Oleh: Sumiman Udu
Perjalanan Masa lalu yang telah membawa kisah yang panjang pada generasi tua Wakatobi, yang kini hempir hilang. Perubahan sistem ekonomi pelayaran perahu karoro mengumpulkan kopra dari Marirtim Timur Nusantara telah melenyapkan pelayaran ini. Tahun 1980-an pelayaran ini memberikan suatu kemajuan luar biasa, khususnya pelabuhan Pantai Patuno. Pelayaran Kopra yang banyak menyimpan cerita, namun tak satupun generasinya yang ingin menjelajahi pelayaran ini.
Ekspedisi Maritim yang di biayai oleh pemerintah Daerah kabupaten Wakatobi melalui APBD tahun 2015 adalah salah satu upaya untuk menghidupkan kembali jaringan perdagangan kopra dari Maluku ke Jawa dan Makassar. Jaringan perdagangan kelapa yang pernah boming pada tahun-tahun 1980-an menjadi sunyi. Tergantikan oleh pengumpul kelapa di berbagai pelabuhan kontainer di Maluku. Pelayaran Perahu yang hanya menjadi pengantar tidur anak-anak Wakatobi, yang sebentar lagi akan hilang seiring dengan kedatangan Malaikat menjemput para Juragan dan Sawi yang kini sudah mulai sepuh. Benarlah, bahwa menulis pelayaran ini, seolah berburu dengan para malaikat. Kalau Malaikat yang lebih dulu datang menjemput informan, maka cerita seputar informan akan hilang, kerena malaikat telah mencabutnya bersama kepergiannya yang tak akan pernah kembali.
Pelayaran yang dilakukan dalam ekspedisi Maritim Timur Nusantara ini adalah salah satu komitemen pemerintah Kabupaten Wakatobi untuk mendokumentasikan jejak pelayaran perahu karoro dalam perdagangan kopra. Beruntung, malaikan masih sedikit malas untuk menjemput para informan yang saat ini rata-rata sudah dijadwalkan oleh para malaikat. Keberuntungan generasi mendatang, tercatat dalam berbagai cacatan kecil, dan buku kecil sebagai catatan ekspedisi maritim. Generasi mendatang masih mengenal catatan itu, karena saat generasi mendatang mencari cerita itu, sungguh semuanya sudah dibawa oleh para malaikat.
Peragu Ekspedisi |
Kumulailah cerita itu, dengan kisah suatu sore di Galela, sore itu sekitar pukul 12:00 kami putuskan untuk menuju
Galela, salah satu kota yang menyimpan peradaban di Halmahera. Perjalanan
dimulai dengan menyelusuri jalanan di kota Tobelo yang mulus dan lebar.
Mengingatkan kita pada komitmen pemerintah daerah pada pembangunan
infrastruktur dasar. Menyelusuri sepanjang jalan itu, menyaksikan pohon kelapa,
cengkeh, dan pala tumbuh hampir disepanjang jalan.
Suasa itu akan terasa indah dan sama saja kita menjejak
akar peradaban di Galela ketika mobil Avanza hitam itu turun di rumah H. La
Tara seorang tetua di tanah Galeola, lahir dari hasil perkawinan ayahnya orang
Tomia dengan ibunya asli Galela. Dari jalan rumah itu, masih kelihatan
kontruksi tahun 1980-an. Rumah batu yang besar tetapi masih pendek. Di depannya
ada biji dan bunga pala yang sedang di jemur. H. Suwarno yang kebetulan menjadi
kepala suku Sulawesi Tenggara di Halmahera Utara memahami betul hampir semua
anggota kerukunanan. Suwarno atau lebih akrab kami panggil La No turun duluan
dari mobil. Ia mengecek apakah pak Haji La Tara sudah sehat dan dapat menerima
kami atau tidak, karena beberapa bulan lalu H. Suwarno menjenguk Bapak haji di
Rumah Sakit Tobelo.
Memassuki pagar rumah H. La Tara mengingatkan kita
bagaimana VOC memiliki keinginan untuk mengotrol wilayah utara Halmahera. Bau
bunga pala telah menyapa hidung kami dengan indah. Bau wangi pala menghias indahnya
senja itu. “Assalamu Alaikum, suara Suwarno di depan pintu rumah pak Haji. Di
dalam cucu Pak Haji datang membukakan pintu dan Pak Haji LaTara memilih untuk
bercerita di ruang tengah. Saat itu, saat tim menanyakan tentang kapan Pak Haji
La Tara tiba di Tanah Galela? Ia hanya menjawab, “Saya sudah lahir di sini,
tahun 1931 saya sudah lahir, saat ini umurku sudah 83 tahun. Sewaktu saya
datang di sini adat masih sangat kuat, perdaban lama masih ada, kebiasaan minum
aren masih menjadi kebiasaan orang kampung. Sehingga kami masih harus
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
H. La Tara mengenang perdagangan masyarakat Tobelo yang
tukar kopra dengan stroking yang di bawa oleh perahu yang bernama La Amini dari
Tomia[1].
Saat ini keluarga La Amini tinggal di Ternate. Ia juga mengenal pertama kali
ayahnya datang ke daerah ini dan bagaimana ia menyatu dengan masyarakat
setempat. Mereka langsung menyatu dengan masyarakat, karena subtansi dari
setiap peradaban manusia, bukan pada adat dan tradisi yang mereka miliki,
tetapi subtansi dari peradaban yang ada di manapun adalah bagaimana
menghidupkan rasa kemanusiaan.
Kebersamaan telah melahirkan peradaban baru di Galela,
hidup katong basaudara menjadi landasan kehidupan masyarakat Galela selama
puluhan tahun. Kelapa menjadi awal kehidupan di daerah ini. Siapapunya yang
datang ke Galela, selalu menempatkan kelapa sebagai target mereka. Hanya saja saat ini, Galela bukan lagi mimpi indah bagi petani kelapa, mengapa? karena harga kelapa sangat mengkhawatirkan. Tidak cukup untuk hidup.
Tahun berapa venis tidak datang ke Galela? Sejak kejadian
PKI di sini, tinggal satu dua venis yang datang ke Galela. H. Loji tahun 60-an
ke atas masih dataang ke sini, jadi berhentinya venis-venis meninggal di Tobelo
tahun 1983 masih ada di Tobelo[2].
Namun Pak H. La tara tidak dapat menentukan secara pasti kapan venis terkahir
datang ke wilayah Maluku. Ini dibuktikan pula dengan adanya perahu-perahu
karoro yang beroperasi sampai sekarang. Di sisi yang lain, masuknya kapal,
pelni, kapal motor seperti KM Harapan Jaya, KM. Surya Teratai telah mengubah
pola hubungan para pelaut di kapal venis dengan masyarakat setempat.
Kalau melihat beberapa pelabuhan di Galela, maka tinggal
beberapa perahu saya yang berlabuh, karena Galela hanya menjadi kota satelit
dari pelabuhan Bandar Dagang Tobelo. Terlebih Tobelo sebagai ibu kota kabupaten
Halmahera Utara.
Kedatangangan pedagang pecah belah di wilayah ini, setelah
matinya venis. Ekspedisi selatan Jaya di Jembatan Merah Surabaya juga
memberikan pengaruh kepada para pedagang kopra melalui perahu venis. Kebanyakan
mereka menggunakan perahu ke beberapa daerah di Maluku, tetapi polanya sudah bergeser.
Dari pelayaran perahu papalelel dari kampung ke kampung berubah menajdi
perdagangan dengan pola menetap. Pola perdagangan pecah belah yang didukung
oleh toko Selatan Jaya sudah berubah
dari pedagang keliling pake perahu ke perdagangan menetap di berbagai daerah di wilayah Halmahera Utara termasuk
sampai ke kabupaten Morotai.
H. La Tara menjelaskan bahwa masyarakat Buton datang ke
sini seperti tinggal di kampung sendiri. Pemikiran H. La Tara tersebut tentunya
tidak terlepas dari konsep pobhinci-bhinciki kuli yang selama ini menjadi nilai
dasar bagi bangsa Buton. Dimana dalam falsafah itu, semua orang memiliki rasa
yang sama. Memperlakukan orang lain, sama dengan memperlakukan diri sendiri.
Cubit diri sendiri, sebelum mencubit orang lain. Peradaban itu kemudian yang
mengantarkan galela menjadi kampung bagi pak H. La Tara dengan keluarganya.
Rasa kemanusiaan yang membuat seluruh etnis dapat hidup bersama. Kasus
kerusuhan Maluku tahun 1999 yang lalu, merupakan pelajaran berharga ketika
manusia terpecahkan oleh adanya ajaran agama yang radikal. Pecahnya kerusuhan
itu, merupakan bentuk ketidakmampuan lembaga-lembaga sosial (seperti agama)
dalam menjelaskan tentang rasa kemanusiaan.
Di pantai Galela ditemukan beberapa orang Buton yang
menjual, antara lain La Mariadi yang berasal dari Tomia. Ini menunjukan bahwa
hidup bersama dalam suasa katong basaudara merupakan konsep yang menjaga
kelangsungan kehidupan kemanusiaan di wilayah Halmahera Utara termasuk Galela.
Perdagangan yang dilakukan perahu-perahu venis di zaman dulu selama
berabad-abad telah mengispirasi kehidupan damai di wilayah ini. Konsep kawin
mawin sebagaimana ditemukan pada keluaga H. La Tara dan La Poa merupakan
artefak hubungan sosial yang damai.
Pola perdagangan ini, seiring hadirnya fasilitas ekonomi seperti
bank-bank, sehingga mereka tinggal memesan di toko relasi mereka di Surabaya,
Makassar dan Jakarta. Di kota-kota yang biasanya mensuplai perdagangan mereka
adakah Manado atau Bitung. Pola perdagangan modern dengan hadirnya peti
kontainer juga mengubah perlayaran maritim di kawasan timur Nusantara termasuk
dalam hubungannya dengan wilayah Nusantara barat.
Pola bisnis meodern yang memanfaatkan bank, kontainer
memudahkan perdagangan di kawasan Maluku dan Papua. Masyarakat pendatang
diterima dengan kosep katong basaudara
oleh masyarakat pribumi. Dewasa ini masyarakat Halmahera utama hidup
berdampingan, walau sudah dipisahkan oleh kerusuhan Maluku yang mengatasnamakan
sara. Namun konsep Libualamo telah mempersatukan masyarakat Halmahera Utara, tak
terkecuali bagi mereka yang datang untuk berdagang atau bertani di sana.
Saya Bersama H. La Tara (Salah Seorang Tokoh asal Wakatobi) |
Dalam kehidupannya di Galela, H. La Tara berkebun kelapa
dan pala. H. La Tara memiliki du puluh hektar tanaman kelapa, tetapi saat ini
sudah dibagikan kepada seluruh rakyatnya. Namun karena kondisi harga kelapa
yang fulktuasi dan cenderung dikontrol oleh pedagang toke-toke yang ada di
Tobelo, maka kelapa menjadi harapan yang kesekian bagi masyarakat Galela. “Kalau
masih ada perahu venis, kami tidakmenderita begini, tetapi sekrang kami
menderita, harga kelapa sangat rendah jika dibandingkan dengan harga di pasar.
Beras sekarang sudah mahal, 25kg dihargai dengan Rp.325.000,-. Sementara harga
kelapa 100kg hanya Rp.520.000 akhirnya pertani malas mengurus kelapanya.
“Kami sekarang, senang menanam pala, karena pala harganya
mahal, Rp. 80.000 perkilo sementara bunganya lebih mahal lagi. Itu sebabnya pak
Haji memilih tanam pala, buat hidup berlanjut. Kami berharap ke depan, harga
kelapa dapat bagus seperti sewaktu perahu venis dan masuknya kapal Philipine
beberata tahun yang lalu. Ini akan menambah gairah petani dalam menanm dan
merawat kelapa” tutur H. La Tara penuh harap.
Perjalanan ekspedisi maritim timur Nusantara dalam
neyelusuri jejak perahu venis orang Buton dan keterlibatannya dalam perdagangan
kopra, merupakan upaya menghidupkan kembali gairah pertani dalam menanam dan
merawat kelapa mereka. Kelapa seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat
Halmahera Utara termasuk mereka yang tinggal di Galela. Di sinilah kebijakan
politik harus dibuat oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Kalau dulu kabupaten Halmahera Utara mencanangkan kabupaten
kelapa, memang tidak salah. Karena pohon kelapa yang ada di Halmahera Utara
mencapai 49.285 hektar atau setara dengan 4.928.500 pohon kelapa, dengan asumsi
setiap hektarnya terdiri dari 100 pohon kelapa maka itu suatu jumlah yang
banyak. Kalau H. La Tara yang hanya
memiliki 2000 pohon kelapa menghasilkan 10 ton perpanen, maka dalam satu panen
di Halmahera Utara diperkirakan sebanyak 24.648.500 kg kelapa setiap panen
dalam jangka waktu empat bulan. Dan dalam setahun panennya tiga kali.
Suatu komoditi yang dapat menghidupkan masyarakat banyak di
Halmahera Utara termassuk di Galela. Generasi muda tidak akan memilih kerja di
perusahaan kayu di Papua.
Dalam perjalanan ke Morotai, seorang lelaki muda dan
anaknya yang masih kecil, sekitar 7
tahun pergi meninggalkan Halmahera Utara ke biak Papua hanya untuk bekerja di
perusahaan kehutanan. Kelapa yang menjadi warisan keluarganya hanya diserahkan
kepada ayahnya untuk mengolah. Alasannya karena kelapa tidak dapat lagi membuat
kami bertahan hidup. “Harga kelapa terlalu jatuh”, katanya sambil membersihkan
mulut anaknya yang mutah di speat boath.
Bangsa ini berutang budi pada masyarakat yang telah menanam
kelapa. Mereka telah membayar pajak, menanam kelapa sebagai awal kehidupan
mereka. Mereka telah memberikan kehidupan mereka pada komoditi yang kemudian
dilupakan oleh negara.
Baca juga
Benteng Tindoi: Pusat Konservasi Hutan Wangi-Wangi
Baca juga
Benteng Tindoi: Pusat Konservasi Hutan Wangi-Wangi
[1]
Wawancara dengan H. La Tara tanggal 29 Maret 2015
[2]
Wawancara dengan H. Suwarno tanggal 29 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar