Pengantar Buku "Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton: Sumbangan Kabhanti Anjonga Yinda Malusa Untuk Revolusi Mental Indonesia" Karya Dr. Ali Rosdin
Oleh:
Dr. Suryadi, MA
Universiteit
Leiden, Belanda
Untuk pertama kalinya, sebuah naskah klasik Buton yang penuh dengan
ajaran moral, keagamaan, dan sampai batas tertentu, catatan sejarah,
diterbitkan. Naskah Kabanti Ajonga Yinda
Malusa (KAYM), yang dipaparkan dalam buku ini, kini hadir di hadapan
pembaca Indonesia, khususnya masyarakat
Buton. Saya katakan demikian, karena sejauh penelusuran kepustakaan yang
saya lakukan, inilah buku yang pertama yang menyajikan alih aksara naskah KAYM
kepada pembaca modern masa kini dengan memakai pendekatan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan, khususnya dari perspektif ilmu filologi. Hasilnya:
sepanjang 1347 canto (bait) KAYM yang
semula ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Jawi) oleh ulama patron Istana Wolio,
Haji Abdul Ganiu, pada akhir abad 18, kini dapat dinikmati oleh pembaca masa
kini dalam versi Latin dalam Bahasa Wolio dan terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia. Alih aksara KAYM yang terdapat dalam buku ini sendiri didasarkan
atas salinan teks ini yang dilakukan oleh mantan sekretaris Istana Buton, Abdul
Mulku Zahari, tahun 1974. Hal itu menunjukkan perjalanan sejarah panjang teks
KAYM yang, karena isinya yang penting, tampaknya terus diapresiasi secara
aktif oleh masyarakat Buton (terbukti
dengan penyalinan terhadap teks ini yang berterusan dari generasi ke generasi
di Buton) sejak ia diciptakan pada pertengahan abad ke-19.
Saya didaulat oleh Penulis buku ini, Dr. Ali Rosdin, dan penerbit Oceania Press (a.n. Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.), untuk
memberi pengantar buku ini. Hal itu tentu merupakan suatu kehormatan besar bagi
saya, apalagi mengingat bahwa saya orang luar (Minangkabau) yang kebetulan
sangat tertarik dengan budaya masyarakat Buton. Namun, saya menyadari bahwa
KAYM, sebuah karya yang sangat kaya dengan informasi budaya, agama, dan sejarah
mengenai masa lampau Buton, tak mungkin dapat saya analisa secara mendalam
dengan pengetahuan saya yang amat terbatas mengenai Buton, sebuah negeri
kepulauan yang indah di zamrud khatulistiwa bagian timur, yang pertama kali
saya kunjungi pada tahun 2005, tapi kemudian membuat saya jatuh cinta kepadanya sampai kini. Selama ini
fokus penelitian saya mengenai Buton masih terbatas pada surat-surat korespondensi
politik antara sultan-sultan Buton dengan Kompeni Belanda di abad ke-18.[1] Selain itu, dalam rangka penyelamatan naskah-naskah Buton, sebagai
wujud kecintaan saya kepada negeri ini, beberapa tahun lalu saya dipercaya
menjadi principal applicant untuk memimpin satu proyek
pendigitalisasian naskah-naskah Buton atas sokongan dana dari The British
Library.[2] Namun demikian, dalam rangka
penelitian saya mengenai bagian dari korpus naskah-naskah Buton yang luas itu,
saya juga sudah mengetahui keberadaan KAYM yang sudah menjadi pedoman hidup
kalangan bangsawan dan masyarakat Buton secara turun-temurun.
Saya akan menggunakan halaman pengantar ini lebih untuk membuka
ruang refleksi untuk memahami pentingnya menjaga budaya lokal milik sendiri di
tengah serbuan gelombang globalisasi yang melanda berbagai elemen kehidupan
bangsa Indonesia. Tentang kandungan KAYM sendiri yang amat kaya itu, biarlah
pembaca yang akan memaknainya sesuai dengan kebutuhan sosial dan personal
masing-masing. Buku ini sendiri berasal dari disertasi Dr. Ali Rosdin yang
dipertahankannya di Universitas Gajah Mada pada 31 Desember 2014. Jadi, segala
aspek yang menyangkut isi dan makna KAYM sudah dikupas secara mendetail oleh
penulisnya. Setelah membaca buku ini, saya yakin para pembaca akan mendapat
gambaran lengkap tentang pengarang, isi, konteks sosio-historis dan aspek
bahasa dan literer KAYM.
Salah satu fenomena yang menjadi perhatian utama penelitian di
bidang budaya global sekarang adalah munculnya tendensi kembali ke lokalitas. Ini
dapat menjelaskan mengapa justru di zaman globalisasi sekarang ini muncul
banyak konflik di tengah kesempatan luas yang diberikan oleh teknologi
komunikasi modern kepada manusia untuk saling mengenal satu sama lain secara
lebih mudah. Tentu saja pandangan seperti ini juga sering dibahas dari
perspektif post-modernisme yang menganggap bahwa modernitas yang dicapai
manusia ternyata tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan kepada penduduk di
muka bumi ini. Sekarang
sering kita mendengar istilah ‘dunia mengecil’ dan dapat dijangkau dengan mudah
lewat ujung jari, berkat kemajuan tekonologi sosial media. Namun, kita melihat
bahwa pada saat yang sama muncul gerakan eklsusivitas (ketertutupan) dengan
menggunakan berbagai penanda – agama, etnisitas, kelas sosial, dan lain
sebagainya. Friksi-friksi yang cenderung mengarah ke anarkisme tak dapat
dihindari. Indonesia juga menghadapi fenomena ini, baik
dalam konteks nasional maupun regional.
Kita dapat mengamati bahwa sekarang ini di banyak daerah di
Indonesia kohesi etnisitas terasa makin renggang. Demikianlah umpalanya, karena
pemilihan kepala daerah (pilkada) saja, orang-orang sesama suku (clan) atau yang berasal dari etnis yang
sama tega saling berbunuhan. Ini tentu sesuatu yang tidak kita harapkan karena
rasa kebersamaan dan tenggang rasa akan menjadi lemah dan terus tergerus, yang
menyebabkan mudahnya timbul friksi sosial. Hal ini disebabkan oleh aus atau mengaburnya
simbol-simbol pengikat etnisitas dan juga nasionalitas akibat serbuan
unsur-unsur budaya asing yang datang dari luar. Dalam konteks inilah kehadiran
buku ini, dan buku-buku yang sejenis, yang kembali mengapungkan simbol-simbol
lokalitas masa lampau, untuk diperkenalkan kembali kepada generasi muda di
zaman sekarang, dirasa sangat penting dan amat relevan. KAYM akan dapat
mengingatkan pembaca masa kini pada eksistensi dan kohesivitas etnis Buton di
masa lampau, sebuah model yang dapat ditularkan kepada bagian lain dari
masyarakat Indonesia yang berbilang etnis dan budaya ini.
Dalam pengamatan historis saya terhadap
Buton, saya mendapat kesan bahwa, walaupun hanya sebuah kerajaan yang relatif
kecil, yang tak henti-hentinya menjadi korban rebutan pengaruh dari dua
kerajaan tetangganya yang lebih besar, Gowa dan Ternate, Buton memiliki dignity yang luar biasa.[3]
Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Buton berdiri utuh sejak awal berdirinya
pada paroh pertama abad ke-14 sampai akhir hayatnya pada tahun 1940-an. Inilah kerajaan lokal Indonesia yang politik internalnya paling
‘stabil’ dibanding banyak kerajaan lainnya di Nusantara pada masa yang sama.
Para bangsawan Buton berhasil menjaga kedaulatan Kerajaan Buton melewati
fluktuasi ang melindunginya. Penyerbuan VOC terhadap Buton beberapa kali akibat
kasus penyerangan yang dilakukan orang Buton di bawah pimpinan Mascaƒarƒe Vryman (preman Makassar) Frans Fransz ke kapal VOC Rustenwerk
pada 28 Juni 1752, yang lama sesudah itu tetap menjadi faktor yang mengganjal
hubungan Buton – VOC, adalah salah satu
contoh perlakuan Belanda yang buruk terhadap Buton lantaran Buton tidak ingin
harga dirinya diinjak-injak oleh pedagang
rempah berkulit putih dan berperangai kasar dari Eropa itu.[4] Dalam kaitannya dengan hal ini, sosok sultan Buton La Karambau atau
Sultan Himayatuddin (memerintah
1751-1752 dan 1760-1763), yang mempertaruhkan jiwa
raganya untuk mempertahankan harga diri Buton dari tindakan semena-mena VOC,
adalah contoh taulandan yang perlu ditiru oleh masyarakat Buton masa kini.[5]
Sejarah Buton menunjukkan bahwa kerajaan ini memiliki sebuah model
pemerintahan lokal yang ‘ideal’, yang sampai batas tertentu telah mengamalkan
sistem trias politika seperti yang dikenal dalam sistem pemerintahan negara
modern.[6]
Oleh sebab itu, selama berabad-abad kerajaan archipelagic ini utuh, lantaran tidak pernah terjadi konflik internal
yang sangat serius di antara para bangsawannya karena saling sikut dan berebut
kekuasaan, sebagaimana terjadi di Jawa dan banyak daerah lainnya di Nusantara
pada zaman lampau. Di sisi lain, hal ini tentu juga disebabkan oleh kemampuan
para bangsawan Buton dalam membendung pengaruh atau campur tangan Belanda di
dalam Istana Wolio. Banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa jika orang asing
sudah bisa berbuat semaunya di dalam rumah kita sendiri, maka timbulnya
perpecahan di kalangan penghuni rumah tinggal menanti waktu. Memang pada paroh
kedua abad ke-18 para bangsawan Buton hampir-hampir terbelah dua oleh pengaruh
buruk VOC yang secara licik memaksakan berbagai pasal perjanjian kepada Buton
(seperti Perjanjian 1613, Perjanjian 1667, Perjanjian 1766, dan Kontrak
Perjanjian 1791): mereka yang cenderung pro VOC dan yang anti. Namun, dalam
keadaan kritis, raja yang berkuasa, seperti Sultan Himayatuddin, bersedia
lengser demi keutuhan kerajaan. Hal ini antara lain karena adanya mekanisme
kontrol yang ekektif dari Sarana Wolio, khususnya ‘DPR’ Sio Limbona,
sehingga raja tidak bisa bertindak otokratif absolut dalam memerintah.
Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan bahwa sistem pemerintahan
tradisional Buton adalah salah satu model yang terbaik di Nusantara. Distribusi
kekuasaan per eselon sudah dikenal di kerajaan ini, sejak dari lingkungan
istana sampai ke otoritas pelabuhan (sabandara,
syahbandar). Dalam banyak
iven politik, raja tampak tidak rakus menonjolkan diri, apalagi memaksakan
pencitraan. Demikianlah umpamanya, Syahbandar Kamilanta, salah seorang pejabat
pelabuhan Buton yang terkenal di abad ke-18, adalah salah seorang representatif
raja yang sering mewakili Sultan dalam banyak peristiwa politik yang terkait
dengan orang asing. Dengan kata lain, sistem administrasi politik Kerajaan
Buton relatif rapi dan memiliki penjenjangan yang memungkinkan terjadinya
kontrol dan koreksi dari berbagai level.
Selain faktor-faktor yang sudah saya
sebutkan di atas, sistem pembagian jatah kekuasaan antara kaomu dan walaka jelas
merupakan mekanisme yang mampu mereduksi terjadinya konflik politik di kalangan
elite Buton. Demikian juga halnya dengan sistem administrasi kerajaan yang
mengenal kadie dan barata, yang sampai batas tertentu
memiliki hak otonomi untuk mengurus wilayahnya masing-masing. Jadi, sistem pemerintahan tradisional Buton tidak mempraktekkan
monarki absolut sebagaimana dikenal di Jawa dan banyak tempat lainnya di
Nusantara.[7]
Faktor-faktor lain, langsung atau tidak, tentu juga memberi pengaruh,
seperti mekanisme sistem pangka yang relatif fleksibel, dan juga
karena posisi Buton yang secara geopolitik terus merasa terancam oleh dua
kerajaan besar tetangganya, Gowa dan Ternate, yang mungkin menjadi faktor
pendorong bagi orang Buton untuk tetap merasa bersatu-padu dengan kohesi
etnisitas yang tinggi. Itulah faktor-faktor yang, menurut saya, menyebabkan
Kerajaan Buton tetap utuh selama lebih
kurang 7 abad, sebelum bergabung secara
sukarela dengan Republik Indonesia pada
tahun 1960.
Akan tetapi, lepas dari semua itu, menurut saya ada satu faktor
kunci yang menyebabkan semua itu menjadi mungkin, yaitu peran agama Islam di kerajaan Buton. Islam telah
menjadi ‘pakaian’ dalam kehidupan orang Buton, baik di kalangan rakyatnya,
lebih-lebih lagi para bangsawannya. Kaum penguasa (kaomu dan walaka)
dikontrol oleh prinsip-prinsip hidup yang mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Berbagai studi telah menunjukkan
betapa dalamnya pengaruh Islam dalam lingkungan Istana Wolio – para bangsawan
maupun raja-raja yang memerintah.[8] Mesjid Sultan (Mesjid Keraton) yang sampai
sekarang masih berdiri dalam lingkungan Keraton Buton yang dikelilingi oleh
Benteng Baadia, benteng terluas di dunia itu (3 km2), adalah saksi
sejarah yang tak terbantahkan mengenai peran kuat Islam sebagai pedoman dan
kompas kehidupan bangsawan dan rakyat Buton di masa lampau. Seudah sejak zaman
dulu, sebagaimana dicatat oleh seorang ambtenaar
Belanda, Mesjid Keraton adalah pusat aktivitas keagamaan bangsawan Buton dan
rakyatnya, yang pada hari-hari besar Islam menjadi medan pertemuan dan
silaturahmi antara penguasa Buton dan rakyatnya.[9]
Namun, saya melihat sesuatu yang unik dan luar biasa menyangkut
peran Islam dalam sistem kekuasaan di Buton, yaitu menyatunya Martabat Tujuh dalam diri para sultan Buton.[10]
Sosok yang paling cocok untuk menggambarkan hal ini tentu Sultan La Ode
Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Beliau tidak hanya sebagai seorang sultan
yang sangat religius dan kuat, tapi juga seorang penguasa adil yang suka menulis. Kelindan kuat antara Islam
dan kehidupan kaum bangsawan itu telah melempangkan jalan bagi pembumian
tradisi tulis yang ditopang oleh aksara Jawi di Kerajaan Buton, yang telah
membentuk kebiasaan menulis, dengan sokongan kuat istana sebagai scriptorium-nya. Hasilnya, sebagaimana
masih dapat dilihat sampai kini, adalah ratusan naskah Buton yang telah
mendokumentasikan nilai sosial, budaya, agama, dan politik etnis Buton masa
lampau.
Paling tidak ada sekitar tujuh kabanti
berbahasa Wilio yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin: Bula Malino, Tazikira Momampodona, Jauhara
Manikamu Molabi, Kanturuna Mohelana, Fakihi, Nuru Molabina, dan Kanturuna Mohelana II. Meminjam
kata-kata intelektual muda Buton, Yusran Darmawan, yang menulis refleksi
menarik mengenai Sultan Buton ke-29 ini, Muhammad Idrus Kaimuddin adalah
seorang “[s]ufi yang begitu produktif
menulis buku dan syair […]. Di zaman ketika manusia di belahan bumi lain
masih belum mengenal aksara [dan] ketika sejumlah bangsa-bangsa masih belum
mengenal tradisi tulis, Idrus sudah mendiskusikan sejumlah tema-tema besar
dalam filsafat yang hingga kini masih menjadi perdebatan yang tidak
berkesudahan di kalangan para filosof, misalnya konsep fana dan baqa, tentang
kesementaraan manusia dan alam serta abadinya sang pencipta, konsep manifestasi
Ilahi atau teofani (tajalliyat) atas
semua realitas di muka bumi, hingga [ke] tangga-tangga perjalanan manusia demi
menggapai kesempurnaan, menjadi insan
kamil, insan yang sempurnya.”[11]
Beliaulah Sultan Khalifatullah yang, walaupun
berkuasa tapi, rendah hati, menyebut dirinya “Aederusu Matambe” (Idrus yang
hina), di samping banyak gelar lainnya yang diberikan kepada beliau.[12]
Tentunya pencapaian literasi dan kedalaman pemahaman agama Sultan
Muhammad Idrus Kaimuddin itu, langsung atau tidak, dimungkinkan oleh kehadiran
seorang ulama besar yang menjadi mentor spiritualnya: Haji Abdul Ganiu,
pengarang KAYM. Sosok ulama mumpuni ini menjadi cerminan tentang kelit kelindan
kuat antara pemimpin agama dan pemimpin
kerajaan dalam sistem sosial-politik Buton. Haji Abdul Ganiu mengatakan, sebagaimana dikutip
oleh Lah Niampe, “bahwa dinamakan
dia Sultan Butun itu ‘Sultan
Khalifatullah’ karena wajib al-wujud mempunyai dua hakikat dirinya; pertama
hakikat wajibnya karena ia asal usul bangsa sultan (bangsawan), dan kedua,
hakikat wujudnya karena ia lagi-lagi tiada mempunyai kekurangan lagi suci. Ia
mencapai daripada pekerjaannya.”[13]
Kita mendapat kesan bahwa pada masa itu, kaum ulama di Buton
menjadi ‘guru’ bagi kaum penguasa, bukan
sebaliknya, seperti sekarang, dimana kaum ulama cenderung tunduk di bawah
kemauan golongan penguasa.
Dalam konteks inilah hadirnya buku Nilai nilai
Masyarakat Buton: Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia karya Dr. Ali
Rosdin ini patut disambut gembira, karena, sebagaimana telah saya sebutkan di
atas, buku ini menghadirkan ‘magnum opus’ Haji Abdul Ganiu dalam porsi yang
paling lengkap, sebab buku ini berasal dari disertasi beliau yang tentu saja
telah melewati uji ilmiah yang kritis. Kabanti Ajonga Yinda Malusa, sesuai dengan artinya dalam
bahasa Indonesia, benar-benar merupakan ‘pakaian yang tidak luntur’, pedoman hidup yang tahan lama, yang selalu
relevan sepanjang zaman bagi siapapun yang ingin mengamalkan nasehat-nasehat
yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, semua nasehat moral dan
keagamaan yang dikemukakan oleh guru spiritual para sultan Buton di masa lampau
tersebut patut dibaca dan dipelajari kembali oleh semua orang yang memerlukan
pedoman hidup dalam mengahadapi cabaran zaman pancaroba yang begitu hebat tapi
sekaligus mengkhawatirkan yang dihadapi oleh manusia di abad ke-21 ini.
Sejak 1998 sampai
sekarang saya tinggal di Eropa, tepatnya di Belanda – ‘Tanah Dingin’, meminjam penamaan negeri penjajah
itu oleh orang Indonesia di zaman kolonial. Apa yang saya amati adalah bahwa
bangsa-bangsa Barat sebenarnya lebih ‘konservatif’ daripada kita. Banyak tradisi warisan nenek moyang mereka yang
sudah berusia ratusan, bahkan ribuan tahun, tetap dipertahankan, diamalkan,
dirayakan setiap tahun. Dengan cara itu mereka menjaga identitas mereka dan
hubungan sejarah dan emosi dengan negeri sendiri. Mereka berhati-hati dan tahu
apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Kita justru
berkecenderungan sebaliknya: merasa bahwa semua unsur budaya masa lampau
warisan nenek moyang kita adalah buruk, ketinggalan zaman, dan, karena itu,
dengan tanpa pikir panjang ditinggalkan, dihancurkan. Kita cenderung menganggapnya sudah kuno dan tidak relevan
lagi. Unsur-unsur monarki lokal yang menjadi identitas kita berbilang abad
dihancurkan tanpa pertimbangan apa pun, sementara di Eropa simbol-simbolnya
tetap dilestarikan, seperti di Belanda, Inggris, Belgia, dll.[14]
Akibatnya, kita kehilangan jatidiri dan identitas sendiri, mengalami
ketercerabutan dari akar budaya sendiri.
Bangsa kita (pemimpin dan rakyatnya) belum juga sadar akan kekeliruan
ini. Yang justru makin mewabah adalah sindrom xenocentrism akut: perasaan bahwa sesuatu yang berasal dari budaya
asing (Barat) lebih dianggap unggul daripada budaya sendiri – ‘mabuk modern dan gila barat’, meminjam istilah
Indonesianis Joris Jedamski.[15]
Sudah saatnya
bangsa Indonesia menyadari amensia sejarah dan kekeliruan kultural ini. Banyak
konsep-konsep dan praktek sosial, politik, dan ekonomi yang berasal dari budaya
lokal kita sendiri yang mestinya dipertahankan karena memiliki nilai-nilai yang
tak kalah unggulnya dengan budaya asing. Kehadiran buku ini adalah untuk
mengingatkan ‘mutiara’ milik kita sendiri yang selama ini cenderung
kita abaikan karena mata kita silau oleh kilatan ‘emas celupan’ milik orang lain. Lihatlah betapa
buruk efek demokrasi yang diadopsi dari Barat yang diterapkan di negeri ini,
sementara konsep-konsep politik lokal yang pernah kita punya, seperti yang
dipraktekkan di Kerajaan Buton di masa lampau, kita abaikan, kita buang begitu
saja. Dengan ini, saya hendak mengatakan bahwa nilai-nilai KAYM tidak hanya
relevan bagi masyarakat Buton, tapi juga bagi bangsa Indonesia pada umumnya.
Tidak hanya isi
dari KAYM yang penting dipedomani oleh masyarakat kita sekarang, tapi hubungan
pengarangnya dengan penguasa Buton juga dapat menjadi contoh teladan bagi siapa
pun yang menjadi pemimpin agama dan penguasa di zaman kini. Haji Abdul Ganiu
dapat menjadi teladan bagi para ulama kini untuk menempatkan diri dalam
lingkaran kekuasaan yang sering menggoda iman. Di sisi lain, sosok sultan Sufi
seperti Muhammad Idrus Kaimuddin dapat menjadi anutan bagi para penguasa dalam
menggunakan kekuasaannya yang dirahmati Tuhan dan bermanfaat bagi rakyat banyak.
Dalam perspektif ini, tidak berlebihan kiranya jika saya katakan bahwa
ajaran-ajaran moral dan spiritual dalam Kabanti
Ajonga Yinda Malusa mungkin
dapat menjadi ‘mata air jernih’ yang dapat menyegarkan gerakan revolusi
mental yang sedang didengung-dengungkan di negeri ini, yang tampaknya cenderung
stagnan. Ia melengkapi sumbangan Sultan Buton terakhir, La Ode Falihi yang,
dengan tanpa ragu, dengan lapang dada, dan dengan kerelaan hati, berkata kepada
Presiden Soekarno untuk bersedia meleburkan kerajaannya, yang diwariskan oleh
para pendahulunya sejak abad ke-14, ke dalam wilayah Republik Indonesia
tercinta ini.
Dengan ini, saya
akhiri pengantar saya ini, dengan harapan bahwa bangsa Indonesia, khususnya
Buton, negeri yang telah berkali-kali saya kunjungi tetapi ingin kembali lagi,
akan tetap eksis dalam perubahan dunia ini dengan tetap berpijak pada akar
budaya dan identitas sendiri.
Leiden, Belanda, Musim
Dingin 2015
Baca Juga:
BETENA TOMBULA: JEJAK TIONGHOA DALAM TRADISI LISAN BUTON
Resensi Novel: "Di Bawah Bayang-Bayang Ode" Karya Sumiman Udu
BETENA TOMBULA: JEJAK TIONGHOA DALAM TRADISI LISAN BUTON
Resensi Novel: "Di Bawah Bayang-Bayang Ode" Karya Sumiman Udu
[1] Lihat: Suryadi, “A linguistic kaleidoscope
of the Malay letter: The case of eighteenth century official letters from the
Sultanate of Buton”, Wacana. Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya 16 (2), 2015: 304-338; Suryadi, “Dua pucuk surat Kerajaan
Buton dari abad ke-17: Kandungan isi dan konteks sejarah”, Jurnal Filologi Melayu 17, 2010: 123-148; Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, Humaniora. Jurnal Budaya,
Sastra, dan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 19(3):
284-301; Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda
koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, SARI. Jurnal Alam dan Tamadun
Melayu, ATMA Universiti
Kebangsaan Malaysia 25: 125-216.
[2] Yang
saya maksud adalah proyek “Locating, documenting and digitising:
preserving the endangered manucripts of the legacy of the Sultanate of Buton,
South-Eastern Sulawesi Province, Indonesia”, di bawah the Endangered Archives
Programme, the British Library (EAP212), 2008-2010. Lihat: http://eap.bl.uk/database/results.a4d?projID=EAP212 (diakses 15 Desember 2015).
[3] Mengenai sejarah Buton, lihat antara lain:
Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan adat fiy Darul Butuni
[Buton]. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1977 (3 Jilid); Susanto
Zuhdi, G. A. Ohorella dan M. Said D, Kerajaan
tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995; Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta:
Rajawali Press & Yayasan Kebudayaan
Masyarakat Buton, 2000; Pim Schoorl, Masyarakat,
sejarah dan budaya Buton. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003. Lihat juga
sumber klasik: A. Ligtvoet, Beschrijving en
geschiedenis van Boetoen”, Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde 26, 1878: 1-112.
[4] Peristiwa yang sangat
memilukan itu, lantaran banyaknya orang Buton yang mati akibat
serangan-serangan Belanda terhadap Buton (termasuk beberapa orang bangsawan
yang jadi korban), tertanam jauh di dalam memori kolektif orang Buton selama
beberapa generasi, dan dicatat dalam beberapa kabanti, termasuk KAYM. Tentang peristiwa penyerangan terhadap kapal VOC Rustenwerk,
lihat sumber klasik dari versi Belanda dalam: Bernardus Mourik, Twee-Rampspoedige Zee-reyzen, den eenen
gedaan door ...Capitein Morin, met een Fransch Oost-Indisch Compagnie-schip,
genaam Le Prince, behelzende een verhaal...op woensdag den
26 April 1752; den anderen met hel Hollandsch Oost-Indische Compagnie schip,
genaam Rustenwerk, zynde ten anker
leggende, in de Straat en voor het eiland Boeton, door de Mooren en Bokkaneezen,
inwoonderen van dat eiland...jammerlyk vermoord geworden enz,; op woensdag den
28 juny 1752, hlm. 16-34. Amsterdam: Bernardus Mourik, [c.1752].
[5] Lebih jauh tentang
Sultan La Karambau, lihat: Susanto Zuhdi, Perang Buton vs Kompeni-Belanda:
Mengenang kepahlawanan La Karambau. Jakarta: Komunitas Bambu, 2015.
[6] Lihat: Al Semantani
Jones, “Kerajaan Buton: Kerajaan Melayu demokratik”, https://www.facebook.com/alsemantani.jones/posts/345218932303463 (diakses, 19 Desember
2015)
[7] Salah satu sistem yang
agak mirip dengan Buton, dalam pengertian memiliki unsur ‘demokrasi’, adalah
sistem politik tradisional Minangkabau di Sumatera di mana nagari-nagari sebagai
‘republik-republik kecil’, yang berjumlah lebih dari 500 buah, memiliki hak
otonomi penuh dan berdiri sejajar satu sama lain. Sedangkan Kerajaan Pagaruyung
di Luhak Tanah Datar lebih dianggap sebagai patron saja. Para pemimpin nagari menaruh respek kepada penguasa
Pagaruyung tapi tidak tunduk kepadanya dan secara politis bukan berada di bawah
pengaruhnya. Kemiripan antara sistem geopolitik Buton dan Minangkabau ini
mungkin bukan kebetulan, mengingat kisah mia
patamiana sebagai cikal-bakal nenek
moyang orang Buton dikatakan berasal dari tanah Melayu di Barat Nusantara
(mungkin ada yang berasal dari Minangkabau). Walau bagaimanapun, pernyataan
saya ini lebih bersifat spekulatif, yang tentunya memerlukan penelitian ilmiah
lebih lanjut. Tentang sistem geopolitik Minangkabau tradisional, lihat misalnya L.C.
Westenenk, De Minangkabausche nagari.
Padang: Baümer & Co., 1913 [Dicetak
ulang dalam: Mededeelingen van het bureau
voor de bestuurszaken der buitenbezittingen bewerkt door het Encyclopaedisch
Bureau afl. 8, 1915, II: 88-193.] Untuk sumber yang lebih modern, lihat
A.A. Navis, Alam terkembang jadi guru:
Adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers, 1984.
[8] Untuk sekedar menyebut contoh, lihat: Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam sistem kekuasaan di
Kesultanan Buton pada abad ke-19. Jakarta: INIS, 1995 (Seri INIS XXIV); Abdul
Rahim Yunus, “Nazariyyah Martabat Tujuh (The theory of ‘Martabat Tujuh’) in the
political system of the Buton Sultanate”, Studia
Islamika 2,1, 1995: 93-110;
La Niampe, “Nasihat Haji Abdul Ganiu kepada Sultan Laode Muhammad Idrus
Qaimuddin: Analisis berdasarkan naskah Kabanti “Ajonga Inda Malusa” [Makalah
Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara III, Jakarta, 12-13 Oktober 1999]; La Niampe,
“Unsur tasawuf dalam naskah Undang-undang Buton”, Jurnal Lektur Keagamaan 9,1, 2011: 63-92; Ali Rosdin, “Aspek
kultural ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dalam keislaman orang Buton: Kajian
terhadap Kabanti Ajonga Inda Malusa”,
El-Harakah. Jurnal Penelitian UIN Maulana
Malik Ibrahim, Malang 16,1, 2014: 81-99.
[9] E.J. van den Berg, “De viering van den raraja hadji in de kota Wolio
(Boeton)”, Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde 77, 1937: 650-660.
[10] Tentang hal ini, lihat antara lain dua
karya Andul Rahim Yunus (1995a,b) sebagaimana telah disebutkan dalam catatan 8.
[11]Lihat:
http://www.timur-angin.com/2015/11/sufi-besar-tasawuf-dan-naskah-di-pulau.html (diakses
18 Desember 2015).
[12] La Niampe, “Mengungkap ketokohan Muhammad
Idrus”, http://pusatstudiwakatobi.blogspot.nl/2011/04/mengungkap-ketokohan-muhammad-idrus.html (diakses 19 Desember 2015).
[13] Ibid.
[14] Dalam hal ini para pemimpin Malaysia
terkesan lebih bijak: negara jiran itu masih mempertahankan lembaga Melayu
beraja. Mereka tidak gegabah ingin memu[s]nahkannya. Walaupun kekuasaan
monarki-monarki lokal di Malaysia sudah dibatasi, tapi simbol-simbol budaya
Melayu yang melembagakan adat beraja tetap dipertahankan oleh negara itu. Tahta raja nasional, yang menjadi simbol negara dan berkedudukan di
Kuala Lumpur, digilir secara periodik di antara 11 sultan dari
kerajaan-kerajaan lokal yang tergabung dalam Persekutuan Malaysia. Kita melihat hal ini berefek positif bagi
pemertahanan identitas kemelayuan sampai kini di Malaysia. Salah satu segi
kelemahan Soekarno adalah karena beliau terlalu ceroboh dan tanpa pikir panjang
meleburkan seluruh kerajaan lokal Nusantara ke dalam wilayah negara baru yang
bernama ‘Republik Indonesia’, tanpa menyadari bahwa hal itu berakibat pada penghilangan
identitas budaya dan pemerintahan lokal Nusantara yang, kalau dipertahankan
dengan selektif, mungkin memberi nilai positif terhadap identitas keindonesia
modern kita.
[15] Doris Jedamsky,
“Mabuk modern” and “Gila Barat”: Progress, modernity, and imagination: Literary
images of city-life in colonial Indonesia”. [Makalah pada The 1st
Conference of EUROSEAS “Keys to South-East Asia”, Leiden, 29 June -1 July,
1995].
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar