Oleh: Sumiman Udu
Timbangi la bhonto timbangi
Te togo nolingka-lingkamo
|
Renungkanlah la bhonto
renungkanlah
Kampung ini sudah mulai miring
|
Demokrasi merupakan sistem baru yang
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya. Konsep ini telah
melahirkan suatu pemahaman bahwa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
ini, walaupun tindak menggunakan istilah yang sama dengan model pengangkatan
pemimpin di dalam kebudayaan Wakatobi – Buton secara kultural, tetapi sistem
ini telah tumbuh jauh sebelum demokrasi berkembang di Eropa dan Amerika. Secara
kultural, masyarakat Wakatobi telah mengenal pemilihan yang berlandaskan
nilai-nilai budaya yang telah diturunkan turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya, dimana seorang pemimpin harus mampu memimpin dengan
hatinya, jiwanya yang suci dan jujur. Bahkan leluhur kita mengatakan bahwa seorang
pemimpin harus memimpin dengan jujur, cerdas, bijaksana dan adil. Oleh karena
itu, secara kultural pemimpin di dalam masyarakat Wakatobi dipilih dengan
melihat rekam jejak mereka di masyarakat, tanpa ada kampanye, tetapi perjalanan
hidup seseorang menjadi catatan masyarakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemimpin.
Tentunya yang terpenting adalah bahwa
seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi pembangunan jangka panjang, menengah
dan jangka pendek. Di samping itu, mereka juga harus tetap memperhatikan
keselamatan kampung, mulai dari penyakit, kesejahteraan, hingga bagaimana
ketenangan dan kedamaian di dalam hidup bermasyarakat. Karena ukuran kinerja
pemerintah diukur seberapa besar nilai manfaat yang di dapatkan oleh masyarakat.
Seseorang akan diangkat
berdasarkan pilihan masyarakat yang tentunya, bukan karena adanya iming-iming
uang, atau janji jabatan, tetapi karena dilihat dari bagaimana kinerjanya,
sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Tradisi welia yang ada di dalam masyarakat Wakatobi khususnya di wilayah kadhia Liya misalnya, merupakan sistem
kultural untuk menilai layak atau tidaknya seseorang melanjutkan lemba atau jabatan yang diembannya. Proses
evaluasi dilakukan oleh masyarakat dengan menyimpan seluruh kulit jagung,
kacang dan hasil kebun lainnya di jalan untuk memberitahukan kepada pejabat
tertentu bahwa rezeki yang dihasilkan masyarakat di saat kepemimpinanya seperti
yang ada di jalanan. Masyarakat begitu santun memberikan evaluasi kepada
pemimpinnya, dan jika hasil tersebut tidak layak, atau dianggap gagal, maka
seorang pemimpin langsung mengundurkan diri, karena hati nuraninya atau faham
kebutonan yang tumbuh dan dalam dirinya memerintahkan dia untuk mundur.
Selanjutnya, jika pengangkatan
seorang pemimpin tidak sesuai dengan kehendak masyarakat, atau dengan kata
lain, sara melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai kultural yang ada
di dalam masyarakat, maka masyarakat juga akan memprotes dengan cara keliling
kampung memukul kentongan dan menyanyikan teks
bhanti-bhanti di atas /la bhonto
timbangi la bhonto/ “La bhonto renungkanlah la bhonto”, /te togo nolingka-lingkamo/ kampung ini
sudah mulai miring”. Melalui teks bhanti-bhanti
tersebut mengingatkan pemimpin untuk melakukan langkah-langkah perbaikan
atas kesalahan yang telah terjadi. Konsep kepemimpinan kultural Ini hanyalah
sebuah refleksi kultural kita, namun, sistem demokrasi itu tentunya bisa
berjalan kalau sama-sama lahir dari hati nurani yang suci, dan selalu
memikirkan kepentingan masyarakat umum, bukan di dasarkan pada kepentingan
pribadi atau golongan. Terkebih di dasarkan atas kepentingan kapitalis yang
dengan sengaja menghancurkan tata nilai di dalam masyarakat, khususnya tata
nilai kultural yang selama ini telah terbangun di dalam masyarakat Wakatobi.
Mungkin, demokrasi kultural kita
tinggal sebuah cerita, atau bahkan itu semua masa lalu Wakatobi, dan untuk maju
dalam pilkada Wakatobi dewasa ini, tanpa uang, maka semuanya tidak mungkin.
Kini saatnya Wakatobi sudah berada pada sistem demokrasi kapitalis, dimana uang
sudah menjadi ukuran yang dijadikan sebagai indikator untuk dapat memimpin di
kabupaten Wakatobi. Orang Wakatobi akan membangun asumsi, bahwa ada uang, ada
suara, dan kondisi itulah yang dapat menjadi pemimpin Wakatobi ke depan.
Masyarakat dihipnotis dengan saweran yang luar biasa besarnya pada hal sareran
uang ini sangat berbahaya, karena akan memiliki tiga dampak besar yaitu (1) berbahaya
bagi masyarakat, (2) berbahaya bagi para calon dan keluarganya, dan (3) berbahaya
bagi pembangunan Wakatobi untuk lima tahun ke depan. Karena semua ini akan
dicatat dalam sejarah, bahwa kehancuran Wakatobi berada di tangan pemimpin yang
lahir dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai kultural kita.
Bahaya demokrasi kapitalis
kepada masyarakat karena demokrasi kapitalis telah menanamkan nilai-nilai baru
kepada masyarakat Wakatobi bahwa untuk menjadi pemimpin di Wakatobi, cukup
punya uang dan selesai. Saat ini demokrasi kapitalis telah tertanam di dalam
benak generasi Wakatobi dan telah menutup tata nilai kultural, dimana nilai
hanya ditentukan oleh semata-mata uang, dan uang. Masyarakat hanya melihat uang
dan uang dalam memilih pemimpinnya. Nilai ini sekaligus menumpulkan daya nalar
dan juang masyarakat untuk bersaing secara konsep tual dalam pembangunan
Wakatobi dalam lima tahun ke depan. Pada hal, Wakatobi merupakan daerah yang
tidak memiliki Sumber Daya Alam, sehingga untuk membangun kabupaten Wakatobi,
memerlukan pemikiran yang kuat dan sistematis, namun kondisi ini dapat saja
membuat masyarakat Wakatobi akan pesimis dengan pembangunan bangsanya, dan sangat
berbahaya. Karena jika masyarakat pesimis pada pemimpinnya, dan melakukan
pembangkangan dan tidak membayar pajak, maka pembangunan Wakatobi akan berada
pada ranah yang tidak jelas. Di sisi yang lain, generasi muda Wakatobi tidak
akan punya semangat lagi untuk menuntut ilmu pengetahuan, karena ukuran manusia
di Wakatobi, bukan lagi mementingkan kualitas, tetapi semuanya diukur dengan
uang.
Sedangkan bahaya demokrasi bagi para calon bupati yaitu demokrasi
kapitalis yang sedang berlangsung di Wakatobi saat ini sesungguhnya adalah
langkah bunuh diri, karena secara logis dengan menggunakan pendekatan apapun,
tidak mungkin dapat mengembalikan modal politik yang begitu besar hanya dalam
lima tahun kepemimpinannya, jika itu dilakukan dengan langkah-langkah formal. Apalagi
di masa yang akan datang, rancangan penggunaan keuangan negara berbasis
perencaraan secara online, pelaporan secara online dan evaluasi yang juga
dilakukan secara online, yang tentunya penggunaan APBD dikawal oleh masyarakat,
mahasiswa, LSM dan lembaga penegak hukum. Jika ini terjadi, maka kos politik
yang sangat besar itu, tidak mungkin kembali, karena melakukan kecurangan akan
berakhir di penjara. Ini tentunya harus direnungkan karena ini sangat berbahaya
bagi calon dan keluarganya. Bisa jadi ke
depan, akan terjadi fenomena korupsi berjamaah, baik dalam konteks partai
maupun dalam konsep keluarga dekat.
sementara di sisi yang lain, perkembangan informasi, serta
semakin dewasanya lembaga-lembaga sosial, (lembaga sara se Wakatobi) mahasiswa, dan LSM, serta semakin membaiknya
kinerja kepolisian, kejaksaan dan KPK, maka kontrol masyarakat dalam
pengelolaan anggaran di Wakatobi pun akan semakin tinggi, sehingga sedikit saja
penyalahgunaan anggaran dapat langsung diprotes oleh masyarakat, dan ditindak
tegas oleh penegak hukum. Saya pikir, pemimpin ke depan jangan berakhir di
dalam kamar tiga kali empat. Walaupun, kamar tiga kali empat masih dapat
dilalui dengan prinsip bahwa saya menyalahgunakan uang 5 milyar dan penjara 4
tahun, berarti untung. Tetapi sebenarnya ada hukum yang tidak dapat ditipu
yaitu hukuman sosial. Tujuh genesi anak-anak kita akan mendapatkan celaan dan
makian, bahwa ayah, kakek buyutmu adalah seorang penjahat koruptor, terpidana,
dan belum lagi kalau dibelakang namanya diselipkan nama kejahatan sebagaimana
selalu kita temukan dalam sejarah kesultanan Buton, dimana seorang penjahat
disematkan kejahatan itu pada namanya. Sejarah akan mencatat itu.
Ketiga, demokrasi kapitalis dapat saja membahayakan APBD
kabupaten Wakatobi selama lima tahun ke depan. Karena APBD Wakatobi yang
sebenarnya yang dapat digunakan untuk pembangunan itu hanya sekitar 70-80
milyar bertahun, merupakan sisa dari anggaran rutin, maka dana tersebut
merupakan dana pembangunan yang sangat kecil. Dan apabila politik uang berjalan
secara masif dan tidak dihentikan oleh para tim sukses dan calon pemimpin
Wakatobi ke depan, sebagaimana terjadi pada beberapa hari terakhir ini Wakatobi,
maka sisa anggaran rutin atau anggaan pembangunan tersebut itu akan lenyap
begitu saja. Dengan demikian, kondisi ini akan membawa Wakatobi kepada arah
pembangunan yang lambat, atau bahkan tak dapat membangun apa-apa. APBD kita
akan tersandra oleh kepentingan pemodal (berbasis keluarga), dimana mereka
harus bekerja untuk mengembalikan modal mereka.
Di sisi yang lain, evaluasi pemekaran yang saat ini sedang
dilakukan oleh Jakarta, ini juga merupakan ancaman bagi kewakatobian
kita,karena bisa jadi kalau daerah ini hanya diangggap sebagai beban negara,
maka Wakatobi akan digabung kembali ke induk, karena kita dianggap gagal
mengembangkan pembangunan Wakatobi yang baik dan transparan. Dapat dibayangkan,
PAD kabupaten Wakatobi yang masih minim selama ini, sehingga Wakatobi masih
menjadi beban negara dan dikelola dengan tidak benar, maka akan mempercepat
proses penggabungan Wakatobi dengan kabupaten induk. Dan jika itu terjadi, maka
pemimpin kedepan akan dikutuk oleh sejarah dengan tinta air mata dari
masyarakat Wakatobi, yang telah berjuang untuk memekarkan Wakatobi sejak akhir
tahun 1950-an.
Oleh karena itu, praktek demokrasi kapitalis yang saat ini
terjadi di Wakatobi hendaknya untuk direnungkan kembali, baik oleh para calon,
tim sukses dan masyarakat Wakatobi secara umum. Pemerintah daerah, pelaksana
pemilu harus memberikan kesadaran kepada seluruh calon, tim sukses dan
masyarakat luas bahwa pelaksanaan pemilu di Wakatobi hari ini harus dilandaskan
pada nilai-nilai demokrasi kultural kita, dimana kita harus memilih berdasarkan
hati kita, nurani kita karena sesungguhnya menjadi bupati dan wakil bupati
Wakatobi adalah bukanlah kedudukan atau jabatan, tetapi lemba atau tanggung jawab yang harus dipikul, dimana seorang
pemimpin harus membawa perbaikan dan kesejahteraan kepada masyarakat,
lingkungan dan agama.
Di samping itu, fenomena hari ini menunjukan bahwa ada
gejala-gejala sosial atau isu-isu yang akan memecah belah Wakatobi berdasarkan
subetnis yang ada,misalnya Wanci – Mandati, Waha – Usuku, Longa – Waetuno dan isu
antarpulau serta berbagai potensi konflik sosial yang dibangun atas kepentingan
politik, merupakan potensi konflik sosial yang harus di redam oleh para calon,
tim sukses, masyarakat dan pihak TNI Polri. Karena retaknya hubungan sosial di
masyarakat merupakan bentuk sumbangan demokrasi kapitalis yang hanya
semata-mata memandang uang, tetapi modal-modal kultural akan diabaikan begitu
saja.
Potensi konflik, yang akan dipertajam ketika tahapan sudah
mulai berjalan di KPU, seharusnya diredam dengan cara menyadari bahwa
masyarakat Wakatobi adalah satu, dan memiliki tujuan bersama,yaitu kehidupan
yang damai, adil dan sejahtera. Oleh
karena itu, diharapkan peran-peran lembaga sosial seperti sara (Sara Wanse, Mandati, Kapota, Liya, Kaledupa, Tomia dan
Binongko) sudah harus duduk bersama dengan seluruh kontestan yang masuk dalam
pilkada ini dalam rangka merumuskan pilkada yang murah dan bermartabat,
menjunjung nilai-nilai kebersamaan, guna mewujudkan kepemimpinan yang tidak
terbebani dengan dengan kos politik yang besar dan mahal. Sebagai lembaga
nonformal sara sudah harus duduk
bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat, Partai Politik, poliri, TNI, kejaksaan
untuk mengawal Pilkada Wakatobi yang murah, damai dan lancar. Pilkada yang
murah, damai dan lancar tersebut dapat melahirkan bupati Wakatobi yang dapat
membangun tanpa beban kos politik, tampa diskriminasi, sehingga dapat mendorong
pembangunan yang memihak kepada kesejahteraan
masyarakat Wakatobi secara umum. Wallahu alam.
3 komentar:
Alhamdulillah...., kritik. membangun dan saya sangat sependapat.
Wakatobi Buton harus saling membangun dengan kritik yang konstruktif
Posting Komentar