Selasa, 26 Maret 2013

KONTEPLASI PEMIKIRAN FENOMENA NEGARA KLEPTOKRASI BANGSA INDONESIA

Oleh: Bia Wakatobi
Pagi di minggu hari ini, mencoba bermain dalam kontemplasi pemikiran tentang negeriku yang hari ini semakin carut marut tanpa kejelasan sistem demokrasi. Hasil kontemplasi pemikiran saya kemudian tertuju pada pemaknaan secara gramatikal apa yang disebut dalam istilah kamus tentang "KLEPTOKRASI". Catatan ini saya ramu dari berbagai sumber yang bertujuan untuk mensosialisasikannya karena dasar pemahaman bahwa penggemar Facebook adalah masyarakat mayoritas yang dengan mudah di akses untuk kemudian dapat menginformasikannya kepada masyarakat lain yang tidak mengetahuinya.

Hari ini negriku dan juga negeri anda, Korupsi tak hanya terjadi di lembaga yudikatif, peradilan, tetapi juga ada di legislatif dan eksekutif. Kondisi ini diketahui pemerintah maupun rakyat. Namun, pemerintah tak berhasil mengatasinya.

Coba kita cermati bersama sistem peradilan yang dihancurkan secara sistematis oleh pemangku keadilan, penegak hukum, politisi, pejabat, dan pengusaha melalui cara-cara memperjualbelikan dan mentransaksikan keadilan dengan fasilitas mewah.

Ada perbedaan perlakuan terhadap masyarakat kecil yang mencari keadilan dengan tersangka korupsi, yang umumnya adalah pejabat, pengusaha, atau politisi. Hampir dalam semua kasus, petani kecil itu selalu dikalahkan. Pengusaha dan politisi koruptor selalu menang".

Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan hakim sangat memprihatinkan. Peradilan adalah benteng terakhir dari proses hukum setelah proses penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan. Jika benteng terakhir penjaga keadilan tergerogoti virus korupsi, tentu akan sulit dibayangkan penegakan hukum di negeri ini bisa berjalan baik.

Yang jelas, korupsi bersama telah menjadi suatu model korupsi di negeri ini, yang dalam suatu kasus korupsi, bukan saja dilakukan satu atau dua orang, melainkan melibatkan banyak orang. Bahkan dilakukan secara terorganisasi, sehingga kerap juga disebut korupsi berorganisasi. Dan korupsi berskala besar kerap diambil lewat keputusan-keputusan bersama yang kompromistis.

Menurut Jared Diamond dalam buku Gun, Germs and Steel: The Fates of Human Society (1999), korupsi yang melibatkan banyak orang dalam suatu kasus lebih sering terjadi di tataran kelompok elite negara yang terdiri dari pejabat tinggi negara, aparatur birokrasi dan anggota parlemen yang memegang otoritas publik-rakyat. Korupsi model ini membentuk sosok sejatinya yang semakin sempurna, dalam negara yang disebut negara kleptokrasi, dengan politik oligarkis, dan bentuk pemerintahan plutokrasi.

Kleptokrasi berasal dari bahasa Latin (kleptein dan cracy), yang berarti mencuri (to steal) atau mengambil paksa sesuatu yang bukan menjadi hak (to rob). Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan ditandai oleh keserakahan, ketamakan, dan korupsi merajalela (a government characterized by rampant greed and corruption), Amich Alhumami (2005).

Istilah kleptokrasi seperti diuraikan ini menjadi sangat populer setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada a ruler or top official whose primary goal is personal enrichment and who possesses the power to gain private fortunes while holding public office.

Artinya, sebuah pemerintahan yang sarat dengan praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal, sehingga sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para kleptomaniak, pengidap penyakit kleptomania.

Dalam ilmu psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya itu. Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak sangat serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf Friederich Nietzsche, ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan.

Fenomena korupsi dalam negara kleptokrasi akan bertambah sempurna jika disokong oleh budaya politik oligarkis dan sistem pemerintahan plutokrasi. Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan pengusaha. Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi dari dana yang dikucurkan negara.

Politik oligarkis adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling menguntungkan di antara elite sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka ibarat di negeri kleptokrasi.

