Oleh:
La Yusrie
Saya tersentak kaget luar biasa ketika membaca berita kompas pagi ini, di headlinenya, pada paling atas, tepat di bawah kop harian nasional bergengsi ini. Nampak gambar sebagai ilustrasi perahu-perahu boti khas Buton, koli-koli yang ditumpangi beberapa anak laut desa Tira di Sampolawa, juga laut biru bersih, bahkan dapat kita lihat menembusi dasarnya, dan di pojok kiri tertulis judul Separuh Jiwa Buton di Samudera.
Sebuah judul yang teramat memukau. Benarkah separuh jiwa kita di samudera? Lantas kalau kita relasikan judul itu dengan mind dan visi pemerintah membangun daerah ini, sudahkan ia sejalan? Tentu saja akan sangat banyak persepsi perihal itu, tapi poin yang paling penting adalah bahwa kita telah cukup bisa berdiri mengisi dan mewarnai lembar-lembar berita harian nasional berkualitas dan kredibel itu. Tak bisa memang lepas, bahwa ini berkat beliau-beliau yang bukan orang Buton tapi peduli dan punya perhatian pada Buton.
Disebutkan dalam banyak literature bahwa pada urusan melayari samudera dan menggauli lautan, suku bangsa Buton hanya disaingi dan bergandeng setara dengan pelaut-pelaut suku bangsa Bugis-Makassar (lihat Pelras dalam manusia bugis). Saya tak lupa pula, bagaimana kakek saya bercerita bangga penuh heroik perihal tangguh kuatnnya pelaut-pelaut Buton, hanya dengan boti tak bermesin mereka melayari laut Cina Selatan dan menaklukannya, kota-kota pelabuhan di Jawa, dari Banyuwangi, Probolinggo dan Surabaya di Timur hingga Jakarta dan Banten di ujung barat, terus menggapai Sumatera, dari selatan Palembang, lampung, Bangka Belitung, hingga Aceh di Utara. Orang-orang Buton juga giat bergelut di Timur Nusantara. Melayari laut Banda, bahkan ke Arafura di Timur. Jejak itu dapat ditelusuri kini dengan banyaknya orang-orang Buton yang bermukim di pesisir selatan Papua, menaik hingga di pantai Utara Jayapura. Ini saya ketahui berkat laporan penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Papua tahun 2006 yakni ditemukannya kantong-kantong atau enclave bahasa-bahasa Buton di daerah-daerah pesisir papua itu.
Bahkan seorang John Man, Sejarawan Inggris dan travel writer yang tulisan-tulisannya paling banyak di baca orang di dunia menulis informatif sekali, begini ia menulis ‘di tahun 1215, dunia belum menjadi tempat yang saling terhubung. Orang dan binatang sama-sama berkelana dengan amat lambat, butuh berhari-hari untuk sampai ke kota tetangga, berminggu-minggu untuk menyeberangi sebuah negeri. Benua yang begitu luas menjadi hamparan semesta, benua yang satu tak mengenal benua yang lainnya. Tak seorang pun pernah bepergian dari Asia ke Australia, kecuali penduduk Sulawesi, yang melintasi laut Timor untuk mengumpulkan Teripang dan menjualnya ke Cina’ (Lihat John Man dalam Kubilai Khan)
Dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa hanyalah orang-orang Buton yang gemar melakukan pelayaran ke Australia untuk mencari teripang dan kerang laut bermutiara, bahkan itu hingga kini, perahu-perahu tradisional sope atau koli-koli kerap berkucing-kucingan dengan patroli polisi laut negeri kanguru itu. Pun dapat kini dilihat pada pesisir-pesisir timur pulau flores dan pada umumnya di Kepulauan Nusa Tenggara banyak bermukim warga buton, mereka tinggal menikah dengan penduduk lokal dan berketurunan di sana.
Maka jika begitu, benarkah separuh jiwa Buton saja di samudera?
Rasanya yang agak tepat adalah sepenuh-penuhnya jiwa Buton di Samudera!
Salam..,
Saya tersentak kaget luar biasa ketika membaca berita kompas pagi ini, di headlinenya, pada paling atas, tepat di bawah kop harian nasional bergengsi ini. Nampak gambar sebagai ilustrasi perahu-perahu boti khas Buton, koli-koli yang ditumpangi beberapa anak laut desa Tira di Sampolawa, juga laut biru bersih, bahkan dapat kita lihat menembusi dasarnya, dan di pojok kiri tertulis judul Separuh Jiwa Buton di Samudera.
Sebuah judul yang teramat memukau. Benarkah separuh jiwa kita di samudera? Lantas kalau kita relasikan judul itu dengan mind dan visi pemerintah membangun daerah ini, sudahkan ia sejalan? Tentu saja akan sangat banyak persepsi perihal itu, tapi poin yang paling penting adalah bahwa kita telah cukup bisa berdiri mengisi dan mewarnai lembar-lembar berita harian nasional berkualitas dan kredibel itu. Tak bisa memang lepas, bahwa ini berkat beliau-beliau yang bukan orang Buton tapi peduli dan punya perhatian pada Buton.
Disebutkan dalam banyak literature bahwa pada urusan melayari samudera dan menggauli lautan, suku bangsa Buton hanya disaingi dan bergandeng setara dengan pelaut-pelaut suku bangsa Bugis-Makassar (lihat Pelras dalam manusia bugis). Saya tak lupa pula, bagaimana kakek saya bercerita bangga penuh heroik perihal tangguh kuatnnya pelaut-pelaut Buton, hanya dengan boti tak bermesin mereka melayari laut Cina Selatan dan menaklukannya, kota-kota pelabuhan di Jawa, dari Banyuwangi, Probolinggo dan Surabaya di Timur hingga Jakarta dan Banten di ujung barat, terus menggapai Sumatera, dari selatan Palembang, lampung, Bangka Belitung, hingga Aceh di Utara. Orang-orang Buton juga giat bergelut di Timur Nusantara. Melayari laut Banda, bahkan ke Arafura di Timur. Jejak itu dapat ditelusuri kini dengan banyaknya orang-orang Buton yang bermukim di pesisir selatan Papua, menaik hingga di pantai Utara Jayapura. Ini saya ketahui berkat laporan penelitian pemetaan bahasa-bahasa di Papua tahun 2006 yakni ditemukannya kantong-kantong atau enclave bahasa-bahasa Buton di daerah-daerah pesisir papua itu.
Bahkan seorang John Man, Sejarawan Inggris dan travel writer yang tulisan-tulisannya paling banyak di baca orang di dunia menulis informatif sekali, begini ia menulis ‘di tahun 1215, dunia belum menjadi tempat yang saling terhubung. Orang dan binatang sama-sama berkelana dengan amat lambat, butuh berhari-hari untuk sampai ke kota tetangga, berminggu-minggu untuk menyeberangi sebuah negeri. Benua yang begitu luas menjadi hamparan semesta, benua yang satu tak mengenal benua yang lainnya. Tak seorang pun pernah bepergian dari Asia ke Australia, kecuali penduduk Sulawesi, yang melintasi laut Timor untuk mengumpulkan Teripang dan menjualnya ke Cina’ (Lihat John Man dalam Kubilai Khan)
Dan telah menjadi pengetahuan umum bahwa hanyalah orang-orang Buton yang gemar melakukan pelayaran ke Australia untuk mencari teripang dan kerang laut bermutiara, bahkan itu hingga kini, perahu-perahu tradisional sope atau koli-koli kerap berkucing-kucingan dengan patroli polisi laut negeri kanguru itu. Pun dapat kini dilihat pada pesisir-pesisir timur pulau flores dan pada umumnya di Kepulauan Nusa Tenggara banyak bermukim warga buton, mereka tinggal menikah dengan penduduk lokal dan berketurunan di sana.
Maka jika begitu, benarkah separuh jiwa Buton saja di samudera?
Rasanya yang agak tepat adalah sepenuh-penuhnya jiwa Buton di Samudera!
Salam..,