BAGIAN 8
Oleh: Sumiman Udu
Suatu malam WaNianse menemani kedua anaknya di bawah temaram lampu minyak di rumahnya. Ia kemudian bercerita tentang LA NDOKE-NDOKE KENE LA KOLO-KOLOPUA, sebagai pengatar tidur anak-anaknya.
Sambil membuat anyaman soami’a, Waniansepun menuturkan cerita sebagai pengantar tidur dua anaknya.
Pada zaman dahulu, bertemanlah La ndoke-ndoke dengan La bu’ebuea. Kemanapun mereka pergi selalu bersama, ke laut, dank e kebun. Apa yang dimiliki oleh La ndoke-ndoke maka la bu’ebuea pun dapat menikmatinya. Mereka makan bersama, tidur bersama, dan suatu waktu terdengarlah kabar bahwa ada sebuah kampung yang sangat makmur. Masyarakatnya sudah tidak ada lagi yang miskin, mereka hidup seperti di surge, ikan-ikan melimpah, sayur-mayur melimpah, serta keadilan dan pemimpinnya tidak lagi berpikir untuk dirinya, dan keluarganya.
Maka berkatalah, la Ndoke, “Saudaraku , mampukah kau berenang sampai di negeri itu?” Tanya La ndoke kepada La Bue’a sahabatnya.
“Saya kira, kita akan hidup bahagia di sana, karena kita tinggal tidur makan, dan tidak sengsara sepeti di kampung kita ini, kemiskinan dimana-mana, uang tidak ada, makanan susah, sementara pemerintah kita hanya berpikir untuk kepentingan bisnisnya dan keluarganya. Bagaimana kalau kita berenang ke sana?”
“Saya sudah terlalu bosan La Ndoke, hidup di generi yang pemimpinnya hanya untuk kepentingan pribadi dan golongannya, apalagi masyarakatnya juga memilih pemimpin hanya karena suka pada uangnya.”
“Itulah, masalah di kampung ini saudaraku”, jawab La Ndoke. Masyarakat manusia itu memilih pemimpinnya karena uang saja. Bukan karena keinginannya untuk membangun masyarakat sebagai mana negeri tetangga itu.
Maka suatu senja, persiapan La Ndoke dengan La Bu’ea sudah rampung semuanya. Maka bersiaplah la ndoke duduk di punggung la bu’ea dan melakukan perjalanan menuju negeri makmur yang kabarnya seperti surga itu.
Di perjalanan mereka berdiskusi, bahwa apa yang akan kita kerjakan di sana. “Ndoke, kalau kita sampai di sana, apa yang kita harus lakukan? Tanya La bu’e.
“kalau menurut saya, kita pelajari apa yang terjadi di negeri itu sehingga mencapai kesejahteraan seperti itu,” jawab La Ndoke.
“OK, ada yang saya mau lihat saudaraku, apa yang dilakukan oleh masyarakat dan pemimpinnya setiap hari. Dan apa yang dilakukan oleh anak-anak mudanya”, ucap La Bu’ea.
Maka setelah berenang selama tujuh hari tujuh malam, maka sampailah mereka di sebuah pantai yang berisi perempuan-perepuan setengah telanjang dan laki-laki setangah telanjang.
“Oh, inilah surge itu La Bu’ea,” karena dalam kepercayaan masyarakat kita surge itu seperti taman-taman yang indah, dan di atasnya ada bidadari –bidadari yang selalu perawan.” Kata La Ndoke, dan matanya menatap mata anak-anak yang memperhatikan para perempuan itu berjemur di atas pasir putih.
“Saya kira, inilah yang selalu diceritakan diberbagai media dan FB itu La Ndoke”.
Tiba-tiba anak Waniane bertanya, Apa itu FB ina?” tanyanya tidak tahu. “Ohh, itu tempat orang-orang cerita nak?” di dalam computer. “ohhh, pintarnya itu computer ina, jawab anak Wanianse dan kemudian terdiam menuggu kelanjutan cerita ibunya.
Terus, bagaimana lagi lanjutnnya? Ina. Sementara anak Wa nianse yang kecil sudah tertidur.
“Ndoke, betapa kita beruntung berada di negeri surga seperti ini.” Kabarnya tidak ada kemiskinan, tidak ada kebohongan dan tidak ada lagi kematian ibu dan bayi.” Tetapi La Bue’a justru semakin penasaran pada berita-berita itu, tetapi ia hampir percaya pada kabar akan kemakmuran negeri pulau ini. Setelah menyaksikan salah seorang perempuan cantik sedang menikmati ciuman dan pelukan dari pasangannya.
“Lihat, la bu’ea, luar biasa itu, surge betul, sama saja dengan negeri kita yang sudah kedatangan orang-orang itu, mereka berlaku saja apa maunya. Itulah impian pemimpin kita.
“Begini Ndoke, bagaimana kalau kita jalan-jalan di masyarakat, apakah benar negeri ini terjadi apa adanya”. Maka naiklah La ndoke dan la bu’ea ke kampung. Di ujung kampung, mereka selalu menyaksikan kemakmuran, persahabatan masyarakat, dan persaudaraan abadi dan betul-betul tidak ada kelaparan, semuanya tersedia dan di sediakan oleh alam dan pemerintah.
Dan menjelang malam, mereka berdua pergi ke bantea, tempat penduduk kampung itu selalu menghabiskan malam sambil minum-minuman keras. Melihat itu, La Ndoke-ndoke semakin percaya pada bahwa negeri ini adalah surge karena di negerinya dikatakan bahwa di surge itu dapat kita menikmati apa yang kita mau. Tidak ada kekacauan, nyaman dan indah.
Maka bertanyalah, la Bue’a pada penduduk kampung itu, “Apakah budaya minum dan main gitar ini adalah hiburan kalian?”
Maka dijawab oleh salah seorang, “Kami tiap malam Joget dan pergi ke tempat karaoke, tetapi ini bagi kami yang miskin, tetapi kalau pejabat pergi ke pantai-pantai dan menikmati malam dengan iringan musik dan perempuan-perempuan cantik.” La Ndoke dan La Bue’a terperangah pada keindahan pantai tempat mereka mendarat tadi.
“Ohh, beginikah negeri surge yang dikatakan makmur itu?” Tanya La Ndoke pada La Bue’a. maka keesokan harinya mereka pergi ke kantor kepala kampung, di sana ruangan begitu mewah, semua serba ada, mobil, dan segala fasilitas.”
Maka berkatalah, La Ndoke pada La Bue’a, “Wah hebat baget ini, benar-benar negeri yang kita impikan, berbeda dengan kampung kita, pemimpinnya hanya mementingkan diri sendiri.” Lalu mereka pergi bercerita dengan kepala kampung itu, “Pak, apa selama anda memimpin, tidak pernah bertengkar soal proyek dengan wakil anda?” maka menjawablah kepala kampung itu, “Wah, itu tidak pernah terjadi di sini, karena kami membangun untuk kepentingan masyarakat, kami di sini makmur semua.”
“Berbeda dengan negeri kita La Ndoke, yang selalu bertengkar memperebutkan kekuasaan dan proyek.” Kata La Bue’a.
“Itu dia, bagaimana mungkin negeri kita dapat seperti ini, kalau pemimpin kita membangun pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan kelompok saja.” Kata La Bue’a pada La Ndoke.
“Di sini politik tidak terlalu dominan, karena rakyat makmur semua, tetapi kalau di kampung kita, kepala kampung itu akan menghabisi semua lawannya di dalam pilkada kemarin.” Kata La Ndoke.
Keduanya mempertanyaan, “Bagaimana pengelolaan proyek di negeri surge ini pada kepala kampung itu,” suaranya hampir bersamaan.
“Begini Nak, di sini sudah aturannya, dan kami menilai seseorang berdasarkan profesionalismenya, dan kami tidak mementingkan politik di dalam birokrasi kami. Karena politik itu, merusak kinerja birokrasi, dan berarti mengurangi kualitas pelayanan kami pada masyarakat.
“Begitu!! La ndoke dan La buea geleng-geleng kepala, “Pantas kalau ini maju, dan semua masyarakatnyta sejahtera. Dan tidak lama kemudian, landoke dan la bue’a sudah harus bergeser karena kepala kampung akan menerima masyarakat lain lagi. Tampa harus memilih apakah tim suksesnya seperti di kampung kita landoke.” Maka keluarlah mereka berdua dan menuju ke lapangan untuk melihat pameran pembanguan.
“Ndoke, bagaimana? Kita akan tinggal di sini atau bagaimana? “Kata La Buea. “kalau menurut saya kita harus pulang ke kampung kita, agar menyampaikan bahwa negeri surge itu benar adanya, dan sistemnya kita akan diskusikan dengan teman-teman kita di kampung”. Gimana saudaraku? Jwab la Ndoke.
“Masih ada yang perlu kita tanyakan La Ndoke, ungkap la buea. “Apa itu? Tanya Landoke?
“Begini pasti ada rahasia dari keberhasilan negeri ini, menurut anda, apa rahasianya?” Maka duduklah mereka di warung pinggir jalan menghadap ke laut, mereka merencakan tentang sistem pendidikan di negeri surge ini.
“kalau begitu, kita melihat kebijakan pendidikan di negeri ini, apa yang mereka lakukan untuk membangun negeri ini,” kata La Ndoke. Maka pergilah mereka kepada bagian urusan pendidikan kampung negeri surge itu.
Memasuki ruangan, mereka di layani dengan sunyum, ditambah dengan minuman segala jenis jus dan mimuman lainnya.
“Menurut anda, apa yang membuat negeri surge ini dapat berkembang seperti ini? Tanya landoke pada kepala kantor perencaaan pembanguan sumberdaya manusia itu.”
“Sebenarnya, di sini kami hanya merencakan pembanguan Sumber daya manusia sebagai kekuatan utama kami dalam mambangun daerah ini. Kami memperbaiki metodologi dan skill serta moral manusianya, sehingga seluruh rakyat kami bekerja dengan komitmen yang ilmiah. Kami juga berkata dengan jujur, agar masyarakat memiliki kepercayaan pada kami, kami tidak pernah membohongi mereka, apalagi melakukan korupsi”.
“Ingat, bahwa modal yang paling penting saat inilah, modal manusia (skill, metode dan moral: kejujuran dan disiplin)” lanjutkan kepada urusan SDM itu.
“Ohh, begitukah, pantas makmur, La Ndoke teringat pada kampungnya, dimana pembangunan SDM yang tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah, hanya gedung-gedung sekolah yang dibangun, tetapi guru-gurunya tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan diri.
“bagaimana dengan anak-anak mudanya di sini Pak?” Tanya La Ndoke pada kapala kantor itu.
“anak-anak muda kami, kami kirim untuk sekolah di berbagai universitas hebat di dunia, dan kami biayai. Karena itu asset daerah yang paling besar, dan sudah selesai mereka melakukan penelitian dan pemberdayaan masyarakat, dan kami mendorong mereka untuk menghasilkan hasil-hasil penelitian yang baik. Karena anak-anak muda itu adalah pemimpin masa depan. Kami di sini kembali kepada konsep leluhur kami yang memimpin dengan kejujuran dan kepercayaan dan tujuan akhir kami adalah kesejahteraan masyarakat.
“Anak-anak muda kami, kami pacu untuk pergi sekolah, dan kami memberikan intensif bagi yang mau pergi sekolah, karena peperangan masa depan adalah peperangan dengan potensi SDM sebagai kekuatan utamanya. Jadi anak-anak muda di kampung ini sekolah semua.
“LaBuea, merenung, betapa indahnya hidup di negeri yang pemerintahnya mau memperhatikan masyarakatnya, ia teringat negerinya yang hanya di hiasi dengan kebohongan dan pertengkaran para elit yang memperebutkan keuntungan. Mereka tidak memperhatikan kemelaratan masyarakat, dan hanya melakukan pencitraan yang terus menerus, sementara berpikir untuk membeli hati rakyat.
Anak-anak mudanya, tergilas dengan keadaan, karena mereak tidak dapat mengikuti pendidikan karean belum ada tanggung jawab pemerintah dalam pengiriman anak-anak muda untuk sekolah di didalam dan di luar negeri.
“Mengapa pemimpin negeriku, masih tetap mementingkan kekayaan pribadi dan kepentingan golongan dan paratainya. Semoga kelak ketika mendengarkan kabar ini pemerintahku sudah dapat mengubah pendekatan mereka dalam pembangunan.
Maka dalam hati, berdoalah La Ndoke, “Semoga, pemerintah di negeriku, dapat melakukan hal yang sama dengan negeri surge ini.
Wanianse, melihat anaknya, dan ternyata sudah tertidur. Maka ia pun membersihkan tikarnya untuk berbaring di samping ke dua anaknya, karena suaminya masih di rantauan. Ia teringat makanan yang disantapnya bersama tiga anaknya, yaitu hanya makan buah pepaya rebus dan kasoami yang dibuatkan air jeruk nipis dan kasoami. Air matanya membasahi pipinya, sebab kasian pada anak-anaknya yang sudah merakan penderitaan ini sejak kecil. Atau inilah kodrat. Ya Allah tabahkanlah kami ya Allah dan berikanlah petunjuk kepada pemimpin kami agar mereka dapat mengubah negeri ini seperti negeri surge tempa La Ndoke dan La Bu’ea pergi di dalam cerita itu.
Maka terlelaplah Wanianse dalam imajinya. Sementara lampu menyinari kemiskinan dan kemelaratannya.
1 komentar:
Luar Biasa Bang, saya terharu membayangkan keadaan negeri kita yang antah berantah ini. Semoga Sinar temaram Lampu pelita Wanianse suatu hari berbuh menjadi sinar philips 18 Watt yang mampu memberikan penerangan kepada se isi ruangan rumah. Semoga para pemimpin negeri ini diberikan hidayah Oleh Allah untuk meninggalkan segala keserakahannya atas negeri ini.
Posting Komentar