Minggu, 17 Oktober 2010

Sastra Tradisi, Antara Nasionalisme Kebutonan dan Disintegrasi Keindonesiaan


Oleh: Sumiman Udu[1]

Abstrak

Sastra tradisi memiliki peran strategis dalam mewujudkan nilai dan sikap nasionalisme. Di sisi yang lain, sastra tradisi juga berpotensi untuk menumbuhkan disintegrasi. Sastra tradisi La Kabaura misalnya, dapat menanamkan nilai dan sikap nasionalisme kebutonan, tetapi cerita ini juga berpotensi untuk memicu disintegrasi keindonesiaan.
Penelitian mengenai sastra tradisi, antara nasionalisme dan disintegrasi ini, dilakukan dengan mengkaji keberadaan tradisi lisan La Kabaura dalam masyarakat Buton. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotik-etnografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, teks tradisi lisan La Kabaura, efektif dalam menanamkan nilai dan sikap kebutonan. Hal ini terlihat, dari adanya rasa kebanggaan generasi Buton yang menganggap La Kabaura sebagai pahlawan yang berhasil mengajarkan Islam di tanah Gowa Sulawesi Selatan. Selanjutnya, masyarakat Buton sampai hari ini masih percaya bahwa penyiar Islam di Sulawesi Selatan adalah berasal dari Buton. Di sisi yang lain, tradisi lisan La Kabaura ini berpotensi untuk melahirkan kebencian dan kemarahan yang dapat mengancam disintegrasi bangsa, jika dibaca oleh masyarakat Gowa di Sulawesi Selatan.
Oleh karena itu, semangat berkarya kedepan harus dilandasi oleh nilai nasionalisme. Di samping itu, pemilihan materi pembelajaran sastra, harus dilandasi oleh semangat nasionalisme keindonesiaan.

Kata kunci : Sastra Tradisi, Nasionalisme, Disintegrasi



A.       Pengantar
Indonesia memiliki kekayaan sastra tradisi yang tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Kekayaan budaya dan bahasa menjadi ruang untuk tumbuhnya sastra tradisi di setiap kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia. Kita mengenal sastra tradisi Aceh, Batak, Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Lombok, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Tolaki, Papua, Buton, Kei, Alwuru, Muna dan lain-lain. Semua itu, merupakan rumah-rumah kebudayaan yang memuat ingatan kolektif masyarakat pendukungnya (Rahman, 1999: vii).
Sebagai rumah-rumah kebudayaan masyarakat lokal, sastra tradisi memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat pendukungnya, antara lain sistem norma, adat istiadat, kebiasaan dan lain sebagainya. Kehadiran sastra tradisi di setiap daerah, telah terbukti menjadi ruang kreatifitas bagi setiap anggota masyarakatnya. Di samping itu, sastra tradisi merupakan tempat berbagai kearifan lokal masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, upaya untuk mengungkap kekayaan budaya bangsa melalui penelusuran sastra tradisi penting dilakukan terus-menerus, karena tidak sedikit sastra tradisi di Nusantara yang telah hilang dari masyarakat pendukungnya dewasa ini.
Di samping itu, sastra tradisi juga dapat mendukung terciptanya keanekaragaman sastra Indonesia. Mengingat banyaknya bahasa, adat istiadat, budaya dan suku bangsa di Indonesia menjadi suatu kekayaan bangsa yang dapat mendukung identitas keindonesiaan kita yang terhimpun dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika”. Sastra Indonesia memiliki berbagai potensi kesasustraan yang ada di setiap sastra tradisi yang ada di daerah. Dengan demikian, keanekaragaman sastra tradisi dapat mendukung sastra Indonesia dalam mengusung isu-isu keindonesiaan menuju mayarakat yang beradab dan mampu bersaing dalam konteks global.
Di sisi yang lain, menguatnya sastra tradisi di daerah-daerah, juga dapat berpotensi untuk menumbuhkan disintegrasi keindonesiaan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya isu-isu kedaerahan yang dapat merangsang semangat kedaerahan sehingga dapat mengancam integrasi keindonesiaan kita. Terlebih jika sastra tradisi itu diolah oleh pihak-pihak yang tidak  bertanggung jawab terhadap nasionalisme keindonesiaan. Jika sastra tradisi ditulis untuk mengusung isu-isu yang memperkuat isu-isu kedaerahan dan gerakan-gerakan prodisintegrasi, maka sastra tradisi dapat mengancam disintegrasi keindonesiaan kita. Sastra tradisi La Kabaura misalnya, jika ditulis kembali dengan mengabaikan isu-isu keindonesiaan, maka dapat menanamkan nilai dan sikap nasionalisme kebutonan, tetapi sekaligus berpotensi untuk memicu disintegrasi keindonesiaan.
Oleh karena itu, upaya penelusursan dan penulisan kembali sastra tradisi harus dilakukan dengan penuh hati-hati. Karena setiap sastra tradisi memiliki peran strategis dalam mewujudkan nilai dan sikap nasionalisme kedaerahan atau sikap primordialisme bagi setiap pembaca di dalam masyarakat pendukungnya. Penulisan sastra tradisi dengan penulisan apa adanya sesuai dengan apa yang bicarakan oleh penuturnya, berbahaya terutama dalam konteks keindonesiaan kita. Dengan berpegang pada sastra tradisi, daerah-daerah akan saling bersinggungan sehingga melahirkan ruang-ruang konflik sosial yang bermuara pada perang fisik. Tetapi di sisi yang lain, jika dikelola dengan baik, maka dapat mendukung penyelesaian konflik yang ada di daerah.
Penelitian mengenai sastra tradisi, antara nasionalisme dan disintegrasi ini, dilakukan dengan mengkaji keberadaan tradisi lisan La Kabaura dalam masyarakat Buton. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan semiotik-etnografi. Yaitu suatu pendekatan untuk memahami makna teks berdasarkan pemahaman makna dari sudut pandang masyarakat pendukungnya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Danandjaja (dalam Pudentia, 2008: 60) bahwa penelitian tentang sastra tradisi harus dipahami dalam konteks folknya, yakni segala keterangan yang berhubungan latar belakang, yang bersifat sosial, kebudayaan, maupun psikologi dari masyarakat kolektifnya.

B. Cerita Rakyat La Kabaura dan Nasionalisme Kebutonan
Secara geografis kesultanan Buton terletak di daerah strategis dalam pelayaran Nusantara. Setiap kapal harus melewati wilayah Kesultanan Buton jika mau berlayar dari kepulaun Maluku menuju wilayah Barat Nusantara atau sebaliknya. Letak geografis ini memungkinkan untuk dilewati oleh para pedagang, penyiar agama di masa lalu.
Dalam sejarah, kesultanan Buton sebagai kerajaan kecil selalu mendapatkan gangguan keamanan dari kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya. Di musim Barat kesultanan Buton harus sibuk untuk mengahadapi pasukan Gowa yang mau mencaplok daerahnya. Sedangkan di musim Timur kesultanan Buton juga harus menjaga pasukan Ternate yang juga mau mencaplok Buton sebagai daerah kekuasaannya. Itulah sebabnya dalam naskah kabanti[1] Anjonga Inda Malusa[2] dijelaskan bahwa setiap tahun orang-orang Buton harus selalu siap menghadapi ekspansi dua kerajaan tersebut. Musim timur kita menjaga Ternate dan dimusim barat kita harus menjaga Gowa (bdk. Zuhdi, 1999: ).
Menghadapi situasi politik seperti itu, Buton tidak hanya tinggal diam. Di samping mempersiapkan kekuatan perang dengan menggunakan konsep labu wana labu rope[3], juga menanamkan nilai-nilai perlawanan melalui cerita rakyatnya. Melalui cerita rakyatlah mereka merendahkan lawan-lawan politiknya, sekaligus menanamkan nilai-nilai patriotisme pada generasinya. Sehubungan dengan itu, di dalam cerita La Kabaura terdapat pencitraan yang dapat merendahkan harkat dan martabat kerajaan Gowa dengan mengisahkan dalam cerita La Kabaura bahwa tokoh La Kabaura melarikan anak perempuan raja Gowa.
“Mendapatkan wirasat jelek tersebut, maka La Kabaura langsung berlari ke arah putri dan menyuruhnya untuk melarikan diri.”
“Sang putri yang memang sudah jatuh cinta pada La Kabaura gurunya. Langsung saja ikut berlari dengan La Kabaura. Setengah hari mereka berlari, maka di belakang mereka Nampak ratusan prajurit kerajaan yang datang dengan marahnya untuk membunuh La Kabaura.”

Penanaman nilai-nilai melalui sastra tradisi di dalam negeri Buton, juga diarahkan untuk menanamkan rasa percaya diri bagi bangsa Buton[4]. Di dalam cerita La Kabaura bangsa Buton citrakan sebagai bangsa yang menyebarkan agama Islam di negeri Gowa. Tokoh La Kabaura yang masih anak-anak menjadi pengajar Islam di Kerajaan Gowa[5]. Bagi orang Buton melawan Gowa tidak harus dilawan dengan persenjataan, tetapi melawan Gowa dengan mananamkan rasa kebesaran bagi generasinya adalah yang terpenting[6].
Dengan mendengarkan cerita La Kabaura akan timbul perasaan bangga bagi anak-anak Buton. Mereka akan merasa bahwa tidak perlu berkecil hati melawan Gowa, karena dari sisi keimanan dan keislaman kita lebih duluan. Kekuatan ilmu kanuragan pun mereka akan tetap di bawah kita[7]. Dengan demikian, bangsa Buton akan selalu memiliki kekuatan dan semangat untuk tetap melawan Gowa, karena tidak mungkin ilmu agama orang-orang Gowa mampu melebihi tingginya ilmu dari guru mereka. Karena orang-orang Gowa baru diajari oleh La Kabaura.
“Setelah banyak menjelaskan tentang Islam, maka baginda raja meminta La Kabaura untuk mengajarkan ngaji kepada putra-putri raja. Maka sejak saat itu, La Kabaura bukan lagi menjadi penjaga gudang senjata, tetapi kini menjadi guru agama Islam di kerajaan Gowa.”
Kenangan kolektif masyarakat Buton tentang ekspansi Gowa tersebut menjadi nyanyian anak-anak Buton ketika mereka bermain hujan sebagai berikut. /Wande meransa taonga-onga, mate nabokeo tamotae bugisi/ “kita akan melihat hujan lebat, orang tua meninggal, kita akan berbahasa Bugis.
Dari sini jelaslah bahwa cerita rakyat La Kabaura merupakan ruang perlawanan masyarakat Buton terhadap kekuatan-kekuatan politik yang selalu mengganggu kedaulatan bangsa Buton, terutama pada Gowa dan Ternate. Di dalam tradisi lisan masyarakat Buton yang lain, juga terdapat cerita lain mengenai perlawanan Buton terhadap Ternate. Disitu dijelaskan bahwa Sapati Baluwu mengalahkan sultan Ternate tanpa melakukan perlawanan apapun. Sultan Ternate, menaikkan bendera putih ketika dia mengetahui bahwa pimpinan perang yang datang menyerangnya adalah Sapati Baluwu[8].
Selain menanamkan nilai-nilai pembelajaran agama, cerita La Kabaura juga menanamkan nilai-nilai keberanian untuk menghadapi tantangan di dalam hidupnya. Di dalam cerita La Kabaura, walaupun La Kabaura anak-anak ia telah memiliki keberanian untuk pergi ke negeri orang. Bagi anak-anak Buton, cerita ini telah mendorong lahirnya jiwa-jiwa yang berani mengambil resiko di dalam hidupnya.
“Iya anakku, bantulah ayah dalam menyiarkan agama Islam ini di negeri tetangga kita. Karena kalau kau mengajar, ilmu juga akan semakin matang.
“Kemana ayahanda hendak mengirimku? Tanya La Kabaura. Ia duduk bersila di dekat kaki ayahandanya.
“Kearah matahari terbenam anakku, pergilah ke sana agar kelak kau dapat menjadi orang besar di kesultanan ini.
Perjalanan La Kabaura di dalam cerita rakyat, dapat melahirkan sikap patriotisme anak-anak Buton terhadap bangsanya. Mereka akan datang mengajarkan Islam ke negeri orang. Sehubungan dengan ini, dalam teks-teks kabanti menyinggung hal ini dengan /wa ina bara nusambira/ ‘ibu jangan bersedih’, /ane keburu ngkene ambo/ ‘ada pulau Buru dan pulau Ambon[9]. Teks kabanti tersebut memberikan suatu harapan pada anak-anak Buton sejak masih dalam buaian. Sedangkan di dalam cerita La Misi-Misikini, tokoh La Pii juga merantau sejak ia masih kecil[10].
Selanjutnya, cerita rakyat La Kabaura juga menanamkan rasa patriotisme kebutonan. Mendengarkan cerita ini, akan timbul harga diri sebagai bangsa Buton, karena Buton bukanlah negeri yang kecil seperti yang ada dalam sejarah, melainkan negeri para sufi yang mengajarkan Islam bukan hanya di tanah Buton, tetapi juga sampai di negeri Gowa.
Keikutsertaan tokoh La Kabaura menjadi bagian pasukan Gowa, menggambarkan tentang kehebatan La Kabaura dalam ilmu kanuragan. Ilmu balaba yang dipelajarinya dari Buton menjadikannya menonjol di dalam pasukan kerajaan Gowa.
“Bekal ilmu balaba yang dipelajarinya dari negeri leluhurnya di seberang lautan, membuatnya memiliki banyak kelebihan dalam ilmu bela diri. Maka masuklah La Kabaura menajadi prajurit kerajaan. Ia sangat berbakat dalam dunia militer di siang hari, tetapi ia akan menjadi guru ngaji yang lembut jika sedang berhadapan dengan putra-putri raja, apalagi yang diajarinya sekarang sudah berubah menjadi gadis.”
Kesuksesan La Kabaura di dalam dunia militer, memotivasi orang-orang Buton untuk percaya diri dengan ilmu beladiri tradisional mereka yaitu ilmu balaba. Bahwa anak-anak Buton harus mampu melatih fisik, pikiran dan mentalnya. Karena kesuksesan La Kabaura disebabkan oleh kekuatan fisik dan kepintaran otaknya di bidang agama, serta kemampuan ilmu kanuragannya.
Selanjutnya bagian cerita yang mengisahkan tentang permainan sepak raga yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan dimenangkan oleh La Kabaura merupakan motivasi bagi anak-anak Buton untuk mendapatkan impian walaupun itu berada di negeri orang. Kemenangan La Kabaura dalam acara sepak raga tersebut membuktikan bahwa bangsa Buton tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Nusantara.
Sedangkan untuk lebih membesarkan semangat orang Buton dalam melawan Gowa, di dalam cerita La Kabaura dikisahkan tentang proses penolakaan raja atas kemenangan La Kabaura dalam sepak raga. Kasus itu membuat La Kabaura melakukan tindakan nekat untuk melarikan putri raja Gowa ke Buton. Dan atas tindakan itu, raja Gowa tidak menerima maka diutuslah pasukan untuk membunuh La Kabaura yang telah melarikan putri.
“Sang putri yang memang sudah jatuh cinta pada La Kabaura gurunya. Langsung saja ikut berlari dengan La Kabaura. Setengah hari mereka berlari, maka di belakang mereka Nampak ratusan prajurit kerajaan yang datang dengan marahnya untuk membunuh La Kabaura. Maka setelah mereka hampir ditemukan, La Kabaura memegang tangan putrid lalu membaca doa, maka menjelmalah mereka berdua menjadi batang kayu. Apa yang dipegangnya maka seperti itulah mereka akan menjelma”.
Kegagalan pasukan kerajaan Gowa untuk menangkap La Kabaura, semakin menumbuhkan rasa percaya diri bagi anak-anak Buton bahwa kita dapat mengalahkan Gowa, karena leluhur kita pernah mengambil putri raja dengan paksa. Di samping itu, kisah ini juga dapat menanamkan nilai-nilai perjuangan yang tinggi bagi anak-anak Buton. Keberanian, strategi dan kekuatan ilmu kebatinan merupakan nilai pendidikan yang dapat diperolah anak-anak Buton dari cerita La Kabaura.
Bagi orang Buton, cerita La Kabaura merupakan cerita tentang kepahlawanan dalam melawan Gowa. Tekanan politik yang tinggi dari Gowa, tidak melemahkan perlawanan orang-orang Buton kepada Gowa, tetapi menciptakan sastra tradisi yang melahirkan seorang tokoh yang mampu mengambil paksa putri kerajaan Gowa.
Bagi orang Buton, perempuan dan anak-anak adalah simbol harga diri dan kedaulatan negeri[11]. “Kalau orang mengambil harta kita, mungkin kita tidak perlu marah, tetapi kalau anak-anak dan perempuan kita di ganggu, maka kapan lagi kita akan mati?[12]”, demikian ungkapan orang-orang Buton ketika anak-anak dan perempuannya diganggu orang. Dengan demikian, melarikan putri raja Gowa sama dengan menginjak-injak harga diri Raja Gowa.
Dengan demikian, perlawanan Buton terhadap Gowa, bukan saja di dalam dunia nyata, tetapi juga melalui dunia sastra. Cerita La Kabaura merupakan tokoh perlawanan Buton terhadap ekspansi kerajaan Gowa, sedangkan untuk melawan ekspansi kerajaan Ternate, orang-orang Buton mengenal kisah Sapati Baluwu. Bahkan dalam cerita dari mulut ke mulut yang beredar di dalam masyarakat Buton, dikatakan bahwa La Kabaura merupakan seorang pendekar yang sangat sakti mandraguna. Kependekarannya itu kemudian diwariskan pada kemenakannya yang bernama La Rafaani (Sapati Baluwu). Sehingga cerita rakyat La Kabaura merupakan sastra tradisi yang mampu melahirkan nilai-nilai nasionalisme kebutonan, tetapi dalam konteks keindonesiaan seperti dewasa ini, cerita rakyat La Kabaura merupakan ancaman bagi integrasi ke indonesiaan kita.

C.       Cerita Rakyat La Kabaura dan Disintegrasi Keindonesiaan
Bagi bangsa Buton, cerita rakyat La Kabaura merupakan cerita  rakyat yang menanamkn nilai-nilai patriotisme dan kepahlawanan. Tetapi sebaliknya, dalam konteks keindonesiaan sastra tradisi seperti cerita La Kabaura ini dapat mengancam integrasi keindonesiaan kita.
Dalam cerita rakyat La Kabaura misalnya, sikap anti pati masyarakat Buton terhadap Gowa akan tetap tertanam di hati anak-anak Buton, karena cerita itu dijadikan sebagai pengantar tidur mereka. Di samping itu, masyarakat pendukung cerita La Kabaura akan memandang rendah orang-orang Makassar. Sebaliknya, jika cerita ini di dengar oleh masyarakat Gowa, maka akan menyakitkan dan dapat memicu ketrjadinya ketegangan antaretnis yaitu Buton dan Makassar. Karena orang Makassar dapat memberikan pemaknaan yang mengarah kepada pelecehan etnis.
Peristiwa peperangan Gowa dengan Buton dalam sejarah, masih mengendap dalam alam bawah sadar masing-masing generasinya. Orang-orang Gowa memiliki ingatan kolektif tentang kutukan bagi orang Buton karena Sultannya dianggap berbohong. Dimana suatu waktu Arupalaka melarikan diri ke negeri leluhurnya di tanah Buton, setiba di tanah Buton ia disembunyikan di dalam gua. Ketika pasukan Hasanuddin menanyakan tentang keberadaan Arupalaka[13]. “Apakah Arung Palaka berada di atas tanah Buton?” maka raja Buton berkata bahwa “Arung palaka tidak ada di atas tanah Buton[14],” mendengar jawaban itu, maka pasukan Hasanuddin pun tidak dapat berbuat apa-apa[15]. Mereka pun pulang ke pangkalan mereka di pulau Makassar (puma)[16].
Para pendiri bangsa ini menyadari betul akan kekayaan budaya bangsa kita. Sehingga lambang negara kita pun harus dibangun dalam keanekaragaman budaya dan bahasa. Kesadaran pada keragaman tersebut, kemudian dibingkai dengan kalimat “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka menyadari keragaman ini sebagai suatu kekuatan, bukan kelemahan. Tetapi sampai hari ini, masih tetap berkembang sastra tradisi di hampir seluruh daerah di Nusantara. Para pelaku sastra di daerah khususnya para pewaris dari tiap-tiap sastra tradiri tersebut, menerima sastra tradisi tersebut sebagai mana adanya, tanpa memikirkan kondisi disintegrasi keindonesiaan kita. Sehingga tidak menutup kemungkinan akan kembali lahir gerakan-gerakan disintegrasi keindonesiaan dari generasi yang dibesarkan dengan sastra tradisi yang mengusung isu-isu primordialisme.
Cerita rakyat La Kabaura, hanyalah salah satu cerita yang beredar di dalam masyarakat Buton yang berfungsi untuk membesarkan jiwa generasi Buton dalam menghadapi lawan-lawan politiknya di masa lalu. Tetapi, masih banyak sastra tradisi yang serupa di daerah-daerah dan kebudayaan lain yang ada di Nusantara. Sehingga apabila tidak ditangani dengan baik, maka sastra tradisi bulan lagi sebagai rahmat bagi keindonesiaan kita, tetapi justru menjadi salah satu ruang untuk membangkitkan semangat disintegrasi keindonesiaan kita di masa depan.
Oleh karena itu, dalam rangka menyikapi keragaman sastra tradisi, budaya, adat istiadat, norma-norma dan sejarah di masa lalu perlu komitmen keindonesiaan yang kuat dari pelaku sastra tradisi, peneliti, budayawan, sastrawan, pengajar sastra, pemerintah dan lembaga-lembaga social lainnya. Sehingga keragaman budaya dan sastra tradisi tersebut dapat pendukung pengembangan rasa nasionalisme keindonesiaan kita.
Jika keragaman budaya dan tradisi tersebut mampu dikelola dengan baik, maka keragaman tersebut dapat mendukung pengembangan ekonomi kreatif di berbagai bidang kehidupan di masa-masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mursal Esten (1999: 105) bahwa sastra tradisi dapat menjadi sumber bagi suatu penciptaan budaya baru di dalam masyarakat modern.

D.       Penutup
Sastra tradisi La Kabaura dapat menumbuhkan sikap nasionalisme kebutonan, tetapi di sisi yang lain berpotensi untuk mendorong disintegrasi keindonesiaan kita.  Bagi orang-otang Buton, cerita La Kabaura sangat penting karena dapat menumbuhkan rasa percaya diri, penguatan identitas sementara bagi masyarakat Gowa cerita ini merupakan kenangan yang memalukan.
Sastra tradisi berpotensi untuk menjadi salah satu sumber penyelesaian konflik di daerah-daerah. Di samping itu, jika sastra tradisi dikelola oleh orang-orang yang professional dan memiliki komitmen integrasi keindonesiaan yang tinggi, maka sastra tradisi bukan saja sebagai alat hiburan semata, tetapi dapat mendukung penciptaan lapangan kerja baru dalam dunia industry kreatif di Indonesia.

Baca Juga: 
Menbudpar Jero Wacik Sematkan "Anugerah Kebudayaan" 2010 
Simak Ini: Tari Lariangi dari Wakatobi! Selasa, 3 Agustus 2010 | 21:58 WIB
PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA - SEBUAH PANDANGAN



E.       Daftar Pustaka
Anceaux, J.C. 1988. The Wolio Language: Outline of Grammatical Deskription and Texts. Foris Publications, Holand
Esten, Mursal. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara
Malim, La Ode. 1983. Membara di Api Tuhan: Alih Bahasa dan Terjemahan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Pudentia, MPPS.2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL)
Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.
Schoorl, Pim.2003. Masyarakat, Sejarah dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan, KITLV.
Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.


[1] Kabanti berarti puisi, syair, sajak, atau nyanyian (Anceaux, 1984: 51)
[2] Naskah ini merupakan naskah yang dikarang oleh Syeh Haji Abdul Ganiu Al Butuni yang biasa disebut Kenepulu Bula atau di dunia Melayu disebut Haji Pute yang diperkirakan naskah ini ditulis pada pertengahan abad ke-19 M (Niampe, 1998).
[3] Ungkapan dalam bahasa Wolio (bahasa kaum penguasa di kerajaan Buton) yang berarti “berlabuh haluan, berlabuh buritan”.
[4] Dalam tradisi lisan dan pandangan dunia bangsa Buton, Buton menganggap dirinya sebagai salah satu dari empat pusat ‘dunia” selain Negeri Rum, Ternate, dan Solor. Ini beloh dikatakan sebagai kebebesan cultural.
[5] Versi Buton, kedatangan Islam di Buton + seratus tahun lebih lama duluan Buton masuk Islam dari pada Makassar (hasil wawancara dengan salah satu orang tua Buton yang percaya tentang masalah ini).
[6] Hal ini dijelaskan di dalam kabanti Bula Malino bahwa jika musuh datang dengan ilmunya, hadapi dengan kebodohanmu, tapi jangan berguru, jika musuh datang dengan kekuatannya, hadapi dengan kelemahanmu, tapi jangan minta dilindungi, jika musuh datang dengan kekayaanya, hadapi dengan kemiskinanmu, tapi jangan meminta, tetapi jika mereka datang dengan jumlah yang banyak hadapi dengan yang kesedikitanmu (Malim, 1983: 16-17)
[7]  Sebagian sumber di masyarakat mengatakan bahwa, orang Buton tidak akan mati ditikam oleh badik Makassar.
[8] Hasil diskusi dengan La Ode Balawa di kamar Kost Yunus malam minggu 27 Juni 2009
[9] Salah satu teks kabanti yang dinyanyikan oleh Wa Yai ketika menidurkan cucunya pada tahun 2005 yang lalu.
[10] Dalam cerita rakyat Buton “la misi-misikini, juga menjelaskan masalah merantau ini. La Pii yang telah kehilangan ayah dan harta warisannya harus merantau ke negeri orang walau pada akhirnya ia dibuang oleh kapten kapal Belanda di pulau kosong.
[11] Bagi orang Buton yang dimaksud dengan negeri adalah anak-anak dan perempuan.
[12] Hasil wawancara dengan La Ramulia (56) beberapa bulan lalu di atas kapal kayu  Agil Pratama menuju Wangi-Wangi
[13] Sebutan orang-orang Buton untuk Arung Palang. Bahasa-bahasa di daerah Buton merupakan bahasa vokal sehingga mereka tidak mengenal konsonan di akhir kata
[14] Sebelum menjawab tersebut, raja Buton bersumpah bahwa jika Arung Palaka berada di atas tanah Buton, maka masyarakatnya akan mendapat penyakit mulut atau orang Buton mengenalnya pogo.



[15] Dalam tradisi lisan Buton dijelaskan bahwa mundurnya orang-orang Makassar tersebut karena mereka menyadari akan pertanyaannya mereka yang salah. Mereka menyadari dan meyakini bahwa Arung Palaka berada di pulau Buton. Sedangkan Buton bersumpah bahwa Arung Palaka tidak berada di atas tanah Buton karena memang Arung Palaka di sembunyikan di dalam gua, sehingga ia tidak di atas tanah Buton, tetapi di dalam tanah Buton.
[16] Sebuah pulau di depan Kota Bau-Bau. Menurut orang-orang tua Buton, pulau itu dipercaya sebagai pulau tempat pasukan Hasanuddin menderita kekalahan yang luar biasa ketika melawan pasukan Buton yang dipimpin oleh La Kabaura.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kabanti dalam masyakat buton umumnya dan masyarakat wakatobi khususnya sangat memiliki peranan penting, terutama dalam membangun daerahnya... akan tetapi yang menjadi pertanyaan masih adakah masyarakat yang mau melanturkna kabanti dalam kehidupan sehari-harinya...
masih adakah orang tua mau memberikan petuah-petuah kepada anakannya lewat kabanti....

agung mengatakan...

As, Ralat Informasi : sapati baluwu ingin menaklukan kerajaan muna namun dia kalah perang dengan sangia kaendea. namun karena kelicikan dia dengan belanda akhirnya sangia kaendea di tangkap dan di buang ke ternate. wd wakelu istri sangia kaendea menghasut semua rakyat muna dan rakyat muna yang berada di buton untuk menurunkan sapati baluwu sehingga dia menaklukan VOC dan mengembalikan suaminya dari ternate sekaligus menikahkan anaknya dengan anak supelmen dan sapati baluwu wd sope.