Senin, 29 Juni 2015

GALELA: KOPRA DAN PERADABAN PERAHU BUTON YANG HILANG

Oleh: Sumiman Udu

Perjalanan Masa lalu yang telah membawa kisah yang panjang pada generasi tua Wakatobi, yang kini hempir hilang. Perubahan sistem ekonomi pelayaran perahu karoro mengumpulkan kopra dari Marirtim Timur Nusantara telah melenyapkan pelayaran ini. Tahun 1980-an pelayaran ini memberikan suatu kemajuan luar biasa, khususnya pelabuhan Pantai Patuno. Pelayaran Kopra yang banyak menyimpan cerita, namun tak satupun generasinya yang ingin menjelajahi pelayaran ini.
Ekspedisi Maritim yang di biayai oleh pemerintah Daerah kabupaten Wakatobi melalui APBD tahun 2015  adalah salah satu upaya untuk menghidupkan kembali jaringan perdagangan kopra dari Maluku ke Jawa dan Makassar. Jaringan perdagangan kelapa yang pernah boming pada tahun-tahun 1980-an menjadi sunyi. Tergantikan oleh pengumpul kelapa di berbagai pelabuhan kontainer di Maluku. Pelayaran Perahu yang hanya menjadi pengantar tidur anak-anak Wakatobi, yang sebentar lagi akan hilang seiring dengan kedatangan Malaikat menjemput para Juragan dan Sawi yang kini sudah mulai sepuh. Benarlah, bahwa menulis pelayaran ini, seolah berburu dengan para malaikat. Kalau Malaikat yang lebih dulu datang menjemput informan, maka cerita seputar informan akan hilang, kerena malaikat telah mencabutnya bersama kepergiannya yang tak akan pernah kembali.

Pelayaran yang dilakukan dalam ekspedisi Maritim Timur Nusantara ini adalah salah satu komitemen pemerintah Kabupaten Wakatobi untuk mendokumentasikan jejak pelayaran perahu karoro dalam perdagangan kopra. Beruntung, malaikan masih sedikit malas untuk menjemput para informan yang saat ini rata-rata sudah dijadwalkan oleh para malaikat. Keberuntungan generasi mendatang, tercatat dalam berbagai cacatan kecil, dan buku kecil sebagai catatan ekspedisi maritim. Generasi mendatang masih mengenal catatan itu, karena saat generasi mendatang mencari cerita itu, sungguh semuanya sudah dibawa oleh para malaikat.
Peragu Ekspedisi
Kumulailah cerita itu, dengan kisah suatu sore di Galela, sore itu sekitar pukul 12:00 kami putuskan untuk menuju Galela, salah satu kota yang menyimpan peradaban di Halmahera. Perjalanan dimulai dengan menyelusuri jalanan di kota Tobelo yang mulus dan lebar. Mengingatkan kita pada komitmen pemerintah daerah pada pembangunan infrastruktur dasar. Menyelusuri sepanjang jalan itu, menyaksikan pohon kelapa, cengkeh, dan pala tumbuh hampir disepanjang jalan.

Senja itu, tumbuhan Enceng Gondok di danau Tanjung Mabunga semakin meraja. Sementara ibu-ibu yang mencuci di pinggir danau semain asyik dengan teriakan anak-anak yang bermain layangan di pinggir danau. Sebuah restoran terapung dipinggir danau menjadi saksi terhadap siapapun yang pernah datang menikmati indahnya danau ini. Jalan keliling menyusuri perkampungan penduduk dengan menikmati indahnya danau dan lambaian daun kelapa di sekeliling. Disertaibau lumpur yang khas danau membuat senja itu semakin sempurna.  Di utara gunung-gunung menjulang tinggi, seoalah membahasakan betapa hebatnya Tuhan melukis tanah Galela Halmahera Utara.


Suasa itu akan terasa indah dan sama saja kita menjejak akar peradaban di Galela ketika mobil Avanza hitam itu turun di rumah H. La Tara seorang tetua di tanah Galeola, lahir dari hasil perkawinan ayahnya orang Tomia dengan ibunya asli Galela. Dari jalan rumah itu, masih kelihatan kontruksi tahun 1980-an. Rumah batu yang besar tetapi masih pendek. Di depannya ada biji dan bunga pala yang sedang di jemur. H. Suwarno yang kebetulan menjadi kepala suku Sulawesi Tenggara di Halmahera Utara memahami betul hampir semua anggota kerukunanan. Suwarno atau lebih akrab kami panggil La No turun duluan dari mobil. Ia mengecek apakah pak Haji La Tara sudah sehat dan dapat menerima kami atau tidak, karena beberapa bulan lalu H. Suwarno menjenguk Bapak haji di Rumah Sakit Tobelo.

Memassuki pagar rumah H. La Tara mengingatkan kita bagaimana VOC memiliki keinginan untuk mengotrol wilayah utara Halmahera. Bau bunga pala telah menyapa hidung kami dengan indah. Bau wangi pala menghias indahnya senja itu. “Assalamu Alaikum, suara Suwarno di depan pintu rumah pak Haji. Di dalam cucu Pak Haji datang membukakan pintu dan Pak Haji LaTara memilih untuk bercerita di ruang tengah. Saat itu, saat tim menanyakan tentang kapan Pak Haji La Tara tiba di Tanah Galela? Ia hanya menjawab, “Saya sudah lahir di sini, tahun 1931 saya sudah lahir, saat ini umurku sudah 83 tahun. Sewaktu saya datang di sini adat masih sangat kuat, perdaban lama masih ada, kebiasaan minum aren masih menjadi kebiasaan orang kampung. Sehingga kami masih harus menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. 

H. La Tara mengenang perdagangan masyarakat Tobelo yang tukar kopra dengan stroking yang di bawa oleh perahu yang bernama La Amini dari Tomia[1]. Saat ini keluarga La Amini tinggal di Ternate. Ia juga mengenal pertama kali ayahnya datang ke daerah ini dan bagaimana ia menyatu dengan masyarakat setempat. Mereka langsung menyatu dengan masyarakat, karena subtansi dari setiap peradaban manusia, bukan pada adat dan tradisi yang mereka miliki, tetapi subtansi dari peradaban yang ada di manapun adalah bagaimana menghidupkan rasa kemanusiaan.

Kebersamaan telah melahirkan peradaban baru di Galela, hidup katong basaudara menjadi landasan kehidupan masyarakat Galela selama puluhan tahun. Kelapa menjadi awal kehidupan di daerah ini. Siapapunya yang datang ke Galela, selalu menempatkan kelapa sebagai target mereka. Hanya saja saat ini, Galela bukan lagi mimpi indah bagi petani kelapa, mengapa? karena harga kelapa sangat mengkhawatirkan. Tidak cukup untuk hidup.

Tahun berapa venis tidak datang ke Galela? Sejak kejadian PKI di sini, tinggal satu dua venis yang datang ke Galela. H. Loji tahun 60-an ke atas masih dataang ke sini, jadi berhentinya venis-venis meninggal di Tobelo tahun 1983 masih ada di Tobelo[2]. Namun Pak H. La tara tidak dapat menentukan secara pasti kapan venis terkahir datang ke wilayah Maluku. Ini dibuktikan pula dengan adanya perahu-perahu karoro yang beroperasi sampai sekarang. Di sisi yang lain, masuknya kapal, pelni, kapal motor seperti KM Harapan Jaya, KM. Surya Teratai telah mengubah pola hubungan para pelaut di kapal venis dengan masyarakat setempat.

Kalau melihat beberapa pelabuhan di Galela, maka tinggal beberapa perahu saya yang berlabuh, karena Galela hanya menjadi kota satelit dari pelabuhan Bandar Dagang Tobelo. Terlebih Tobelo sebagai ibu kota kabupaten Halmahera Utara. 

Kedatangangan pedagang pecah belah di wilayah ini, setelah matinya venis. Ekspedisi selatan Jaya di Jembatan Merah Surabaya juga memberikan pengaruh kepada para pedagang kopra melalui perahu venis. Kebanyakan mereka menggunakan perahu ke beberapa daerah di Maluku, tetapi polanya sudah bergeser. Dari pelayaran perahu papalelel dari kampung ke kampung berubah menajdi perdagangan dengan pola menetap. Pola perdagangan pecah belah yang didukung oleh toko Selatan Jaya  sudah berubah dari pedagang keliling pake perahu ke perdagangan menetap di berbagai  daerah di wilayah Halmahera Utara termasuk sampai ke kabupaten Morotai.  

H. La Tara menjelaskan bahwa masyarakat Buton datang ke sini seperti tinggal di kampung sendiri. Pemikiran H. La Tara tersebut tentunya tidak terlepas dari konsep pobhinci-bhinciki kuli yang selama ini menjadi nilai dasar bagi bangsa Buton. Dimana dalam falsafah itu, semua orang memiliki rasa yang sama. Memperlakukan orang lain, sama dengan memperlakukan diri sendiri. Cubit diri sendiri, sebelum mencubit orang lain. Peradaban itu kemudian yang mengantarkan galela menjadi kampung bagi pak H. La Tara dengan keluarganya. Rasa kemanusiaan yang membuat seluruh etnis dapat hidup bersama. Kasus kerusuhan Maluku tahun 1999 yang lalu, merupakan pelajaran berharga ketika manusia terpecahkan oleh adanya ajaran agama yang radikal. Pecahnya kerusuhan itu, merupakan bentuk ketidakmampuan lembaga-lembaga sosial (seperti agama) dalam menjelaskan tentang rasa kemanusiaan.

Di pantai Galela ditemukan beberapa orang Buton yang menjual, antara lain La Mariadi yang berasal dari Tomia. Ini menunjukan bahwa hidup bersama dalam suasa katong basaudara merupakan konsep yang menjaga kelangsungan kehidupan kemanusiaan di wilayah Halmahera Utara termasuk Galela. Perdagangan yang dilakukan perahu-perahu venis di zaman dulu selama berabad-abad telah mengispirasi kehidupan damai di wilayah ini. Konsep kawin mawin sebagaimana ditemukan pada keluaga H. La Tara dan La Poa merupakan artefak hubungan sosial yang damai.

Pola perdagangan ini, seiring hadirnya fasilitas ekonomi seperti bank-bank, sehingga mereka tinggal memesan di toko relasi mereka di Surabaya, Makassar dan Jakarta. Di kota-kota yang biasanya mensuplai perdagangan mereka adakah Manado atau Bitung. Pola perdagangan modern dengan hadirnya peti kontainer juga mengubah perlayaran maritim di kawasan timur Nusantara termasuk dalam hubungannya dengan wilayah Nusantara barat.

Pola bisnis meodern yang memanfaatkan bank, kontainer memudahkan perdagangan di kawasan Maluku dan Papua. Masyarakat pendatang diterima dengan kosep katong basaudara oleh masyarakat pribumi. Dewasa ini masyarakat Halmahera utama hidup berdampingan, walau sudah dipisahkan oleh kerusuhan Maluku yang mengatasnamakan sara. Namun konsep Libualamo telah mempersatukan masyarakat Halmahera Utara, tak terkecuali bagi mereka yang datang untuk berdagang atau bertani di sana.
Saya Bersama H. La Tara (Salah Seorang Tokoh asal Wakatobi)


Dalam kehidupannya di Galela, H. La Tara berkebun kelapa dan pala. H. La Tara memiliki du puluh hektar tanaman kelapa, tetapi saat ini sudah dibagikan kepada seluruh rakyatnya. Namun karena kondisi harga kelapa yang fulktuasi dan cenderung dikontrol oleh pedagang toke-toke yang ada di Tobelo, maka kelapa menjadi harapan yang kesekian bagi masyarakat Galela. “Kalau masih ada perahu venis, kami tidakmenderita begini, tetapi sekrang kami menderita, harga kelapa sangat rendah jika dibandingkan dengan harga di pasar. Beras sekarang sudah mahal, 25kg dihargai dengan Rp.325.000,-. Sementara harga kelapa 100kg hanya Rp.520.000 akhirnya pertani malas mengurus kelapanya.

“Kami sekarang, senang menanam pala, karena pala harganya mahal, Rp. 80.000 perkilo sementara bunganya lebih mahal lagi. Itu sebabnya pak Haji memilih tanam pala, buat hidup berlanjut. Kami berharap ke depan, harga kelapa dapat bagus seperti sewaktu perahu venis dan masuknya kapal Philipine beberata tahun yang lalu. Ini akan menambah gairah petani dalam menanm dan merawat kelapa” tutur H. La Tara penuh harap.

Perjalanan ekspedisi maritim timur Nusantara dalam neyelusuri jejak perahu venis orang Buton dan keterlibatannya dalam perdagangan kopra, merupakan upaya menghidupkan kembali gairah pertani dalam menanam dan merawat kelapa mereka. Kelapa seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Halmahera Utara termasuk mereka yang tinggal di Galela. Di sinilah kebijakan politik harus dibuat oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Kalau dulu kabupaten Halmahera Utara mencanangkan kabupaten kelapa, memang tidak salah. Karena pohon kelapa yang ada di Halmahera Utara mencapai 49.285 hektar atau setara dengan 4.928.500 pohon kelapa, dengan asumsi setiap hektarnya terdiri dari 100 pohon kelapa maka itu suatu jumlah yang banyak.  Kalau H. La Tara yang hanya memiliki 2000 pohon kelapa menghasilkan 10 ton perpanen, maka dalam satu panen di Halmahera Utara diperkirakan sebanyak 24.648.500 kg kelapa setiap panen dalam jangka waktu empat bulan. Dan dalam setahun panennya tiga kali.
Suatu komoditi yang dapat menghidupkan masyarakat banyak di Halmahera Utara termassuk di Galela. Generasi muda tidak akan memilih kerja di perusahaan kayu di Papua.

Dalam perjalanan ke Morotai, seorang lelaki muda dan anaknya yang masih  kecil, sekitar 7 tahun pergi meninggalkan Halmahera Utara ke biak Papua hanya untuk bekerja di perusahaan kehutanan. Kelapa yang menjadi warisan keluarganya hanya diserahkan kepada ayahnya untuk mengolah. Alasannya karena kelapa tidak dapat lagi membuat kami bertahan hidup. “Harga kelapa terlalu jatuh”, katanya sambil membersihkan mulut anaknya yang mutah di speat boath.
Bangsa ini berutang budi pada masyarakat yang telah menanam kelapa. Mereka telah membayar pajak, menanam kelapa sebagai awal kehidupan mereka. Mereka telah memberikan kehidupan mereka pada komoditi yang kemudian dilupakan oleh negara.
Baca juga
 Benteng Tindoi: Pusat Konservasi Hutan Wangi-Wangi


[1] Wawancara dengan H. La Tara tanggal 29 Maret 2015
[2] Wawancara dengan H. Suwarno tanggal 29 Maret 2015



Tidak ada komentar: