Rabu, 14 Mei 2014

Risma, Haji Mat, Hugua, Puisi dan Burung Kasturi



Oleh: Saleh Hanan

Prolog

Menyebut nama-nama penting itu dalam kebudayaan PNS yang menghamba tanpa menyertakan  frasa beliau, ibu, bapak atau yang terhormat di depan nama, siap-siaplah dicap lancang. Tapi bagi saya dunia ilmu pengetahuan dan jurnalistik menghilangkan keraguan, sebagaimana tak lazim kita membaca penyebutan Bapak Thomas Alfa Edison untuk Thomas Alfa Edison misalnya.
Di luar wibawa yang melekat pada mereka, ilmu pengetahuan menunjuknya sebagai subjek saja. Risma, Hugua dan Haji Mat adalah ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan social (IPS).(Tapi sikap seperti ini hanya akan ada dalam tulisan ini saja).

Mari kita membaca mereka ?
Pertama, Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Saya tidak pernah bertemu, tidak pernah melihatnya mempresentasikan visi yang melangitkan pencitraan untuk dirinya.Tapi semalam saya melihatnya di tivi dating ke Taman Bungkul yang rusak terinjak-injak orang akibat berebut es gratis pada hari minggu 11 Mei 2014. Ia menumpahkan kemarahannya dan memperbaiki taman itu saat itu juga, termasuk dengan tangannya sendiri.


Saya lewat  pada suatu hari dan telah melihat Surabaya  : kota dan manusia yang terurus. Di tengah-tengah sana ada Tri Rismaharini, pemimpin responsive dan pikiran yang operasional. Yang menunjukkan kepada kita seorang wali kota bukan sekedar pemimpin rapat tetapi pemimpin kerja.Saya menulisnya khusus dalam memori.

Kedua, Haji Mat. Nama lengkapnya Haji Ahmad Hidayat Mus, Bupati Kepulauan Sula Propinsi Maluku Utara. Saya tidak pernah bertemu. Saya hanya mendengar ia bekas juragan kayu, berjaya di zaman orde baru, banyak uang, turunan campuran CinaTaliabo dan Buton Tomia. Saya tidak pernah melihatnya di tivi untuk mempromosikan cita-citanya atas Kepulauan Sula yang menggegerkan dunia.Tapi saya pernah datang ke Kepulauan Sula dan melihat sebuah kabupaten yang serius.  Di hutan bakau, di hutan, di kali, di pantai, telah ada informasi dari pemerintah akan pentingnya menjaga kebaikan tempat-tempat itu, misalnya ajakan tidak membuang sampah, tidak menambang batu dan lain-lain. Mengagetkan, mengingat dalam memori lama kami orang Buton, menyebut pulau-pulau Taliabo, Sanana, Obi, Madapolo, Bacan dan sekitarnya tidak lebih identik dengan kebun cengkeh, pohon kelapa dan tempat perahu-perahu layar Buton pergi membarter barang-barang toko dengan kopra.

Kejutan berlanjut ke Kampung Bajo di utara pulau Sanana, ibu kota kabupaten. Rumah-rumah bertiang kayu dan cor  semen, fasilitas desa seperti balai pertemuan, ruang terbuka dan pasar kecil juga di atas tiang, pot dan bunga sepanjang jalan dan gang hadir membedakannya dengan kampong Bajo di Wakatobi.Tentu ‘istimewa’ bagi saya sebab  kampong ini tidak didirikan di atas batu karang yang digali lalu disusun sebagai daratan baru. Komunitas Wakatobi  banyak tinggal di kampong Bajo, baik dari Wanci, Mandati, Liya, BajoMola, Kaledupa dan Tomia dan semua menyatukan identitas sebagai orang Wakatobi. Di ruang-ruang public terdapat informasi pemerintah akan pentingnya melestarikan terumbu karang. Saya terharu sejenak di tengah kampong kecil ini untuk suatu alasan yang saya tulis dengan garis bawah: “Luar biasa, luar biasa, luar biasa. Kampung Bajo bias baik, sebaik ini.Mengapa di Wakatobi  tidak  sebaik ini?Ada yang salah tentunya. Di Wakatobi mereka di dekati dengan fasilitas, uang dan politik sehingga mereka menjadikan fasilitas, uang dan politik sebagai alat untuk mendebat,  “kami merusak atau tidakya tergantung…!”Begitu kira-kira. Tapi di  Kepulauan Sula pemerintah berfungsi sebagaimana mestinya: pelayan dan penegak hukum. Suatu implementasi yang tidak ada di Wakatobi: pelayan disamarkan, ketegasan ditawar.

Tentang hutan bakau tadi dan bibit bakau yang baru tertanam berada persis di sekitar kampong kecil itu dan tak ada yang dicabut atau dirusakkan. Selain kampong Bajo saya mengelilingi lebih separuh desa di pulau Sanana. Desa-desa dimana halaman rumah warga penuh bunga berwarna-warni. Pot-pot dari bamboo atau aneka kaleng bekas memenuhi halaman dan pinggir jalan. Di pusat kota bunga-bunga membelah jalan menjadi dua jalur dan di kiri-kanan pohon pelindung ditanam terawat. Semua geliat indah itu digerakkan ibu-ibu PKK Kabupaten, Kecamatan dan Desa secara regular. Ibu PKK macam ini benar-benar tidak ada di Wakatobi. Semua gairah lingkungan hidup itu dilakukan PNS-PNS.Tapi tidak di Wakatobi.

Tentang pantai, semua pantai adalah area public di Kepulauan Sula. Suatu keberpihakan yang waras dari pemerintah. Di Wakatobi sudah sebagian besar pantai ‘milik’resort,  hotel, orang kaya dan kepala instansi. Suatu anomali. Abnormal mengingat hukum (adat dan nasional) menegaskan pantai sebagai milik bersama.

Haji Mat, mengorganisir dengan baik sumber daya di sekitarnya. Saya tidak menulis lagi untuknya hal khusus karena keistimewaan akan saya memorikan untuk kampong Bajo,  para PNS dan ibu-ibu PKK. Sebagai tambahan, kabupaten Haji Mat bukan taman nasional, bukan cagar biosfer tetapi cukup perduli. Wajah lingkungan tidak mengecewakan.

Ketiga Hugua, Bupati Wakatobi. Saya sering bertemu, mendengar dan melihatnya. Enak diajak bicara, meyakinkan tampil di tivi-tivi nasional, penuh gairah dalam berpidato. Saya juga tinggal di Wakatobi, kabupaten nan tak kunjung tiba pada prespektif lingkungan hidup sebagaimana Kota Surabaya dan Kabupaten Kepulauan Sula. Hugua tidak dating memimpin kerja dan nyelesaikan masalah lingkungan seperti Risma. Tidak didukung PNS dan PKK untuk menyemaikan kesadaran lingkungan hidup seperti Haji Mat. Saya tidak akan menulis banyak lagi. Sudah  habis kata-kata untuknya.

Karena ini tentang kami sendiri: Kabupaten Wakatobi kami, bupati kami, lingkungan hidup kami. Kami separuh mirip potongan naratif Maria Zaitun dalam puisi Nyanyian Angsa karya  WS Rendra, datang menghadap mau melakukan pengakuan, “…, dengarkan saya/…saya telah gagal...” Ya, kami gagal membantunya?

Hugua, kami membuatnya bak burung Kasturi, cakap bersiul, tetapi ia dingins endiri. Sebab ia sendiri tak ingin abadi.

(Tulisan ini sebagai pamitan tidak manis pada Anda semua, mengakhiri 10 tahun saya bekerja sebagai staf TNC dan10 tahun saya membantu WWF di Wakatobi dalam pencapaian-pencapaian out put projectnya).

Saleh

Catatan :
Burung Kasturi (Bahasa Wangi-Wangi) untuk burung Nuri.

 (Surat ini, dikirim Saleh Hanan pada Tanggal 14 Mei 2014)
Sebuah catatan yang ditulis dengan hati, tanpa dendam, benci tetapi semata-mata karena adanya hasrat untuk melihat Wakatobi yang lebih baik. Melihat keindahan menjadi milik kita, hal ini dapat dilihat pada alinea ke tiga dari yang terakhir bahwa "

Karena ini tentang kami sendiri: Kabupaten Wakatobi kami, bupati kami, lingkungan hidup kami. Kami separuh mirip potongan naratif Maria Zaitun dalam puisi Nyanyian Angsa karya  WS Rendra, datang menghadap mau melakukan pengakuan, “…, dengarkan saya/…saya telah gagal...” Ya, kami gagal membantunya?" 

Narasi ini, semestinya melahirkan kesadaran kita bersama, terutama dalam melihat masa depan Waaktobi yang lebih baik. Kalau memang Wakatobi bergeegas untuk membangun pariwisata, maka harapan untuk mewujudkannya harus dilakukan dengan baik, karena Wakatobi bukang butuh burung Kasturi, tetapi Wakatobi butuh kerja nyata.

Baca juga
Subuh 

Tidak ada komentar: