepentingan duniawi maupun pada kepentingan ukhrawi. Di dunia, konsepsi ini digunakan untuk mewujudkan keadilan, cinta (persatuan dan kesatuan), kebaikan, dan kebenaran dengan memerangi syirik, kesombongan, kedengkian, kemunafikan dan kekikiran, riya, keji, kemungkaran dan kedzaliman.
Kesucian rasa dan akhlak pada falsafah pomae-maeka (saling takut-menakuti) adalah kesucian yang didasarkan pada sebuah keyakinan untuk takut mengerjakan pelanggaran dan semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, termasuk manusia Buton takut berbuat syirik, melakukan kesombongan, kedengkian, takabur, ujub, riya, keji dan mungkar, kekikiran, kemunafikan, dan kedzaliman (Bdk. Putra, 2000: 116).
Lima falsafah dasar kesucian humanis, sebagaimana disebutkan di atas tidak hanya diarahkan untuk manusia, akan tetapi diarahkan pula kepada seluruh makhluk Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk Tuhan yang dimaksud meliputi seluruh bangsa tumbuh-tumbuhan dan binatang atau hewan, maupun kepada bangsa Jin atau makhluk gaib. Dalam paham ini diyakini bahwa semua makhluk bernyawa itu (tumbuhan, hewan, dan bangsa Jin) memiliki hukum rasa. Semua yang memiliki rasa bila ada perlakukan yang tidak sesuai dengan hukum-hukum rasa maka rasa pada makhluk apapun juga akan merasakannya sesuai dengan perlakuan atau tindakan yang mengenainya.
Di samping itu, kesucian dalam lima falsafah masyarakat Buton itu bermakna bahwa tinja manusia tidak boleh dibuang sembarang tempat karena nantinya akan mengganggu makhluk Tuhan lainnya. Misalnya, baunya akan mengganggu penciuman manusia, mengotori lingkungan, dan lain sebagainya. Tinja tersebut bisa saja mengenai semut yang ada di tanah atau tanaman kecil/rumput yang dikenainya sehingga akan mengganggu dan bahkan membunuhnya, atau bisa saja nanti tinja itu akan terbawa air hujan sehingga mengotori air yang masih bisa dipakai manusia sehingga menimbulkan penyakit. Oleh karena itu, menurut pemahaman ini, kesucian rasa dan akhlak manusia juga harus mampu menciptakan keharmonisan antara manusia, alam, dan berbagai makhluk hidup yang ada di atasnya.
3.        Tradisi Kangkilo sebagai Modal Sosial Budaya Bagi Pembentukan Karakter Positif Masyaraat Buton
Burt (1992) mendefinsikan modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sedangkan (Anonim, 2009) modal budaya adalah keseluruhan yang kompleks yang terdapat di dalam unsur-unsur kebudayaan universal yaitu: sistem pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial dan sistem kekerabatan, religi, bahasa, dan kesenian, yang diwujudkan dalam perilaku. Sesungguhnya apa yang dimaksud dari serangkaian istilah tersebut adalah bentuk-bentuk modal budaya yang tumbuh dan berkembang secara alami sepanjang sejarah berdasarkan hasil ramuan interaksi antara manusia dengan lingkungannya.  
Merujuk pada konsep di atas, maka modal sosial budaya dalam makalah ini diartikan sebagai keseluruhan yang kompleks yang terdapat dalam unsur-unsur kebudayaan universal yang terdapat dalam tradisi kangkilo, yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan kebaikan atau keuntungan sosial. Unsur-unsur kebudayaan universal itu terungkap dari pengetahuan dan pemahaman masyarakat Buton mengenai makna dan penafsiran merekat terhadap tradisi kangkilo.
Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi kangkilo yang ada dalam masyarakat Buton sebagaimana digambarkan pada subjudul di atas merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya dengan baik akan membentuk karakter prilaku, tutur kata dan sikap positif masyarakat Buton sesuai dengan nilai etika dan moral yang dianjurkan dalam tradisi itu. Hal ini terkait dengan Dilthey dalam Rafiek  (2010) mengatakan bahwa eksepresi seseorang ditentukan atau dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman dia terhadap hidup dan atau aspek mental kejiwaannya. Edmund Husserl, Martin Heidegger dan Merleau (dalam Bungin, 2010: 3) mengatakan bahwa setiap fenomena berasal dari kesadaran manusia, dengan demikian setiap fenomena pasti ada maknanya.
Dengan memahami filosofi kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak, masyarakat, khususnya masyarakat Buton akan takut untuk melanggar perintah Tuhan karena mengetahui dan menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya penguasa atas hidup manusia, tempat memohon, mengabdi, maha pemurah dan penyayang serta maha pengampun, satu-satunya tempat kembalinya semua manusia. Pemahaman ini akan mendorong manusia untuk bergerak di atas petunjukNya. Ibarat mesin, semua akan berjalan dalam sebuah sistem yang teratur. Tidak ada yang jalan diluar sistem yang telah diatur itu. Begitu pula dalam interaksinya dengan sesama manusia dan alam, masyarakat Buton yang mengetahui dan memahami kangkilo  dengan baik akan takut menyinggung atau menyakiti perasaan orang atau makhluk lain karena disakiti atau disinggung perasaannya oleh orang tidak enak dihati. Dengan konsep ponci-binciki kuli-nya serta beberapa terminologi lain dari kesucian rasa dan akhlak akan membentuk karakter positif untuk melihat orang lain seperti dirinya sendiri. Artinya, ia perlu mencintai, menyayangi, menghargai dan menghormati orang lain sebagaimana ia mencintai, menyayangi dan menghargai dirinya sendiri, begitu pula pada alam semesta karena alam dan segala isinya terdapat zat dan hakikat Tuhan.  
Upaya membentuk karakter positif dari kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak dapat dilakukan melalui pelatihan pembinaan karakter dengan kurikulum dan materi yang sistematis. Pelatihan tersebut dapat dilakukan oleh pihak kampus dan pemerintah daerah yang melibatkan kelembagaan adat yang ada di daerah. Di samping melalui pelatihan formal tersebut, pembentukan karakter tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode banch marking. Metode ini dilakukan dengan cara melihat proses pewarisan atau pengajaran kangkilo yang ada dalam masyarakat Buton, yang telah terbukti dapat membentuk karakter positif anak-anaknya dengan nilai-nilai kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak yang ada pada kangkilo.

4.        Penutup
Tradisi kangkilo yang meliputi istinja, wudhu, mandi junub dan syahadat menyimpan sejumlah kearifan dan nilai dasar universal didalamnya perlu mendapat perhatian dari semua pihak, khususnya pemerintah dan masyarakat Buton. Filosofi (1) pobinci-binciki kuli, (2) poangka-angkataka, (3) pomaa-maasiaka, (4) popia-piara, dan (5) pomae-maeka sudah sangat kurang orang yang memahaminya. Kelima filosofi itu hanya muncul dalm jargo-jargon politik untuk menarik masa. Akan tetapi, komunikasi tersebut tetap memperlihatkan kehampaan makna dalam realitas. Oleh karena itu, perlu penelitian untuk mengungkap makna dari kode-kode budaya yang ada di dalamnya, termasuk penelitian tentang bagaimana strategi yang tepat untuk membelajarkan kangkilo pada masyarakat. Pentingnya penelitian itu berkaitan dengan adanya sejumlah kearifan atau nilai luhur yang melekat didalam tradisi kangkilo dimana kearifan dan nilai itu bersifat universal, dan dapat diterapkan untuk mewujudkan keselaran dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Daftar Pustaka
Albani, Muhammad Nashirudin Al. 2005. Ringkasan Shahih (buku 1): Kitab tentang Wudhu. Jakarta: Pustaka Azzam
Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif:Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group
Dalem, A.A.G.R. 2007. “Implementasi Tri Hita Karana dalam Bidang Pariwisata Menuju Pembangunan Berkelanjutan”, Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 7 (1): 78-84. Denpasar: PPLH-UNUD
Niampe, La. 2007. Sarana Wolio : Unsur-Unsur Tasawuf Dalam Naskah Kitab Undang-Undang Buton Serta Edisi Teks. Bandung: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran  
Parsons, Talcott. 1985. Persepsi Manusia tentang Kebudayaan, Alfian (ed). Jakarta: Gramedia
Pawluch, Doronthy, William Shaffir, and Charlene Miall. 2005. Doing Ethonography: Studying Everyday Life. Toronto: Canadian Scholars’ Press
Purwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Putra, MAIA Papara. 2000. Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki dalam Lembaga Kitabullah: Mengenal Keagungan Buton dalam Aneka Budaya Peradaban Dunia. Makassar: Yayasan AUA Menyingsing Pagi
Rafiek, M., 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama
Rifa’i, Moh. Risalah. 1976. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: Toha Putra
Salikin, Titian. 2003. Rahasia-rahasia Thaharah. Jakarta: for Artikel. Php?dbab-34
Sahidin, La Ode. 2006. Kitab Kangkilo Pataanguna: suntingan Teks dan Kajian Isi. Bandung: Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjajar
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Tuloli, Nani. 1990. Tanggamo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Disertasi FIB Universitas Indonesia
Yunus, Abdul Rahim. 1995. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: INIS

Baca Juga:  
Sastra Tradisi: Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan
Betena Tombula: Jejak Tionghoa dalam Tradisi Lisan Buton

Kangkilo Sebagai Modal Sosial Budaya

[1] Dipresentasikan pada International Conferrence on Indonesia Studies, Bali
[2] Dosen Universitas Haluoleo, Kendari – Mahasiswa S3 Linguistik konsentrasi Wacana Sastra Universitas Udayana
[3] Urgensi thaharah, rahasia panas file.htm yang diakses pada tanggal 8 Maret 2011

Tidak ada komentar: