Oleh : Sumiman Udu
Sejak bergabungnya kesultanan Buton ke dalam NKRI tahun 1960-an, rumah besar kebudayaan Buton seakan terkoyak, karena kesiapan lembaga adat dan lembaga sara untuk tetap menjaga rumah besar kebudayaan Buton itu sama sekali tidak siap. Rumah besar kebudayaan Buton seakan hilang begitu saja, seakan semua itu telah tergantikan oleh rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia. Pada hal, di dalam kesadaran pendiri rumah besar kebudayaan Indonesia dijelaskan bahwa kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, dan itu artinya rumah besar kebudayaan Buton seharusnya tetap utuh dan menjadi landasan berpikir, berakhlak dan berkehidupan bagi masyarakat Buton, baik di dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia.
Tiga puluh tahun kemudian, setelah rumah besar kebudayaan yang bernama Indonesia itu hampir roboh terkoyak oleh krisis multidimensional tahun 1997 hingga sekarang, maka pelan-pelan rumah-rumah kecil kebudayaan yang telah menjadi samar di dalam berbagai kebudayaan di Nusantara itu menjadi kerinduan. Para pemilik rumah-rumah kebudayaan disetiap daerah itu kembali dilihat, mereka merindukan puing-puing kebudayaan mereka. Termasuk di dalamnya rumah besar kebudayaan Buton yang hampir terkoyak selama beberapa dasawarsa. Lembaga adat hampir tidak berdaya, dan hampir tidak menjadi naungan dan harapan bagi masyarakatnya sendiri. Masyarakat Buton sudah tidak percaya dengan kebudayaannya sendiri. Masyarakat Buton kehilangan kebanggaannya pada kebudayaan dan bahkan tidak percaya dengan identitas dirinya sendiri.
Pelan-pelan kesadaran untuk meramu rumah-rumah kebudayaan di berbagai daerah itu kembali merebut jarum untuk menyulamnya dalam sulaman kesadaran dan pemahaman kembali terhadap kebudayaan itu. Di sinilah, generasi Buton ingin merebut kembali, tetapi ada yang janggal, setelah memegang jarumnya, tidak tahu lagi, kita mau menyulam kebudayaan itu dalam bentuk seperti apa? Maka muncullah berbagai lembaga adat, lembaga kebudayaan, majalah kebudayaan, yayasan kebudayaan dan semuanya mengatasnamakan rumah besar kebudayaan Buton. Itu tidak salah, sementara yang lain, saling berpikir untuk menghidupkan kembali lembaga Kesultanan Buton tanpa mengerti menusukkan jarum itu dari mana? Maka dilantiklah sultan Buton, diangkatlah siolimbona sebagai usaha untuk menyulam kembali apa yang dimaksudnya dengan rumah besar kebudayaan Buton itu.
Kepingan-kepingan rumah besar kebudayaan itu, telah berantakan, benang-benangnya telah hilang helai demi helai, dan bahkan tidak dikenal lagi sebagai bahan rajutan rumah kebudayaan Buton itu. Sementara sara-sara mesjid yang tersebar di seluruh kadia dan wati di wilayah kesultanan Buton seakan dilupakan. Lembaga adat bekerja sendiri, mengatasnamakan adat, budaya dan rumah besar kebudayaan yang bernama Buton. Oleh karena itu, terjadilah jarak yang lebar antara lembaga adat dan kepentingan sara-sara mesjid yang ada di berbagai mesjid dan kampung. Jarak yang mengoyak control social terhadap lembaga-lembaga adat. Dengan demikian, perlunya satu bentuk pola untuk menyulam kembali rumah besar kebudayaan ini, yaitu bahwa dalam konteks Indonesia seperti saat ini, pelaksana keputusan-keputusan sara (terdiri dari seluruh elemen tokoh masyarakat dan pegawai mesjid) disetiap kampong-kampung itu, harus ada lembaga adat. Lembaga adat harusnya dibentuk dalam konteks rumah besar kebudayaan Buton yang dihadiri oleh para pemikir, pemerhati kebudayaan, dan para budayawan untuk mendudukkan konsep mengenai kembalinya rumah besar kebudayaan itu.
Lembaga adat, seyogyanya hanya menjadi badan pekerja yang melaksanakan berbagai keputusan lembaga sara yang berasal dari pengurus mesjid dan tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang budaya Buton, memiliki ruang untuk dikontrol oleh masyarakat. Lembaga adat, tidak dapat mengambil keputusan tetapi hanya dapat melakukan kajian-kajian strategis secara ilmiah, dan hasilnya akan dibawa ke lembaga sara untuk dipertimbangkan dan bila perlu dijadikan keputusan. Dengan demikian, diperlukan konsep untuk memisahkan lembaga adat sebagai sekretaris jendral dari dewan sara atau lembaga sara tersebut. Lembaga sara menjadi pengambil keputusan tertinggi dalam pengelolaan rumah besar kebudayaan Buton dalam bingkai Negara Kesatuan Repoblik Indonesia.
Jika seluruh sara mesjid bergabung dalam Dewan Lembaga Sara Kebudayaan Buton ini, maka siapapun akan dapat dipanggil sebagai anggota masyarakat, termasuk anggota DPR, bupati dan walikota jika perlu ke hadapan lembaga sara. Selanjutnya, lembaga sara dapat memberikan penghargaan dan sanksi social kepada seluruh anggota masyarakat. Termasuk kepada para pejabat NKRI, yaitu kepala desa, camat, bupati untuk mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan Dewan Lembaga Sara. Di sini, sanksi sosial tidak akan sama dengan sanksi hukum formal NKRI, tetapi Dewan Lembaga Sara dapat memberikan sanksi sosial yang kepada suatu pelanggaran norma dan sosial di dalam masyarakat Buton. Karena di dalam sejarah rumah besar kebudayaan Buton. Terlihat sangat efektif dalam memberikan sanksi sosial termasuk kepada mantan sultannya. Maka dikenallah gelar Oputa Igogoli sebagai sanksi sosial atas perlakuan yang dilakukan oleh seorang pejabat. Di Wakatobi misalnya, mereka masih mengenal yarona kepala desa I Kanari. Hanya karena tidak mampu melindungi pohon kenari saat ia menjabat sebagai kepala desa.
Dengan demikian, diperlukan pengkajian ulang mengenai format Lembaga Adat dan Dewan Lembaga Sara, sehingga dapat efektif dan dapat dikontrol oleh masyarakat. Karena sara-sara yang ada di berbagai mesjid itu diangkat langsung oleh masyarakat, berdasarkan kajian mengenai keilmuan, dan akhlak dan sejarah hidupnya, sehingga mereka memiliki kepercayaan untuk diangkat menjadi sara di dalam kampung.
Tentunya ini tidak mudah, ditengah masyarakat Buton yang heterogen, namun kerinduan untuk merajut kembali rumah besar kebudayaan Buton dalam konteks nasional dan internasional akan memberi jiwa besar kepada seluruh generasi muda Buton untuk duduk bersama dengan mengedepankan kerinduan itu pada rumah kebudayaan mereka. Karena dalam konteks rumah kebudayaan Buton itulah masyarakat Buton dapat menjadi, baik dalam konteks regional, nasional dan internasional. Jangan sampai generasi Buton tak mengenal property rumah besar kebudayaan itu sehingga akan berdampak para eksistensi masyarakat Buton sendiri, di dalam kehidupan berbangsa terutama dalam konteks NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar