Minggu, 08 Mei 2011

“Surga” Nyata Bawah Laut Wakatobi dan Peta Benua Atlantis yang Hilang

Oleh:
Sumiman Udu

Berdasarkan Arysio Santos, dalam bukunya "Atlantis The Lost Continent Finally Found" dikatakan bahwa benua yang hilang itu berada di timur jauh dan barat jauh, dan benua yang hilang itu berada di antara  benua Amerika dan Afrika, dan menurut beliau benua itu bukanlah samudra Atliantik yang kita kenal dalam dunia modern sekarang, melainkan benua Hindia (Indonensia sekarang), ia berada di antara dua samudra, yaitu pasifik dan Hindia, kemudian negeri yang bermartabat itu memiliki kesejahteraan yang tinggi, berbudi mulia, "tanah suci" tanah yang keramatkan, masyarakatnya sejahtera, tetapi sekarang negeri itu telah lenyap hanya karena kebobrokan pemimpinnya, maka dilanda bencana dasyat dan sampai sekarang negeri itu abadi di dalam lautan, dan tinggal gunung-gunung tinggi yang menjulang, dan kini menjadi daratan yang dikenal sekarang sebagai Indonesia.

Prof. Santos melihat itu ada di Indonesia, tetapi kalau kita lihat lebih jauh lagi, maka pertemuan dua samudra itu berada di Wakatobi, oleh karena itu, Entah sengaja atau tidak sengaja, pemerintah kabupaten Wakatobi menetapkan Visi Wakatobi sebagai "Surga nyata Bawah laut di jantung segi tiga karang dua" merupakan daerah surga yang sejak dulu sudah dikenal dalan berbagai kitab suci agama-agama kuno.

Keindahan bawah Laut Wakatobi, bukanlah hal yang baru, tetapi dalam berbagai naskah kuno dunia, dalam berbagai peradaban di dunia menyebutkan bahwa daerah "Surga itu" merupakan taman-taman yang indah, ditumbuhi bunga-bunga dan segala keindahannya, dan juga dihuni oleh orang-orang yang "suci" orang-orang yang berbudaya dan bermartabat. Tentunya ini membutuhkan penelitian yang lebih jauh lagi, karena negeri Atlantis menurut Prof. Santos adalah negeri yang bercirikan pantai yang indah yang menghadap ke dua samudra.

Tentunya, ini adalah sebuah kebetulan atau disengaja, maka untuk mewujudkan Wakatobi sebagai "negeri Surga nyata bawah laut" diperlukan beberapa persyaratan yang dikemukakaan oleh Prof. Santos tentang manusia yang mendiami negeri surga yang kaya raya itu, bahwa orang-orang yang mensucikan dirinya, melenyapkan nafsunya, terutama untuk kepentingan pribadi dan golongannya, tetapi orang-orang yang mementingkan kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Mereka itulah yang menghuni daerah “surga” itu.

Kalau kita merujuk jauh ke dalam sejarah dan peradaban Buton yang merupakan induk dari Wakatobi di masa Lalu, orang-orang tua buton dapat dikategorikan sebagai generasi yang bermartabat, dan negeri yang disucikan (paling tidak) menurut pandangan dunia mereka. Tetapi kalau kita melihat paham Kangkilo dalam masyarakat Buton sebagai soft structure berpikir mereka, maka kita dapat memahami mengapa negeri itu disebut sebagai "surga" dan mengapa negeri itu "disucikan".

Dalam Faham Kangkilo, orang buton mengenal bagaimana cara agar ia dapat mensucikan dirinya, baik lahir maupun batinnya. Merek mengenal kangkilo awal maupun Kangkilo akhir. Dengan mensucikan dirinya, maka orang Buton atau orang Wakatobi tidak akan mengambil materi yang bukan haknya, dan masyarakat Wakatobi -Buton juga tidak akan mengotori Tanahnya dengan Kelakuannya, perkataannya, matanya, tangannya, dan kotorannya. Sehingga kata "surga" atau tanah yang "disucikan" dalam pemikiran Prof. Santos sebagaimana di buku tersebut, memiliki referesni untuk menuju ke negeri para resi yaitu negeri Buton atau negeri dimana faham Kangkilo itu pernah ada atau pernah dihidupkan. Namun di akhir kesadaran ini "terbersit senyum pahit" sebab pertanyaan mulai muncul, Masikah faham Kangkilo itu menjadi milik masyarakat Buton? hanya mereka yang dapat menjawabnya sekarang. Dan kalau Syarat Kesucian itu tidak ada lagi, maka impian Prof. Santos untuk mendapatkan negeri yang hilang atau "Surga" itu jangan berpikir untuk merujuk kepada Buton terlebih pada Buton hari ini. 

Di sisi yang lain, Wakatobi yang merupakan bagian dari Buton dan kini menjadikan "Surga Nyata Bawah Laut" sebagai Visinya, apakah telah menyadari syarat itu untuk mewujudkan negeri “Surga” dan “tahan yang disucikan” itu? Maka tentunya sebagai negeri para resi atau masa lalunnya negeri yang indah dan sejahtera sebagaimana cita-cita Wakatobi dewasa ini, syarat yang disebutkan Prof. Santos sebagai negeri yang hilang itu, harusnya dimiliki oleh masyarakat Wakatobi. Karen tampa menciptakan manusia yang suci, yang berkeadilan, damai dan Sejahtera, maka impian Wakatobi hanyalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah terwujud, peta Atlantis Prof. Santos, harus dijauhkan dari daerah ini, walaupun secara geografis Wakatobi berada pada pertemuan laut dari dua Samudra, yaitu laut Banda (pasifik) dan laut Flores (Samudra Hindia).

Hanya saja, pertanyaannya adalah apakah faham Kangkilo sebagai kekuatan kultural dan menjadi syarat negeri "surga" yang menjadi misi Wakatobi saat ini masih dipahami atau diamalkan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi - Buton? Tentunya, ini hanya dapat dijawab oleh generasi Wakatobi - Buton hari ini. Hal ini, Syarat mutlak dari seluruh ajaran agama di dunia, baik dalam dunia tradisional maupun modern, kesucian menjadi prasayarat untuk hidup di dunia “surge” atau apa yang disebut dalam bahasa Arab disebut sebagai Jannah yang berarti taman.

Untuk mendeteksi apakah masyarakat Wakatobi masih menggunakan Faham Kangkilo sebagai syarat masyarakat "Surga' dalam buku Atlantis tersebut, dapat dilihat dari pola hidup mereka sekarang ini. Misalnya, masihkah mereka menjaga kesucian diri mereka dari memakan makanan yang dapat mengotori tubuh, pikiran dan jiwa mereka, misalnya korupsi, mencuri, merampok dan lain-lian yang dapat dikategorikan bukan haknya, atau sekurang-kurangnya adalah hak orang lain? atau mampukan mereka mensucikan lingkungannya dengan tidak mengotori lingkungannya dan manusianya dengan kotoran fisiknya, misalnya perkataanya yang menyakitkan orang lain, perbuatanya yang menyakiti orang lain, perbuatannya yang merusak lingkungan? atau dalam bahasa agamanya, sudahkah dia adil dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya?

Saya kira, dongeng mengenai Benua Atlantis yang di ceritakan oleh Plato, agama-agama besar di dunia, Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Yahudi itu dan terakhir adalah wacana narasi yang ditulis oleh Prof. Santos harus ditangkap maknanya, bahwa jika di dalam suatu negeri itu dipinpin oleh pemimpin yang pembohong, serakah, tamak, dan bajingan, maka negeri itu bukan menuju kepada suatu tatanan masyarakat sejahtera sebagaimana dongeng negeri "surga' itu, tetapi justu akan menuju kepada suatu kehancuran yang mengerikan dan bisa jadi akan menjadi negeri yang tenggelam kambali sebagai kutukan yng diberikan kepada masyarakat Atlantis yang hilang itu. Demikian juga dengan Buton yang banyak disebutkan sebagai negeri para resi, tetapi sekarang, apakah masih pantas, kalau seluruh kehidupan masyarakatnya sudah dipenuhi dengan intrik politik yang kotor yang lahir dari orang-orang yang tidak lagi mengenal dirinya dan kediriannya, "Kangkilo" sebagai prasyarat telah menghilang darinya.

Oleh karena itu, Visi Wakatobi, "Surga Nyata Bawah Laut di Jantung Segi Tiga Karang Dunia" merupakan simbolisasi sepanjang sejarah umat manusia dimana benua Atlantis yang merupakan pertemuan dua samudra dapat dipahami. Hanya saja untuk mewujudkan “Surga Nyata” tersebut, dituntut agar manusia di daerah itu memiliki karakteristik sebagai orang-orang yang mampu mensucikan dirinya dari segala pemikiran, jiwa dan tindakan yang dapat mengotori diri dan keluarganya, sehingga akan terlahir suatu komunitas yang indah di dalam taman "Surgawi” yang diidamkan oleh masyarakat Wakatobi di masa depan. Sekaligus yang dicari oleh umat manusia selama berabad-abad dalam upaya mengangkat kembali tata masyarakat baru yang diidamkan oleh seluruh peraban manusia.

Namun, tidak menutup kemungkinan, ketika nilai-nilai moral dalam buku Atlantis itu ditanamkan kembali di Wakatobi dan Buton pada umumnya, dimana pemimpin dan masyarakatnya menanamkan faham "Kangkilo" sebagai syarat untuk menciptakan masyarakat "Surgawi" maka tidak menutup kemungkinan untuk hidupnya kembali tatanan masyarakat sebagai mana yang diimpikan masyarakat Wakatobi saat ini, yaitu tatanan masyarakat "Surga" yang di dalamnya hidup orang-orang suci, damai, adil dan sejahtera. Ha ha, (saya tertawa sedikit) karena saya teringat pada tulisan John Man ketika hampir menuntaskan tulisannya tentan kisah Jengis Khan sekitar abad 12 Masehi, dalam salah satu paragrafnya ia membuka  kalimatnya dengan sebuah keraguan, sekaligus harapan dengan mengatakan “kisah ini adalah suatu omong kosong” yang dapat diwujudkan sebagai sebuah mimpi panjang umat manusia yang ada dalam berbagai kita suci kuno, impian dari kitab berbagai agama, yang bisa jadi ditemukan di negeri Wakatobi atau dapat dimunculkan tatanan “Surga” atau “tanah yang suci” itu di Wakatobi. Wallahu Alam.
Peta Atlantis yang Hilang di mana Wakatobi berada.



6 komentar:

Anonim mengatakan...

wah luar biasa pak... tp sprti ap jadinya hal yang mnsucikn sj banyk diplestin bgtu ap bs mnopang untuk mewujudkan negeri “Surga” itu?

PUSAT STUDI WAKATOBI mengatakan...

Mewujudkan negeri yang makmur, harus dilandasi oleh niat yang suci, dan itu hanya akan ada pada mereka yang memiliki karakter yang selalu menjaga kesucian dirinya, baik lahir maupun batin.

Anonim mengatakan...

Saya harap warga Buton menjaga alam lingkungannya. Jangan berpikir jangka pendek dengan mengeksploitasi daerah ini sesuka hati. Jagalah negeri ini dengan baik, sehingga kekayaan alamnya dapat bertahan lama. Salah satu yg saya risaukan kalau berlayar di selat2 Buton adalah: 1) orang membuang sampah ke laut; 2) banyak ikan ditangkap dengan cara meracun dan mengebom. Mudah2an ini menjadi perhatian penguasa di sini.

PUSAT STUDI WAKATOBI mengatakan...

Perjalanan panjang kehidupan kemanusiaan akan tercatat dalam sejarah, pilihan tetap ada pada manusia, mau mencintai alam atau menghancurkannya. Salah satu cara menghancurkan alam adalah hilangnya rasa cinta pada alam itu sendiri, dengan mengkhianatinya dengan berbuat seenak hati di atasnya.

Anonim mengatakan...

alamat imelmu sumi?

Unknown mengatakan...

Blog Misteri
Sejarah Benua Atlantis
Sejarah Gunung Merapi