Sebuah negara hancur jika telah menjelma menjadi negara kleptokrasi yang pemerintahannya dijalankan secara plutokrasi, yaitu sekelompok orang- orang kaya yang korup-plutokrat. Dan lebih hancur lagi jika para plutokrat itu mengendalikan pemerintahan di atas roda politik oligarkis, di mana keputusan-keputusan kenegaraan selalu bernuansa koluptif dan koruptif demi keuntungan diri.

Sesungguhnya oligarki dan plutokrasi telah melekat pada sistem demokrasi di negeri ini baik secara manifes maupun laten. Keberadaan mereka ibarat penumpang gelap yang berbahaya. Bagi negara kleptokrasi ala Indonesia pertumbuhan oligarki dan plutokrasi sudah berjalan secara intra-organisasi dalam bentuk-bentuk persekongkolan, kroniisme dan nepotisme.

Parpol di negeri ini telah dirasuki oleh politik oligarkis dan plutokrasi. Ini terlihat dari tidak adanya satu pun parpol yang memiliki kemampuan keuangan mandiri dan hidup dari iuran anggota. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika parpol, terutama parpol yang ikut dalam pemerintahan selalu berusaha menempatkan orang-orangnya pada posisi basah di lembaga pemerintahan dan BUMN guna menghimpun dana bagi parpol.

Untuk itu, keberadaan parpol tidak lagi dapat menyentuh fungsi idealnya sebagai pelaksana roda demokrasi, sebab di dalam sistem politik negara yang oligarkis, parpol hanya menjadi political crowded (kerubutan politik). Di dalam kerubutan politik yang oligarkis ini para elite hanya berjuang demi keuntungan partai dan diri sendiri.

Maka, korupsi di negeri ini pun menjadi bertambah bak virus menular yang terus mengganas dan berjalan semakin terorganisasi. Penguasa eksekutif, aparatus birokrasi dan parlemen terus memperkuat diri menjadi lembaga transaksi-transaksi kekuasaan dan berkompromi dalam membuat keputusan.

Korupsi pun berkembang menjadi syndrome-anomy di mana masyarakat tidak lagi berpandangan negatif terhadap korupsi. Korupsi dianggap sebagai sebuah budaya baru yang harus dilestarikan. Terjadilah pembiaran dan apatisme publik terhadap para koruptor. Maka, menguatnya demokrasi dus tumbuhnya budaya kontrol menjadi sia-sia, karena di samping tidak berdaya terhadap kolusi antara pemerintah, pengusaha, parpol, dan parlemen, semua kebobrokan telah dianggap sebagai sebuah perubahan sosial yang wajar.

Semua fenomena di atas disebabkan terjadinya degradasi moralitas yang parah di tengah masyarakat bangsa. Padahal, moralitas berkontribusi besar bagi berkembang atau sebaliknya menambah terpelorotnya sebuah negara ke dalam lembah kleptokrasi, dengan sistem pemerintahan plutokrasi dan politik yang bernafaskan konfigurasi politik oligarkis.

Persoalannya, bagaimana merevitalisasi moral dan menumbuhkan moralitas publik. Ini dapat dibangun lewat bentukan budaya tandingan yang berbasis agama, pengembangan budaya antikorupsi, dan pendidikan norma-norma serta nilai-nilai luhur dalam masyarakat, terutama di komunitas-komunitas pendidikan. Itu harus terfokus sebagai gerakan budaya tandingan berbasis (counter culture) komunitas (community-based movement). Dan ini semua tentu membutuhkan waktu lama dan stamina yang prima.

Namun, itu semua menjadi sia-sia jika para pejabat eksekutif, aparatur birokrasi, parlemen, dan politisi tidak mengubah perilaku dan menjadi contoh dan pelita hati bagi rakyatnya. Krisis bangsa akan sulit diselesaikan jika kaum elite negara tetap mengindap gangguan jiwa, menjadi kleptomaniak dengan stadium yang semakin lanjut.

Sepertinya sudah masanya kita melakukan jihad bagi minoritas yang telah melakukan tirani mayoritas. Para minoritas ini adalah elit yang dengan kecerdikan dan kekuasaan yang mereka miliki telah melakukan teror ekonomi dan hukum atas rakyat miskin negeri ini

Banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga tersebut. Bila aksi curi uang rakyat itu tak segera diakhiri, kuatir akan adanya pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi.

Menurut Wikipedia, sebuah negara disebut kleptokrasi apabila ia diperintah oleh para maling. Hal ini didasarkan pada pemahaman adanya bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Administrasi publik semacam itu umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan makelarisme.

Dalam konteks yang carut marut demikian, Siapa pun bisa menuding siapa saja sebagai biangnya. Rakyat bisa menunding pejabat publik. Pejabat menuding pengusaha yang suka menyogok untuk memerlancar urusannya. Atau menyalahkan rakyat yang juga gemar menerima uang saat Pemilu atau mengambighitamkan gaji yang kecil.

Namun, serumit apa pun lingkaran saling menuding, akar pangkalnya toh bisa ditelusuri. Dilihat dari sisi pengelolaan negara, akar pangkal makin liarnya korupsi pastilah bersumber dari Pemerintah. Mengapa? Karena Pemerintahlah penanggung jawab pengelolaan negara.

Lihat saja tingkat kesungguhan negara dalam memberantas korupsi. Dari waktu ke waktu, negara dan para penegak hukum cenderung hanya mengurusi kasus keroco, kasus kelas teri, dan membiarkan kasus kakap terus bergentayangan. Sialnya kasus kelas teri itu dicitrakan sebagai kasus besar yang bernilai hebat.

Beberapa di antaranya yang tergolong kelas teri itu ialah kasus Gayus Tambunan, wisma atlet Palembang, Hambalang, kasus Djoko Susilo yang diduga telah merugikan Negara sekitar Rp 100 miliar, Nazzaruddin, Angelina Sondakh, Anas, Andi Malarangeng, atau Ibas yang disebut Yulianis menerima 200 ribu dollar US, tapi dibantah oleh Ibas.

Lho kok disebut kelas teri? Bukankah miliaran itu besar sekali? Bukankah harta rampokan Djoko Susilo tersebar ke mana-mana? Apakah 400 miliar harta Nazaruddin yang diduga hasil pencucian uang boleh dibilang kecil?

Ya, tentu saja semuanya besar. Bahkan sangat besar bagi orang seperti saya dan sebagian besar rakyat Indonesia yang tak pernah melihat uang sebanyak itu. Tapi dibandingkan dengan perampokan triliunan uang negara beberapa waktu lalu yang terus dilupakan, nampaknya kasus-kasus di atas sangat tidak sebanding. Terlalu kecil!

Membiarkan Koruptor Kakap

Masih ingat kasus BLBI yang kemudian disusul kasus Bank Centry, bukan? Masih ingat pula nama-nama koruptor kakap yang terus menerus menghiasi halaman-halaman muka surat kabar beberapa waktu lalu, bukan? Banyak media merilis nama koruptor kakap dan jumlah nilai uang yang dilarikan ke luar negeri.

Sebutlah umpamanya Banjarmasinpost.co.id. Pada edisi Senin, 4 Juli 2011, ia merilis daftar 45 koruptor yang lari keluar negeri. Nilai yang mereka larikan sungguh tak terbayangkan. Hampir semua riliunan rupiah! Sebutlah Sjamsul Nursalim, dalam kasus korupsi BLBI Bank BDNI. Ia merugikan negara Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar Amerika. Kasus itu sudah masuk proses penyidikan. Namun kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.

Contoh lainnya, Bambang Sutrisno dalam kasus BLBI Bank Surya. Ia merugikan negara Rp 1,5 triliun. Andrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya, kerugian negara Rp 1,5 triliun. Eko Adi Putranto dan Sherny Konjongiang dalam kasus korupsi BLBI Bank BHS. Masing-masing menggondol uang negara dengan jumlah yang sama Rp 2,659 triliun. Atau David Nusa Wijaya dengan nilai kerugian negara Rp 1,9 trilun, Edi Tanzil Rp 1,3 triliun, Agus Anwar, dalam kasus korupsi BLBI Bank Pelita, dengan kerugian negara Rp. 1,9 triliun. Dan banyak lagi.

Pertanyaannya, kalau mereka berada di luar negeri mengapa Negara terus loyo memburu mereka, padahal Negara terkesan kuat ketika memburu Nazaruddin? Apakah Negara RI ini masih memiliki tujuan sebagai Negara normal? Atau apakah Negara RI ini masih layak disebut sebagai sebuah negara? Ratusan bahkan ribuan Undang-undang yang terus dihasilkan DPR, untuk apa? Presiden, para Menteri, pejabat negara lain dan para Pemimpin Partai Politik itu mengurusi apa?

Tidak ada komentar: