Senin, 02 Mei 2016

Kabanti Ajonga Yinda Malusa: ‘Mutiara Berkilau’ dari Buton untuk Indonesia"




 Pengantar Buku "Nilai-Nilai Kehidupan Masyarakat Buton: Sumbangan Kabhanti Anjonga Yinda Malusa Untuk Revolusi Mental Indonesia" Karya Dr. Ali Rosdin


Oleh:
Dr. Suryadi, MA
Universiteit Leiden, Belanda

Untuk pertama kalinya, sebuah naskah klasik Buton yang penuh dengan ajaran moral, keagamaan, dan sampai batas tertentu, catatan sejarah, diterbitkan. Naskah Kabanti Ajonga Yinda Malusa (KAYM), yang dipaparkan dalam buku ini, kini hadir di hadapan pembaca Indonesia, khususnya masyarakat  Buton. Saya katakan demikian, karena sejauh penelusuran kepustakaan yang saya lakukan, inilah buku yang pertama yang menyajikan alih aksara naskah KAYM kepada pembaca modern masa kini dengan memakai pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, khususnya dari perspektif ilmu filologi. Hasilnya: sepanjang 1347 canto (bait) KAYM yang semula ditulis dalam huruf Arab-Melayu (Jawi) oleh ulama patron Istana Wolio, Haji Abdul Ganiu, pada akhir abad 18, kini dapat dinikmati oleh pembaca masa kini dalam versi Latin dalam Bahasa Wolio dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Alih aksara KAYM yang terdapat dalam buku ini sendiri didasarkan atas salinan teks ini yang dilakukan oleh mantan sekretaris Istana Buton, Abdul Mulku Zahari, tahun 1974. Hal itu menunjukkan perjalanan sejarah panjang teks KAYM yang, karena isinya yang penting, tampaknya terus diapresiasi secara aktif  oleh masyarakat Buton (terbukti dengan penyalinan terhadap teks ini yang berterusan dari generasi ke generasi di Buton) sejak ia diciptakan pada pertengahan abad ke-19.

Saya didaulat oleh Penulis buku ini, Dr. Ali Rosdin, dan  penerbit Oceania Press (a.n. Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.), untuk memberi pengantar buku ini. Hal itu tentu merupakan suatu kehormatan besar bagi saya, apalagi mengingat bahwa saya orang luar (Minangkabau) yang kebetulan sangat tertarik dengan budaya masyarakat Buton. Namun, saya menyadari bahwa KAYM, sebuah karya yang sangat kaya dengan informasi budaya, agama, dan sejarah mengenai masa lampau Buton, tak mungkin dapat saya analisa secara mendalam dengan pengetahuan saya yang amat terbatas mengenai Buton, sebuah negeri kepulauan yang indah di zamrud khatulistiwa bagian timur, yang pertama kali saya kunjungi pada tahun 2005, tapi kemudian membuat saya  jatuh cinta kepadanya sampai kini. Selama ini fokus penelitian saya mengenai Buton masih terbatas pada surat-surat korespondensi politik antara sultan-sultan Buton dengan Kompeni Belanda di abad ke-18.[1] Selain itu, dalam rangka penyelamatan naskah-naskah Buton, sebagai wujud kecintaan saya kepada negeri ini, beberapa tahun lalu saya dipercaya menjadi principal applicant untuk memimpin satu proyek pendigitalisasian naskah-naskah Buton atas sokongan dana dari The British Library.[2]  Namun demikian, dalam rangka penelitian saya mengenai bagian dari korpus naskah-naskah Buton yang luas itu, saya juga sudah mengetahui keberadaan KAYM yang sudah menjadi pedoman hidup kalangan bangsawan dan masyarakat Buton secara turun-temurun.
   
Saya akan menggunakan halaman pengantar ini lebih untuk membuka ruang refleksi untuk memahami pentingnya menjaga budaya lokal milik sendiri di tengah serbuan gelombang globalisasi yang melanda berbagai elemen kehidupan bangsa Indonesia. Tentang kandungan KAYM sendiri yang amat kaya itu, biarlah pembaca yang akan memaknainya sesuai dengan kebutuhan sosial dan personal masing-masing. Buku ini sendiri berasal dari disertasi Dr. Ali Rosdin yang dipertahankannya di Universitas Gajah Mada pada 31 Desember 2014. Jadi, segala aspek yang menyangkut isi dan makna KAYM sudah dikupas secara mendetail oleh penulisnya. Setelah membaca buku ini, saya yakin para pembaca akan mendapat gambaran lengkap tentang pengarang, isi, konteks sosio-historis dan aspek bahasa dan literer KAYM.

Salah satu fenomena yang menjadi perhatian utama penelitian di bidang budaya global sekarang adalah munculnya tendensi kembali ke lokalitas. Ini dapat menjelaskan mengapa justru di zaman globalisasi sekarang ini muncul banyak konflik di tengah kesempatan luas yang diberikan oleh teknologi komunikasi modern kepada manusia untuk saling mengenal satu sama lain secara lebih mudah. Tentu saja pandangan seperti ini juga sering dibahas dari perspektif post-modernisme yang menganggap bahwa modernitas yang dicapai manusia ternyata tidak membawa kedamaian dan kesejahteraan kepada penduduk di muka bumi ini. Sekarang sering kita mendengar istilah ‘dunia mengecil’ dan dapat dijangkau dengan mudah lewat ujung jari, berkat kemajuan tekonologi sosial media. Namun, kita melihat bahwa pada saat yang sama muncul gerakan eklsusivitas (ketertutupan) dengan menggunakan berbagai penanda – agama, etnisitas, kelas sosial, dan lain sebagainya. Friksi-friksi yang cenderung mengarah ke anarkisme tak dapat dihindari. Indonesia juga menghadapi fenomena ini, baik dalam konteks nasional maupun regional.

Kita dapat mengamati bahwa sekarang ini di banyak daerah di Indonesia kohesi etnisitas terasa makin renggang. Demikianlah umpalanya, karena pemilihan kepala daerah (pilkada) saja, orang-orang sesama suku (clan) atau yang berasal dari etnis yang sama tega saling berbunuhan. Ini tentu sesuatu yang tidak kita harapkan karena rasa kebersamaan dan tenggang rasa akan menjadi lemah dan terus tergerus, yang menyebabkan mudahnya timbul friksi sosial. Hal ini disebabkan oleh aus atau mengaburnya simbol-simbol pengikat etnisitas dan juga nasionalitas akibat serbuan unsur-unsur budaya asing yang datang dari luar. Dalam konteks inilah kehadiran buku ini, dan buku-buku yang sejenis, yang kembali mengapungkan simbol-simbol lokalitas masa lampau, untuk diperkenalkan kembali kepada generasi muda di zaman sekarang, dirasa sangat penting dan amat relevan. KAYM akan dapat mengingatkan pembaca masa kini pada eksistensi dan kohesivitas etnis Buton di masa lampau, sebuah model yang dapat ditularkan kepada bagian lain dari masyarakat Indonesia yang berbilang etnis dan budaya ini.

Dalam pengamatan historis saya terhadap Buton, saya mendapat kesan bahwa, walaupun hanya sebuah kerajaan yang relatif kecil, yang tak henti-hentinya menjadi korban rebutan pengaruh dari dua kerajaan tetangganya yang lebih besar, Gowa dan Ternate, Buton memiliki dignity yang luar biasa.[3] Sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Buton berdiri utuh sejak awal berdirinya pada paroh pertama abad ke-14 sampai akhir hayatnya pada tahun 1940-an. Inilah kerajaan lokal Indonesia yang politik internalnya paling ‘stabil’ dibanding banyak kerajaan lainnya di Nusantara pada masa yang sama. Para bangsawan Buton berhasil menjaga kedaulatan Kerajaan Buton melewati fluktuasi ang melindunginya. Penyerbuan VOC terhadap Buton beberapa kali akibat kasus penyerangan yang dilakukan orang Buton di bawah pimpinan Mascaƒarƒe Vryman (preman Makassar) Frans Fransz ke kapal VOC Rustenwerk pada 28 Juni 1752, yang lama sesudah itu tetap menjadi faktor yang mengganjal hubungan Buton – VOC,  adalah salah satu contoh perlakuan Belanda yang buruk terhadap Buton lantaran Buton tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh pedagang  rempah berkulit putih dan berperangai kasar dari  Eropa itu.[4] Dalam kaitannya dengan hal ini, sosok sultan Buton La Karambau atau Sultan Himayatuddin (memerintah 1751-1752 dan 1760-1763), yang mempertaruhkan jiwa raganya untuk mempertahankan harga diri Buton dari tindakan semena-mena VOC, adalah contoh taulandan yang perlu ditiru oleh masyarakat Buton masa kini.[5]

Sejarah Buton menunjukkan bahwa kerajaan ini memiliki sebuah model pemerintahan lokal yang ‘ideal’, yang sampai batas tertentu telah mengamalkan sistem trias politika seperti yang dikenal dalam sistem pemerintahan negara modern.[6] Oleh sebab itu, selama berabad-abad kerajaan archipelagic ini utuh, lantaran tidak pernah terjadi konflik internal yang sangat serius di antara para bangsawannya karena saling sikut dan berebut kekuasaan, sebagaimana terjadi di Jawa dan banyak daerah lainnya di Nusantara pada zaman lampau. Di sisi lain, hal ini tentu juga disebabkan oleh kemampuan para bangsawan Buton dalam membendung pengaruh atau campur tangan Belanda di dalam Istana Wolio. Banyak bukti sejarah menunjukkan bahwa jika orang asing sudah bisa berbuat semaunya di dalam rumah kita sendiri, maka timbulnya perpecahan di kalangan penghuni rumah tinggal menanti waktu. Memang pada paroh kedua abad ke-18 para bangsawan Buton hampir-hampir terbelah dua oleh pengaruh buruk VOC yang secara licik memaksakan berbagai pasal perjanjian kepada Buton (seperti Perjanjian 1613, Perjanjian 1667, Perjanjian 1766, dan Kontrak Perjanjian 1791): mereka yang cenderung pro VOC dan yang anti. Namun, dalam keadaan kritis, raja yang berkuasa, seperti Sultan Himayatuddin, bersedia lengser demi keutuhan kerajaan. Hal ini antara lain karena adanya mekanisme kontrol yang ekektif dari Sarana Wolio, khususnya ‘DPR’ Sio Limbona, sehingga raja tidak bisa bertindak otokratif absolut dalam memerintah. 

Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan bahwa sistem pemerintahan tradisional Buton adalah salah satu model yang terbaik di Nusantara. Distribusi kekuasaan per eselon sudah dikenal di kerajaan ini, sejak dari lingkungan istana sampai ke otoritas pelabuhan (sabandara, syahbandar). Dalam banyak iven politik, raja tampak tidak rakus menonjolkan diri, apalagi memaksakan pencitraan. Demikianlah umpamanya, Syahbandar Kamilanta, salah seorang pejabat pelabuhan Buton yang terkenal di abad ke-18, adalah salah seorang representatif raja yang sering mewakili Sultan dalam banyak peristiwa politik yang terkait dengan orang asing. Dengan kata lain, sistem administrasi politik Kerajaan Buton relatif rapi dan memiliki penjenjangan yang memungkinkan terjadinya kontrol dan koreksi dari berbagai level.

Selain faktor-faktor yang sudah saya sebutkan di atas, sistem pembagian jatah kekuasaan antara kaomu dan walaka jelas merupakan mekanisme yang mampu mereduksi terjadinya konflik politik di kalangan elite Buton. Demikian juga halnya dengan sistem administrasi kerajaan yang mengenal kadie dan barata, yang sampai batas tertentu memiliki hak otonomi untuk mengurus wilayahnya masing-masing. Jadi, sistem pemerintahan tradisional Buton tidak mempraktekkan monarki absolut sebagaimana dikenal di Jawa dan banyak tempat lainnya di Nusantara.[7] Faktor-faktor lain, langsung atau tidak, tentu juga memberi pengaruh, seperti  mekanisme sistem pangka yang relatif fleksibel, dan juga karena posisi Buton yang secara geopolitik terus merasa terancam oleh dua kerajaan besar tetangganya, Gowa dan Ternate, yang mungkin menjadi faktor pendorong bagi orang Buton untuk tetap merasa bersatu-padu dengan kohesi etnisitas yang tinggi. Itulah faktor-faktor yang, menurut saya, menyebabkan Kerajaan Buton  tetap utuh selama lebih kurang 7  abad, sebelum bergabung secara sukarela dengan Republik Indonesia pada  tahun 1960.

Akan tetapi, lepas dari semua itu, menurut saya ada satu faktor kunci yang menyebabkan semua itu menjadi mungkin, yaitu peran agama Islam di kerajaan Buton. Islam telah menjadi ‘pakaian’ dalam kehidupan orang Buton, baik di kalangan rakyatnya, lebih-lebih lagi para bangsawannya. Kaum penguasa (kaomu dan walaka) dikontrol oleh prinsip-prinsip hidup yang mengamalkan ajaran Islam secara kaffah. Berbagai studi telah menunjukkan betapa dalamnya pengaruh Islam dalam lingkungan Istana Wolio – para bangsawan maupun raja-raja yang memerintah.[8]  Mesjid Sultan (Mesjid Keraton) yang sampai sekarang masih berdiri dalam lingkungan Keraton Buton yang dikelilingi oleh Benteng Baadia, benteng terluas di dunia itu (3 km2), adalah saksi sejarah yang tak terbantahkan mengenai peran kuat Islam sebagai pedoman dan kompas kehidupan bangsawan dan rakyat Buton di masa lampau. Seudah sejak zaman dulu, sebagaimana dicatat oleh seorang ambtenaar Belanda, Mesjid Keraton adalah pusat aktivitas keagamaan bangsawan Buton dan rakyatnya, yang pada hari-hari besar Islam menjadi medan pertemuan dan silaturahmi antara penguasa Buton dan rakyatnya.[9]

Namun, saya melihat sesuatu yang unik dan luar biasa menyangkut peran Islam dalam sistem kekuasaan di Buton, yaitu menyatunya Martabat Tujuh dalam diri para sultan Buton.[10] Sosok yang paling cocok untuk menggambarkan hal ini tentu Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin (1824-1851). Beliau tidak hanya sebagai seorang sultan yang sangat religius dan kuat, tapi juga seorang penguasa  adil yang suka menulis. Kelindan kuat antara Islam dan kehidupan kaum bangsawan itu telah melempangkan jalan bagi pembumian tradisi tulis yang ditopang oleh aksara Jawi di Kerajaan Buton, yang telah membentuk kebiasaan menulis, dengan sokongan kuat istana sebagai scriptorium-nya. Hasilnya, sebagaimana masih dapat dilihat sampai kini, adalah ratusan naskah Buton yang telah mendokumentasikan nilai sosial, budaya, agama, dan politik etnis Buton masa lampau.

Paling tidak ada sekitar tujuh kabanti berbahasa Wilio yang ditulis oleh Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin: Bula Malino, Tazikira Momampodona, Jauhara Manikamu Molabi, Kanturuna Mohelana, Fakihi, Nuru Molabina, dan Kanturuna Mohelana II. Meminjam kata-kata intelektual muda Buton, Yusran Darmawan, yang menulis refleksi menarik mengenai Sultan Buton ke-29 ini, Muhammad Idrus Kaimuddin adalah seorang  “[s]ufi yang begitu produktif menulis buku dan syair  […].  Di zaman ketika manusia di belahan bumi lain masih belum mengenal aksara [dan] ketika sejumlah bangsa-bangsa masih belum mengenal tradisi tulis, Idrus sudah mendiskusikan sejumlah tema-tema besar dalam filsafat yang hingga kini masih menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan di kalangan para filosof, misalnya konsep fana dan baqa, tentang kesementaraan manusia dan alam serta abadinya sang pencipta, konsep manifestasi Ilahi atau teofani (tajalliyat) atas semua realitas di muka bumi, hingga [ke] tangga-tangga perjalanan manusia demi menggapai kesempurnaan, menjadi insan kamil, insan yang sempurnya.”[11] Beliaulah Sultan Khalifatullah  yang, walaupun berkuasa tapi, rendah hati, menyebut dirinya “Aederusu Matambe” (Idrus yang hina), di samping banyak gelar lainnya yang diberikan kepada beliau.[12]

Tentunya pencapaian literasi dan kedalaman pemahaman agama Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin itu, langsung atau tidak, dimungkinkan oleh kehadiran seorang ulama besar yang menjadi mentor spiritualnya: Haji Abdul Ganiu, pengarang KAYM. Sosok ulama mumpuni ini menjadi cerminan tentang kelit kelindan kuat antara pemimpin agama dan  pemimpin kerajaan dalam sistem sosial-politik Buton. Haji Abdul Ganiu mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Lah Niampe, “bahwa  dinamakan dia Sultan Butun ituSultan Khalifatullah’ karena wajib al-wujud mempunyai dua hakikat dirinya; pertama hakikat wajibnya karena ia asal usul bangsa sultan (bangsawan), dan kedua, hakikat wujudnya karena ia lagi-lagi tiada mempunyai kekurangan lagi suci. Ia mencapai daripada pekerjaannya.”[13]  Kita mendapat kesan bahwa pada masa itu, kaum ulama di Buton menjadi  ‘guru’ bagi kaum penguasa, bukan sebaliknya, seperti sekarang, dimana kaum ulama cenderung tunduk di bawah kemauan golongan penguasa.

Dalam konteks inilah hadirnya buku Nilai nilai Masyarakat Buton: Sumbangan Kabanti Ajonga Yinda Malusa untuk Revolusi Mental Indonesia karya Dr. Ali Rosdin ini patut disambut gembira, karena, sebagaimana telah saya sebutkan di atas, buku  ini menghadirkan magnum opus’ Haji Abdul Ganiu dalam porsi yang paling lengkap, sebab buku ini berasal dari disertasi beliau yang tentu saja telah melewati uji ilmiah yang kritis. Kabanti Ajonga Yinda Malusa, sesuai dengan artinya dalam bahasa Indonesia, benar-benar merupakan pakaian yang tidak luntur’, pedoman hidup yang tahan lama, yang selalu relevan sepanjang zaman bagi siapapun yang ingin mengamalkan nasehat-nasehat yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, semua nasehat moral dan keagamaan yang dikemukakan oleh guru spiritual para sultan Buton di masa lampau tersebut patut dibaca dan dipelajari kembali oleh semua orang yang memerlukan pedoman hidup dalam mengahadapi cabaran zaman pancaroba yang begitu hebat tapi sekaligus mengkhawatirkan yang dihadapi oleh manusia di abad ke-21 ini.

Sejak 1998 sampai sekarang saya tinggal di Eropa, tepatnya di Belanda – Tanah Dingin’, meminjam penamaan negeri penjajah itu oleh orang Indonesia di zaman kolonial. Apa yang saya amati adalah bahwa bangsa-bangsa Barat sebenarnya lebih konservatif’ daripada kita. Banyak tradisi warisan nenek moyang mereka yang sudah berusia ratusan, bahkan ribuan tahun, tetap dipertahankan, diamalkan, dirayakan setiap tahun. Dengan cara itu mereka menjaga identitas mereka dan hubungan sejarah dan emosi dengan negeri sendiri. Mereka berhati-hati dan tahu apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Kita justru berkecenderungan sebaliknya: merasa bahwa semua unsur budaya masa lampau warisan nenek moyang kita adalah buruk, ketinggalan zaman, dan, karena itu, dengan tanpa pikir panjang ditinggalkan, dihancurkan. Kita cenderung  menganggapnya sudah kuno dan tidak relevan lagi. Unsur-unsur monarki lokal yang menjadi identitas kita berbilang abad dihancurkan tanpa pertimbangan apa pun, sementara di Eropa simbol-simbolnya tetap dilestarikan, seperti di Belanda, Inggris, Belgia, dll.[14] Akibatnya, kita kehilangan jatidiri dan identitas sendiri, mengalami ketercerabutan dari akar budaya sendiri.  Bangsa kita (pemimpin dan rakyatnya) belum juga sadar akan kekeliruan ini. Yang justru makin mewabah adalah sindrom xenocentrism akut: perasaan bahwa sesuatu yang berasal dari budaya asing (Barat) lebih dianggap unggul daripada budaya sendiri – mabuk modern dan gila barat’, meminjam istilah Indonesianis Joris Jedamski.[15]

Sudah saatnya bangsa Indonesia menyadari amensia sejarah dan kekeliruan kultural ini. Banyak konsep-konsep dan praktek sosial, politik, dan ekonomi yang berasal dari budaya lokal kita sendiri yang mestinya dipertahankan karena memiliki nilai-nilai yang tak kalah unggulnya dengan budaya asing. Kehadiran buku ini adalah untuk mengingatkan mutiara’  milik kita sendiri yang selama ini cenderung kita abaikan karena mata kita silau oleh kilatan emas celupan’ milik orang lain. Lihatlah betapa buruk efek demokrasi yang diadopsi dari Barat yang diterapkan di negeri ini, sementara konsep-konsep politik lokal yang pernah kita punya, seperti yang dipraktekkan di Kerajaan Buton di masa lampau, kita abaikan, kita buang begitu saja. Dengan ini, saya hendak mengatakan bahwa nilai-nilai KAYM tidak hanya relevan bagi masyarakat Buton, tapi juga bagi bangsa Indonesia pada umumnya.

Tidak hanya isi dari KAYM yang penting dipedomani oleh masyarakat kita sekarang, tapi hubungan pengarangnya dengan penguasa Buton juga dapat menjadi contoh teladan bagi siapa pun yang menjadi pemimpin agama dan penguasa di zaman kini. Haji Abdul Ganiu dapat menjadi teladan bagi para ulama kini untuk menempatkan diri dalam lingkaran kekuasaan yang sering menggoda iman. Di sisi lain, sosok sultan Sufi seperti Muhammad Idrus Kaimuddin dapat menjadi anutan bagi para penguasa dalam menggunakan kekuasaannya yang dirahmati Tuhan dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Dalam perspektif ini, tidak berlebihan kiranya jika saya katakan bahwa ajaran-ajaran moral dan spiritual dalam Kabanti Ajonga Yinda Malusa mungkin dapat menjadi  ‘mata air jernih’ yang dapat menyegarkan gerakan revolusi mental yang sedang didengung-dengungkan di negeri ini, yang tampaknya cenderung stagnan. Ia melengkapi sumbangan Sultan Buton terakhir, La Ode Falihi yang, dengan tanpa ragu, dengan lapang dada, dan dengan kerelaan hati, berkata kepada Presiden Soekarno untuk bersedia meleburkan kerajaannya, yang diwariskan oleh para pendahulunya sejak abad ke-14, ke dalam wilayah Republik Indonesia tercinta ini.

Dengan ini, saya akhiri pengantar saya ini, dengan harapan bahwa bangsa Indonesia, khususnya Buton, negeri yang telah berkali-kali saya kunjungi tetapi ingin kembali lagi, akan tetap eksis dalam perubahan dunia ini dengan tetap berpijak pada akar budaya dan identitas sendiri.

Leiden, Belanda, Musim Dingin 2015
 



  


[1] Lihat: Suryadi, “A linguistic kaleidoscope of the Malay letter: The case of eighteenth century official letters from the Sultanate of Buton”, Wacana. Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya 16 (2), 2015: 304-338; Suryadi, “Dua pucuk surat Kerajaan Buton dari abad ke-17: Kandungan isi dan konteks sejarah”, Jurnal Filologi Melayu 17, 2010: 123-148; Suryadi, “Surat-surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I, koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda”, Humaniora. Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada 19(3): 284-301; Suryadi, “Warkah-warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden”, SARI. Jurnal Alam dan Tamadun Melayu, ATMA Universiti Kebangsaan Malaysia 25: 125-216.
[2] Yang saya maksud adalah proyek “Locating, documenting and digitising: preserving the endangered manucripts of the legacy of the Sultanate of Buton, South-Eastern Sulawesi Province, Indonesia”, di bawah the Endangered Archives Programme, the British Library (EAP212), 2008-2010. Lihat: http://eap.bl.uk/database/results.a4d?projID=EAP212 (diakses 15 Desember 2015).

[3] Mengenai sejarah Buton, lihat antara lain: Abdul Mulku Zahari, Sejarah dan adat fiy Darul Butuni [Buton]. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977 (3 Jilid);  Susanto Zuhdi, G. A. Ohorella dan M. Said D, Kerajaan tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995; Susanto Zuhdi, Sejarah Buton yang terabaikan: Labu Rope Labu Wana. Jakarta: Rajawali Press  & Yayasan Kebudayaan Masyarakat Buton, 2000; Pim Schoorl, Masyarakat, sejarah dan budaya Buton. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003. Lihat juga sumber klasik: A. Ligtvoet, Beschrijving en geschiedenis van Boetoen”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 26, 1878: 1-112.

[4] Peristiwa yang sangat memilukan itu, lantaran banyaknya orang Buton yang mati akibat serangan-serangan Belanda terhadap Buton (termasuk beberapa orang bangsawan yang jadi korban), tertanam jauh di dalam memori kolektif orang Buton selama beberapa generasi, dan dicatat dalam beberapa kabanti, termasuk KAYM. Tentang peristiwa penyerangan terhadap kapal VOC  Rustenwerk, lihat sumber klasik dari versi Belanda dalam: Bernardus Mourik, Twee-Rampspoedige Zee-reyzen, den eenen gedaan door ...Capitein Morin, met een Fransch Oost-Indisch Compagnie-schip, genaam Le Prince, behelzende een verhaal...op woensdag den 26 April 1752; den anderen met hel Hollandsch Oost-Indische Compagnie schip, genaam Rustenwerk, zynde ten anker leggende, in de Straat en voor het eiland Boeton, door de Mooren en Bokkaneezen, inwoonderen van dat eiland...jammerlyk vermoord geworden enz,; op woensdag den 28 juny 1752, hlm. 16-34. Amsterdam: Bernardus Mourik, [c.1752].
[5] Lebih jauh tentang Sultan La Karambau, lihat: Susanto Zuhdi, Perang Buton vs Kompeni-Belanda: Mengenang kepahlawanan La Karambau. Jakarta: Komunitas Bambu, 2015.
[6] Lihat: Al Semantani Jones, “Kerajaan Buton: Kerajaan Melayu demokratik”, https://www.facebook.com/alsemantani.jones/posts/345218932303463 (diakses, 19 Desember 2015)
[7] Salah satu sistem yang agak mirip dengan Buton, dalam pengertian memiliki unsur ‘demokrasi’, adalah sistem politik tradisional Minangkabau di Sumatera di mana nagari-nagari sebagai ‘republik-republik kecil’, yang berjumlah lebih dari 500 buah, memiliki hak otonomi penuh dan berdiri sejajar satu sama lain. Sedangkan Kerajaan Pagaruyung di Luhak Tanah Datar lebih dianggap sebagai patron saja. Para pemimpin nagari menaruh respek kepada penguasa Pagaruyung tapi tidak tunduk kepadanya dan secara politis bukan berada di bawah pengaruhnya. Kemiripan antara sistem geopolitik Buton dan Minangkabau ini mungkin bukan kebetulan, mengingat kisah mia patamiana sebagai cikal-bakal nenek moyang orang Buton dikatakan berasal dari tanah Melayu di Barat Nusantara (mungkin ada yang berasal dari Minangkabau). Walau bagaimanapun, pernyataan saya ini lebih bersifat spekulatif, yang tentunya memerlukan penelitian ilmiah lebih lanjut. Tentang sistem geopolitik Minangkabau tradisional, lihat misalnya L.C. Westenenk, De Minangkabausche nagari. Padang: Baümer & Co., 1913 [Dicetak ulang dalam: Mededeelingen van het bureau voor de bestuurszaken der buitenbezittingen bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau afl. 8, 1915, II: 88-193.] Untuk sumber yang lebih modern, lihat A.A. Navis, Alam terkembang jadi guru: Adat dan kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers, 1984.
[8] Untuk sekedar menyebut contoh, lihat: Abdul Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam sistem kekuasaan di Kesultanan Buton pada abad ke-19.  Jakarta: INIS, 1995 (Seri INIS XXIV); Abdul Rahim Yunus, “Nazariyyah Martabat Tujuh (The theory of ‘Martabat Tujuh’) in the political system of the Buton Sultanate”, Studia Islamika 2,1, 1995: 93-110; La Niampe, “Nasihat Haji Abdul Ganiu kepada Sultan Laode Muhammad Idrus Qaimuddin: Analisis berdasarkan naskah Kabanti “Ajonga Inda Malusa” [Makalah Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara III,  Jakarta, 12-13 Oktober 1999]; La Niampe, “Unsur tasawuf dalam naskah Undang-undang Buton”, Jurnal Lektur Keagamaan 9,1, 2011: 63-92; Ali Rosdin, “Aspek kultural ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dalam keislaman orang Buton: Kajian terhadap Kabanti Ajonga Inda Malusa”, El-Harakah. Jurnal Penelitian UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang 16,1, 2014: 81-99.
[9] E.J. van den Berg, “De viering van den raraja hadji in de kota Wolio (Boeton)”, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 77, 1937: 650-660.
[10] Tentang hal ini, lihat antara lain dua karya Andul Rahim Yunus (1995a,b) sebagaimana telah disebutkan dalam catatan 8.
[12] La Niampe, “Mengungkap ketokohan Muhammad Idrus”, http://pusatstudiwakatobi.blogspot.nl/2011/04/mengungkap-ketokohan-muhammad-idrus.html (diakses 19 Desember 2015).
[13] Ibid.

[14] Dalam hal ini para pemimpin Malaysia terkesan lebih bijak: negara jiran itu masih mempertahankan lembaga Melayu beraja. Mereka tidak gegabah ingin memu[s]nahkannya. Walaupun kekuasaan monarki-monarki lokal di Malaysia sudah dibatasi, tapi simbol-simbol budaya Melayu yang melembagakan adat beraja tetap dipertahankan oleh negara itu.  Tahta raja nasional, yang  menjadi simbol negara dan berkedudukan di Kuala Lumpur, digilir secara periodik di antara 11 sultan dari kerajaan-kerajaan lokal yang tergabung dalam Persekutuan Malaysia.  Kita melihat hal ini berefek positif bagi pemertahanan identitas kemelayuan sampai kini di Malaysia. Salah satu segi kelemahan Soekarno adalah karena beliau terlalu ceroboh dan tanpa pikir panjang meleburkan seluruh kerajaan lokal Nusantara ke dalam wilayah negara baru yang bernama ‘Republik Indonesia’, tanpa menyadari bahwa hal itu berakibat pada penghilangan identitas budaya dan pemerintahan lokal Nusantara yang, kalau dipertahankan dengan selektif, mungkin memberi nilai positif terhadap identitas keindonesia modern kita.
[15] Doris Jedamsky, “Mabuk modern” and “Gila Barat”: Progress, modernity, and imagination: Literary images of city-life in colonial Indonesia”. [Makalah pada The 1st Conference of EUROSEAS “Keys to South-East Asia”, Leiden, 29 June -1 July, 1995].

Baca juga: 

Tidak ada komentar: